Oleh Ahmad Fahmi Mubarok*
Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata?
Pada ujian tengah semester beberapa minggu lalu, dalam mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi, saya mendapatkan soal yang kurang lebih berbunyi “Bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu bersifat multiple meaning. Jelaskan hal tersebut, disertai contoh!”.
Jika tidak salah, multiple meaning dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan “mempunyai arti banyak”. Dalam pengandaian ini, hubungan antara kata-makna diandaikan sebuah hubungan yang mutlak, bahwa kata selalu mempunyai makna tertentu, dan makna itu tidaklah tunggal. Kata, sebagai penanda (signifier) selalu merujuk pada sesuatu, yang disebut petanda (signified), yang tidak tunggal.
Kata “kursi” misalnya, selalu merujuk pada benda yang bisa diduduki, berbentuk angka 4 terbalik.
Dalam konstruk semacam ini, kemudian saya bertanya-tanya. Jika kata, sebagai anasir dari bahasa, yang memang mempunyai fitrah sebagai alat komunikasi manusia, tetapi di mana letak peran manusia itu sendiri? Paradigma semacam itu justru menganggap kata dan bahasa dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya, telah selesai, dan berdiri sendiri. Dan manusia, dianggap seperti tong, yang hanya bisa menampung apapun yang dimasukkan ke dalamnya. Manusia, dipandang sebagai sesuatu-bukan seseorang- yang tak punya kemampuan apapun. Tapi bisakah, bahasa dilepaskan dari manusia?
Kita, manusia, berhubungan dengan diri sendiri dan liyan (yang lain), melalui satu proses, yang disebut “komunikasi”. Sedang alat yang digunakan adalah “bahasa”. Bahasa di sini, tentu saja bahasa dalam arti luas, yang bukan sekedar susunan kata, tetapi juga bahasa tulis, cakap, dan laku. Bahasa, di sini adalah sesuatu (dalam bentuk apapun) yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan “apa yang ingin disampaikan”. Dalam bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu ada pengirim, penerima, dan maksud (pesan) itu sendiri.
Saya, melalui tulisan ini, berbicara kepada Anda, dengan maksud tertentu. Kemudian Anda berusaha untuk memahami, dan meraba-raba apa yang saya maksudkan. Apa yang Anda lakukan tersebut, adalah suatu proses, yang disebut “menafsir; menginterpretasikan”. Anda, manusia adalah “seseorang”, bukan sekedar “sesuatu”, yang selalu membawa kemampuan untuk mendistorsi. Di sinilah, titik sentral yang membuat makna kata selalu bersifat dinamis dan tak pernah sampai titik yang final. Sehingga rabaan Anda tentang “apa yang saya maksudkan”, bisa berakhir secara penuh, tidak penuh, lebih dari penuh, atau justru sama sekali berbeda dari “apa yang saya maksudkan”. Selalu ada distorsi dalam proses komunikasi.
Mungkin demikian, yang dimaksudkan oleh Jaqcues Derrida, bahwa makna sebuah kata, tidak pernah hadir secara utuh. Makna, hanya diandaikan hadir, dan itu disebutnya sebagai “metafisika kehadiran”. Seperti ketika berjalan di atas tanah yang agak basah, akan ada bekas jejak yang terbentuk. Dan makna kata adalah jejak-jejak tersebut, yang jika kita telusuri, kita hanya menemukan jejak lagi, dan lagi.
Kemudian Roland Barthes, dengan langkah yang lebih jauh, mengatakan bahwa “penulis telah mati”. Maksud saya, mungkin Barthes ingin mengatakan bahwa dalam sebuah proses komunikasi, pengirim pesan telah mati, dan yang hidup hanya tinggal penerima, melalui penafsiran yang dilakukan (oleh penerima pesan). Makna bukan tidak ada, melainkan selalu tersembunyi dalam kepala pengirim pesan, sedangkan si pengirim pesan tak bisa menyampaikannya tanpa melalui bahasa. Sedangkan penerima pesan pun tak bisa langsung menerima makna, dia hanya bisa mengira-ira (melalui tafsir dan interpretasi) makna dari kata yang disampaikan oleh si pengirim pesan.
Saya, menuliskan panjang lebar, dengan rangkaian banyak kata (dan pengandaian makna) semacam ini, terkait dengan trajektori hidup saya, dari lahir sampai sekarang. Juga Anda, yang membaca dan menafsirkan apa yang saya tulis, mempunyai trajektori hidup yang tentu berbeda dengan saya. Manusia, demikian kata Heidegger, selalu dalam keadaan terlempar ke dunia, dalam konstruk budaya, bahasa, struktur pergaulan, dan sebagainya. Tetapi saya bisa bercakap lancar dengan teman-teman saya, juga dengan Anda, terjadi karena keuntungan atas keterlemparan kita di dunia. Hal ini terjadi karena adanya persinggungan dalam trajektori hidup kita, bahwa saya dan Anda, sama-sama terlempar di ruang geografis yang sama (kota Semarang), dalam bahasa yang sama (setidaknya bahasa Jawa dan Indonesia). Dan kita, yang terlahir dengan semua yang sudah ada-dalam hal ini adalah budaya dan bahasa- dalam berkomunikasi, secara tidak langsung telah menyepakati “makna” tersebut.
Sebagai contoh, dalam Kompas Mahasiswa edisi sebelumnya, terdapat sebuah artikel berjudul “Diskursi Homoseksual”. Saya, yang secara kebetulan berposisi sebagai pembaca, sebenarnya tidak pernah menemui kata “diskursi” sebelumnya, dan mungkin kata tersebut memang tidak ada di dalam kamus Bahasa Indonesia jika saya berusaha mencarinya. Tetapi, sebelumnya saya pernah menemui kata “diskursus”-yang juga dianggap sebagai titik sentral dalam konsep masyarakat komunikatif a la Jurgen Habermas-, sehingga saya memutuskan untuk memahami “diskursi” sebagai “diskursus”. Hal yang sama juga terjadi saat saya membaca tabloid Nuansa (entah edisi berapa, saya lupa), yang terdapat artikel berjudul “Prestisisme Intelektual”. Seperti kata “diskursi”, saya pun mengalami kebingungan dalam mengira-ira makna kata tersebut. Kemudian saya mencoba memahami artikel tersebut, dan menyimpulkan “mungkin yang dimaksud penulisnya adalah “elitisme”, bukan “prestisisme”.
Dari contoh tersebut, terlihat bahwa manusia, dan secara tidak langsung budaya, memberikan pengaruh besar dalam proses ke-tidakselesaian bahasa. Meskipun kata “diskursi” dan “prestisisme” bukanlah kata yang wajar digunakan, toh kata tersebut terlanjur digunakan. Dengan proses yang identik, maka akan selalu lahir kata baru dalam bahasa tertentu. Dan makna yang dirujuk dalam setiap kata, selalu dalam posisi mengambang, yang dengan leluasa ditarik ke sana-sini.
Saya ingin mengajak Anda membayangkan, bahwa kita (saya dan Anda) adalah manusia pertama di Bumi. Kemudian saya berucap “palu” seraya menunjuk pada tubuh saya, dan berucap “sandal” seraya menunjuk pada Anda. Mungkin saja, sampai keturunan kita berkembang menjadi ribuan, kata “palu” adalah “saya”, dan “sandal” adalah berarti “Anda”, dalam pemahaman kita sekarang.
Kata, bagi saya tidak tepat jika disebut multiple meaning. Kata, dalam keterkaitannya dengan makna, selalu bersifat multitafsir, karena terdapat jarak, antara apa yang dimaksud oleh pengirim pesan dengan apa yang ditangkap oleh penerima pesan. Dan dalam jarak tersebut, hanya penerima pesanlah, yang bisa selalu aktif, untuk terus menelusuri jejak-jejak makna.
Selasa, Desember 02, 2008
Tentang Kata, Kemudian Makna (?)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar