online degree programs

Senin, Desember 08, 2008

MEMBACA IL PRINCIPLE, MEMAHAMI MACHIAVELLI

Oleh: Giyanto

Dalam pengantar buku Il Principle (1513) Machiavelli menulis:

Sudahlah hal yang lumrah bagi mereka yang ingin memenangkan hati seorang Pangeran harus menawarkan kepadanya hadiah-hadiah yang merupakan harta mereka yang paling berharga, harta yang mereka ketahui akan disukai sang Pangeran…

…dengan kerja keras saya yang terbesar, saya telah mempertimbangkan dan meneliti apa yang dilakukan orang-orang hebat, dan sekarang saya mempersembahkan hasil kerja kepada Yang Mulia, yang saya tulis dalam sebuah tulisan yang singkat.

Sudah menjadi salah satu ambisi saya untuk meneliti karya-karya klasik dari Lao Tzu, Aristoteles, Carl Menger, Immanuel Kant, Newton, La Boetie, Adam Smith dan tidak luput ialah karya Niccolo Machiavelli ini. Karena keterbatasan risalah klasik dalam bidang politik, ulasan kali ini kita tidak akan melihat buku Il Principle dalam perspektif moral. Tapi kita akan melihat Il Principle sebagai sebuah buku pedoman bagi individu-individu yang berhasrat meraih kekuasaan. Dalam membaca Il Principle, saya tidak ubahnya seperti membaca buku Napoleon Hill dalam meneliti bagaimana orang-orang super tajir mencapai kekayaan. Bagi saya Machiavelli tidak berbeda jauh dengan Napoleon Hill, karena Machiavelli juga meneliti bagaimana tindakan-tindakan penguasa-penguasa zaman dahulu meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam awal bab Machiavelli lebih banyak menjelaskan tentang jenis-jenis dan sejarah jatuh-bangunnya pemerintahan. Dalam bagian awal bab dia membuka kalimat sebagai berikut:

Semua negara dan dominion yang memegang kekuasaan dan mengontrol manusia adalah berbentuk republik atau kerajaan.

Kemudian dalam bab I-IV, Machiavelli lebih banyak mengulas sejarah kesuksesan dan kegagalan pemerintahan Prancis, Roma, Nepal, Turki, Yunani. Dalam mengamati setiap proses transisi kekuasaan, Machiavelli menarik kesimpulan yang brilian, yang apabila direnungkan masih relevan dengan kondisi sekarang.

Karena semua masyarakatnya dengan sukarela mengganti pemimpin mereka, dengan harapan bahwa mendapatkan hidup yang lebih baik, maka karena harapan ini mereka berperang melawan para pemimpin mereka yang terdahulu. Namun selanjutnya mereka, seperti yang terbukti di sejarah, bukannya menjadi lebih baik, namun nasib mereka justru menjadi lebih buruk.

Untuk mendapatkan jawaban mengapa manusia selalu suka dan rela untuk diperbudak kekuasaan---walaupun juga sering tidak sesuai dengan harapan itu sendiri---bukanlah menjadi tugas penjelasan Machiavelli---untuk pertanyaan ini akan kita ulas dalam The Politics of Obedience: The Discourse of Voluntary Servitude karya La Boetie (1552). Sekali lagi, tujuan Machiavelli hanya menunjukkan jalan bagi setiap penguasa untuk meraih kekuasaan.

Semisal rekomendasi Machiavelli agar seorang Pangeran dapat memerintah dominion yang didudukinya:

Ketika daerah-daerah yang telah dikuasai tersebut telah terbiasa dengan Undang-undang mereka, ada tiga cara untuk mempertahankannya (kekuasaan Anda). Yang pertama adalah dengan merampas hak milik mereka; kedua adalah untuk ke sana dan menetap di sana; ketiga adalah untuk memperbolehkan mereka hidup dengan Undang-undang mereka sendiri, berikan penghargaan kepada mereka, dan mendirikan sebuah pemerintahan di dalam negara tersebut, yang terdiri dari beberapa orang yang akan menjadi sekutu Anda dari dalam.

Dalam penelitiannya, Machiavelli berpendapat bahwa untuk menjadi penguasa setidaknya membutuhkan keberuntungan dan usaha sendiri dengan menggunakan kemampuan diri. Tokoh-tokoh jaman dulu, menurut Machiavelli, yang mendapat kekuasaan kekuasaan karena usaha diri sendiri adalah Musa (Israel)[1], Cyrus (Persia), Romulus (Roma), Theseus (Athena), sedangkan penguasa yang dikarenakan keberuntungan ialah penguasa yang mendapat kekuasaannya berasal dari keturunan atau pemberian ayahnya.

Selain itu ada cara lain selain kekuasaan yang berasal dari keberuntungan ataupun kemampuan diri, yaitu melalui kelicikan dan melalui bantuan teman-teman. Dalam bagian ini dia merekomendasikan:

Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; Kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan.

Kemudian dia menambahkan:

Oleh karena itu, haruslah diingat bahwa dalam merebut kekuasaan sebuah negara, sang penguasa haruslah menjalankan rencana jahatnya seketika sehingga dia tidak harus mengulanginya lagi setiap saat, dan sebisa mungkin tidak melakukan perubahan-perubahan, meyakinkan rakyat kembali dan memenangkan suara mereka dengan memberikan keuntungan untuk mereka.

Namun demikian, walaupun ada berbagai cara untuk dapat meraih kekuasaan. Tapi yang terbaik, menurut Machiavelli adalah kekuasaan yang didapat karena kemampuan diri sendiri dengan menyembunyikan tindakan-tindakan yang buruk. Dalam hal ini Machiavelli menulis:

…dia harus selalu berhati-hati dalam mempercayai dan bertindak, dia juga tidak boleh takut akan bayangannya sendiri, dan harus berhati-hati dalam bertindak dan bijak, sehingga apabila dia terlalu percaya diri dia tidak dianggap tidak berhati-hati, dan apabila tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri dia tidak dianggap tidak memiliki toleransi.

Untuk itu dalam mempertahankan kekuasaannya, seorang Pangeran seharusnya memilih untuk ditakuti daripada dibenci.

Dari hal ini muncul pertanyaan apakah lebih baik sang Pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus ditakuti lebih daripada dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa dia harus dicintai dan juga ditakuti, namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka lebih aman apabila sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari kedua hal ini harus dimiliki. Karena seringkali manusia secara umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya; selama anda memberi keuntungan kepada mereka, harta mereka, hidup mereka, dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tekanan dan bahaya mendekat, mereka memberontak…

Oleh karena itu saya Menyimpulkan bahwa, sehubungan dengan rasa takut dan cinta, bahwa manusia mencintai dengan kehendak mereka sendiri, namun mereka takut atas kehendak pangeran mereka, dan bahwa seorang pangeran yang bijak harus bergantung pada apa yang ada dalam kekuasaannya dan tidak pada apa yang berada pada kekuasaan orang lain, dan bahwa dia hanya harus menghindari dirinya dibenci oleh masyarakatnya, seperti yang telah di bahas di atas.

Untuk itu kebenaran sebenarnya adalah musuh dari kekuasaan. Tapi karena seorang penguasa tidak dapat bekerja sendiri dalam pemerintahan, maka seorang raja patut menggunakan cara-cara agar dapat mempertahankan kredibelitasnya. Untuk itu Machiavelli menyarankan:

Anda haru mengetahui bahwa ada dua metode dalam berperang (merebut kekuasaan), pertama adalah dengan Undang-undang dan kedua adalah dengan kekerasan. Metode yang pertama dilakukan oleh manusia, sedangkan yang kedua digunakan oleh binatang liar; namun karena metode pertama seringkali tidak cukup, metode yang kedua harus digunakan.

Sehingga kualitas-kualitas seorang raja, menurut Machiavelli harus juga percampuran antara manusia dengan binatang. Namun seorang raja---ataupun Presiden---harus tampak penuh pemaaf, beriman, memiliki integritas, kebaikan dan beragama. Dan tidak tidak ada yang lebih penting dari memiliki kelima kualitas tersebut. Alasannya:

…karena manusia umumnya dinilai dari apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang dirasakan tangan. Karena semua orang dapat melihat namun hanya sedikit orang yang dapat merasakannya. Setiap orang melihat apa yang kelihatan di luar, hanya beberapa orang yang merasakan, dan mereka yang sedikit tersebut tidak akan pernah berani melawan mereka yang banyak yang memiliki kekuasaan tertinggi negara untuk mempertahankan diri mereka; dan dalam tindakan-tindakan manusia dan khususnya tindakan-tindakan para Pangeran, yang tidak memiliki pertimbangan, hasil terakhir adalah segalanya.


Rujukan:

Machiavelli, N. 1513. Il Principle (Sang Pangeran). Terj (Dwi Ekasari Aryani). Penerbit Narasi: Yogyakarta



[1] Menurut Machiavelli, walaupun Musa dikaruniai kemampuan berkomunikasi dengan Tuhan, namun Musa tetap pantas menerima penghargaan sebagai penguasa yang memiliki kemampuan diri.

31 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagi saya, pikiran Machiavelli tentang kekuasaan adalah sebuah contoh paling kongkret dari apa yang disebut sebagai politik sebagai sebuah "prosedur negosiasi biasa". Politik, dalam pengertian ini, adalah suatu usaha untuk mencapai "apa yang mungkin". Apakah "yang mungkin" itu? Anda bisa mendaftarnya: jabatan, pangkat, gelar, kekayaan,harta, perempuan, pekerjaan, dll.

Politik, dalam pengertian ini, terbentur oleh kenyataan bahwa segala "yang mungkin" itu pada dirinya sendiri adalah terbatas. Kepada yang terbatas, subyek (anda, saya, caleg, aktivis, dan sebagainya) hanya akan selalu kecewa dan tidak pernah puas. bahkan, tak jarang yag terbatas itu memenjarakan subyek. Subyek akhirnya tak bergaya dalam "penjara" yang terbatas itu.

Slavoj Zizek, belajar dari Lacan, memberikan definisi (yang sesungguhnya tidak baru) terhadap politik. Politik, baginya, adalah prosedur kebenaran. kebenaran,anda tahu, adalah makhluk yang tidak mungkin terwujud secara kongkret di dunia. Kebenaran adalah yang tidak akan mungkin terwujud atau dalam bahasa Lacan disebut sebagai The Real(Yang tak mungkin terjangkau). Kebenaran adalah "yang tak terbatas".

Politik kemudian adalah perjuangan untuk mendapatkan "yang tak terbatas" itu. Apa artinya, politik adalah usaha terus menerus untuk keluar dari "penjara" apa yang sudah terbahasakan (dalam bahasa Lacan disebut sebut sebagai The Symbolic) dan yang bisa diangankan (atau The Imaginer), semisal Presiden, caleg, raja, rt, rw, kades, rektor, dosen, pns, dsb. Politik adalah segala usaha menciptakan kebaruan-kebaruan untuk menuju "yang tak terbatas" itu.

Kebenaran (anda bisa menggantikannya dengan Keadilan, Kesamaan, Kebebasan) adalah segala yang tak mungkin, "yang tak terbatas".

Tentang perjuangan untuk menggapai "yang tak terbatas" itulah, saya kira Machiavelli abai atau mungkin lupa atau jangan-jangan memang tidak tahu.

Salam,
taufiq

Anonim mengatakan...

Sederhana saja:
(barangkali) Lacan melihat politik sebagai imajinasi, sedangkan Machiaveli merasakannya imajinisi itu. tapi sayang, kelihatannya saya setuju sekali pada Machiavelli.

Anonim mengatakan...

Penjelasan anda sederhana, mas. Namun,sepertinya tidak sesederhana dengan kontradiksi pemikiran anda.

Mohon penjelasannya,mas. Sebagai "anarkis anti negara", mengapa anda justru setuju bahkan mengidolakan Machiavelli?

Bukankah "negara" juga merupakan bagian dari apa "yang mungkin" yang kepadanyalah segala usaha politik Maciavellian diarahkan? Yah, negara yang menurut anda adalah penindas, salah satu "penjara" itu?

Jika anda membenci negara, mengapa anda mencintai Machiavelli?

saya kira, sidang pembaca juga sudah tak sabar ingin mendengar penjelasan dari saudara atas proposisi anda yang menggemparkan ini...

Salam,
taufiq

Anonim mengatakan...

mungkin saya tidak usah komentar....saya ingin mengikuti keanehan gie, kontradiksi pemikirannya yang entah sampai kapan saya tak dapat pahami, biar saya ikuti sampai ke mana "ketersesatannya" hehehe.....

maaf agak menyinggung ya???? hehehe....silakan dilanjut...eh dijawab kang gie...saya akan dengan tulus mengikuti segala kontradiksi pemikiran dan argumentasimu....

Anonim mengatakan...

mengidolakan Machiavelli tidaklah harus sebagai konsep atapun dijalankan, tapi sebagai guru yang mampu menjelaskan realitas (meminjam istilah anda: de facto) apa adanya.
bedanya saya dengan anda berdua: Kalau saya menarik diri dari imajinasi, dan anda berdua mengengejarnya. Dari argumen yang anda berikan, kelihatan kalau dipaksakan.

Bukankah pengalaman buruk juga guru terbaik. Bukankah semua tergantung pada keputusan kita?

Untuk masalah 'ideologi' saya sekarang lagi mendalami Destutt de Tracy. Membaca de Tracy baru itu sebuah konsep.

"Dan Machiavelli ibarat suara kejujuran yang dapat ditarik ke segala arah"

Salam

Untuk Edy:
No Comment!
sekedar opini: kelihatannya anda mengalami sindrom Anti-Giyanto)
Ya, selamat!!!semoga sukses.

Anonim mengatakan...

Mas, pertanyaan saya sederhana; kalau anda sangat setuju pada Machiavelli mengapa anda tidak setuju pada negara atau sebaliknya? sebab, saya pikir dua-duanya (kecintaan anda pada Machiavelli dan kebencian pada negara) juga terdapat dalam tataran Konsep. (mohon ditunjukkan dimana argumen saya yang terasa dipaksakan).

lalu, bukankah dengan mimpi meruntuhkan negara anda sebenarnya sedang mengejar 'imajinasi' tersebut? apakah 'imajinasi' anda itu tidak bisa disebut sebagai imajinasi(imagination)?

Seperti lagu John lennon itu,imagine there is no countries... kita tahu, ketiadaan negara adalah imajinasi. dan rupanya, bukankah anda adalah salahsatu yang mau mengejar imajinasi itu (yang rupanya anda tidak mau mengakuinya)?

salam,
taufiq

Anonim mengatakan...

Sebelumnya, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan.

1. kalau anda sangat setuju pada Machiavelli mengapa anda tidak setuju pada negara atau sebaliknya?

Sekali lagi, alasan saya menyuguhkan tulisan Machiavelli adalah pada (kekaguman saya)terhadap pandangannya yang realis terhadap politik. Dugaan saya, ini disebabkan ketajaman observasi serta refleksinya terhadap fakta sejarah. Lebih jauh dari itu, kesepakatan saya pada Machiavelli adalah pada kesimpulan2 observasionalnya terhadap sejarah, tetapi mengenai rekomendasinya saya sebenarnya tidak tertarik. Toh, setiap pangeran berhak memutuskan apakah dia akan memakai rekomendasi Machiavelli atau tidak. Semua tergantung kondisi. Maka apabila seseorang membaca Machiavelli ada dua kemungkinan, untuk para politikus itu dapat sebagai petunjuk modus, sedangkan untuk rakyat jelata seperti saya, itu dapat kita gunakan sebagai modus pelindung (seperti niat penerbit narasi menerbitkan buku tersebut). Dengan demikian, sangat logis apabila saya mengiyakan penjelasan Machiavelli ttg modus pelaku politik yang demikian menyebabkan saya bereaksi dengan menilai bahwa setiap tindakan tiran itu kejam. Oleh karena itu saya harus berlari (sebagai individu) ke ranah filsafat anarkisme. Sampai di sini saya harap penjelasan saya memuaskan.

2. bukankah dengan mimpi meruntuhkan negara anda sebenarnya sedang mengejar 'imajinasi' tersebut? Di sinilah intinya. Bahwa semua bermula dari PIKIRAN. Saya mengakui bahwa kondisi yang terjadi sekarang adalah HASIL dari olah pikir yang telah berjalan ribuan tahun. Gagasan negara adalah kontruksi filsafat sejak masa Plato hingga sekarang. Tapi kalau kita mengkaji lebih dalam dari tugas filsafat sejak Socrates, yang sebenarnya adalah bagaimana seharusnya manusia menggunakan akal pikirnya. Ketika Plato mengimajinasikan negara dan sekarang terwujud, boleh donk kalau saya mengimajinasikan negara itu bubar?

3. bukankah anda adalah salahsatu yang mau mengejar imajinasi itu?

saya akui Ya, itu adalah salah satu mimpi saya. Bahwa setiap individu memiliki supremasinya masing-masing. Di era keterbukaan informasi seperti ini, saya tidak ragu kemajuan itu akan segera terjadi. Impian saya adalah bahwa setiap individu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan itu jelas-jelas merupakan mimpi (saya mengakui itu).


Mengenai argumen yang memaksa terletak pada pernyataan bahwa antara kegamuman saya dengan Machiavelli tidak linier dengan filsafat anarkisme yang saya yakini. Dan semoga jawaban saya di atas dapat membantu.

Salam Anarkis.

Anonim mengatakan...

"sekedar opini: kelihatannya anda mengalami sindrom Anti-Giyanto"

"anti" itu artinya menolak, saya pikir saya tidak menolak seorang gyanto, saya menolak ketidakkonsistenan dan kontradiksi pemikirannya. .. hehehe.....itu kan hanya imajinasi kamu kang gie...hehehe sudahlah.... terlihat betapa cemoohan giyanto pada imajinasi terbantahkan bahwa ia juga meng'imajnasi sesuatu hehehe.....setidaknya negara bukan imajinasi kang2...

seberapapun ulasanmu tentang Niccolo, Hobbes, dan lainnya....tak dapat menjawab pertanyaanku, apa yang lebh baik dari negara dalam upaya memberikan ketertiban di ruang publik di mana agama, ras, kelas soisal menjadi satu... hehe

"setiap individu menjadi pemimpin dirinya sendiri", itu klo anda mau menjadi individualis, nyatanya orang selalu berada di "yang sosial" betapapun ia dianggap mati oleh Baudrillard dan "posmodernis" lainnya....dan tiap relasi membutuhkan aturan, dan tiap relasi ada kepentingan, hehehe....

Anonim mengatakan...

@ Edy:
Saya sebenarnya sudah cukup penjelasan, tapi kelihatannya isi otak anda sudah penuh dengan "teori filsafat", jadi barangkali sulit untuk dibuka. Tapi tidak apa2 , penjelasan saya akan saya ulangi.

Solusi saya jelas:
Solusi di saat tiran negara membesar, bagi saya adalah memeluk erat-erat anarkisme ataupun memperjuangkannya (itu adalah solusi bagi saya).
Tapi kalau sebagai intelektual anda masih mencintai negara, ya silakan...semoga imajinasi anda terwujud (dan saya kira tidak usah diwujudkan, karena sekarang memang sudah terwujud. Selamat ya)

Contoh empiris:
Nyatanya suku Samin masih tertib tanpa negara? (kalau mau bukti anda boleh ke wilayah polinesia, melanisia) tapi kalau anda ingin lihat kekejaman negara, lihatlah Zimbabwe.
----------------------------------
"Saya hanya berdoa bagi anda, semoga jalan sejarah tidak berbelok arah..."

Salam Anarkis

Anonim mengatakan...

pertama, saya cukup puas dengan kejujuran jawaban mas gie.ternyata yang anda maksudkan adalah kesetujuan pada hasil observasinya. untuk hal ini, saya juga setuju (seperti yang saya tuliskan di comment artikel luluk).

dalam penangkapan saya sebelumnya, kesetujuan mas gie tidak dalam hasil observasi machiavelli melainkan pada rekomendasinya.sebab, kesetujuan pada rekomendasi machiavelli sangat bertolak belakang dengan filsafat 'anarkisme' yang ingin menolak segala "yang mungkin" itu, dalam hal ini kita bicara tentang negara.

kedua,"boleh donk kalau saya mengimajinasikan negara itu bubar?"
saya menjawab rada tegas, boleh saja. sebab,saya pikir imajinasi bukanlah tindakan kriminal.hanya, persoalannya kemudian;apakah bentuk dari 'imajinasi' anda itu setelah negara runtuh? hanyakah sebatas 'supremasi individu' atau 'setiap individu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri'? saya kira ini pertanyaan yang ingin disampaikan juga oleh cak edsu.

kira-kira, bagaimana dengan 'liyan'? atau tepatnya, dimanakah letak 'liyan' (yang dengannya,menurut saya,masih dimungkinkan terwujudnya kolektivitas sadar/tanpa paksaan yang berbasiskan kebebasan) dalam filsafat anarkisme mas gie?

ini dulu saja, mas.

salam Imagine!
taufiq

Anonim mengatakan...

Walaupun belum sempat saya teliti, barangkali jawaban saya sementara ialah: MASYARAKAT BEBAS! Terima kasih telah memberi saya Pekerjaan Rumah untuk menyelidiki konsep tersebut.

Bayangkan, kalau saya sekarang punya sedikit uang dan ingin pergi ke benua Eropa tanpa membeli paspor? indah nian bukan.

Atau saya ingin cari jodoh cewek dari suku Thai tanpa harus minta izin pemerintah Thailand? indah nian bukan!ha2...

Salam anarkis.

Anonim mengatakan...

he he...
sangat indah, mas.

oke. Saya catat pergeseran jawaban anda; MASYARAKAT BEBAS, bukan INDIVIDU BEBAS.

Baik, saya tunggu hasil PRnya (konsep masyarakat bebas itu), mas.he he...

Sekadar catatan;yang terpenting bagi saya adalah apakah "wujud" baru konsep post-negara itu adalah sebuah "gerak maju" yang semakin mendekati "apa yang tak mungkin" itu ataukah malah sebuah "gerak mundur" yang semakin menjauhkan dari "yang tak mungkin" itu atau gerak mundur yang kembali pada apa yang lampau dalam "sejarah".

sederhannya, apakah "wujud" baru itu lebih baik dari negara atau tidak? Jika "wujud" baru itu adalah "wujud" yang sudah pernah ada, bagi saya itu hanya perulangan "sejarah" yang pasti lebih buruk dari negara.

satu-satunya yang mungkin, menurut saya, adalah "wujud" konsep yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. seperti halnya kebaruan konsep negara sebelum plato.apakah itu? dan apakah hanya untuk itu?

taufiq

Anonim mengatakan...

wah belum bisa kejawab, namanya juga PR. Toh kalau ndk kejawab juga saya tidak merasa khawatir, namanya aja imajanisi.

Kalau diraba-raba ada banyak konsep: dari Younkin (free Society), Soros (Open Society), Foucoult (masyarakat yang sehat: yang ini saya belum punya bukunya, boleh donk pinjem) dsb...dsb...

Tapi saya bersyukur, setidaknya kegiatan refleksi, analisa dan sintesa telah terjadi...dan loncatan imajinasi untuk membayangkan suatu yang lain selain negara itu ialah hal lain.

Ibarat beristri, negara sedang di"talak" tapi belum ketemu calon penggantinya,he2...

salam Imagine!

Anonim mengatakan...

"Solusi saya jelas:
Solusi di saat tiran negara membesar, bagi saya adalah memeluk erat-erat anarkisme ataupun memperjuangkannya (itu adalah solusi bagi saya."

Pertanyaan saya yang begitu jelas belum terjawab, apa yang lebih baik dari negara???? itu belum terjawab dalam argumen anda kang....gimana ini...??? saya tidak bicara negara saat jadi tirana tau bukan, tapi apa yang lebih baik dari negara??? titik...jawabnya apa....?? gitu...apa kurang jelas pertanyaan saya??? hah...

"Tapi kalau sebagai intelektual anda masih mencintai negara, ya silakan...semoga imajinasi anda terwujud (dan saya kira tidak usah diwujudkan, karena sekarang memang sudah terwujud. Selamat ya)"

Saya kira pernyataan gus taufik cukup mewakili komentar saya...

"Nyatanya suku Samin masih tertib tanpa negara? (kalau mau bukti anda boleh ke wilayah polinesia, melanisia) tapi kalau anda ingin lihat kekejaman negara, lihatlah Zimbabwe."

hehehe....makanya pertanyaan saya adalah apa yang lebih baik dari negara dalam upaya memberikan ketertiban, keamanan, dll itu di mana di dalamnya ada ras, etnik, agama, dan kepentingan politik (serta yang lainnya) yang beragam.... anda semestinya sadar dulu bahwa Samin itu satu etnik, bukan plural....eskimo juga satu etnik, dan contoh lainnya di melanesia itu....
"mau lihat kekejaman negara"....gak usah ke zimbabwe...kekejama dalam arti kekerasan simbolik...ah itu khan masih ada di negara kita, gimana sie...hehehe....

ikut sedikit komen atas komen anda pada gus tauf, ya...selalu ada pergeseran pendapat, ada kontradiksi, ada ketidakkonsistenan....makanya sebenarnya gunanya banyak membaca dan belajar teori adalah agar artikulasi kita dalam berargumen lebih baik ketimbang orang yang emosi....hehehe....

salam,

Anonim mengatakan...

@Edy:
No Comment

Anonim mengatakan...

saya pikir, mas Gie sudah menjawab pertanyaan Cak Edsu tentang; apakah ada yang lebih baik dari negara? ma Gie menjawab; belum tahu. Saya kira ini sebuah jawban yang jujur dan apresiatif.

posisi mas Gie sekarang sebenarnya seperti orang sedang NGLINDUR saat tidur; diantara dua dunia. Dia sedang di perbatasan, Cak. Dia ingin keluar dari penjara negara tetapi dia belum bisa menjebol tembok yang masih kukuh itu. juga, yang paling berat; belum ada gambaran di luar tembok penjara negara itu ada apa? mau kemana? mau apa? Ini seperti posisi anak bayi yang belum tahu konsep "1+1=2". sebelum tahu "1+1=2" si bayi berusaha terus untuk menjebol pengetahuannya agar dapat melihat konsep "1+1=2" itu. menurut saya, ini posisi semua kita yang merindukan kebaruan-kebaruan sistem yang belum pernah ada sebelumnya. yah, semacam kebaruan negara bagi masyarakat sebelum Plato. "1+1=2" adalah "negara", dan "bayi" adalah "masyarakat sebelum plato".

Itu menurut saya. mungkin mas Gie mempunyai jawaban sendiri, saya tidak tahu.

persoalannya bagi saya;apakah hanya untuk itu? apakah usaha untuk mewujudkan keadilan, kebenaran,kesamaan dan semua yang bernada "apa yang tak mungkin" itu, kita harus menunggu ditemukannya konsep "sesuatu yang baru yang bukan negara" tersebut?


Salam,
Taufiq

Anonim mengatakan...

@Taufik
Terimakasih atas pelurusannya. Sebenarnya saya sudah menengok berbagai 'gagasan', tapi saya belum banyak mendapat kepastiaan yang patut untuk diapresiasi...tapi setidaknya ada kesepahaman sebagian pemikir: seperti: Lao Tzu, Zeno (sebelum Masehi), Rothbard, Nozick, dan entah berapa banyak yang menemukan bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam. Menurut mereka, manusia apabila semakin tidak mendapat tekanan, maka mereka akan cenderung bahagia. Sebaliknya, kerusakan sebenarnya diakibatkan oleh tekanan kekuasaan politik. Ada beberapa model komtemperer untuk komunitas2 masyarakat non-negara (semisal Vatikan), atapun suku-suku yang masih mampu mempertahankan tradisi mereka (yang pernah saya contohkan diatas)...

Artinya, saya sebenarnya tidak berhasrat untuk memberi sebuah solusi revolusioner....tapi saya cuma berusaha untuk menjelaskan berkali-kali (walaupun masih ada yang kolot) bahwa organisasi negara sangat berbaya bagi manusia (karena Saya pribadi merasakan dampaknya sendiri:sebagai anak petani)...

Artinya, solusi bukan terletak pada sistem itu sendiri, tapi bagaimana manusia 'seharusnya' beraksi terhadap problem kemanusiaannya...

Anehnya, intelektual malah sering mendorong negara untuk memperparah dehumanusasi itu sendiri...tapi jujur, saya menduga, problem sebenarnya ialah pada (kebodohan) intelektual itu sendiri...

Menyedihkan bukan?

Anonim mengatakan...

oh ya kalau mau menyelidiki sendiri, ada beberapa (yang saya copy paste, walaupun sebagian sudah saya baca)...tokoh kontemporer anarkis: 1548 – Étienne de la Boétie, 1793 – William Godwin,
1825 – Thomas Hodgskin,
1840 – Pierre Proudhon,1844 – Max Stirner, 1849 – Henry David Thoreau, 1849 – Frédéric Bastiat, The Law , 1849 – Gustave de Molinari,1851 – Herbert Spencer,
1866 – Michael Bakunin,1867 – Lysander Spooner,1886 – Benjamin Tucker, 1902 – Peter Kropotkin, 1917 – Vladimir Lenin, 1935 – Albert Jay Nock, 1962 – Murray Rothbard, 2001 – Kevin A. Carson.

Dugaan saya, teori-teori mereka tidak akan masuk ke kelas formal milik negara... dan pendidikan adalah salah satu sumber kerumitan masalah tersebut...

Sekali lagi saya teguhkan, saya tidak berhasrat menjadi 'raja filsafat', atapun berhasrat menemukan konsep 'pengganti negara'...tapi hasrat saya adalah menjelaskan dan terus menjelaskan, walaupun saya akui, saya sering merasa gagal....tapi saya akan terus berusaha

Salam Anarkis

Anonim mengatakan...

Hehehe...bukankah semestinya intelektual dapat jujur jika belum dapat menjawab??? belum menemukan katakan saja emang belum menemukan jawaban yang aps, jadi "jawaban" yang diberikan tidak apologetik...defensif dan seakan terlihat "pokoke"...yah saya katakan kengeyelan dogmatis (dalam banyak forum diskusi lainnya itu...).

penjelasan kang gie bahwa negara sangat berbahaya tidak kena sasaran karena negara dianggap sama dalam semua hal, padahal ia telah menuliskan Machiaveli, artinya ada konsep negara tiran, ada pula konsep welfarestate, ada pula konsep lainnya, dengan demikian anarkisme yang mesti dilakukan adalah bukan menolak negara, tapi bagi saya lebih tepat menolak tiran, otritarianisme, rezim represif, dan lainnya itu..

bagi saya orang yang anti-politik dalam pengertian luas tidak sekadar politimpraktis via partai politik dan sistem formal pemilihan dalam mekanisme politik demokrasi, adalah orang-orang yang memang berada pada jalan kebebesan ekonomi neoliberal (dalam ekonomi) dan akan cenderung seenaknya sendiri tanpa aturan, padahal pada hakikatnya ia sendiri dengan demikian telah berpolitik untuk tidak ikut mainstream politik, melainkan membentuk tatanan politik baru yang hanya akan menguntungkan dirinya sendiri.

kebahagiaan orang yang tidak ditekan adalah jelas, tapi pertanyaan saya dulu adalah, bukankah kekerasan simbolik, eksploitasi kaum borjuis kapitalis jgua merupakan kebahagiaan menurut mereka? kebahagiaan yang tak terkendalikan disebabkan adanya "lack" dalam konsepsi Lacanian sebagai hasrat yang tidak pernah terpenuhi ini, termasuk juga konsepsinya will to power-nya Nietzsche adalah berbahaya ketika tidak ada mekanisme yang mengaturnya, kang gie...dalam komunitas kecil vatikan, samin, itu gampang bisa mengatur karena ada kesepahaman norma, nilai, agama, etnik, masalahnya tidak segampang itu ketika melihat realitas plural masyarakat. memang dalam komunitas itu terlihat bebas, ah apa iya...mereka untuk mekanisme penegndalian hasrat berkuasa kan mesti ada tata tertib, ada hukum, tanpa itu adalah chaos. mereka adalah miniatur negara, ....

"...bagaimana manusia bereaksi terhadapnya..." ..???? ya jelas mesti bereaksi, tapi jawaban kang gi, atau argumentasinya gak jelas...dan adaknya tidak pernah jelas, reaksinya bagi saya adalah memperbaiki negara agar tidak menjadi tiran dengan berbagai amcam mekanisme pengawasan dan lainnya, bukan reaksi seperti nihilis yang "menyerah" dan merasa tidak memiliki apa-apa...penjelasan anda akan selalu gagal dan selamanya akan gagal ketika tidak terartikulasikan dengan baik, kenapa? karena terdapat kontradiksi dalam pemahaman anda...termasuk argumen anda yang agaknya selalu ada pergeseran sebagaimana dinyatakan gus tauf di atas..

ya, saya setuju tidak semestinya intelektual mendorong dehumanisasi, sebagaimana yang dilakukan para positivis yang merengsek masuk dalam disiplin humaniora dan merasa harus menjelaskan fenomena sosial dalam kerangka paradigmatis positivistik, termasuk dalam hal negara yang tidak semestinya dibaca secara hitam putih dalam perspektif positivistik...

Salam,

Anonim mengatakan...

Artinya, solusi bukan terletak pada sistem itu sendiri, tapi bagaimana manusia 'seharusnya' beraksi terhadap problem kemanusiaannya...
-mas gie-

ya, saya setuju tidak semestinya intelektual mendorong dehumanisasi, sebagaimana yang dilakukan para positivis yang merengsek masuk dalam disiplin humaniora dan merasa harus menjelaskan fenomena sosial dalam kerangka paradigmatis positivistik, termasuk dalam hal negara yang tidak semestinya dibaca secara hitam putih dalam perspektif positivistik...
-cak edsu-

satu yang saya catat; dua pemikir kita ini sepalat pada satu hal, yaitu perjuangan kemanusiaan.artinya, segala bentuk penindasan terhadap kemanusiaan (di dalamnya termasuk adalah kebebasan, hak,dsb) haruslah dilawan.

pada mas Gie saya melihat bahwa negara sama sekali tidak mempunyai peluang untuk menghentikan penindasan pada kemanusiaan (dalam hal ini tema kebebasan menjadi sangat penting dalam pemikitan mas Gie)yang dilakukannya. negara adalah penindas bahkan sejak baru dilahirkan, demikian kita-kita yang saya tangkap.

sedangkan pada cak edsu, negara merupakan sebuah ruang kosong yang bebas untuk diperebutkan oleh siapa saja. cak edsu melihat negara yang ada sekarang terpegang oleh mereka yang menindas kemanusiaan (dalam hal ini, ideologi neo-liberalisme yang berlandaskan kebebasan merupakan sumber mala petaka tersebut).pada cak edsu saya melihat masih ada kemungkinan lain untuk merebut "ruang kosong" negara dari tangan para penindas tersebut. tentu, dengan konsekuensinya yang baru, yaitu dia (yang akan merebut tuang itu) secara otomatis akan menjadi penindas baru bagi mereka yang tersingkirlan (dalam hal ini para kapitalis).demikian kira-kita yang bisa mengerti dari cak edsu.

letak perbedaan keduanya tersebut menarik untuk dicermati.saya senang keduanya masih percaya pada perjuangan melawan penindasan terhadap kemanusiaan.

sebab, bahkan semua yang bernada kemanusiaan (keadilan, kebebasan, perdamaian, kesamaan, dsb) adalah sebuah imperatif, demikian Foucault mengingatkan.artinya, dengan memperjuangkan kemanusiaan kita sebenarnya sedang melakukan "penindasan" terhadap mereka yang anti-kemanusiaan. "penindasan", dengan demikian, adalah sesuatu yang sepertinya tak mungkin terelakkan dalam kehidupan kita. soalnya, apa yang kita "tindas"? untuk siapa kita "menindas"?

salam,
taufiq

Anonim mengatakan...

Ya Gus, saya bisa pahami itu... makanya saya termasuk yang tidak sepakat pada kebebasan mutlak, ah mana ada?? dan koersi sebagaimana dulu dalam "perdebatan" kecil saya dengan Bung Nad selalu muncul dalam bentuknya yang paling primitif sekalipun, koersi ini dalam term gus tauf adalah penindasan yang selalu kita lakukan karena kita dalam memperjuangkan suatu yang imajinatif sekalipun sebenarnya -dengan terlebih dahulu melalui penalaran ontologis-metafisis- merupakan satu bentuk koersi-penindasan atas yang lain.

apa yang gus tauf khawatirkan adalah sama sebagaimana pameo tentang sesat logika dari pluralisme -dan mungkin juga multikulturalisme- bahwa bagaimana pluralisme mengandung dan mengakomodasi paham yang begitu plural termasuk yang tidak setuju dan akan membunuh pluralisme itu sendiri.

selanjutnya agaknya diskusi kita kemudian bergeser pada sebuah standar kemanusiaan universal yang mesti dijunjung dan perjuangkan, norma, nilai, kebaikan, kejujuran, keadilan, untuk kemanusiaan, atas nama kemanusiaan. sebagaimana argumen saya dulu, dan hal ini linier dengan argumen saya akan pentingnya ia dalam memberikan ketertiban termasuk dalam bentuknya yang paling ekstrim dan rigid adalah hukum bersama yang mesti dipatuhi dalam ruang publik, dengan kata lain memang -dengan mengamini Foucault- koersi (termasuk penindasan) mesti diberikan ketika ia memang diperlukan dalam bentuknya yang riil berupa penyingkiran, perebutan kekuasaan,

eventhough, yang mesti dilakukan adalah memberikan proporsi yang wajar, sejauh mana penindasan tersebut dapat ditoleransi oleh kemanusiaan, demi dan atas nama memperjuangkan kemanusiaan juga. penindasan dengan begitu bagi saya adalah daya dobrak atau seperti yang sering dikatakan oleh mas yudhi latif adalah creative destruction (pembongkaran kreatif) dengan kembali menghidupkan subjek yang telah dicobamatikan oleh epistemologi posmo.

jadi, kata tepatnya mungkin bukan penindasan, melainkan pembongkaran, penjebolan, yang memang meniscayakan sesuatu yang dijebol itu rusak, tersingkirkan, hancur, atau bahkan hilang, tapi agaknya alasan yang cukup dapat diterima dari creative destruction tersebut adalah dalam kerangka untuk membangun sesuatu yang lebih baik lagi, mungkin ia berasal dari masa lalu yang dihilangkan oleh dinding yang dicobajebol itu, atau ia merupakan imajinasi baru, sebuah simulacrum yang tidak terdapat referensi atau rujukannya di alam riil pada waktu lampau dan sekarang, yang berdasarkan pada habitus dan daya imajinasi-kreatif berupaya untuk membuat sesuatu yang baru...

bagaimanapun filsafat kemanusiaan ala renaisance, kesadaran ala marxian, optimisme neo-marx mazhab frankfurt, termasuk semangat menghidupkan subjek oleh Zizek tetap mesti kita hidupkan!!!

tugas berat para intelektual adalah memikirkan kembali bagaimana proporsi, "standar", konvensi, agar "penindasan" dapat menjadi creative destruction...

mungkin itu, oh iya...bwt kang gie, mungkin gus tauf bisa bantu tuk mencarikan bukuny a Robertus Robert tentang republikanisme terbitan marjin kiri, tipis bukunya tapi lumayan bisa menjelaskan ide-ide tentang negara (terutama ide republikanisme), juga marjin kiri telah menerbitkan buku seri tentang anarkisme sebagai sebuah ideologi yang dalam sejarahnya menetang hebat tirani, menentang neoliberalisme-kapitalis-borjuis, sepertinya terbitan baru (2008), walaupun terejmahan...saya kira kualitas terjemahan yang diterbitkan oleh marjin kiri dengan pengantar dari daniel hutagalung lumayan bagus....yah semoga kang gie lebih dapat memahami apa itu anarkisme...


salam, Ed Khan...

Anonim mengatakan...

"yah semoga kang gie lebih dapat memahami apa itu anarkisme..."

Giy
pernyataan yang menarik.....

Anonim mengatakan...

memang banyak pemikir yang menyayangkan matinya Foucault yang mendadak. sebab, sebenarnya ia dalam masa transisi dari tema penting pemikiran-pemkirannya terdahulu, yaitu kekuasaan (power) bergeser pada subjek. pemikiran-pemikiran Foucault masa-masa awal (dalam Discipline and Punish, The History of Madnesh, The Archeology of Knowledge, dll) memang berbicara banyak tentang Power. Tetapi seperti ditunjukkan dalam berbagai interview menjelang akhir hayatnya di tahun 1984, Foucault banyak berbicara tentang subyek. Pada pemikiran awalnya tersebut, dia dimasukkan dalam kategori posmodernisme, dikarenakan ketakberdayaan subyek atas kekuasaan yang dikukuhkan oleh struktur-struktur modernisme.mungkin, Foucault belum sempat menuliskan tema itu dengan cukup luas. Tapi, konon di The History of Sexuality jilid 2 dan 3 dia sudah mulai bicara tentang subyek.

saya sendiri juga belum tahu banyak tentang tema ini. setidaknya, kesadaran akan relasi kuasa dalam segala lini kehidupan (juga di dalamnya dalam pengetahuan)membuat kita untuk tetap kritis terhadap segala produk sosial dan gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitar kita.

mungkin semacam kesadaran, "aku berkuasa maka aku ada". soalnya yang tidak jelas (setidaknya bagi saya sendiri) adalah "berkuasa untuk apa dan berkuasa untuk siapa?". sebab, jika untuk kemanusiaan, maka "kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran yang bagaimana"? inilah soal klasik bagi saya; apakah kemanusiaan 'yang sejati' itu? sampai di sini, saya merasa tidak dapat menangung sendirian kutukan ini.saya membutuhkan 'liyan' untuk bicara... saya persilahkan 'liyan' untuk 'menindas' saya,bahkan juka bisa sampai saya tumbuh jadi sesuatu yang selalu baru setiap waktu...

maka 'tindas'lah saya, saudara-saudara...(asal jangan dengan palu arit dan linggis, he...)

Anonim mengatakan...

saya pikir itulah gunanya filsafat, karena manusia, kemanusiaan, kedirian, selalu tidak habis dibicarakan...secara filosofis, karena itulah gunanya merawat pertanyaan,...

Anonim mengatakan...

Ya akhirnya filsafat menjadi alat praksis bagi sebuah revolusi? benarkah demikian? Politik bagi Hannah Arent tak lebih dari "phaletieia" strategi persuasi untuk urusan dalam negeri dan "bia" kekerasan dan paksaan guna urusan luar negeri. Negara harus berpihak pada rakyatnya, dan mengeksploitasi pihak lain di luar negara untuk sebesar-besarnya keuntungan negara. Bukannya negara-negara maju like an american melakukan hal seperti ini. Indonesia akan maju jikalau yang ditindas bukanlah rakyatnya sendiri, melainkan harusnya negara-negara lain untuk melanggengkan kekuasaan demi kemakmuran bangsa Indonesia

Anonim mengatakan...

Polemologi sebuah disiplin yang di cari-cari saat ini. Bukan saja di dalamnya yang memuat sebab-sebab terjadinya perang, bukan saja menjelaskan secara diskriptif peta politik pihak-pihak negara yang melangsungkan peperangan semasa perang dunia kedua dan ketiga, tetapi juga memberikan alternatif penyelesaian perang. Konsep mitologi Yunani cendrung memaknai bahwa negara haruslah bersifat paternalistik. Sebagaimana seorang ayah yang memberikan ketegasan dan sentuhan kasih sayang dengan landasan yang merupakan tindakan yang berorientasi pada kebahagiaan sang anak itu sendiri.

Anonim mengatakan...

It's an awesome piece of writing in support of all the internet visitors; they will obtain advantage from it I am sure.

My weblog: cooking games
My webpage: cooking games

Anonim mengatakan...

Thanks for finally writing about > "MEMBACA IL PRINCIPLE, MEMAHAMI MACHIAVELLI"
< Liked it!

My webpage - pizza games

Anonim mengatakan...

What's up, the whole thing is going nicely here and ofcourse every one is sharing information, that's genuinely excellent, keep
up writing.

my blog :: buy instagram followers

Anonim mengatakan...

I absolutely love your website.. Excellent colors & theme.

Did you develop this site yourself? Please reply back as I'm looking to create my own blog and want to find out where you got this from or exactly what the theme is called. Appreciate it!

Here is my web-site :: how to get followers on instagram

Anonim mengatakan...

[url=http://www.grnbuildersinc.com/]Fake Oakleys[/url] Why not? Come to see me whenever you like.My watch is faster than yours. I see what your meanDon't forget to keep in touch.what a lovely little girl she is!He has a large income.They played a shameful part in the whole affair.Time is running out.He suddenly appeared in the party.

[url=http://www.resorthomesgalveston.com/]Discount Oakley Sunglasses[/url] Great efforts ensure the success of our work.It doesn't make sense. I suppose you dance much.He dreamed of traveling to remote South Sea Islands.Keep your temper under control.If you would only try, you could do it.If you would only try, you could do it.My mouth is watering.I have never seen the movie.What be said did not annoy me much, for I knew he did not mean it.

[url=http://www.nocandyasses.com/]Fake Oakley Sunglasses[/url] I go to school by bike every day.No way!A wet road is usually slippery. How did the game turn out?your face is as white as a sheet.All my best memories come back clearly to me, some can even make me cry.A good knowledge of English will improve your chances of employment.May I speak to Lora please? That's all I need.She teaches foreign students Chinese.