online degree programs

Rabu, November 26, 2008

Risalah Negara








Izinkan saya untuk menyatakan bahwa saya bukan pakar tata kenegaraan, ideologi-ideologi dan falsafah kenegaraan, bukan pula pengamat dan pemikir kenegaraan, juga bukan pengamat dan pemikir pendidikan. Label-label itu dalam ketakutan saya jangan-jangan justru untuk memupuk subur keangkuhan intelektual saja, yang sebisa mungkin saya hindari, semoga. Saya hanya ingin berbagi tahu sedikit yang sata tahu soal kebebasan dan Negara pada pembaca yang budiman.

“Kebebasan” itu tidak hanya ilusi dan tipuan jargonistik saja, lebih dari itu membuat orang merasa hebat, yang dapat kita lihat dalam filsafat yang berpusat pada kesadaran dan kehendak bebas imbas dari gairah masa renaisance dan berujung pada ide Ubermensch dari Nietzsche sang pembunuh Tuhan, sang pengarang Thus Spoke Zarathustra yang menjadi inspirasi Naziisme Hitler dalam Mein Kampf, dan akhirnya Nietzsche sendiri mati setelah sakit dan divonis gila dalam rumah sakit jiwa, hanya di rawat oleh adik perempuannya.

Filsafat kebebasan adalah omong kosong dari seorang yang lupa pada fitrah kedirian dan kemnusiaannya sendiri. Lupa bahwa ia secara fisikal di alam material tidak bebas dari hukum fisika Newtonian dan geometri Euclydes, bukan di alam virtual-hiperalitas yang sepenuhnya simulacrum dan simulasi dalam pengertian Jean Baudrillard. Adalah Jean-Paul Sartre yang juga pernah memimpikan kebabasan mutlak manusia sebagai prasyarat untuk membentuk moralitas baru, sama sekali baru. Tapi dengan jujur pada 15 hari sebelum wafatnya, ia merevisi total filsafatnya tersebut, sebuah kejujuran intelektual yang patut dan mesti kita ikuti.

Dikiranya dengan kebebasan penuh manusia untuk berbuat sesuatu, termasuk dalam pilihan-pilihan transaksi ekonomi dan negosiasi politik, maka kesejahteraan akan otomatis terwujud, kebahagiaan otomatis. Mereka yang mengimani faham kebebasan ini lupa bahwa ada subjek-subjek lain –yang mungkin dicobamatikan- yang juga berfaham kebebasan. Di titik inilah yang terjadi bukan harmoni, kesejahteraan, dan kebahagiaan, melainkan konflik dan perebutan kekuasaan serta koersi-koersi. Dalam ranah ekonomi terjadilah ekonomi kapitalis yang melahirkan kaum borjuis pro status quo, praktik monopoli, mitos trickle down effect dengan filantropi, omong kosong CSR, dan lainnya. Walaupun saling berjalin kelindan dengan ekonomi dan ranah sosio-humaniora lainnya, namun secara sederhana dalam politik kemudian melahirkan politikus busuk, hasrat berkuasa, konflik perebutan kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan lainnya.

Dalam konsepsi pemahaman Islam atas manusia (insan, nass) dinyatakan bahwa salah satu yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh malaikat (yang lebih tinggi derajatnya dari manusia) dan setan (yang lebih rendah derajatnya dari manusia) adalah nafsu. Jadi, setiap manusia memiliki nafsu, entah baik maupun buruk. Nafsu sifatnya adalah potensial, ia adalah potensi, yang baru menjadi “aktual” dalam pemikiran dan sikap aktif. Salah satu nafsu tersebut adalah keinginan untuk berkuasa, menguasai orang lain, lingkungan, materi (harta), yang dalam bahasanya Nietzsche disebut sebagai will to power. Hasrat in tak hanya bersifat dekonstruktif tapi bahkan destruktif (menghancurkan). Dimensi negative manusia ini dalam pengertian lain dinyatakan oleh Freud sebagai thanatos.

Ketika hasrat destruktif will to power ini diakomodasi dan tolerir oleh filsafat kebebasan, maka yang terjadi –sebagaimana di sebut di muka- adalah konflik, kekerasan, kriminalitas, chaostik. Oleh karena itu, di sini kata kuncinya adalah diperlukannya aturan (rule) dan bahkan paksaan untuk membatasi kebebasan demi terciptanya harmoni dan ketertiban umum dalam ruang public (public sphere/public space). Memang yang paling baik konsensus terbangun secara alami, namun hal itu tidak mungkin karena pasti ada kepentingan, koersi, hegemoni, dominasi, reifikasi, dalam bentuknya yang paling halus sekalipun. Nah, salah satu ijtihad manusia untuk memberikan ketertiban dan mengatur hasrat-hasrat destruktif yang potensial diakomodasi oleh paham kebebasan itu adalah negara dan bangsa –walaupun kata Ben Anderson sekadar imajinasi. Apa yang lebih baik dari negara untuk memberikan ketertiban di ruang public, di mana agama, ras, etnik, gender, kelas sosial berada dan menjadi satu di dalamnya?

Edi Subkhan, hanya penulis artikel pendek ini saja

16 komentar:

Anonim mengatakan...

Cak, tiba-tiba saya berpikir bahwa semuanya adalah sejarah. Semua apa saja mulai dari politik, sosial, hukum, cinta, dan juga pendidikan dan segala hal lainnya di bawah kolong bumi ini adalah sejarah. Juga, tidak hanya semua hal yang berada pada masa lalu melainkan juga yang berada di masa sekarang dan masa depan adalah sejarah. Sejarah tidak hanya sebagai history of the past, melainkan juga history of the present dan history of the experience (Foucault).

Apa artinya, semua teori semua buku, semua pemikiran semua ideologi adalah juga "hanya" sebuah sejarah. Yah, semua itu hanya sejarah yang lahir dengan sistem pikiran pencetusnya (system of thoughts-Foucault) sendiri dalam konteks yang sangat spesifik. Thought is just like a path (pikiran hanyalah seperti jalan setapak), begitu Foucault bilang. Masing-masing pikiran adalah berbagai macam jalan setapak di tanah tumpah ruah pemikiran ini. Konsekuensi logis dari pemikirannya ini adalah terdapat dalam pernyataannya; For the foreigner, they don't have to be integrated to me, Yang liyan tidak perlu mengintegrasikan dirinya kepadaku--kira-kira begitu mungkin artinya.

Dari situ kira-kira saya bisa memahami mas Giy. Tarikan yang mungkin dirasa berlebihan ke arah teori-teori (yang hanya sejarah itu) apalagi yang dicetuskan oleh "liyan" dalam konteks pendidikan kita. Sementara desakan untuk menggali kebutuhan kontekstual pendidikan "kita" sendiri terasa sangat kurang. Pada mas Giy saya melihat porsi acuannya pada filsafat liberalisme yang menurut saya terlalu berlebihan. Bagi saya, acuannya bukan lagi pada liberalisme-instrumental-nya mas Giy, melainkan pada usaha terus menerus pencapaian otentisitas sejarah masa sekarang (history of present). kira-kira, semacam usaha terus menerus untuk menemukan undecidibility/aporia-Derrida atau innovasi-Foucault atau impian the Real-Zizek atau apapun itulah yang bernada "di luar mainstream" yang terus menerus. atau, jangan-jangan mungkin semacam apa yang dilakukan oleh pak Darmaningtyas itu... he he...

Salam,
Taufiq

Anonim mengatakan...

Menarik membaca komentar Taufik. Saya semalam sedang menulis tentang "sekilas sejarah" dalam perspektif keilmuwan saya: Geografi...

semoga entar malam bisa lekas selesai...

Selamat bagi orang-orang yang mau berfikran terbuka....

Disini tidak membuka ketertupan...

Emang ada, logika membuka ketertutupan? ya, kalau tertutup kan memang 'seharusnya' dibuka, ha2...

Anonim mengatakan...

Gus tauf, saya kok cenderung menduga-duga bahwa kang Giy sebenarnya tidak salah dalam memahami pendidikan dan lainnya, hanya saja kalau memahami satu bagian ya jangan mengklaim seakan-akan memahami semua dan kemudian mengadili semuanya itu, seakan-akan dengan menahbiskan diri sebagai yang paling tahu soal pendidikan ketimbang orang-orang yang mempelajari pendidikan itu sendiri. Sinisme kang Giy pada pemikiran Marxisme –tentu bersamaan itu neo dan post-Marx)- saya duga kok lebih disebabkan karena ia telah memiliki persepsi bahwa ketika ia memegang liberalisme maka lawannya adalah sosialisme, komunisme, marxisme itu. Skemata pengetahuan dan pemahaman Kang Giy pun rancu soal kaitan pendidikan dan negara, makanya kutuliskan “risalah negara” di sini.

Saya kira tarikan ke arah teori yang dicetuskan oleh “liyan” dalam pendidikan seperti dengan analisis Marxian, feminis, postmodernis, dan lainnya di samping pemikiran mainstream dalam pendidikan yaitu neo-liberalisme-kapitalisme yang agaknya dipahami secara salah oleh kang Giy adalah dalam upaya yang sama untuk memenuhi kebutuhan kontekstual pendidikan kita. Sayangnya dengan kerangka pikir kang Giy yang seperti itu, maka upayanya dalam –sebagaimana Gus Tauf katakan- pencapaian otentisitas sejarah masa sekarang –dan yang akan datang- akan gagal, karena menolak “liyan” dengan membuta (lihat dalam penolakannya pada analisis Marxian dalam pendidikan). Padahal saya misalnya, sampai menganalisis tentang otentisitas kedirian siswa yang mesti dipenuhi oleh pendidikan sekarang dengan perangkat Marxian. Hingga saya jadi berpikir, bahwa pemaham filsafat kebebasan selalu gagal dalam memahami kedalaman, hakikat, ia terikat oleh kebebasan pragmatis, fungsional.

Atau jangan2 ada pemahaman begini, Marx dalam pendidikan itu “liyan” atau mainstream? Kayaknya kok kang Giy memahami Marxisme sebagaimana yg digunakan untuk analisis pada ranah pendidikan oleh pak Tilaar, Darmaningtyas, Winarno Surakhmad, Jimmy Paat, Donie Koesoema, Giroux, Apple, Bourdieu, Foucault, bahkan Habermas adalah mainstream. Pendapat kang Giy bisa salah bisa benar, ketika melihat wacana pendidikan kritis begitu merebak sekarang ini, namun yang berjalan di dalam system adalah pendidikan neo-liberal. Segencar-gencarnya wacana pendidikan kritis, ia tidak pernah menjadi system yang mapan, karena klo sudah begitu ia menjadi tidak kritis lagi. Lalu, apa kategori “liyan” dan mainstream Gus Tauf?

Pun ketika dipertanyakan kebutuhan kontekstual…kebutuhan kontekstual dalam pengertian apa? Konteks apa? Kebutuhan kontekstual masyarakat konsumeris, atau kebutuhan hakikat otentisitas kedirian manusia sebenarnya?

Anonim mengatakan...

yang saya tahu, manusia tidak akan pernah menjadi maha tahu/omniscience...

tapi kalau sok tahu, itu wajar...
bagi yang tidak menganggapnya wajar...
saya benar-benar tidak mengetahuinya...

Anonim mengatakan...

Cak, saya melihat liyan kaitannya dengan posisi mainstream atau alternatif sebagai sesuatu yang "dinamic"-Foucault, bahkan pada saat yang sama. Misalnya, posisi posmodernisme. Ia adalah alternatif pada satu sisi, juga mainstream pada sisi yang lain.

Bagi saya kemudian, jalan tengah yang ditempuh adalah tidak membabi buta menolak teori dari "liyan", juga tidak membabi buta menerima semua teori yang datang dari "liyan". Jadi, semacam memperlakukan apa saja yang datang dari "liyan" hanya sebagai "sejarah biasa" yang lahir dari konteks yang tidak selalu sama dengan konteks kita. Sebagai sejarah biasa, kita bisa memperbandingkannya dengan konteks sejarah kita juga dengan biasa saja.

Yang saya coba ingin tekankan adalah potensi terjadinya "penindasan simbolik" oleh teori-teori tersebut. Mengapa begitu? Diakui atau tidak, sebenarnya kita selalu melakukan apa yang disebut Foucault sebagai "ritus kebenaran", yaitu semacam legitimasi kekuasaan pengetahuan yang kita miliki dengan menempelkan nama-nama pemikir/pencetus teori dalam tulisan atau tuturan kita. Kita jadi menjadi merasa lebih "ilmuwan" ketimbang yang lain dengan melakukan ritus ini. Yang saya lihat, sesuatu yang mulanya adalah "membaca sejarah biasa" menjadi sesuatu yang jauh lebih mencekam; kuasa pengetahuan dan potensi "penindasan simbolik" yang mengikutinya. Juga, seperti yang saya lakukan dengan mengutip Foucault ini.

Memandangnya secara demikian, bagi saya terasa lebih "bebas". Jadi, siapa saja yang melakukan penindasan apakah itu negara ataukah korporasi ataukah universitas atau siapa saja bagi saya harus dilawan. Sekali lagi, posisi "kekuasaan"; dominan dan subordinat adalah selalu dinamic.

Saya memandang semua potensi "kesalahan" dan "kebenaran" terdapat pada semua.Pada saat yang sama, saya bisa membela negara seperti Cak Edsu dalam beberapa hal dan juga bisa mengutuki negara seperti mas Giy pada beberapa hal.

Persoalan klasik saya adalah apakah semua posisi itu selalu jelas?

Salam,
Tauf

Anonim mengatakan...

@Fik....

bagi saya gagasan Foucault tidak untuk dikutip, didewakan, ataupun dibenarkan...tapi dipraktekkan

Anonim mengatakan...

tidak mas giy, saya kita harus dibedakan antara kepentingan komunikasi dan kepentingan praksis. Bahwa saya mempraktekkan atau tidak saya kira saya tidak perlu mengumumkannya pada orang-orang.

mengutip, saya kira, adalah keterbatasan untuk berkomunikasi tersebut. tapi tentu bukannya tanpa syarat, yaitu memeperlakukan kutipan itu sebagai 'barang sejarah biasa saja' yang bisa menyimpan sebuah informasi yang juga biasa saja.

untuk keperluan inilah, saya kira anarkisme yang menolak segala teori mestinya tidak perlu terjadi. justru, karena semua berasal dari sesuatu yang sangat khas manusia, yaitu keterbatasan yang dalam bahasa foucault ia sebut sebagai 'analytic of finitude', analisis keterbatasan.

jadi, mari membaca apa yang ingin kita caci maki...

salam anarki,
tauf

Anonim mengatakan...

Anarki tidak mencaci teori....dalam perspektif filsafat politik, Saya kira Foucault ialah seorang 'anarki komunikasi'...

Anonim mengatakan...

Saya kira, kembali pada seorang Giyanto yang mencacimaki negara (klo anarkisme dia katakan tidak mencaci maki, tapi klo dia menyatakan ada "anarkisme geografi" [sebuah istilah yg rancu bg saya], maka dapat disimpulkan giyanto mengkalim dirinya seorang "anarkis", kok mencaci negara hahaha....), maka yang mesti dicaci mestinya bukan negara, tapi oknum negara, perilaku yang menjadikan negara tersebut jadi totalitarianisme. Toh giyanto tak dapat menjawab apa yang lebih baik dari negara, karena sudah pasti utopia absolut dengan menunjuk hidung kebebasan...

Makanya Gus, mungkin bagi saya bukan mana mainstream atau liyan, tapi mana yang benar dan dapat memberi kemaslahatan bagi banyak hal, entah liyan atau mainstream.

Salam,

Anonim mengatakan...

Anarkisme adalah penentang tiran. Dan negara adalah TIRAN... Jadi musuh dari anarkisme adalah NEGARA...

Anonim mengatakan...

Kang Giy, makanya baca komentar saya dengan lebih teliti.. Klo kang gik mengatakan seorang anarkis tidak memaki, lha Anda memaki negara??? itu khan contradictio in action?? ya gak?? dan komentar kang giy selanjutnya....joko sembung gowo berang, rak nyambung bang!!

makanya juga belajarlah konsep dan teori negara, konsep negara Tiran itu adalah konsepnya Hobbes dengan Leviathan-nya itu, termasuk juga Machiaveli, tanya ajah ke Luluk lah ya...

tapi substansi dan niatan negara adalah untuk membuat ketertiban di ruang publik, pertanyaan saya yang tak dapat kang giy jawab sampai sekarang, apa yang lebih baik dari negara??? tak ada khan hehehe....

Oh, iya...mungkin sebaiknya tidak ambil referensi dari wikipedia soal anarkisme, coz wikipedia adalah kamus terbuka yang tiap orang bisa nyumbang konsep di situ asal punya "pasword"... coba baca literatur yang lebih menarik soal ideologi anarkisme oleh Mansour Faqih, ia mengklaim diri seorang anarkis...

tapi, ia bukan kapitalis pro borjuis, ia sosialis pro Marxis, setahu saya....wong temennya bossku je hehehe....wong aku pernah dolan ke padepokannya je... (Sori Gus...klaim "Distinction" ala Bourdieu yo hehehe...., smoga kang Gik tak paham apa maksudku, hanya kamu yang tahu Gus sedikit dari diriku hehe...)

Salam,

Ed Khan

Anonim mengatakan...

"makanya juga belajarlah konsep dan teori negara, konsep negara Tiran itu adalah konsepnya Hobbes dengan Leviathan-nya itu, termasuk juga Machiaveli, tanya ajah ke Luluk lah ya..."

Giy:
Mau tak pinjemi buku mereka berdua po?

Sori coy, saya jarang menggunakan klaim tokoh2 besar untuk hanya mendukung argumen saya....

Gaya kita beda bung!!!

Anonim mengatakan...

Machiaveli?

wah kelihatannya menarik untuk mengulsnya dalam artikel tersendiri, Terima kasih telah mengingatkan saya...

Anonim mengatakan...

kedunguan...mmmm??? tak tahulah apa yang tepat...

tapi bukankah aneh, punya bukunya tapi tak bisa membacanya dengan baik, dengan kritis, katanya membaca kritis....piye to???

kang giy tak menggunakan klaim tokoh??? Konfusius, Dao, Mises? itu semua apa??? praxiologi? itu apa emangnya? hehehe....

semuanya terbantahkan dengan sendirinya kang hwahaha...


kang, argumenmu menolak negara itu lemah, sangat lemah, jawab pertanyaanku aja gak bisa kok hehe....dan kemudian ngeless "jarang" mengggunakan tokoh untuk klaim??? hah....

sory kang, sekadar mengingatkanmu, dengan cara yang selalu kau gunakan hehe...

Salam,

Anonim mengatakan...

Sebelum saya menulis Machiaveli. Setidaknya ada sudut pandang yang berbeda dari saya terhadap para analis "pemikiran mainstream'---semisal Anda.

Pertama, Machiaveli tidak menganggap negara sebagai tiran, Machiaveli murni berniat mempersembahkan karyanya sebagai sebuah gambaran realitas sifat kekuasaan---dalam metodologi riset Machiaveli, saya menyebut Macheaveli sebagai Praksiolog.

Kedua, Machiaveli mempunyai ikatan batin dan budaya yang kuat dalam melayani kerajaan yang dikendalikan oleh keluarga Medici.

Dan keempat, sikap yang terlalu Chauvinis dari Machiaveli.

Dan kelima, yang jelas secara metodologis---terlepas dari keakuratan tesis-nya, saya mengagumi cara dia menulis.


Salam

Anonim mengatakan...

Marxian, Foucaultdian, Freduian, dibandingkan dengan Neo-liberalisme, kapitalisme, nasionalisme, itu mainstream atau liyan??? "Gambaran realitas kekuasaan", itu kan hal yang sama dikatakan Gramsci, Foucault, Bourdieu, piye to...????

hayo jawab...hehehe....