online degree programs

Rabu, Desember 03, 2008

ETIKA DALAM SKETSA SISTEM PERADILAN PIDANA

Perhatian yang sering ditujukan pada sistem peradilan pidana sebagian besar terletak pada penegakan hukum (law enforcement). Persoalannya, bukanlah terletak pada diskursus tentang, subtansi hukum (legal subtance), tidaklah budaya hukum (legal culture), melainkan menitik beratkan pada stuktur hukum (legal strukture), penagakan hukum dibutuhkan mesin-mesin yang berupa aparat penegak hukum yang kuat dan mumpuni.

Betapa kita bisa melihat, tiada gunanya kebijakan di bidanga hukum pidana menuai tingkatan kesempurnaan yang paling tinggi, namun tidak di dukung aparat yang mampu melaksanakannya, sama halnya merumuskan kebijakan yang mubazir. Maka pelaksanaan regulasi hukum ini sepatutnya di imbangi dengan kemampuan aparat pelaksana dalam mengimplemantasian.

Banyak perhatian ditujukan dalam rangka mengkontsruksi bangunan terbaik struktur hukum atau aparat pendukung hukum. Karena posisinya paling strategis di dalam penegakan hukum, jadi aparat hukum pantas menjadi pilar penyangga lemah-kuatnya hukum di jalankan. Sebagaimana yang di tegaskan oleh Normand M. Garland dan Gilbert B. Struckey. Mereka mengkonstatasikan sebagai berikut :

”...The law enforcement officer plays a key role in the succesful prosecution of criminal defendant. During the investigation of a crime, officer interview witness, perverse the crime scene, and collect physical evidence, all of wich is essential in proving a defencent gulty beyond a reasonable doubt at trial. Sometimes officer whould like to avoid appearing in court on their days off, required to cancel or cut their vacations short, or have to give up their precius hours of sleep to be court. Also many officers, like most wtness, ae apprehensive about appearing in court. Nonetheless, the officer must overcome al of these difficulties and do his or her best when this all-important final phase of the criminal process”

Ya, aparat penegak hokum memainkan peranan cukup “vital” (meminjam bahasa ihsan pada kuliah pak teki). Karenanya melingkupi pembuktian yang memunculkan fakta-fakta di persidangan dapat di singkapnya. Investigasi, wawancara saksi-saksi, pengumpulan bukti-bukti persidangan yang tentunya tidakah semudah membalikan telapak tangan. Proses pembuktian yang komponen cukup fital tak bisa dipisahkan dari proses di pengadilan ataupun bagi seseorang yang mendapatkan keadilan. Penegak hukum harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk melakukan semuanya itu, menegakan hukum dan menjalankan elemen teknis dalam proses sistem peradilan pidana.

Kendatipun demikian, pencapaian aparat hukum untuk melaksanakan kententuan regulatif, realitasnya banyak menemui kebuntuan. Di antara sebab yang muncul akibat ketidak-berdayaan atau ketidak cakapan aparat penegak hukum, juga ada faktor lain yang berupa sikap-sikap oknum atau sekelompok dari struktur penegak hukum (aparat) melakukan perbuatan yang tidak wajar, penyimpangan, kelalaian, kesalahan, dan bahkan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia –kekerasan pada pemeriksaan, penghilangan barang buti, penerimaan suap dst– yang perlu untuk di rekontruksi, dekonstruksi dan kontruksi akan kajian terhadap struktur hukum (aparat penegak hukum).

Yang tertinggal ataupun mungkin tidak banyak begitu diperhatikan adalah konsep etika yang di akulturasikan bersamaan dengan teks-teks hukum dan aturan main (rule of play) di dalam membina struktur hukum (aparat penegakan hukum). Etika hakim, jaksa, polisi, pengacara mungkin telah ada dalam teks, namun eksistensinya tidak pernah dibicarakan secara mendalam dan bahkan tak menyentuh esensi dari produk etis itu sendiri. Meskipun demikian, teks etika implisit ini sekurang-kurangnya memiliki pengaruh dalam menentukan sikap dan tindakan aparat penegak hukum. Di dalam kekuarangan teori dan konsep etika di teks-teks kode etik aparat penegak hukum, pelanggaran kode etik ataupun lapisan struktur komisi penegakan etika profesi sudah melihatkan banyak kemajuan. Etika menawarkan jalan menuju ke profesionalisme dan keadilan di duni hukum. Hal senada di tegaskan oleh, Sam Souryal, bahwa :

”Code of ethics serve two major purposes. First, they provide moral guildelines for practitioners of criminal justice….Second, codes of ethics define professionalism behavior in the work place”.

Nah, disamping etika bisa mendekatkan proses yang mengarahkan ke jalan menuju keadilan, keberadaan etika akan meningkaktkan profesionalisme aparat penegak hukum. Professionalisme menduduki posisi yang cukup penting dalam melaksanakan dan mengimprovisasi jalannya hukum ke arah yang manusiawi dan baik. Dua jaminan yang dikemukakan oleh etika cukup menggiurkan, yakni keadilan dan profesionalisme. Tidak ada tujuan lain dalam hokum ditegakan melainkan keadilan tujuannya, sedangkan penegakan hokum yang baik tersebut tak akan bisa dimungkinkan terjadi apabila aparat penegak hukumnya tidak memiliki profesionalisme.

Profesionalisme menentukan perkembangan hukum yang lebih hidup di dalam penegakan hukum. Hukum yang tak hanya terbujur kaku berupa teks-teks yang tidak bisa dilaksanakan, namun benar-benar diperlukan dan dirasakan pelaksanaan. Bukan tidak mungkin, kode etik-kode etik di banyak bidang profesi di rumuskan guna meningkatkan profesionalisme di bidang profesi tersebut supaya bisa orang menjalankan apa yang seharusnya dan apa yang sepatutnya, tidak hanya mati kaku diketidakberdayaan menginterpretasikan teks-teks undang-undang dan kebingungan melaksanakannya, namun ada semangat dari metanarasi yang berupa hembusan etis guna membangkitkan sikap dan tindakan yang baik, benar dan tepat.

Etika menampatkan profesionalisme dan pencarian keadilan yang penting bagi institusi guna meningkatkan fungsinya dan masyarakat pada umumnya. Karena dua halnya yang tak bisa dipisahkan dalam menerapkan etika dalam penegakan hukum, yakni yang disebut oleh Souryal sebagai The Dual Essence of Criminal Justice: The Social Order and the Moral Order. Bagaimana moral individual yang mencapai pada sikap dan tindakan etis bagi aparat ini mampu di kombinasikan ke luar dan membaur dengan moral kolektif kemasyarakat. Souryal memungkinkan bagaimana mungkin moral individual aparat bisa di satukan dengan apa yang di sebut moral masyarakat. Dia mengutarakan bahwa :

”...the demographic and social differences among communities, affluennt or unverprivileged as the case may be, require different approaches at the administration of justice.....”

Dapat kita lihat bahwasanya kebutuhan yang dapat kita tangkap dari segmentasi pengelompokan masyarakat, atau singkatnya kepentingan social kemasyarakatan sangat mempengaruhi guna menyempurnakan kinerja dan struktur penegak hukum, tidak hanya guna menjalankan hukum, tapi penggapaian keadilan secara bersama-sama. Struktur dan kinerja aparat penegak hukum haruslah sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat terhadap hukum. Memang Souryal menyampaikan etika itu hingga pada pencapaian etis dari konsepsi yang di tawarkan oleh Stoiscism (epictetus); material hedonism (arristippus), intellectual hedonism (epicurus), knewledge (plato), moral charakter (aristoteles), religion (St. Augustine), nature&power (hobbes&nietzsche), duty&reason (kant), utilitarianism (bentham&mill), dan sosial justice (rawls). Namun yang terpenting dalam sketsa sistem peradilan pidana itu adalah kuatnya refleksi diri oleh penegak hukum dan tranformasi, artikulasi, dan agregasinya dengan kepentingan, kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat. Itu saja...


Awaludin Marwan,..
asem sebenarnya tulisan ini banyak foot note-nya tapi pas dikomputer rental gak keluar....payah, jangan ngenet di peleburan, ada sabotase foot note

4 komentar:

Anonim mengatakan...

yang ada sebenernya bukanlah sabotase foot note dari internet Pleburan, tapi ke-gaptek-an penulis foot note-nya....

Sorry luk,he2....

Anonim mengatakan...

hoax...

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

Bror, aku jadi ingat tulisan Prof Satjipto terakhir bahwa satu hal yang belum pernah di"instal" dalm peradilan dan perbincangan kita tentang hukum,yaitu perilaku manusia.

apa artinya, faktor subyek harus mejadi tema perbincangan. pelaku-pelaku hukum harus dikembalikan posisi-nya ebgai subyek, tidak sekadar obyek. Mungkin kira-kira begitu yang kutangkap.

Tentang Hukum secara de facto (fakta yang ada di lapangan)dan Keadilan yang ingin dicapainya (sesuatu yang tak pernah kongkret), aku mengiyakan pendapat Machiavelli dan Hobbes; "yang kuatlah selalu yang mendefinisikan keadilan".

Soalnya, apakah itu Keadilan tidak pernah sangat jelas sejelas-jelasnya bagiku. tapi,aku kira tetap bermakna usaha menjangkau Keadilan itu? Keadilan sebagai the Real, bukan Keadilan sebagai the Symbolic dan the Imaginer-ala Lacanian Zizek.

Justru karena kesadaran akan kosong yang sekosong-kosongnya, betapa nikmatnya usaha untuk terus mengisi meski sadar tak akan pernah penuh...

ah, aku jadi ingat kalimat tauhid...

salam,
Tauf

Anonim mengatakan...

Tauf, hukum sebenarnya harus dihilangkan dari muka bumi, karena kata adil itu tak tercermin dalam hukum. Ya, teks-teks yang terdominasi oleh tafsir penguasa. Penguasalah yang berhak menginterpretasikan hukum.