online degree programs

Minggu, Desember 14, 2008

Pra-Transenden di Kutukan Nietchze

Immanuel Kant

Dampak baik sekaligus bersamaannya dampak negatif yang di timbulkan nietchze sama-sama besarnya. Salah satunya pemikiran teman kita yang satu ini kemarin (Ucok). Dia teman satu kelas yang langka, kebetulan bacaan buku-bukunya sama-sama "stress"-nya sama anak-anak komunitas embun pagi (KEP), filsafat. Di tengah keanehan dan alienasinya kebetulan ada kandang-kandang semacam yang cocok untuk binatang rasional model spesies yang punya budi dan karsa tertampung dengan lumayan baik di block ini. kwa...kwa ...kwa

Objek terpaan nietchze adalah filsof-filsof. Di tengah ketergantungannya pada pemikiran Rochard Wagner dan Shoupenhauer (buku ucok yang ku baca khatam, tapi belum paham), dia terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para filsof, terutama yang memiliki pandangan dualisme, termasuk Kant. Namun di sini saya ingin menyampaikan bagaimana dengan Kant itu sendiri. Ya, filsafat itu adalah karakter seorang yang menggelutinya ungkap Ficthe, sama halnya ketika Kant mengungkapkan pandangannya sejatinya sebuah etika dan moral, nietchze malah menghancurkannya meski reruntuhan tersebut telah di bahas dalam the geneology of morals-nya. Kendati demikian, itulah yang terjadi, Kant diserang Nietchze. Penyerangan dilakukan pada tokoh sentral zaman pencerahan, menggantikannya dengan skeptimisme yang amoralis.

Padangan Kant sekilas mengkonstatasikan bahwa filsafat yunani terdiri dari tiga bagian ilmu pengetahuan dasar, yakni fisika, etika dan logika. Setiap bagian mengandung kesempurnaan yang saling melengkapi. Tidak bisa di pisahkan antara satu dengan yang lain, sebuah institusi natural yang menjadi hukum ilmu pengetahuan manusia. Ketiganya juga dijadikan landasan disetiap perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa pandangan ketiganya, ilmu pengetahuan tak dapat disatukan, tak berkembang, dan tak bermanfaat sekali pada manusia, sehingga bisa jadi usaha untuk menyempurnakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan hanya sebatas memenuhi rasa keingin tahuan sementara eksistensinya hanya berada di awang-awang, dicap sebagai pentakhayul belaka, serta hasil pemikirannya tak dapat dipraktekan.

Landasan ketiganya memberikan pondasi yang kuat bagi si-pencari kebenaran dan atau intelektual (the saintific for to get truth) sebagaimana ditempatkan bahwa fisika memberikan kita kebenaran akan sebuah hal yang pasti (eksak) perihal lingkup alam. Kebenaran ilmu fisika tak terbantahkan tentunya sebelum Cartesian dan Newtonian ini dihajar oleh teori Einstien paham reletivisme dan Fisika Metafika Fitjof Capra. Sehingga melalui fisika mengajar pencarian kebenaran yang hakiki, praksis bisa dipergunakan.

Kembali pada persoalan moral, seringkali moral dikaitkan dengan sebuah penilaian mendasar dan sifatnya iintuitif, bergerak di lahan praksis, sehingga dalam mengkategorisasikannya seseorang harus memiliki pengalaman. Singkat kata, moral ditujukan pada sebuah perjalanan penuh pengalaman yang terkonstruk dalam penilaian, mempengaruhi keputusan (afektif) dan tindakan (konasi), kini dan yang akan datang. Namun Kant hendak mengungkapkan kebenaran yang ada di lingkup moral bisa diraih dalam penyelidikan nalar, proses a priori, tanpa harus membenturkannya dengan pengalaman manusia.

Yang terpenting dikemukakan oleh Kant adalah kehendak baik. Tiada kebaikan di seluruh di dunia ini tanpa adanya kehendak baik. Kehendak baik mengawali dan mendasari kebaikan yang dilakukan oleh manusia. Seluruh filsafat moral yang mengkonstatasikan kebaikan, sesungguhnya tidak akan pernah mungkin mencapai kesempurnaan, bukan hanya dia yang bersifat empirik, berubah-ubah berdasarkan ruang dan waktu, melainkan jauh dari problem dasar moral, yang sepenuhnya tergantung pada kehendak baik. Kehendak baik menentukan segalanya, termasuk memanifestasi kebaikan itu sendiri.

Kant says that the only good thing in the world is a good will. By this, he does not mean good intentions, but rather a rational will, one that out of duty wills consistenly… (James Gould: p. 142)

Tiada kebaikan tanpa kehendak baik, justru subtansi kehendak baik yang menentukan aksiden atau seluruh bentuk kata baik. Meski kata baik itu ungkap George Edward Moore tidak bisa di definisikan, namun eksis dalam bentuk keharusan dan keutamaan, namun baik itu ada jika kehendak baik itu ada terlebih dahulu. Dengan kata lain eksistensi kehendak baik itu mendahului esensi baik.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana mentranformasikan kehendak baik itu dalam kehendak baik atas refleksi bersama, bukan hanya sensasi atau phenomenon saja. Kant mengungkapkan dengan mempertemukan kehendak baik itu secara bersamaan, dengan mengkonstruksikan sebuah norma-norma yang dikehendaki kemanfaatannya dan keadilannya.

As my concern here is with moral philosophy, I limit the question suggested to this: Whether it is not of the utmost necessity to construct a pure thing which is only empirical and which belongs to anthropology? for that such a philosophy must be possible is evident from the common idea of duty and of the moral laws. Everyone must admit that if a law is to have moral force, i.e., to be the basis of an obligation, it must carry with it absolute necessity; that, for example, the precept, "Thou shalt not lie," is not valid for men alone, as if other rational beings had no need to observe it; and so with all the other moral laws properly so called; that, therefore, the basis of obligation must not be sought in the nature of man, or in the circumstances in the world in which he is placed, but a priori simply in the conception of pure reason; and although any other precept which is founded on principles of mere experience may be in certain respects universal, yet in as far as it rests even in the least degree on an empirical basis, perhaps only as to a motive, such a precept, while it may be a practical rule, can never be called a moral law (Thomas Kingsmill Abbott. P. 3) .

Hukum itu mencerminkan kehendak baik bersama dan keberadaannya bagian dari moral. Dengan kata lain, hukum sebagai reduksi dari ide-ide tentang moral. Hukum yang berlaku secara universal, melalui dikusi publik yang mampu mengartikulasi dan mengagregasikan kehendak baik berdasarkan asumsi khalayak banyak orang. Hukum tanpa diskusi publik, berarti hukum itu kotor dan tak mampu mencerminkan moral dari kehendak baik kebanyakan orang yang dipayungi hukum yang bersangkutan.

Hukum pada akhirnya harusnya berupa kehendak bersama dari kehendak baik banyak orang. Sehingga moral yang terdiri dari bagian-bagian yang tak terbilang yang disebabkan oleh beragamnya asumsi individu apalagi pendapat publik, bisa dilaksanakan sebagai parameter yang tak jauh dari kebiasaan, sudut sumber daya manusia dari sudut antropologis dan responsif. Daya ikat akan keberadaan hukum di yakini oleh Kant mampu mengkonstruksi moral yang berlaku secara kolektif.

Luluk

6 komentar:

Anonim mengatakan...

"Dampak baik sekaligus bersamaannya dampak negatif yang di timbulkan nietchze sama-sama besarnya. Salah satunya pemikiran teman kita yang satu ini kemarin (Ucok). Dia teman satu kelas yang langka, kebetulan bacaan buku-bukunya sama-sama "stress"-nya sama anak-anak komunitas embun pagi (KEP), filsafat. Di tengah keanehan dan alienasinya kebetulan ada kandang-kandang semacam yang cocok untuk binatang rasional model spesies yang punya budi dan karsa tertampung dengan lumayan baik di block ini"....

Giy
Sejak kapan kamu merasa seperti itu Luk? kok ak ngrasa biasa-biasa aja,...emang qt2 tu spesies beda to? emang diluar sana ndk kenal Nietchze, Kant, Bacon, Hume, Foucoult, Giyanto,...

yang kurang gaul itu qt2 apa mereka ya? bagaimana pendapat anda tentang pertanyaan saya ini.

Terus kalau ada peraturan atau dosen saya pernah bilang kalau literatur yang berumur lebih dari 10 tahun dari sekarang gak boleh dijadikan referensi itu gimana? berarti dengan seperti itu mereka ndk akan baca buku2 klasik donk? wah berat-berat....gimana to mereka itu?

Gimana di kampus kamu (yg baru) ada peraturan yang konyol seperti itu ndk?

Salam Culun...(Giy)

Anonim mengatakan...

"Hukum itu mencerminkan kehendak baik bersama dan keberadaannya bagian dari moral. Dengan kata lain, hukum sebagai reduksi dari ide-ide tentang moral."
Menurut saya hukum dibentuk untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dari kehendak baik para anggota masyarakat, jadi sama sekali tidak mencerminkan kehendak baik; keberadaan hukum tidak lebih merupakan sanksi bagi penodaan kehendak baik.
Catatan imbuhan :
Ini dengan catatan bahwa kehendak baik itu ada di setiap manusia...hehehe...; masalahnya dari semulanya manusia punya 1 karakter dasar yang menghancurkan dirinya sendiri (akibat adanya kehendak bebas dalam dirinya) yaitu SERAKAH.
Menurut saya koq lebih tepat ya kalau keberadaan hukum akibat adanya keserakahan dalam diri manusia.
Salam damai sejahtera
Jusuf Patrick

Anonim mengatakan...

Bisa juga kayak gitu bung Jusuf, penagndaian tentang sisi buruk manusia. Saya bicara dalam pengertian saya tentang Kant. Good will atau kehendak baik sebuah sentral kebaikan, termasuk pembangunan hukum yang baik.
Menurut saya hukum itu malah harus dihilangkan, karena hanya menjadi sarana instrumental penguasa dalam merampas dan melakukan perbudakan terhadap rakyatnya -sebagaimana sering saya kemukakan dalam banyak kesempatan. Lalu bagaimana dengan ketertiban? jangan-jangan dunia chaos dan hancur tanpa hukum? semuanya pada berkelahi dan tak terkemdali?. Merujuk pada sistem autopoisis yang menjadi teori sistem sosial Niclas Luhmann, bahwa sistem rusak dan penciptaan sistem yamh tak terbilang jumlahnya adalah dengan self recreation (pembentukan sendiri) mirip sebuah molekul dalam ilmu biologi. Begitu pula dengan hukum, aturanlah pastinya akan terwujud di kala orang berinteraksi satu sama lain dengan sendirinya tanpa melalui hukum yang dilegitimasi oleh Negara. Bukanlah kita memiliki norma dan etika sebagai subtansi dalam hukum.


Untuk Kang Gie,
Pertanyaanmu sangat sulit kang, karena jawabannya hanya dalam kata batin. Aku belum menemukan bahasa yang tepat untuk mewakili jawaban atas kata batinku ini. kwa kwa kwa..
Heh, model hermeutik dari mana tu? mensadur tanpa landasan ilmiah yang jelas

Anonim mengatakan...

Foucault dan Nietzsche mas-mas....

Anonim mengatakan...

pernyataan lu2k mengingatkan saya pada kasus-kasus yang sering terjadi di kampung saya. Setelah Pak RT, Lurah, Modin datang ke keluarga yang mengalami masalah...semua dapat teratasi dengan cara kekeluargaan....

atau ketika saya sedang di Minangkabau, konon kalau ada masalah sosial, penyelesaiannya sederhana: dengan mengundang ninik mamak, cerdika pandai, alim ulama...semua langsung selesai...

Luk, apakah itu yang disebut sebagai self recreation?

Anonim mengatakan...

Yupz,...kira-kira kayak gitulah kang