online degree programs

Minggu, Desember 21, 2008

Intelektual atau Politik

“Kadang aku mengimpikan ada ruang ndak terbatas tembok, jas almamater, sepatu dan tiket dikampus” begitulah SMS yang aku terima dari Fahmi. Pesan yang membanyangkan adanya suatu pergerakan yang tiada batas. Dan sesungguhnya Pergerakan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh kaum intelektual.
Karena kaum intelektual bergerak lewat ketulusan hati untuk mengeluarkan apa yang ada dipikiran dan jiwa. Terlepas dari kepentingan manapun. Yang hanya dibenak para intelektualis hanyalah ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk kepentingan umat. Mereka sadar ilmu pengetahuan tidak akan ada artinya jika tidak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Intelektualis bisa kita temukan lewat suatu komunitas-komunitas diskusi kecil yang diselenggarakan secara continue –yang jarang ditemukan di Unnes-. Dan hasil dari diskusi tersebut di karyakan lewat tulisan. Yang bisa dibaca oleh berbagai kalangan yang jadi sasaran pencerahan. Memang Pada dasarnya suatu kekuatan sesungguhnya, berada ditangan komunitas-komunitas kecil yang berada diluar sistem. Setidaknya seperti itulah yang di ajarkan oleh Antonio Gramci.
Banyaknya aktor intelektual yang terjun ke dunia politk pragtis, bisa menyesatkan mereka dalam suatu keadaan yang gelap gulita. Karena dunia politik berbeda dengan dunia intelektual. Kebenaran yang ada dalam dunia intelektual-cenderung akademik- berbanding 180 derajat dengan kebenaran yang ada didalam dunia politik.
Tokoh politik yang berangkat dari akademis seperti Soekarno dan Hatta, jika mereka masih hudup pasti akan menyesalkan kader-kader yang dari akademik masuk kedunia politik pragtis, karena mereka tidak bisa mempertahankan idealismenya. Itu disebabkan mereka terikat oleh tembok partai yang besar dan tingkah laku mereka selalu dibentengi dengan jas-jas kebesaran partai yang mereka kenakan.
Mungkin landasan para intelektual terjun ke politik karena hasil dari menulis buku tidak mencukupi untuk membiayai hidup yang semakin mahal. Sehingga mereka meninggalkan dunia akademik, dan melihat dunia politik lebih menjanjikan untuk masalah uang ketimbang menulis buku.
Memang, dunia politik identik dengan uang, siapa yang banyak uang dialah yang meraih kekuasaan. Dalam meraih kekuasaaan uang masih sebagai senjata yang sangat ampuh, bisa kita lihat dalam perpolitikan kampus sekarang. Seorang calon Presma rela mengeluarkan 2 sampai 4 juta. Uang sebanyak itu bagi seorang mahasiswa sangatlah luar biasa besarnya.
Angka 4 juta bisa digunakan untuk memberi makan fakir miskin atau beli Kambing sebanyak 5 ekor untuk Idhul Adha kemarin, serta Bisa juga untuk berwirausaha seperti buat modal dagang pulsa dan aneka jenis bisnis lainnya. Namun kekuasaan bisa membuat buta mata seseorang. Yang ada dalam fikiran orang yang terjun ke politik pragtis hanyalah mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya demi tercapainya kekuasaan yang dia inginkan.
Sangat sulit memang untuk menebak sesuatu di dunia politik, karena politik adalah pertaruangan antar kekuatan. Dan bisa saja ”segala cara dihalalkan” dalam perpolitikan, begitulah kata Machiavelli. Semua penilaian saya serahkan kepada anda semua mau tetap intlektual atau terjun bebas di dunia perpolitikan.

Muhtar Said

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya...mas said, salut untuk mereka yang tetap berada di jalan sunyi intelektualisme, yang jauh dari ingar bingar glamorisme selebritas politik, tapi sayang mahasiswa yang diidentikkan sebagai intelektual muda kok sekarang justru lebih asyik jadi aktivis selebritas, nampang di talk show di teve-teev itu, dan bahkan di Semarang gak ada demo menolak UU BHP, atau saya yang belum melihat dan mendengar....semoga temen2 mahasiswa yang kritis di Unnes dapat memulainya, jangan tunggu yang di struktur mas...

Anonim mengatakan...

mas said, jika intelektual itu semacam itu, maka saya lebih memilih untuk tidak menjadi intelektual.
intelektual dan politik bagi saya bisa tidak menjadi dua hal yang harus dipilih.
'intelektual' (dalam tanda petik) bagi saya tidak penting, pun "politik".

ttd
fah

Anonim mengatakan...

kang edi kemaren anak2 anak hukum pada turun ke jalan lo....
ke DPRD. mungkin hanya dimuat di TV lokal. coba kang Edy pasang Antena yang tinggi barang kali TV Lokal Semarng nyampe ke Jakarta Heeeeheeeheee