online degree programs

Kamis, Desember 04, 2008

PANOPTIKON DAN "EMOH SOSIAL": MENYAPA FOUCAULT


Saya bermula dari sebuah kegelisahan yang sederhana dan jamak. Kita seringkali mengeluh begini “orang-orang pada sadar bahwa ada masalah di lingkungannya dan juga sadar bahwa dia juga menjadi korban dari masalah itu, tetapi; mengapa semua diam dan tak mau beraksi untuk merubah keadaan?”.


Anda bisa menginventarisir contoh masalah macam ini di lingkungan mana saja. Coba kita lihat di lingkungan mahasiswa, misalanya. Di banyak kelas, para mahasiswa sudah gerah sekali dengan para dosen yang sering bolos dan kalau memberi nilai semaunya sendiri. Belum lagi kualitas si dosen yang sekualitas guru TK. Maka terjadilah perbincangan kecil diantara mereka di kantin, di kos, di masjid, di jalan-jalan bahkan di saat dosen sedang mengajar mereka. Hasutan, cacian, makian, cercaan, sumpah serapah terlontarkan di ruang-ruang kecil mereka. Tetapi apakah mereka berani berbuat sesuatu untuk melakukan perubahan keadaan di ruang-ruang publik baik secara tersisitematis atau secara “manual”? Misalnya mengajak dosen bicara empat mata, mendatangi dosen mengajak dialog, melakukan protes terbuka apalagi demonstrasi? Mengapa ini terjadi bahkan pada sebuah lingkungan yang sangat kecil?

Di lingkungan yang lebih luas kita bisa menyaksikan fenomena serupa. Catat saja, di lingkungan fakultas, universitas, kepala desa, kabupaten, provinsi, negara bahkan hubungan antar negara. Berapa banyak orang yang mengeluhkan kenaikan biaya SPP tetapi berapa banyak yang mau menyuarakannya. Berapa banyak orang yang mencaci keputusan kenaikan BBM tetapi berapa banyak yang melakukan demonstrasi. Berapa banyak yang mengumpat Amerika tetapi berapa banyak yang berani turun ke jalan. Berapa banyak lagi kasus-kasus serupa terjadi dengan juga berapa banyak orang-orang yang terlibat memperjuangkannya?

Tiba-tiba kita merasa sampai pada sebuah jalan buntu yang sepertinya “normal” tapi rancu dan aneh; orang-orang sadar menjadi korban tetapi mereka diam tak bersuara dan tak berbuat sesuatu. Mengapa fakta yang janggal bin aneh ini terjadi di banyak tempat dimana-mana dari dulu hingga sekarang?

Hampir semua kita yang merasa peduli pada “masalah bersama” atau “masalah sosial” dengan setengah frustasi pasti pernah merasakan perasaan yang sama seperti itu. Juga, pasti muncul pertanyaan yang sama; mengapa bisa begitu? Apa hal-hal yang menyebabkannya? Bagaimana membuat orang-orang tersebut sadar dan berani merubah keadaan? Apakah saya hanya akan berhenti pada pertanyaan–pertanyaan ini?

Bagi anda yang percaya dengan teori konstruksi sosial maka mari kita telusuri bersama masalah ini dengan saya. Pertama-tama, sebuah konstruksi sosial pasti berkaitan dengan konteks yang melahirkannya. Dimana dan kapan semua fakta “emoh sosial” tadi terjadi. Kita menjawabnya bahwa era kapitalisme lanjutlah yang melahirkan masyarakat yang demikian. Jika iya, bagaimanakah mekanisme kapitalisme lanjut bekerja melahirkan masyarakat yang “emoh sosial” seperti tadi? Bisa-bisanya kapitalisme lanjut mengindividualkan manusia sekaligus juga menjadikannya sebagai korban dari sistem yang dibuatnya itu?

Lalu saya bertemu dengan “sejarah kecil” tentang salah satu teori Michael Foucault, yaitu teori Panoptikon. Apa itu Panoptikon? Sederhananya, Panoptikon adalah mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan. Anda pasti tahu bahwa pengawasan selalu mensyaratkan pengetahuan. Seorang bapak yang mengawasai anaknya pasti juga mengetahui anaknya. Soalnya adalah jika ternyata si bapak hanya sekali mengawasi dan memergoki anaknya pacaran tetapi ternyata si anak selalu merasa terus diawasi oleh bapaknya dimanapun dia berada saat pacaran. Inilah panoptikon.

Sebenarnya, Foucault belajar dari proposal Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris, tentang konsep penjara modern di abad ke 16 yang dia beri nama Panoptikon. Inti dari konsep penjara yang digagasnya adalah para tahanan merasa selalu diawasi oleh penjaga walaupun pengawasan sudah tidak berjalan. Hal ini dimungkinkan karena desain penjara tersebut membuat para penjaga dapat melihat para tahanan tetapi tidak sebaliknya. Artinya, para tahanan tidak dapat melihat para tahanan dikarenakan desain penjara yang memang begitu. Apa intinya, relasi pengetahun dengan kekuasaan atas tubuh melalui internalisasi pengetahuan. Sedikit saja dari apa yang dikatakan Foucault dalam Discipline and Punish: “.... he(the prisoner) always becomes the object of information, but never be a subject of communication… “ (….dia(tahanan) selalu menjadi obyek informasi, tetapi tidak pernah menjadi subyek komunikasi).

Lalu, apa yang memungkinkan semua itu terjadi ? Adalah modernisme. Anda tahu, bagaimana konsep hukuman zaman pra-modern adalah hukuman yang visible (kasat mata) seperti hukum pancung, hukum ditindih gajah, hukum ditarik kuda, dll. Ada pergesaran “konsep” tentang apa itu hukuman yang mengiringi lahirnya modernisme. Juga berbagai macam hal mulai tentang kegilaan, seksualitas, kesehatan, dll. Ini satu fakta. (Lain waktu kita bicara detail soal ini). Dan bagaimanakah modernisme dengan segala konsep yang belum pernah ada di zaman sebelumnya berkaitan dengan kapitalisme? Bagaimanakah Foucault berbicara tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan dan modernisme dan kapitalisme dalam sebuah tema kecil benama Panoptikon? Lalu bagaimanakah semua itu berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kita diatas tadi?

Setelah bermain-main dengan Foucault nanti, pertanyaan yang juga cukup penting adalah bagaimana membuat tahanan sadar untuk tidak hanya menjadi objek informasi tapi juga menjadi subyek komunikasi. (anda bisa mengganti kata “tahanan” itu dengan siswa, pasien, tawanan, warga, mahasiswa, dosen, aktivis, buruh, dll dan dalam tingkat tertentu adalah instansi-instansi misalnya instansi Fakultas Bau Sekali di bawah pengawasan Universitas Neng Nong Ning Glung atau negara Indonesia dibawah imperialisme Amerika dan PBB, dll.), Bagaimana cara mengubah posisi obyek-subyek tersebut? Bagaimanakah subyek dikaitkan dengan segala konsep yang dihasilkan modernisme semacam penjara, rumah sakit, perusahaan, dll? Juga, terlebih jika dikaitkan dengan kapitalisme lanjut?

Saya mngira-ngira jawabannya nanti adalah seputar bagaimana membuat sistem panoptikon itu tidak berjalan. Salah satu caranya adalah dengan pengabaian sistem panoptikon tersebut? Bagaimanakah mekanisme pengabaian tersebut? Lalu apakah dampak dari pengabaian itu yang tidak terhitungkan sebelumnya? Yaitu, sesuatu yang sangat dekat dengan “kebudayaan” kita, yaitu kolektivitas. Tapi bukan kolektivitas “seolah-olah” melainkan kolektivitas yang sadar. Bagaimana bisa?

Kira-kira, bagi saya selanjutnya adalah bahwa tidak begitu penting lagi berbicara tentang kolektivitas atau individualitas. Yang penting bagi saya kemudian adalah apakah kolektivitas “yang sadar” ataukah hanya kolektivitas “seolah-olah” hasil disciplinary/“aturan-aturan”. Kolektivitas yang sadar, saya kira itu pilihan bagi semua yang resah tentang “emoh sosial’ tadi. Soalnya kemudian adalah mungkinkah impian akan kolektivitas sadar itu terjadi? Dan setujukah anda jika saya menyatakan bahwa semua itu terserah pada diri anda sendiri sepenuhnya?


Bersambung


Salam,

Taufiq

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Apakah sekarang penjara itu bahasa? tapi apakah yang terjadi jika 'bahasa' itu tidak seperti 'bahasa lakunya'?

Ato jika pertanyaan itu sering dibolak-balik seperti kebingungan para antropolog: apakah budaya yang memproduksi bahasa, ataukah bahasa yang memproduksi budaya?

Kemudian yang menarik mengutip preposisi ini: "Anda pasti tahu bahwa pengawasan selalu mensyaratkan pengetahuan". Yang kemudian diteguhkan dengan pernyataan: "relasi pengetahun dengan kekuasaan atas tubuh melalui internalisasi pengetahuan"

Kalau 'pengetahuan' digunakan sebagai 'alat' menindas. Pertanyaan klasik saya adalah:
"Apakah itu ulah dari kapitalisme atau negara"?

Dan apabila ternyata solusinya data g dari diri sendiri, apa yang dapat diperbuat?

Ato itu sudah terbukti dalam penerapan sistem demokrasi. Artinya, ada keceendurungan dalam sistem demokrasi mengakibatkan apatisme. Semisal tingkat partisipasi pemilu Pilkadal DKI, atau Presiden di US...yg mayoritas penduduknya dianggap 'berpengatahuan', tapi juga menyebabkan tingkat partisipasi politiknys semakin rendah pula?

Barangkali saya terlalu banyak bertanya. Tapi menarik untuk menunggu artikel lanjutannya...


Salam 'Foucault'

Anonim mengatakan...

memang sulit untuk tidak berbicara tentang bahasa. khususnya jika kita kaitkan dengan wacana (analaisis wacana).

maka, pertanyaannya adalah apakah pengawasan yang mensyaratkan pengetahuan atau pengetahuan yang membuat pengawasan itu muncul tiba-tiba dari ruang kosong ataukah ia mernguanakan semacam sarana atau prasarana. namun, jangan terkecoh dulu. sebab, apa yang kita sebut sebgai sarana dan prasarana tidaklah selalu sesuatu yang visible (kasat mata) melainkan sesuatu yang juga invisible (tak kasat mata), misalnya bahasa.

lalu, jika kita bicara soal sarana dan prasarana. pertanyaannya adalah sarana dan prasarana apakah yang paling efektif untuk meneguhkan kekuasaan melalui internalisasi pengawasan (pengetahuan) tersebut?

Foucault memberikan jawaban bahwa sarana yang paling efektif adalah wacana (discourse). wacana, kita tahu, selalu lahir dari bahasa. Ketika bahasa terlempar ke dunia maka pada saat yang sama ia melahirkan wacana. maka, mungkin benar jika dikatakan bahwa bahasa melahirkan wacana sekaligus juga wacana melahirkan bahasa. manakah yang lebih dulu lahir?

apapun itu, wacana kemudian menjadi alat yang efektif untuk meneguhkan kekuasaan. wacana tidak saja mengakibatkan ketertundukan tubuh atasnya melainkan lebih dari itu adalah pikiran. kekuasaan kemudian tidak hanya memenjarakan tubuh kita dengan memasung, menembak, memukul dan menganiaya melainkan ia bekerja dengan membuat seluruh keakuan kita seperti tak berdaya.

wacana tiba-tiba bisa menjadi hantu yang jauh lebih kejam ketimbang pedang. Juga, mungkin bisa menjadi bunga yang jauh lebih indah ketimbang mawar. Seperti kata Foucault sendiri dalam Discipline and Punish, "power of mind over mind".

Soal pertanyaan apakah itu ulah kapitalisme atau negara? Saya belum bisa menjawabnya, mas. Atau pertanyaannya; apakah negara yang memungkinkan kapitalisme untuk menindas ataukah kapitalismelah yang memungkinkah negara untuk menindas? Ataukah semuanya adalah arena penindasan satu dengan yang lainnya? Saya tiba-tiba ingat apa yang dikatakan Foucault; "power is everywhere not because it embraces everything but because it comes from everywhere" (kekuasaan berada dimana-mana, bukan karena ia tertempel di segala sesuatu melainkan ia datang (terlempar)dari mana-mana.

emmm, ap solusinya? Solusi saya klasik, mas, yaitu kebebasan. Tetapi, bukan kebebasan yang individualistik melainkan yang kolektivistik. Atau semacam kolektivisme sadar yang berbasis kebebasan. Namun satu, syaratnya adalah kekosongan subyek dari segala "hal".

Tak tahulah, mas...

Salam,
taufiq