Tiap kelahiran adalah kesakitan, darinya selalu bermula sebuah kehidupan, yang baru, yang telanjang, yang jauh dari keseakanan. Kelahiran peradaban baru selalu sebuah kesakitan bagi peradaban lama, bagi kesadaran kemanusiaan. Kelahiran kesadaran baru juga kesakitan bagi pemahaman yang mula, tiap perjuangan adalah kesakitan tuk lahirnya kemenangan atau kekalahan, tiap ketidakpastian adalah kesakitan menyongsong lahirnya kepastian.
Ganti tahun tidak pasti kelahiran kehidupan baru, mana ada pergantian tahun diawali kesakitan yang darinya lahir kehidupan baru. Ganti tahun selalu diawali dengan canda, tawa, nirkesakitan. Apa pula beda awal dan akhir ketika ia ada dalam satu titik, bukankah akhir tahun -2008- adalah awal tahun -2009? Hanya bilangan “nol”, petanda “kosong” yang tiada rujukan penandanya, karena “kosong” itupun ada, dan itu pasti, bukan ketidakpastian, karena kalau “kosong” itu tiada, pasti ia tiada nama, tiada imaji yang menciptakannya. Dan “kosong” itulah yang mencengkeram waktu, dalam salah satu ujudnya adalah kekosongan, ketiadaan, tepatnya adalah: waktu adalah “kosong” itu sendiri, ia tiada terbilang.
Angka petanda waktu adalah imaji belaka, ia tiada rujukannya kecuali dalam imaji. Makanya waktu tiada termakan usia, waktu tiada dapat dikuasai bilangan, angka-angka itu. Dan dengan demikian pada hakikatnya waktu tiada memakan dan mencengkeram dunia bumi, bumi manusia ini, tempat kelahiran adalah kesakitan. Waktu tiada pengaruhnya pada kesakitan yang lahirkan kehidupan baru. Evolusi, revolusi, tiada dipengaruhi dan tercengkeram oleh waktu.
Waktu tiada berputar, tiada bergerak, waktu kalaupun ia dapat direduksi dalam nama “waktu” itu karena hakikatnya ia adalah kosong, namun bukan tiada, maka yang bergerak sebenarnya hanyalah pendulum jam, jarum jam, yang bergerak adalah bumi mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi, dan waktu….ah ia tiada bergerak, karena ia tiada di alam riil, ia hanya ada dalam imaji, sebagaimana bilangan yang dipaksa memperlambangkan waktu, yang sehari dipaksa dalam 12 jam, dan jam…ah itu imaji pula. Ah…aku belum baca oleh-oleh dari guru besar yang saya daku sebagai guru saya, Prof. Abu Su’ud, buku kecilnya yang berjudul “Ruang, Waktu, dan Tuhan”. Entahlah kalau sudah baca, hanya waktukah yang dapat menjawabnya, ku sekali ini ragu, bukankah waktu itu kosong, walaupun begitu ia ada, karena itu ternamai.
Imaji manusia sajalah yang jadikan kita menyalahkan waktu, dan seolah-olah dicengkeram waktu, dan tiada berdaya “melawan” waktu, bagaimana yang “kosong” bisa mencengkeram, bagaimana yang “kosong” dilawan. Sekali lagi aku mulai yakin bahwa waktu tiada pengaruh pada hidup, pun usia manusia, usia bumi, “usia” mungkin dengan demikian hanya aksiden dari konsep “waktu”, dan karenanya ia tiada bersalah. Dengan demikian usia tiada bertambah, tapi hanyalah semakin berkurangnya hormon-hormon kekebalan, hilangnya pigmen hitam rambut, memudarnya kekuatan melihat, merasa, membaui, mencecap, mendengar, berkurangnya kekuatan indra. Bukan karena dimakan waktu, tapi karena memang secara fisiologis kekuatan fisik manusia akan menurun, berkurang.
Sampai di sini, sadar saya agaknya sekadar berbicara dalam ruang empiris-indrawi, fisikal, fisiologis, belum atau tidak pada ruang idea, imaji, dan idea dan imaji itu –termasuk “kosong”, “angka”, “waktu” tetaplah ada, bahkan “ketiadaan”, “ketidakadaan”, itu juga ada. Imaji itu bukanlah tiada guna, secara kasar “tipuan” itu pun berguna. Mungkin benar kata Nietzsche bahwa manusia memang ingin selalu ditipu, termasuk oleh imaji konseptualnya sendiri, citanya sendiri. Imaji waktu berguna untuk menandai torehan sejarah, kelahiran yang selalu adalah kesakitan abadi bagi lahirnya kehidupan baru, yang mungkin juga sekadar imaji. Dengan begitu agaknya waktu adalah tiada dan ada, toh... kisah selalu lahir dalam “kurun waktu”, dalam imaji waktu itu, pun kisah percintaan, yang sebagaimana kata Pramoedya dalam Bumi Manusia-nya kira-kira:
“Tiap kisah percintaan adalah kisah pribadi, personal, yang pada hakikatnya bukanlah konsumsi publik. Kisah pribadi itulah yang kan jadikannya berkepribadian, memiliki personalitas. Berterimakasihlah pada setiap kisah percintaan yang personal itu, yang darinya terbentuklah kepribadian, lain dari yang sebelumnya.”
Salam, Edi Subkhan, penulis...
Rabu, Desember 31, 2008
Waktu
Minggu, Desember 28, 2008
Transcendental of Principle Morals Kant
Kant’s the great philosopher in Aufklarung temporary who enlightening influence until now. He’s rather good man which has discipline and high-level thinking. Thinking such categorical imperative, grounding, critique, and etc, especially philosophy of criticize. If to discuss about Kant thought appears meaningfull, on the one hand, we can to add our knowledge, bring to falling empirical question, and the other hand, we can get method for useful to deconstruction our mather in live and metaphyfics.
On the same time, discursuss about morality to meet some case at Indonesia. Criminal act, suffering, porn act-porn grafics, hedonism in end yearth, free sex, and the other act morality done some people, the great disruptions, police and government cannot stopped them, because humant in the institute also broken act and heart. Similarly, public figure also to done some act which distortion matter in our society, actris even has been dehumanization some people use imitation for development habitual more broke. Some people very dezy from limited natural resources to spent energy.
From whole thinking, especially philosophys, humant can do everything, to defend our body from science, technology, modernity engeneering. The thinking quite important to make weath, freedom, and equel in the world.
In circumstance, some people more incunation use pragmatical reason than pure or transcendentalism reason for supposed answer if because whole thought Kant very useful, namely, for development our mine to get the truth. And then further, whole thought him, about metaphysics of morals conceived abstraction and deep-meaningfull theory. For attainmend, we must be seriaus and deep contemplation-reflection for that.
Kant our temporary, philosopher has cuminate, hard done to meet existence God, will of humant (basical insting). Accordingly, the moral law makes no distinctions between God and man. God will to good act in oneself to explain will God. God’s being, and always rememorize oneself conduct the better aims.
On the other field, will of humant (basical insting), its means that starting to search the truth by use a priori reason enough. For the will stand between it’s a priori, which is formal, and it’s a posteriori spring which is material. A priori, which certainly is only possible in rational being. However, categorical imperative also considered imposed a rational work. Its can to be discovered the truth and make foundation of morality. This is not same with empirical reason as practical reason, which only cant treats phenomenon. The pure reason from grounding and critique, according with natural science which got the precise truth. Both that fundamental value, grounding and critique to given really-truth.
Kant says that categorical imperative can be make rather toward ordinary morality of law, but transcendentalism to metaphysics of moral. Some people might empirical question, actually, include Antropology from a Pragmatic Point of View. Whole that empirical question only be field slowly, Antropology contained habitual and culture which still biased evil. So, pure of reason as a whole the thinking method very good to make subtanse important in morality system
Awaludin Marwan, SH
Senin, Desember 22, 2008
Genealogy of Genealogy
Malam lalu saya meyelesaikan salah satu tugas kuliah, yang kebetulan tugas kelompok. Tugas itu hanyalah melakukan pengamatan, yang karena terbingkai pigura jas almamater, kurikulum, mata kuliah, maka saya menulisnya observasi. Saya, dan beberapa teman lain, melakukan observasi. Sejauh yang saya tahu, dan mungkin juga sebagian Anda tahu, dan maka dari itu sebagian lain ada yang tidak tahu, bahwa kuliah bukanlah sesuatu yang modern. Kuliah adalah sesuatu yang tradisional ; tradisi-onal. Saya lebih menekankan pada kata “tradisi”, yang dekat dengan rutinitas. Apapun yang menjadi rutin, sehingga menyertakan konsekuensi berupa pendangkalan. Atau pergeseran, jika saya melepaskan sekat antara kategori dalam-dangkal.
Dan hal tradisional lain adalah, membuat laporan observasi. Setebal mungkin, agar mendapatkan nilai “A”. Barangkali itu yang di-idealkan oleh salah satu teman sekelompok saya. Teman saya tersebut, dalam bahasa psikologi a la nggebyah uyah, mempunyai kecenderungan obsesif-kompulsif, atau hasrat akan kesempurnaan, dalam bahasa yang lain. Tetapi ”kesempurnaan” yang dirujuk itu yang seperti apa? Sayangnya saya belum mendapatkan jawaban dari teman saya tersebut, karena memang saya belum menanyakannya.
Malam lalu saya menyelesaikan satu tugas kuliah. Membuat laporan observasi yang telah dilakukan pada hari Sabtu, hari yang katanya sempat dimuliakan pada zaman Musa. Observasi itu berlatar di satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Semarang, daerah Pedurungan. Dan yang menjadi subyek dalam observasi itu bernama Aziz, katakan saja demikian. Dia adalah seorang Jepara, yang dalam satu bulan terakhir menjalani perawatan di Rumah Sakit tersebut. Lepas dari beruntung atau sial, orang itulah, yang menajdi subyek (atau obyek?) observasi kami. Saya, dan teman sekelompok.
Penuturan Aziz, yang saya baca melalui laporan yang belum jadi, pada tahun 2000 lalu, Dia pernah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, di samping diagnosis medis yang menyatakan bahwa dirinya menderita gangguan jantung, asma, dan diabetes melitus. Setelah 40 hari menjalani perawatan, Dia dinyatakan sembuh, dan diperbolehkan pulang. Hari-hari setelah kepulangan sebagian dirinya (Aziz tak mendapati dirinya utuh di rumahnya), Aziz tidak bersedia meminum obat yang dianjurkan oleh dokter. Di sisi lain, Aziz justru menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri, dan tertangkap basah bertindak agresif pada saat marah.
Suatu saat, Aziz merasa bahwa dirinya diguna-guna. Masih menurut Aziz, yang saya baca dari laporan observasi, orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas ter-guna-guna-inya dirinya adalah Ali Ridho, sebut saja itu, seorang yang menjadi jengkel karena Aziz menolak untuk menerima tawaran Ali Ridho agar menikah dengan putrinya. Mutmainah, saya mengarang nama putri dari nama karangan saya juga, Ali Ridho.
Entah karena guna-guna, akumulasi ke-galak-an guru ngajinya sewaktu kecil-kebetulan kakek si Aziz sendiri-, atau berkonfrontasi ”head to head” dengan saudara kandungnya mengenai perbandingan gaji (kesemuanya, konon juga dituturkan oleh Aziz, dengan penjelasan yang inkonsisten), Aziz mendapati dirinya sedang marah, sangat marah, sampai-sampai memecahkan beberapa piring. Barangkali juga beberapa gelas, kiraan saya. Dan beberapa saat kemudian, kira-kira satu bulan lalu jika kita mengukurnya dari batas hari ini, dia, si Aziz, kembali dikirimkan ke Rumah Sakit Jiwa. Demikian, menurut cerita laporan yang didapat dari sebuah observasi. Deskripsi ini adalah allo anamnesis, jika saya menggunakan bahasa teknis (harus saya akui, bahwa saya lebih suka mengatakan ”teknis” daripada ”psikologis”, karena bagi saya keduanya, setidaknya seperti yang saya tahu adalah sama saja)
Dalam verbatim wawancara, saya membaca, sehingga saya bisa bercerita bahwa saat masih di rumah, dia sering bercakap-cakap via telpon dengan-entah-rekan, bos, atau pacar (penjelasan Aziz konon berubah-ubah, yang saya rasa adalah hal yang biasa bagi seorang yang punya hasrat untuk mencintai), yang bernama Yunita Hasim. Sedangkan deskripsi pada paragraf ini didapat dari auto anamnesis, jika saya tidak salah memahami apa itu auto anamnesis.
Tetapi, menurut orang tua Aziz, sebenarnya Aziz tak pernah menelpon siapa-siapa. Dia hanya berbicara tanpa lawan bicara di dalam kamarnya. Untuk diperhatikan, saya tidak berharap kata ”sebenarnya” di paragraf dipahami secara mutlak bersifat hakiki.
Sampai di sini, kemudian saya teringat film yang pernah saya tonton beberapa minggu lalu. Film berjudul ”a beautiful mind”, yang bercerita tentang John Nash, salah satu peraih nobel matematika. Saya tak tahu, apakah Yunita Hasim dalam kasus Aziz, adalah sama dengan si agen rahasia, teman sekamar, dan seorang anak kecil, dalam kasus John Nash. Maksud saya, saya tidak tahu, apakah Yunita Hasim adalah sosok yang hanya ada dalam dunia Aziz, dan hanya bisa menyapa Aziz. Bisa saja, Yunita Hasim adalah sosok yang secara materiil ada, hanya terlalu jauh (bukan hanya dalam arti jarak) untuk direngkuh oleh Aziz. Dan bisa saja, Yunita Hasim adalah sosok khayalan (atau kebenaran eksistensial?) Aziz.
Saya membayangkan, mungkinkah saya, akan menganggap Aziz gila, jika saya secara kebetulan menemui dan berbincang dengannya di tempat lain, selain Rumah Sakit Jiwa? Di warung Mie Ayam Stasiun Poncol, atau di terminal Terboyo misalnya. Apakah Aziz gila karena dia berada di dalam Rumah Sakit Jiwa, ataukah dia masuk Rumah Sakit Jiwa karena dia gila?
Hari ini saya dan teman sekelompok saya melakukan presentasi, menyajikan laporan. Dan semua bincang berlanjut tentang skizofrenia, farmakoterapi, delusi, tought echo, tilikan, medikamentosa, prognosis, dan sebagainya. Saya, sesaat setelah menjawab beberapa pertanyaan, di kursi saya duduk, di muka kelas, sedikit menggumam ”Aziz tidak bisa sembuh, karena dia tak dibiarkan sembuh”. Barangkali observasi dan analisa Foucault tentang Rumah Sakit Jiwa bermula dari hal yang agak sama dengan apa yang saya gumamkan, dan dituliskannya dalam bukunya tentang genealogi (asal-usul) pengetahuan.
Ahmad Fahmi Mubarok
Minggu, Desember 21, 2008
Intelektual atau Politik
“Kadang aku mengimpikan ada ruang ndak terbatas tembok, jas almamater, sepatu dan tiket dikampus” begitulah SMS yang aku terima dari Fahmi. Pesan yang membanyangkan adanya suatu pergerakan yang tiada batas. Dan sesungguhnya Pergerakan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh kaum intelektual.
Karena kaum intelektual bergerak lewat ketulusan hati untuk mengeluarkan apa yang ada dipikiran dan jiwa. Terlepas dari kepentingan manapun. Yang hanya dibenak para intelektualis hanyalah ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk kepentingan umat. Mereka sadar ilmu pengetahuan tidak akan ada artinya jika tidak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Intelektualis bisa kita temukan lewat suatu komunitas-komunitas diskusi kecil yang diselenggarakan secara continue –yang jarang ditemukan di Unnes-. Dan hasil dari diskusi tersebut di karyakan lewat tulisan. Yang bisa dibaca oleh berbagai kalangan yang jadi sasaran pencerahan. Memang Pada dasarnya suatu kekuatan sesungguhnya, berada ditangan komunitas-komunitas kecil yang berada diluar sistem. Setidaknya seperti itulah yang di ajarkan oleh Antonio Gramci.
Banyaknya aktor intelektual yang terjun ke dunia politk pragtis, bisa menyesatkan mereka dalam suatu keadaan yang gelap gulita. Karena dunia politik berbeda dengan dunia intelektual. Kebenaran yang ada dalam dunia intelektual-cenderung akademik- berbanding 180 derajat dengan kebenaran yang ada didalam dunia politik.
Tokoh politik yang berangkat dari akademis seperti Soekarno dan Hatta, jika mereka masih hudup pasti akan menyesalkan kader-kader yang dari akademik masuk kedunia politik pragtis, karena mereka tidak bisa mempertahankan idealismenya. Itu disebabkan mereka terikat oleh tembok partai yang besar dan tingkah laku mereka selalu dibentengi dengan jas-jas kebesaran partai yang mereka kenakan.
Mungkin landasan para intelektual terjun ke politik karena hasil dari menulis buku tidak mencukupi untuk membiayai hidup yang semakin mahal. Sehingga mereka meninggalkan dunia akademik, dan melihat dunia politik lebih menjanjikan untuk masalah uang ketimbang menulis buku.
Memang, dunia politik identik dengan uang, siapa yang banyak uang dialah yang meraih kekuasaan. Dalam meraih kekuasaaan uang masih sebagai senjata yang sangat ampuh, bisa kita lihat dalam perpolitikan kampus sekarang. Seorang calon Presma rela mengeluarkan 2 sampai 4 juta. Uang sebanyak itu bagi seorang mahasiswa sangatlah luar biasa besarnya.
Angka 4 juta bisa digunakan untuk memberi makan fakir miskin atau beli Kambing sebanyak 5 ekor untuk Idhul Adha kemarin, serta Bisa juga untuk berwirausaha seperti buat modal dagang pulsa dan aneka jenis bisnis lainnya. Namun kekuasaan bisa membuat buta mata seseorang. Yang ada dalam fikiran orang yang terjun ke politik pragtis hanyalah mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya demi tercapainya kekuasaan yang dia inginkan.
Sangat sulit memang untuk menebak sesuatu di dunia politik, karena politik adalah pertaruangan antar kekuatan. Dan bisa saja ”segala cara dihalalkan” dalam perpolitikan, begitulah kata Machiavelli. Semua penilaian saya serahkan kepada anda semua mau tetap intlektual atau terjun bebas di dunia perpolitikan.
Muhtar Said
Rabu, Desember 17, 2008
Rokok dalam perspektif Ahli Hisap
Hembusan asap dikeluarkan lewat mulut sambil ditemani teman-teman yang lagi diskusi, itu adalah salah satu kenikmatan merokok. Rokok juga bisa menjadi obat bagi orang yang sendang patah hati. Apalagi ditengah kesunyian malam sambil merenungi hidup ini di barengi dengan dzikir di saat menyedot dan mengeluarkan asap sebuah kenikmatan juga.
Tetapi kenikmatan itu sekarang mulai berganti dengan ketidak tentraman karena ada isu bahwa Majlis Ulama Indonesia akan mengharamkan rokok. Para ulama’ memang punya hak untuk mengharamkannya karena mereka adalah pewaris para nabi. Perlu diketahui orang yang bisa mewarnai dunia salah satunya adalah nabi(selain filosof)
Digelontorkanya wacana bahwa merokok itu haram adalah semata-mata ketika kita cermati adalah sebuah wacana yang syarat akan dunia politik, masyarakat indonesia tidak sadar bahwa wacana-wacana yang keluar pada saat-saat sekarang terkesan sudah terlalu banyak menghadirkan ide-ide yang tidak krusial sebagai contoh wacana merokok itu haram atau yang lebih ekstrim diusulkanya undang-undang pornografi dan pornoaksi, hal ini dirasakan banyak kejanggalan didalamnya. Ketika kita bisa sedikit berfikir bahwa wacana-wacana semacam ini sengaja dibuat oleh para agen yang menghendaki rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk mempertegas analisa tersebut dapat kita lihat setelah anggota dewan menggodak undang-undang tersebut banyak pro-kontra yang ada didalam proses tersebut lebih ekstrimnya masyarakat bali khususnya menentang keras terbitnya undang-undang tersebut ada aksi menentang,hal ini sangat disayangkan yang seharusnya undang-undang adalah sebagai payung hukum untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat sudah tidak dapat lagi dirasakan semacam itu, pemerintah dalam hal ini sebagai aktor yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan tatanan ini karena dengan kata lain banyak daerah yang akan membebaskn diri dari indonesia, wacana merokok itu haram juga dapat mendatangkan pengaruh setimen negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konsep NKRI
Jauh yang lebih penting yang harus dipikirkan adalah siapa yang berperan dalam hal ini agen kah atau siapa?Majelis Ulama Indonesia selaku organisasi yang langsung diberikan kewenangan oleh pemerintah, sebetulnya dengan kondisi sekarang, juga sudah tidak relefan lagi karena lembaga ini sudah jauh masuk dalam ranah yang seharusnya dia tidak bisa memasuki, tugas dari lembaga ini dirasakan sudah mengkotak-kotakan masalah kepercayaan
Seringnya MUI membuat fatwa itu akan mempengaruhi kharisma bagi anggota MUI itu sendiri. Bahkan fatwa MUI banyak yang dilanggar seperti fatwa Gosip itu haram. Memang yang bisa mematuhi fatwa yang dikeluarkan oleh MUI hanyalah orang yang mempunyai keyakinan tinggi terhadap keyakinanan yang mereka anut.
Tidak ada dalam ajaran agama(islam) yang mengatur tentang haramnya sebuah rokok, disitu Cuma tercantum bahwa umat muslim dilarang untuk merusak jasadnya sendiri. Namun daam kontek perusakan jasad juga masih bersifat mengambang pemaknaan artinya, kita bisa lihat orang yang fanatik dengan cucu Nabi Muhammad mereka memperingatinya dengan menyiksa dirinya sendiri, sebagai bukti ketaatan mereka kepada Hasan-Husen yang dulu pernah disiksa oleh bani Umaiah di padang Karbila. Karena saking fanatiknya mereka juga ingin merasakan apa yang pernah dirasakan oleh cucu Rosullah tersebut.
Dalam konteks Islam mempunyai pandangan antara manfaat dan madhorat. Jika memang manfaatnya untuk umat itu penting maka itulah yang diutamakan. Jika ditilik dalam realitas manfaat rokok dalam perekonomian Indonesia sangatlah memegang peranan penting, didalam perusaahan rokok terdapat puluhan ribu buruh yang hidupnya bergatung pada rokok.
Jika fatwa MUI tentang pengharaman rokok dan diperkuat oleh undang-undang maka pengangguran akan meningkat. Dan kemana arah kita untuk menyalahkan? Apakah MUI mau memberi lapangan pekerjaan bagi mereka yang di PHK dari peruahaan rokok tersebut.
Wacana pengharaman rokok bukan hannya meresahkan para ahli hisap-sebutan orang yang suka menghisap rokok- tetapi juga meresahakan orang yang tidak merokok. Seharusnya tidak harus se-frontal itu jika hanya untuk menjaga kesehatan umat cukup hanya dibuatan peratuaran tentang arena merokok bagi kaum ahli hisap.
Muhtar Said
Kordinator Komunitas Mata Hati dan Mahasiswa Hukum Unnes Semester 5,
Selasa, Desember 16, 2008
LAPOEAN PEMANTAUAN PILKADA TEGAL: DEWA-ORGA
PROLOG
Demokrasi setidaknya memberikan sumbangsih yang hadir dari metafenomena membungkus proses politik seirama dengan nurani –kelembutan dan kehalusan– watak manusia. Demokrasi yang salah satu indikator penyangganya disebut-sebut salah satunya, pemilihan umum, diyakini mampu membawa pelembagaan konflik dari barbarisme ke humanisme. Tegal dulu yang terkenang dengan kawasan yang tidak luput dari ekses konflik merupakan suatu tempat yang membuktikan minimalisasi dan eliminasi konflik dalam proses politik yang berjalan cukup efektif.
Tegal –yang sekarang telah menjalani proses politik berupa pemilihan kepala daerah secara langsung– dahulu adalah daerah yang terkena ekses konflik bahkan berkonflik. Tokoh sentral tegal, Ki Gede Sebayu memiliki hubungan erat dengan Pangeran Benowo, putra mahkota kerajaan Pajang. Setelah sepeninggalannya, pajang yang memiliki hubungan erat dengan eksistensi tegal ataupun tokoh sentral tegal, berada dalam krisis kekuasaan yang melibatkan pertempuran pajang mataram, belum lagi konflik internal dimana tiga menantu almarhum raja, masing-masing adalah Raja Tuban, Raja Demak, dan Raja di Arosbaya memiliki hasrat untuk berkuasa. Saat pangeran Benowo menduduki singasana raja pajang, sempat Raja Demak Aria Pangiri dengan bantuan spiritual Sunan Kudus merebut tahta Raja yang pada akhirnya dikembalikan lagi karena pihak istana yang kurang bisa menerima Raja selain Benowo. Baik konflik internal maupun eksternal yang ada di Pajang ini merengut korban jiwa dalam setiap pertempurannya, yang kemudian iklim dan nuansa politis ini secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi kondisi sosio-politik-kultur masyarakat tegal di bawah pimpinan Ki Gede Sebayu kerabat dekat pangeran Benowo.
Resistensi konlfik dan ketegangan yang meluap, menimbulkan peperangan dan meninggalkan banyak korban jiwa juga terjadi dalam sebuah hikayat yang menyatakan bahwa nama Tetegal sejak zaman Kahuripan, yakni kerajaan kecil yang disebut Lawram dengan ibukota di wura-wari. Di satu sisi lain kerajaan Siwarung (di Slawi) yang merupakan musuh dari Medang Kahuripan. Siwarung yang merupakan Bandar besar yang bersekutu dengan Sriwijaya melawan Medang Kahuripan pada masa Dharmawangsa yang akhirnya dimenangkan oleh Erlangga. Pertempuran jelas memakan korban perang ataupun korban tak berdosa (innocent victim) yang membuat perebutan kekuasaan yang seharusnya berjalan untuk kemaslahatan manusia yang lebih banyak lagi kehilangan hakekatnya.
Di sinilah feodalisme dan anakisme membakar dunia, demokrasi dengan humanismenya memadamkannya. Demokrasi melalui pemilihan umum sebagai sarananya mampu melembagakan konflik, yang semula terhadap perebutan kekuasaan harus melibatkan pula kekerasan, kini dengan demokrasi, anasir-anasir kekerasan dihilangkan. Proses peralihan kekuasaan menjadi ajang kompetisi yang lebih memanusiakan manusia, menegasikan kekerasan yang berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Kekerasan di dunia kuno terkenal sebagai karma, relasi sebab akibat yang melekat pada diri manusia yang bersangkutan, jika dia melakukan kekerasan maka suatu hari kekerasan akan di dapatkannya. Di dunia modern, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan selanjutnya dan tak akan bernah berakhir, bagaimana Negara dengan keduta akan terus diikuti dengan kudeta-kudeta berikutnya. Yang terkena dampaknya adalah rakyat kecil, pertumbuhan ekonomi tidak berjalan, pembangunan mandek, dan pelayanan publik dikesampingkan, kondisi menegangkan dan kenyamanan hidup hilang.
Di samping itu, sebutan Ki Gede Sebayu yang mengacu pada pnguasa local dan sekaligus pemimpin spiritual, menyisakan hal positif berupa pembangunan di kawasan Tegal, namun bagi perkembangan sistem pemerintahan, sirkulasi elit tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Babad Padegongan menceritakan bahwa Ki Gede Sebayu merupakan tokoh yang kemudian melahirkan Bupati Tegal. Ia memiliki dua keturunan, yaitu R Ayu Giyanti Suba Laksana dan Ki Gede Hanggawana. Dari garis keturunan Ki Gede Hanggawana yang sekaligus sesepuh Kali Soka banyak menurunkan Bupati Tegal. Putra sulungnya, yakni Ki Tumenggung-anggawara diangkat menjadi Bupati Tegal oleh Raja Mataram yang berkedudukan di Kali Soka.
Melihat penggalan data diatas, disebutkan bahwa tidak adanya perubahan atau mekanisme –kekuaraan yang hanya beralih pada sekitar garis keturunan akan mengarahkan pada otoriterianisme dan kejemunan, kekerasan di internal keluarga (bagaimana pembunuhan soudara acapkali terjadi di masa kerajaan pada perebutan singasana raja: demak, majapahit, sriwijaya, singosari dst)– yang memungkinkannya bagi masyarakat biasa dengan kemampuan yang luar biasa, bisa menjadi pmimpin yang sangat rasional bisa mengangkat dan memajukan daerah dengan kemampuannya. Kemampuan seseorang bukan dilihat dari kinerjanya, melainkan hubungan keturunan yang di nilai sangat eksklusif. Maka dengan demokrasi, melalui sarana pemilihan umumnya mampu membongkar kebuntuan sistem, menjadikannya arena yang terbuka baik orang keturunan maupun rakyat biasa yang hendak memimpin suatu pemerintahan. Kemampuan dengan sendirinya akan terlihat dan teruji pada proses pemenangan di arena pertarungan politik tersebut.
Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan, dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat. Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan berdaulat.
Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam Budiardjo,1 rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran demokrasi, government or rule by the people, dari peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, kratein/ kratos berarti kekuasaan/ berkuasa. Sistem Negara-Kota (city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M) merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial. Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi. Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah. Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja, bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat.
Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habis-habisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan.
Penulis memandang terdapat empat masalah paling menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah : uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus mengalami fase pendewasaan politis elit dan masyarakatnya.
Uforianis pemekaran merupakan persoalan yang bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali (pusat suku bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una (terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebut-nyebutkan bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah di implementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh sebagian besar rencana kabupaten baru.2
Sementara persoalan keuangan daerah membawa pada satu titik di mana kemandirian daerah dan ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal.
Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah lain yang tertinggal.
Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri.3 Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pembangunan menjadi prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah, penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas penggunaan anggaran,4
Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi dari Jawa. Untuk mengindari kerugian financial dagi daerahnya, maka nagari di pecah-pecah menjadi unit administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak lahirnya, system desa dan pemecahan nagari ini dikritik habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit territorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda dengan desa.5 Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di masyarakat dari sudut budaya.
Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan, melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6 Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret ekonomis.
Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang bersamaan pembangunan basis politik daerah yang demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik dan pendidikan politik pun telah banyak memulai pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara kolektif komunal daerah setempat.
Pilkada sebagai sarana pembentukan demokrasi di tingkat daerah merupakan media yang kuat untuk menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dan lahirnya pemerintah yang baik dan aspiratif. Pilkada yang demokratis merupakan sesuatu konsep yang tercipta dari sebuah kerangka filsafat etis dan pemikiran teori politik tentang demokrasi. Filsafat etis menekankan pada kondisi moral manusia. Sudarsono7 menyatakan moral yang berlaku secara sosial maupun individual dipertimbangkan dari tabiat manusia secara hakiki, sebab manusia adalah makhluk sosial, ujar Seorang filsuf Thomas Aquinas yang memberikan tampilan metode induktif didalam menguraikan etika. Filsafat etis dipengaruhi naluri manusialah yang menentukan “kehendak baik kita”. Sebagai suatu faktor, Kant yang dikutip oleh Sudarsono8 yang menentukan bagi kehendak baik adalah gagasan tentang adanya tertib hukum dalam dirinya sendiri, dan sikap kritis tranformatif, seperti yang secara khusus terdapat di rasio. Filsafat etis menempatkan pilkada yang demokratis sebagai salah satu bentuk konsep yang harus didukung dengan tertib hukum dan partisipasi setiap manusia secara keseluruhan yang menjadi keselarasan yang ditentukan sebelumnya (harmonia praestabilitia sebagai etika yang asasi yang berasal dari perasaan dan kepercayaan. Sedangkan teori demokrasi, menjadi bingkai pendukung terhadap pengembangan konsep politik yang mengarahkan Pilkada yang jujur dan adil sebagai budaya demokratis suatu negara.
Nurtjahjo9 menyatakan bahwa ada beberapa kriteria standar sebagai kadar demokratisasi suatu negara sebagaimana yang diyakini oleh Jack Lively, menyebutkan bahwa tiga kriteria kadar demokrarisasi sebuah negara : (1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada dibawah kontrol masyarakat, (3) sejauh mana warga negara biasa terlibat dalam proses pengambilan keputusan administrasi umum. Sementara hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Henry B. Mayo sebagaimana dikutip oleh Nurtjahjo10 yang memberikan tekanan pada sembilan kriteria yang menjadi kadar demokratisasi sebuah negara : (1) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela, (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah, (3) terselenggaranya pergantian pimpinan secara teratur, (4) membatasi pemakaian kekerasan secara minimum, (5) adanya keanekaragaman (plurality), (6) tercapainya keadilan, (7) yang paling baik dalam memajukan ilmu pengetahuan, (8) kebebasan, dan (9) adanya nilai-nilai yang dihasilkan oleh kelemahan-kelemahan sistem yang lain. Skema dasar kadar demokrasi lebih ditekankan pada partisipasi masyarakat dan pemerintahan yang baik.
Uraian diatas menerangkan cukup sistematis kadar demokratisasi sebuah kaum atau komunitas negara. Kendatipun demikian, lain halnya dengan E.P Dutton & Co. Inc, yang menekankan demokrasi pada landasan seberapa jauh sebuah sistem memberikan “kebebasan”, dengan kata lain, titik berat demokrasi tidak lain adalah kebebasan.11 E.P Dutton & Co. Inc yang mempercayai pendapat Miguel de Cervantes, mengatakan, kebebasan adalah salah satu anugrah pilihan dari surge yang dilimpahkan kepada manusia, tanpa kebebasan hidup tidak bermakna.12 Mereka yang fanatik pada demokrasi liberal dan mengklaim demokrasi radikal akan menyengsarakan umat manusia. Demokrasi radikal yang melandaskan dirinya pada paham komunisme dinyatakan olehnya sebagai sebuah konsepsi yang bermain diatas kelemahan jutaan manusia yang hidup dalam kemiskinan, yang hanya memiliki sedikit pengalaman tentang institusi demokrasi, kebebasan, serta kekurangan sumber daya intelektual. Komunisme dalam sejarah dunia yang identik dengan pemaksaan yang kejam berlumur kediktatoran absolute yang justru kontraproduktif dengan gagasan, ide, dan semangat demokrasi.
Berbeda dengan E.P Dutton & Co. Inc, Jeff Haynes lebih menunjukan kadar demokratisasi ke suatu yang lebih konkret, yakni pencapaian keadilan subtantif. Demokrasi subtantif, ungkap Hayness, berisikan demokrasi yang lebih mendalam, menitik beratkan pada persoalan yang memberdayakan masyarakat, terutama kelompok yang lemah.13 Pemberdayaan masyarakat kaum lemah keutamaan dari demokrasi sesungguhnya inti dari asumsi Hayness, namun kita mesti kritis dengan mengatakan demokrasi subtantif memang ambigu, abstrak, dan dialektis. Subtantif berarti inti, materi, dasar, dan sampai pemaknaan ruh, namun pemberdayaan masyarakat kaum lemah yang ditunjuk Hayness ini merupakan subjektivitas yang tidak hanya perlu diperdebatkan, melainkan diambil juga manfaatnya. Keberpihakan demokrasi kaum lemah inilah yang menjadi tujuan ideal, bagaimana seluruh umat manusia nantinya akan sejahtera melalui demokrasi dan mengalami kesetaraan pada akhirnya.
DILEMA GOLPUT
1.Golput Setia Menemani Pemilu Jateng
Pukulan berat menimpa kondisi perpolitikan di Jawa Tengah, angka golput pilgub terbesar nomor wahid di Indonesia, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 10.739.152 (41,54 persen). Jelang Pemilu Legislatif, bayang-bayang golput jadi momok menakutkan, mendekontruksi legitimasi dan otoritas politik politisi.
Gubernur terpilih Bibit-Rustri kemarin hanya mendapat sekitar 6.084.261(43, 44 persen dari hasil perolehan suara yang dihitung tanpa melibatkan suara tidak sah dan golput). Dengan pertimbangan bahwa tingginya tingkat golput karena individu yang memiliki kepentingan jumlahnya terbatas, hanya pasangan kandidat pada pemilihan Gubernur. Maka pemilu legislatif dengan banyaknya orang memiliki kepentingan dan ramainya calon legislatif beserta simpatisannya, mereka berharap suara golput beralih mendukungnya.
Harapan peralihan suara golput tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. Bersamaan dengan lestarinya figur lama atau munculnya figur baru politisi legislatif, media massa dan wacana publik membentuk opini yang tidak menyenangkan bagi sekelompok politisi tersebut. Sederetan kasus korupsi dan skandal politisi di parlemen, memaksa pemilih untuk berfikir ulang mendukung dan membantu mendudukkan mereka di parlemen, dengan citra dan image politisi yang masih berlumuran skandal dan kasus itu.
Dengan fakta yang menyedihkan ini, berimplikasi terhadap tinggi rendahnya kesadaran dan kepercayaan yang mempengaruhi partisipasi politik warga. Partisipasi politik biasanya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu tingkat kesadaran politik masyarakat, dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem politik. Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dilihat adanya empat model partisipasi politik. Pertama, bila kesadaran politik yang tinggi diikuti dengan kepercayaan pada sistem politik juga tinggi, maka akan menimbulkan partisipasi politik yang aktif. Kedua, bila kesadaran politik yang tinggi dibarengi dengan kepercayaan yang rendah kepada sistem politik, maka akan melahirkan perilaku membangkang (dissiden) atau militan-radikal. Ketiga, bila kesadaran politik rendah diikuti dengan kepercayaan yang tinggi pada sistem politik, maka model partisipasinya pasif. Keempat, bila kesadaran politik dan kepercayaan pada sistem politik sama-sama rendahnya, maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis) dan secara politik menimbulkan keterasingan politik (political alienation).
Sepertinya memang tak ada yang bisa menyelamatkan bahwa golput merupakan perilaku pemilih (voter behavior) yang tak bisa di pisahkan dari hasil sebuah pemilihan langsung. Hanya saja, kuantitas golput yang seharusnya semakin lama proses demokrasi mengendap maka persoalan golput-pun sepatutnya tuntas.
Unit Penyegaran
Keadaan buruk di mana citra dan image politisi semakin terpuruk mendekati masa pemilu memang tak bisa di tepis lagi. Butuh waktu lama untuk membangun kembali citra dan image yang baik. Saat kesadaran dan kepercayaan pemilih luluh, sikap tanggap dan kecakatan terhadap aspirasi pemilih yang di tampakkan sejumlah politisi mendekati waktu menjadi sandiwara rutin.
Sialnya, sandiwara ini sudah terlalu basi untuk dimengerti oleh pemilih. Kebaikan dan penantian pemilih melalui dukungannya terhadap demokrasi tak kunjung membuahkan hasil yang lebih baik. Penantian dan kebaikkan pemilih ini tak di manfaatkan dengan maksimal oleh politisi guna memperbaiki kinerjanya.
Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, apatisme sudah layim sebagai nilai dan sikap absolute. Sehingga hanya butuh penyegaran dengan memoles apa yang sudah ada atau apa yang lama dengan cara-cara baru. Menjadikan golput sebagai persoalan yang serius, tidak hanya tanggung jawab pemerintah dan penyelenggara pemilihan, tapi tanggung jawab sosial politik insitusi masyarakat.
Dua hal juga dapat di lakukan dengan penyegaran yang bisa di handalkan. Utamanya, di tubuh partai, khususnya saat pengajuan kandidat calon. Pilihan calon dengan di dasarkan pada citra dan image-nya di mata masyarakat sangatlah penting. Calon yang memiliki citra dan image negatif hanya akan membuat partai terpuruk dan membuat pemilih enggan berpartisipasi di bilik suara.
Kebanyakkan partai hanya mengajukan calon berdasarkan pertimbangan finansial dan popularitas yang bersangkutan. Padahal tidak semua popularitas mampu menjadi modal pemenangan. Kalau popularitas konvensional saja, banyak orang yang memiliki, termasuk ramainya artis masuk ke kancah dunia politik. Tetapi popularitas positif (positive popularity) hanya di miliki orang yang di kenal oleh masyarakat dengan baik dan menunjukkan hasil kerjanya secara signifikan untuk masyarakat.
Naluri asal-asalan pengajuan calon partai atas hubungan kedekatan, pertimbangan finansial dan popularitas konvensional patut di buang jauh-jauh oleh partai. Dengan waktu sesingkat ini, pembangunan citra partai hanya bisa dibangun dengan munculnya calon partai yang sudah menjadi tokoh baik di mata masyarakat.
Penyegaran selain di titik beratkan pada pengajuan oleh partai, juga bisa dilakukan dengan menampilkan bentuk sosialisasi baru. Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, 1984 di dalam bukunya Controversies of Voting Behavior berpendapat bahwa faktor sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih seseorang, bukan karena karakteristik sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang.
Pendekatan ini berkeyakinan bahwa pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Maka dalam hal ini, perlu “kurikulum sosialisasi politik” yang sesuai dengan kondisi masyarakat, tidak hanya sekadar ajaran untuk mencoblos yang sah, apalagi sistem pencoblosan yang baru, “mencontreng” menggantikan “menyobos” di prediksikan akan banyak membuat suara rusak karena awamnya bentuk baru ini oleh pemilih. Perlu ada suggestion dan komunikasi dua arah yang baik, khususnya antara penyelenggara, pemerintah dan rakyat pemilih.
2.Kutukan Untuk Politik Marketing
Beberapa waktu lalu, ramainya politik iklan di TV oleh sejumlah politisi yang hendak maju calon presiden, banyak dikritik orang. Sekarang orang mungkin terlalu lelah mengkritik banyaknya iklan caleg yang di tempel di jalanan. Politik marketing memanjakan calon untuk tidak usah susah payah bekerja mengenalkan diri pada masyarakat. Sikap elitis mereka pun sudah mulai tampak.
Sebuah anekdot pernah menyinggung pemandangan saat menjelang pemilu. Pada saat kampanye berlangsung, tempat-tempat banyak di kotori oleh poster dan iklan kandidat politik. Belum jadi saja, kandidat calon sudah banyak mem-”bikin” kotor, apalagi kalau sudah jadi, mungkin semuanya bisa di kotorinya. Satu lagi, wajah kandidat politik di poster lebih tampan dan angun ketimbang wajah nyata, mereka memodifikasi sedemikian rupa hingga keaslian di tutup-tutupi, kebohongan pun muncul. Belum jadi saja sudah “bohong”, apalagi kalau jadi.
Politik iklan memang telah menjanjikan sesuatu yang menggiurkan. Politik iklan yang acapkali bergandengan dengan riset politik menawarkan peningkatan popularitas dan mengukur popularitas itu di dalam masyarakat. Dengan skema ini, kandidat bisa punya banyak waktu luang, duduk berdiam diri di rumah tanpa harus capek-capek bertemu dengan massa pendukung, namun punya jaminan kemenangan.
Politik iklan juga menjanjikan mudahnya meraih kemenangan. Hal inilah yang di yakini oleh sebagian besar kalangan politisi. Padahal ini tak sepenuhnya benar. Paling banyak adalah faktor kebetulan saja, karena bersamaan dengan itu, banyak orang menempuh jalan ini dan mendapat kemenangan. Dengan keyakinan itu, politisi banyak bersikukuh memilih politik marketing sebagai cara berpolitik.
Semula politik marketing diketerkenalkan oleh Philip Kotler (1997) dengan kehadiran bukunya The Marketing of Nations, yang membuka peluang penggunaan disipilin marketing tak hanya di institusi bisnis, namun juga merambah di institusi politik. Buku ini memberi inspirasi terbentuknya strategi pemenangan Bill Clinton menjadi sosok artis, person marketing, seorang yang tercitrakan “muda penuh perubahan” yang akhirnya mengalahkan saingannya Bob Dole.
Buku ini juga mengilhami bagaimana konstelasi politik pemilu partai, dimenangi oleh partai-partai yang menggunakan prinsip-prinsip politik marketing. Pada kondisi di mana pemilih tak akan mampu mengingat begitu banyak nama partai, strategi jitu menggunakan politik marketing, sosok partai dapat menawarkan program dan nama-nama kandidat. Berikutnya memberikan suatu citra tertentu yang membedakan partai satu dengan yang lain, supaya pemilih mudah mengingatnya.
Cukup beralasan untuk mengatakan bahwa partai-partai tidak mudah mencapai sasaran objektif (target suara kursi) dengan cara kampanye seperti kegiatan kehumasan yang konvensional. Namun lantaran kenikmatan yang di sajikan oleh politik marketing ini, kerja riil maupun kegiatan kehumasan yang konvensional lambat laun di tinggalkan.
Para politisi kita seolah-olah bersembunyi di balik tirai besi, tanpa tertepa oleh aspirasi dan sentuhan pemilihnya. Egaliterisme jauh ditinggalkan para politisi kita, yang lebih menyukai berwacana dengan isu-isu universal dan menjanjikan irasionalitas di balik baliho atau poster. Pemilih terberdaya dengan ketampanan dan keangunan kandidat calon tanpa mengetahui wajah aslinya. Kalaupun dari awal banyak kandidat yang enggan bertemu dengan rakyatnya, bagaimana jikalau sudah jadi!
Revisi Materi
Keprihatinan akan adanya jurang yang semakin lebar antara politisi dengan pemilih patut membawa kita pada suatu bahasan tertentu. Politik marketing ini ada karena di ijinkan dan di buka oleh regulasi hukum. Jadi apabila pelarangan penggunaan media dan iklan di regulasikan, maka politik akan kembali ke zaman dahulu, di mana politisi akan bekerja sungguh-sungguh untuk mengenalkan diri kepada masyarakat dengan program dan aksi kongkret.
Meminjam renungan pakar hukum, Rudolf von Jhering yang menilai bahwa hukum di karakterisir sebagai suatu System des Diciplinieten Egoismus (disiplin sistem egois). Renungan ini membawa hukum di gabungkan dengan sistem egoisme masyarakat. Jadi penggabungan dianggap wajar, karena hanya apa yang dianggap “berguna dan baik” bagi masyarakat dapat diterima sebagai hukum. Memandang politik marketing berdampak negatif terhadap masyarakat, karena hanya membawa masyarakat ke jebakan-jebakan yang disiapkan oleh politisi, maka politik marketing yang tidak berguna dan tidak baik itu perlu dilarang.
Pelarangan politik marketing niscaya akan membuat politisi sadar akan arti penting masyarakat pemilih. Sehingga aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat pemilih lebih merupakan keharusan bagi politisi untuk mengapresiasikannya dan memperjuangkannya. Tiba saatnya bagi komunikasi sambung rasa yang riil, lebih memanusiakan pemilih sebagai individu yang bermartabat. Menghilangnya komunikasi satu arah yang bisa semakin memperbesar apatisme dan tak mendidik pemilih secara politis.
Perubahan materi hukum merupakan salah satu alternatif bagi pembaharuan dalam kehidupan demokrasi. Kehidupan demokrasi yang berbasis keharmonisan dan kemanusiaan. Revisi materi ini cukup penting untuk menjaga kebaikan yang seharusnya ada di kehidupan sosial-politik. Karena hukum itu the function of the law to secure and to maintain the foundations of social life, hukum berfungsi memberikan jaminan dan memelihara pondasi kehidupan sosial.
Dengan demikian, perubahan materi hukum ini mampu membawa pembaharuan di bidang sosial-politik. Mengusung kembali lahirnya kontrak sosial baru yang di dasarkan komunikasi rasional dan emansipatoris antara politisi dengan pemilih.
3.Mengusir Kebiasaan Laten Golput Pilkada
Putaran terakhir pilkada Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah hasilnya cukup mengecewakan. Pembaharuan di sistem politik, –adanya calon independen, incumbent mundur, dan sebagainya– tak sejalan dengan peningkatan jumlah partisipasi pemilih.
Peningkatan angka golput dipengaruhi oleh tingkat kesadaran dan kepercayaan pemilih. Jika kesadaran politik dan kepercayaan pada sistem politik sama-sama rendahnya, maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis) dan secara politik menimbulkan keterasingan politik (political alienation).
Pembaharuan politik yang diharapkan dapat mendongkrak partisipasi pemilih tak seindah yang dibayangkan. Kerja keras revisi terbatas regulasi pilkada dari UU 32 Tahun 2004 menjadi UU 12 Tahun 2008 nampaknya sia-sia saja. Demokrasi prosedural tetaplah proseduralistik yang muncul, pemilih semakin terasing dan apatis dengan sistem politik.
Munculnya calon independent dalam regulasi terbaru diharapkan mampu mengusir apatisme pemilih dari calon berasal dari partai. Kehadiran calon independent juga seharusnya mampu menggiring suara mengambang yang bukan konstituen partai, yang kuantitasnya justru lebih banyak. Namun tetap saja, calon independent tak berdaya menahan ketidakhadiran pemilih (nonvoting behavior) ke TPS.
Kententuan mundurnya kontestan incumbent yang diharapkan mampu menumbuhkan perasaan keadilan juga demikian. Kententuan ini semula dipergunakan atas landasan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) bagi calon incumbent dan non-incumbent. Dengan diterapkannya kententuan ini, diharapkan pertarungan berjalan dengan fair, seolah-olah tak dapat ditangkap oleh pemilih sebagai suatu pembaruan yang cukup baik.
Namun tetap saja, pilkada 4 Kabupaten/ Kota meningkat jumlah golputnya. Angka sementara partisipasi pemilih sebesar 44 persen (dari 60 persen TPS) Kabupaten Megelang, Kabupaten Tegal 56 persen (dari 99,5 persen TPS), Kota Tegal 66,2 (dari 100 persen TPS) dan Kabupaten Karanganyar tidak melakukan quick qount. Rendahnya angka golput ini menuntut kita untuk berpikir keras menentukan solusi yang tepat.
Angka Partisipasi dan Golput (Sumber: diolah dari KPU Tegal)
No
Kecamatan
H. Agus Riyanto&Hery Soelistiawan
Hj. Andhika Regalita & Dulbasir
Ghautsun
&
Abdul Fikri
Hammam
&
Dimyati
Golput
1.
Margosari
24. 757
9.472
3. 023
7.849
1.377
2.
Bumijwa
17.716
5. 742
3.467
6.888
3.363
3.
Bojong
11.166
7.996
1.681
4.163
2.707
4.
Balapulang
16.861
7.877
4.170
5.175
2.426
5.
Pagerbarang
11.921
11.218
1.907
1.025
605
6.
Lebaksiu
14.834
10.237
6.178
4.352
1.986
7.
Jatinegara
13.563
4.203
1.923
3.962
1.979
8.
Kd. Banteng
7.716
5.853
2.211
2.146
738
9.
Pangkah
18.252
17.265
4.968
5.997
1.609
10.
Slawi
15.121
3.377
5.277
3.377
1.578
Jumlah
151.907
82118
34805
45934
18368
Kurikulum Sosialiasasi
Rendahnya angka partisipasi tanggung jawab kita bersama, meskipun secara keseluruhan pemilihan tanggung jawab ada di tangan penyelenggara, KPU. Dengan demikian, hendaknya perlu langkah kedepan yang dilakukan oleh penyelenggara secara preventif menanggulangi kebiasaan laten golput pada pilkada.
Salah satunya adalah menyusun dan melaksanakan sosialisasi yang sistematis dan memiliki kurikulum yang jelas dan tepat. Sepanjang ini sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara sebatas tata cara mencoblos dan pembagian bahan-bahan sosialisasi. Sementara pemilih tak hanya membutuhkan informasi mentah saja, namun sebagai bentuk dari pendidikan politik, sosialisasi perlu digalakan dengan serius.
Pemilih, menurut Arnold K. Sherman and Aliza Kolker, 1987, The Social Bases of Politics, memiliki kesatuan perangkat psikologis yang perlu dipelajari. Perilaku nonvoting disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih yang menunjukkan karakter apatis, anomi dan alienasi. Perasaan apatis merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktifitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasaan atau hasil secara langsung.
Sebagaimana Asy’ari (2008) Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktifitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijakan politik. Bagi pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak punya pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih (perasaan powerlesness).
Mendesain kurikulum yang berorientasi membedah batas apatisme secara psikologis menjadi penting saat ini. Dengan melantunkan bahwa “satu suara anda berpengaruh pada masa depan daerah 5 (lima) mendatang”dengan keseriusan dan kerja keras nantinya akan mengembalikan tingginya partisipasi warga. Kurikulum yang sistematis, tersusun rapi (tidak serampangan), dan memiliki target/ tujuan jelas itulah yang diharapkan. Bahkan jika perlu membentuk lembaga sosialisasi pemilu yang bertanggung jawab atas partisipasi warga.
Pembentukan lembaga ini dirasa penting mengingat ancaman golput cukup serius di tiap pemilu. Meskipun kita masih berharap penyelenggara sekarang bisa membenahi kinerjanya, lembaga sosialisasi baru hanya akan menguras dana negara dan belum tentu mampu mengatasi permasalahan golput. Jadi golput hanya bisa ditangani dengan keseriusan, dana penyelenggaraan pemilu terbesar di sektor pengadaan, harus disisakan berlebih untuk memecahkan persoalan golput dengan sosialisasi yang tepat.
Sosialisasi dengan model perbincangan rasional dan komunikasi sambung rasa juga dinilai cukup penting ketimbang model top down. Karena umumnya sosialisasi tidak terjadi dengan metodologi komunikasi dua arah, melainkan satu arah saja, dari penyelenggara ke pemilih, tidak kedua-duanya saling memberi dan menerima (take and give).
4.Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam segala kegiatan politik, terutama dalam penentuan kebijakan publik.14 Partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, partisipasi konvensional (conventional participation), seperti keterlibatan warga negara dalam partai politik, keikursertaan dalam pemilu, ikut mempengaruhi proses perumusan kebijakan lewat media massa dan ikut menyalurkan aspirasi melalui lembaga perwakilan rakyat. Partisipasi politik ini biasanya terjadi bila lembaga-lembaga seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat dan media massa dapat berperan aktif dan tidak mandul. Kedua, partisipasi tidak konvensional (unconventional participation), seperti demonstrasi, mogok, pemberontakan, huru hara dan segala kegiatan politik yang menggunakan kekerasan. Biasanya partisipasi macam ini terjadi bila mekanisme politik berjalan tidak normal dan lembaga-lembaga politik konvensional tidak mampu menjalankan peranannya secara baik.
Partisipasi politik biasanya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu tingkat kesadaran politik masyarakat, dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem politik. Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dilihat adanya empat model partisipasi politik.15 Pertama, bila kesadaran politik yang tinggi diikuti dengan kepercayaan pada sistem politik juga tinggi, maka akan menimbulkan partisipasi politik yang aktif. Kedua, bila kesadaran politik yang tinggi dibarengi dengan kepercayaan yang rendah kepada sistem politik, maka akan melahirkan perilaku membangkang (dissiden) atau militan-radikal. Ketiga, bila kesadaran politik rendah diikuti dengan kepercayaan yang tinggi pada sistem politik, maka model partisipasinya pasif. Keempat, bila kesadaran politik dan kepercayaan pada sistem politik sama-sama rendahnya, maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis) dan secara politik menimbulkan keterasingan politik (political alienation).
Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun; adanya parisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan; terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik, dan mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.16
Dari definisi demokrasi yang demikian ini jelas terlihat bahwa partisipasi politik dan kompetisi politik merupakan syarat penting bagi tersedianya sistem politik yang bercorak demokrasi. Kalau kompetisi dan partisipasi politik dihubungkan dengan karakter sistem politik akan diperoleh gambar berikut.17
Tabel 1. Sistem Politik Berdasar Tingkat Kompetisi dan Partisipasi
Kompetisi
Partisipasi
(1) Bila kompetisi rendah dan partisipasi politik juga rendah, maka akan menghasilkan sistem politik closed hegemony. (2) Bila kompetisi tinggi dan partisipasi politik rendah akan melahirkan sistem politik yang bercorak competitive oligarchy. (3) Bila kompetisi tinggi dan partisipasi politik tinggi, maka akan muncul sistem politik polyarchy (demokrasi). (4) Bila tingkat kompetisi rendah dan partisipasi politik tinggi, maka akan muncul sistem politik competitive hegemony.
Demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, juga akan berpengaruh pada karakter produk hukum yang akan dihasilkan, dan berpengaruh pada mekanisme pembentukan hukumnya.18
Tabel 2. Hubungan antara Tipe Rezim dan Karakter Produk Hukumnya
Regime Types
Karakter Produk Hukum
Mekanisme
Democratic
Populist
Progressive
Limited Interpretation
Pluralistic
Competitive
Non-Democratic
Elitist
Conservative
Open to Multi-Interpretation
Centralistic
Non-Competitive
Perilaku Memilih
Studi-studi perilaku memilih (voting behavior studies) dalam suatu pemilu memiliki dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.19 Pendekatan sosiologis lebih menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan psikologis lebih mendasarkan pada faktor-faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politiknya.
Pendekatan sosiologis menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakter dan pengelompokan sosial berdasarkan pada umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan), agama, status sosial-ekonomi, aspek geografis dan semacamnya dinilai mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku politik seseorang.20 Pemahaman terhadap pengelompokan sosial, baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok okupasi, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, merupakan sesuatu yang penting dalam menjelaskan perilaku politik seseorang.21 Demikian pula aspek geografis, seperti adanya rasa kedaerahan, akan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik dan kandidat.
Pendekatan psikologis berpendapat bahwa faktor sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih seseorang, bukan karena karakteristik sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang.22 Pendekatan ini berkeyakinan bahwa pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi politik yang diterima seseorang pada masa kecil (baik di lingkungan keluarga maupun pertemanan dan sekolah misalnya) sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.
Pendekatan psikologis menjelaskan bahwa sikap seseorang (sebagai refleksi dari kepribadian seseorang) merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat.23 Melalui proses sosialisasi diyakini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik, yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan psikologis inilah yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai (party identification).24
Selain memfokuskan diri pada ikatan emosional, pendekatan psikologis juga memberi perhatian besar pada orientasi terhadap isu-isu politik dan orientasi terhadap kandidat.25 Orientasi terhadap isu-isu politik biasanya sangat dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh pemilih melalui media massa yang diikutinya. Penilaian terhadap kandidat biasanya didasarkan pada indikator kualitas, kompetensi dan integritas kandidat. Sikap pemilih terhadap kandidat biasanya akan sangat dipengaruhi oleh posisi kandidat dalam suatu isu tertentu dan preferensi kandidat dalam suatu kebijakan tertentu.26
Penerapan Marketing Politik oleh Tiap-Tiap Kandidat Bupati dan Wakil Bupati Kab. Tegal
Ilmu politik dan marketing merupakan dua dimensi disiplin ilmu yang berbeda, namun sekarang ini perbedaan dua disiplin ilmu tersebut bukan menjadi tembok pemisah. Bahkan sinergi antara ilmu marketing dan ilmu politik mengahasilkan kekuatan yang sangat besar.
Memang kalo kita kita membicarakan marketing biasanya selalu identik dengan penjualan ataupun dunia bisnis, namun ternyata tidak selalu demikian. Ilmu marketingpun nyatanya bisa diadopsi pada berbagai macam bidang termasuk politik. Bahkan jawara ilmu marketing dunia Philip Kotler mengatakan marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis semata (Kotler & Levy,1969).
Bahkan kemenangan Persiden Amerika Serikat terpilih Barack Obama yang banyak diliput diberbagai media tak lepas dengan adanya penerapan marketing politik (political marketing) yang jitu. Lebih jauh, marketing hari ini tidak lagi hanya berbicara tentang jual menjual barang, melainkan di sana terkait dengan masalah produk development, image building, inovasi, pemahaman terhadap konsumen dan sampai pada proses-proses yang sifatnya relasional. Dan oleh karena itu, marketing dipakai di banyak aktivitas, seperti di Gereja, Museum, Rumah Sakit dan juga di dalam politik. Masuknya ilmu marketing dalam ranah politik merupakan salah satu starategi yang jitu dalam membrikan opini publik dan untuk menperoleh positioning.
Dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia baik itu pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum, tiap-tiap kandidat ataupun partai politik selalu menggunakan konsep marketing politik sebagai senjata andalan untuk mendapatkan positioning dan kekuasaan tentunya. Pemilihan Bupati dan Wakil bupati Kabupaten Tegal juga menggunakan konsep marketing politik, baik itu selama proses kampanye ataupun jauh-jauh hari sebelum proses kampanye dilaksanakan.
Adapun yang harus diperhatikan dalam politik antaralain :
Orientasi Pasar
Untuk dapat memenangkan persaingan dalam politik masing-masing kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Tegal melakukan analisis orientasi pasar untuk masyarakat baik itu program kerja (platform), ideologi, harapan dan figur pemimpin yang diharapkan mampu menyeleseaikan permasalahan masyarakat (problem solving) pada masa kini seperti yang diharapkan masyarakat, maka dari itu masing-masing kandidat memiliki harus berorientasi menuju arah yang lebih baik, baikitu melalui isu-isu yang ada di masyarakat Kab. Tegal.
Orientasi Persaingan
Persaingan politik yang tadinya sarat dengan perang ideology sekarang sudah bergeser pada kemampuan partai dan kontestandalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pemilih. Dalam hingar bingar politik di Kab. Tegal sebagian besar masyarakatnya masih memegang teguh idiologi partai, sehingga pemilih masih banyak terdapat pemilih tradisional, realita ini dapat dilihat dengan adanya simpatisan yang sangat kuat dari calon bupati Agus yang menggunakan PDI Perjuangan sebagai kendaraan politiknya.
Memang Kabupaten Tegal memiliki basis masa PDI Perjuangan yang cukup kuat maka secara otomatis mempermudah pasangan tersebut untuk melenggang ke tampuk kekuasaan tetinggi di Kab tersebut. Selain itu ada juga sebagian masyarakat yang tergolong pemilih Rasional dan pemilih Kritis itupun jumlahnya masih dibawah jumlah pemilih tradisional. Penampakan pemilih rasional dan kritis dapat dilihat dengan bukti perolehan suara yang didapat oleh pasangan calon independent pasangan Andhika Regalita dan Dul Basir, golongan pemilih tersebut umumnya adalah masyarakat yang menginginkan adanya perubahan. Namum pemilih rasional dan kritis ini masih kalah bersaing dengan dominasi pemilih tradisional.
Dalam Pendekatan Marketing Politik
Dalam pengembangan model tersebut, mereka menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi dari mulut ke mulut, dan media massa. Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memeprediksi perilaku pemilih. Menurut model ini, perilaku pemilih di tentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah yaitu :
Isu dan kebijakan politik (issues and policies)
Citra sosial (sosial imagery)
Citra kandidat (candidate personality)
Peristiwa mutakhir (current events)
Peristiwa personal (personal events)
Faktor-faktor epistemic (epistemic issues)
Komponen isu dan kebijakan (issues and policies) mempresentasikan kebijakan dan program yang diperjuangakan dan dijanjikan oleh kandidat tersebut jika kelak berhasil memdapatkan kemenangan atau menang pemilu. Inilah platform dasar yang ditawarkan oleh peserta kontestan pemilu kepada pemilih. Yang termasuk dalam komponen ini adalah kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, kebijakan sosial, kebijakan politik dan keamanan, kebijakan hukum dan karakteristik kepemimpinan.
Maka dari itu masing-masing kandidat dalam menentukan program kerja harus menganalis dan mengevaluasi pasar serta lebih peka dalam mengamati dan menyikapi apa yang terjadi di lingkungan masyarakat, keempat pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kab. Tegal memiliki kebijakan-kebijakan yang akan ditenpuh.
Visi misi sebuah stimulan untuk meningkatkan positioning kandidat. Seperti halnya visi misi yang di usung oleh pasangan kandidat, nyaris bisa di katakan yang seharusnya memiliki makna dan daya pembeda untuk menancapkan citra di benak pemilih, namun esensinya hampir sama. Pasangan agus dan Herry.27
Untuk visi dan misi yang di angkat oleh pasangan dari calon independent Andhika dan Dul basir membagi program kerjanya menjadi dua fase yaitu jangka panjang dan jangka pendek, isu dan isi platform dari pasangan ini juga tak jauh berbeda dengan pasangan sebelumya28
Dari visi dan misi serta platform keempat kandidat calon bupati dan wakil bupati hampir semuanya memeiliki visi dan misi yang sama, mereka mengankat segala isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi kerakyatan, masalah peningkatan mutu pendidikan, kesejahteraan sosial, pembangunan wilayah, otonomi daerah, pelayanan umum dan pembangunan infrastruktur.
Namum kami dapat menganalisis bahwa platform keempat kandidat tersebut kurang rasional dengan keadaan yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat. Padahal berdasarkan data dari BPS Kab. Tegal tahun 2006 jumlah penduduk miskin sebanyak 379.829 orang atau 25,72 % dari 1.476.799 jiwa, berbagai faktor menjadi penyebab kemiskinan tersebut, baik itu mentalitas dan kapital yang tidak berpihak. Mungkin program kerja (platform) terlalu muluk-muluk dan sangat berat dalam realisasinya nanti.
Dengan mengangkat isu tersebut maka tiap kandidat tersebut memiliki harapan agar masyarakat lebih tertarik, mengingat faktor ekonomi merupakan isu yang merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat dan membutuhkan sebuah langkah nyata dalam penyelesaiannya (problem solving), maka hampir semua kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Tegal mengangkat isu-isu yang sama untuk mendapatkan positioning dan menumbuhkan opini publik.
Dalam membetuk opini publik Social imagery juga harus diperhatikan oleh Adman Nursal dikatakan29 karna menunjukan gambaran atau stereotip kandidat tersebut dalam pikiran pemilih, baik itu yang menyangkut citra kandidat dan berada dalam kelompok sosial mana berada. Dalam hingar-bingar politik di Kabupaten Tegal tiap-tiap kontestan berlomba-lomba menyulap citra diri mereka kedalam rona social imagery. Pasangan andhika memiliki social imagery Gender dan pasangan tersebut berusaha mendapatkan suara mayoritas dari kaum hawa, namun langkah tersebut terhambat oleh beberapa masalah antara lain ; pada umumnya warga masyarakat kabupaten tegal kurang mengenal sosok Andhika, karena background pendidikan andhika bearasal dari Australia dan tidak ber domisili di Kab Tegal, sehingga banyak pemilih yang tidak mengenal pasangan tersebut kecuali hanya dalam spanduk dan posternya saja.
Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah adanya emotional feeling untuk menggambarkan berupa makna ketegasan dan kesunguh-sungguhan pemimpin itu dalam memimpin, bahkan adman nursal mengatakan pengertian30 emotiaonal feeling, salah satu yang menentukan faktor dan salah satu hal yang terpenting dalam membina sebuah hubungan emosional oleh peserta kontestan dimata pemilih.
Kemudian adalah candidate personality yang mengacu pada sifat pribadi yang penting dan yang dianggap sebagai karakter kandidat. Dimata masyarakat kabupaten Tegal belum ada kandidat yang mumpuni untuk menjadai pemimpin yang bijak.
Personal event31 juga hendaknya diperhatikan oleh tiap pemilih sebelum menentukan hak pilihnya terhadap salah satu kandidat. Pada kenyataan yang terjadi di Kabupaten Tegal sebagian besar pemilihnya kurang memperhatikan hal tersebut terutama yang menyangkut behavior dari kandidat tersebut, seperti contoh kasus pemukulan yang dilakukan oleh Calon Bupati Agus terhadap ketua KPUD, hendaknya menjadi pertimbangan warga masyarakat Kabupaten Tegal dalam menentukan pilihan, mungkin hal tersebut dapat menggambarkan bagaimana kondisi pemilih di Kabupaten Tegal masih di dominasi oleh para pemilih tradisional yang terbius oleh sistem ideologi partai dan nama besar dari partai dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), kemudian di benak para pemilih personal event diabaikan.
Memang suara dan posisi PDI Perjuangan di Kabupaten Tegal berada di urutan nomor wahid, sehingga memudahkan langkah dan jalan dari pasangan Agus dan Hery untuk melenggang dan memegang kekuasaan tertinggi.
Menggunakan Agama dan Ulama sebagai Tools Penggerak Massa
Keberadaan Agama dan Ulama dari dahulu memang memeberikan warna dan pengaruh bagi sistem konfigurasi politik dan demokrasi di Indonesia, karena agama merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan perilaku pemilih di Indonesia. Sejumlah penelitian menunjukan Agama pemilih memeiliki korelasi nyata dengan perilaku pemilih. Maka dari itu keempat pasangan kandidat melakukan berbagai macam pendekatan terhadap faktor agama dan ulama, misalnya dalam pembuatan poster dan spanduk serta foto para kandidat menunjukan nuansa religious, hal ini agar secara tampilan membujuk dan mempengaruhi pemilih khususnya warga masyarakat Tegal yang mayoritas penduduknya beragama islam.
Dalam platform dari keempat pasangan tersebut juga masih dibumbui dan menawarkan serta mempunyai maksud untuk memajukan, mengembangkan pendidikan dan nilai-nilai agama sebagai modal awal program kerja yang mereka tawarkan untuk kepentingan positioning dan membentuk opini piblik. Berbagai macam pendekatan kepada ulamapun acap kali mereka lakukan, salah satu contohnya pasangan Agus dan Hery melakukan pendekatan terhadap para sesepuh ulama di pondok pesantren yang ada di Desa Cikura Kecamatan Bumi Jawa, yang mayoritas masyarakatnya masih memepercayai para alim ulama, sosok ulama juga mempunyai karisma yang kuat ditengah masyarakat dan menganggap sebagai panutan mereka. Buktinyapun pasangan tersebut berhasil memperoleh suara yang cukup signifikan hampir diseluruh TPS yang ada di Kecamamatan Bumi Jawa dan sekitarnya.
Penyusunan Pesan Politik masih Satu Arah
Proses penyusunan pesan politik
Proses penyusunan pesan politik
Dalam penyusunan Pesan Politik hendaknya para kandidat lebih peka terhadap problem yang dihadapi oleh masyarakat, umumnya pesan politik dan komunikasi yang mereka bina hanya satu arah artinya tidak ada umpan balik (feedback) dari pemilih dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui program kerja yang di tawarkan oleh masing-masing kandidat. Hal ini dikaranakan tidak dilibatkannya masyarakat dalam forum-forum diskusi guna pemecahan masalah yang dihadapi, sebetulnya sangat besar ekspektasi dari masyarakat bagi problem solving yang dihadapi mereka, namun hal tersebut acapkali diabaikan oleh tiap-tiap kandidat sehingga menyebabkan phobia terhadap politik, masyarakat beranggapan bahwa mereka dianggap sebagai objek politik saja.
Dalam pelaksanaan pesta demokrasi yang ada di Kabupaten Tegal menurut sumber data yang kami peroleh, masih banyak masyarakat umum yang belum mengetahui siapa calon, program apa yang mereka tawarkan untuk pemecahan masalah masyarakat bupati dan wakil bupati yang hendak memimpin Tegal nantinya, terutama masyarakat-masyarakat yang ada di pedesaan, yang seyogyanya lebih diperhatikan oleh masing-masing kandidat. Masyarakat hanya mengetahui gambar-gambar dan poster para calonnya saja dari pada tahu tentang program kerja atau platform yang mereka tawarkan, dari fakta ini maka, dapat disimpulkan bahwa pesan politik yang diusung oleh tiap-tiap kandidat hanya merupakan pesan searah saja, sistem marketing politik dari masing-masing kantiadat pun tidak bisa masuk ke relung publik.
Untuk mendapatkan positioning di mata pemilih masing-masing kandidat diharapkan lebih mengenal dan dekat dengan masyarakat, sehingga diharapkan mengerti dan mengetahui bagaimana pemecahan masalah (problem solving) yang mereka hadapi, masyarakat di Kabupaten Tegal kurang diberikan kesempatan dalam penyusunan program kerja yang mereka rancang, dengan kata lain kandidat atau para kontestan belum menjadi problem solver.
Seharusnya pada waktu pelaksanaan kampanye atau jauh-jauh sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah masing-masing kandidat mengadakan Focus Grup Discusion (FGD) yang dalam hal ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, yaitu dengan tujuan agar para kandidat lebih dekat dengan masyarakat dan mengetahui permasalahan yang timbul atau sedang dihadapi oleh masyarakat Kabupaten Tegal, serta menemukan solusi problem tersebut. Pasangan Andhika dan Dul Basir juga bisa diambil sebagai contoh; sebelum mencalonkan diri masyarakat tegal mungkin belum mengenal siapa sosok Andhika, bahkan sebagian besar waktu Andhika habiskan di luar negeri, lalu mana mungkin bisa membina sebuah hubungan emosional dengan masyarakat Tegal, itulah mungkin beberapa kelemahan dari sistem political marketing yang ada oleh kandidat tersebut.
Pentingnya Marketing Politik untuk mendapatkan positioning
Positioning dalam marketing didefinisikan sebagai semua aktifitas untuk menanamkan kesan dibenak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk yang dihasilkan oleh organisasiyang bersangkutan. Ketika konsep ini diadopsi dalam dunia politik, dalam iklim persaingan, partai politik harus menempatkan produk politik dan image politik dalam benak masyarakat. Untuk mendapatkan positioning dalam benak pemilih, maka image politik harus memiliki sesuatu yang berbeda dengan produk politik yang dihasilkan oleh kandidat lain atau lawan politiknya.
Bahkan Pentolan MarkPlus dan sekaligus pendirinya Hermawan Kartajaya yang merupakan best konsultan marketing di Indonesia pun memberikan statmen dan prinsip-prinsip untuk menadapatkan sebuah positioning di mata customer atau pelanggan, mungkin prinsip-prinsip tersebut juga bisa didedikasikan kedalam Marketing politik. Adapun prinsip-prinsip yang dituangkan oleh Hermawan Kartajaya dalam bukunya “The second Generatiaon” antara lain :
Prinsip Pertama love your customer and recpect your competitor. Pelanggan harus dicintai perusahaan, karena dengan dicintai pelanggan akan bertahan hidup. Sedangkan pesaing atau competitor harus dipandang sebagai mitra untuk kita berkembang sehingga harus dihormati, mungkin tanpa adanya pesaing kita tidak akan disebut sebagai juara. Dalam marketing politik (political marketing) juga adanya competitor atau lawan politik juga hendaknya dijadikan barometer kita untuk menyusun program kerja yang lebih baik dan progresif sehingga pemilih tidak hanya dijadikan objek politik saja.
Prinsip Kedua be sensitive to change and be ready to transform disini dijelaskan bahwa dengan adanya persaingan yang semakin sengit, globalisasi dan perkembangan teknologi, markter harus semakin sensitive dalam melihat perubahan dan siap sedia selalu apabila sewaktu-waktu keadaan memaksanya untuk berubah (transform). Seorang kandidat politik pun sama harus menyadari bahwa persaingan dalam memeperebutkan tampuk kekuasaan, harusnya senantiasa siap sedia apabila keadaan dan perubahan memaksa kandidat tersebut untuk merubahnya, karena mungkin suatu saat masyarakat atau pemilih yang semula masih menjadi pemilih yang bersifat tradisional akan beralih menjadi pemilih yang kritis, mengingat perubahan tersebut terjadi karena makin menjamurnya pendidikan Politik baik itu LSM yang berfungsi sebagai lembaga pembelajaran politik bagi masyarakat yang awam tentang politik melalui berbagai media yang merupakan salah satu bukti nyata adanya perubahan globalisasi dan teknologi.
Prinsip ketiga guard your name be clear of who you are, dalm dunia marketing “brand name is everyting” seringkali orang membeli barang karena merknya bukan karena kualitasnya yang benar-benar superior. Sama Hal itu juga sama dalam penerapan marketing politik jika kandidat sudah mendapatkan positioning di masyarakat pasti secara otomatis masyarakat akan lebih memilih pasangan tersebut.
Prinsip yang keempat adalah customer are differs, go first to whom really need you. Ini adalah prinsip segmentasi yang menekankan organisasi atau perusahaan tidak perlu berambisi memenuhi kebutuhan semua orang, namun sebaliknya harus fokus dan membaginya dalam segmen-segmen tertentu, dan sebaik mungkin focus melayani segmen yang benar-benar membutuhkan. Mungkin bila dikaitkan dalam marketing politik, seorang kandidat hendaknya dalam melakukan marketing politik hendaknya memperhatikan dan membagi konsumen politiknya kedalam segmen-segmen serta mengangkat isu yang berhubungan dengan permasalahan mereka.
Porinsip kelima always offer good package at fair price. Dalam hal ini seorang marketer tidak boleh menjual produknya dengan harga yang mahal. Mungkin berbeda antara produk dalam marketing politik dengan produk dari perusahaan baik manufakur ataupun perusahaan jasa, produk dalam marketing politik mungkin lebih condong kepada platform yang ditawarkan, masa lalu dari figur kandidat, dan karaktristik personal. Sedangkan harga dalam marketing politik adalah biaya ekonomi, biaya psykologis, dan evek dari image yang dibentuk seorang kontestan, dalam implemenrtasinya mungkin pasangan Bupati Agus dengan M. Herry lebih diuntungkan karena memiliki kendaraan politik yang tangguh dan memiliki basis masa yang solid, padahal mengingat figur dari calon bupati Agus memiliki citra seorang yang keras dan arogan karena ada sebuah personal event yang buruk, yaitu kasus pemukulan yang telah dilakukan oleh calon bupati tersebut terhadap Ketua KPUD Kab. Tegal. Mungkin ini merupakan harga mahal yang harus dibayar oleh warga Tegal untuk mendapatkan produk politik dari calon tersebut yaitu problem solving yang belum tentu sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Prinsip keenam adalah always make your self available, and spread the good news. Tugas seorang marketer adalah menyampaikan berita yang baik kepada pelanggan. Oleh karena itu, marketing mengharamkan menjual produk dengan menodong, memaksa pelanggan, atau tidak memberikan pemilihan yang bebas. Padahal marketer harus bisa menmbantu pelanggan setiap waktu dengan tulus. Dalam pemasaran poltik juga hkewajiban seorang kandidat adalah memberikan jalan dan solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh pemilih dan masyarakat, kontestan tidak boleh memaksa pemilih untuk memberikan hak pilihnya yang pada hakekatnya adalah masyarakat atau pemilih tidak boleh untuk dijadikan objek poltik, melainkan sebagai subjek politik.
Prinsip ketujuh get customer, keep and grow them, disini yang harus ditekankan adalah pemasara yang sukses adalah pemasar yang selalu berusaha menjaga hubungan yang baik dengan pelanggan, meskipun baru bertemu sekali. Dengan menjaga hubungan dengan baik, maka otomatis pelanggan akan ingat kepada kita. Dari sini mungkin seoarang marketer politik bisa mengaplikasikan prinsip tersebut kedalam marketing politik bagaimana seorang politikus melakukan kampanye dalam rangka untuk mengajak publik untuk memilih kandiadat yaitu melalui visi dan misi yang mereka tawarkan, meskipun produk politiknya tidak berwujud atau intangibility, akantetapi kandidat tersebut harus benar-benar mengutamakan akuntabilitas dari visi-misi dan platform yang mereka usung. Namun ironisnya banyak para kandidat calon kepala daerah di Indonesia yang hanya berusaha membina hubungan baik kepada masyarakat pada ketika diadakannya kampanye saja, dan setelah kandidat tersebut berhasil mendapatkan kemenangan mereka bahkan melupakan masyarakat dan tanggung jawab visi dan misinya yang mereka usung, fenomena tersebut memang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip marketing yang sebenarnya.
Prinsip kedelapan what ever your business, it is service business, yang artinya setiap pemasar harus memiliki jiwa melayani, tidak perlu memperdulikan dimana dia berada apakan di service business atau bukan. Maka dari itu yang harus benar ditekankan adalah servis yang menjadi kebanggaan. Dalam dunia politik dapat diimplementasikan bagaimana seorang politikus dalam memasarkan program kerjanya harus benar-benar melayani masyarakat dan berusaha memberikan pelayanan yang baik dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, akan tetapi dalam program kerja yang ditawarkan oleh tip-tiap kandidat yang ada di Kab. Tegal kami anggap kurang rasional dan kurang relefan, hal ini karena masalah yang mereka angkat sangat besar , yang dikhawatirkan apabila kapasitas dan kapabilitas para kandidat tersebut tidak sesuai dengan tantangan program kerja yang mereka tawarkan kepada masyarakat.
Prinsip kesembilan adalah always refine your business process in term of quality, cost and delivery. Pemasaran harus memastikan tidak adanya kecurangan yang terjadi dalam kalitas produk, kalitas penyerahan, dan penentuan harga. Dalam prisip markting sekali kita memberikan produk yang tidak sesuai, tidak teat waktu, dan dengan tambahan biaya, maka pemasar melanggar janjinya sendiri yang pasti akan berakibat turunya kepercayaan pelanggan. Tak jauh beda dengan penerapan marketing politik yaitu apabila seorang politikus atau kandidat melakukan kecurangayan baik itu melalui pembohongan kepada publik, maka akan secara otomatis publik akan menilai bagaimana pasangan tersebut dapat dipercaya sebagai pemimpi yang nantinya dapat memberikan perubahan kearah yang lebih baik.
Prinsip kesepuluh adalah gather relevan unformation but use wisdom in final decision.dalam prisip terakhir ini mengingatkan kita untuk selalu belajar karena dengan belajar wisdom kita akan selalu terasah dan kualitas pengambilan keputusan-keputusan tersebut akan selalu terasah.
Mungkin melalui sepuluh prinsip tersebut dapat memberikan pencerahan dan perubahan yang berarti dalam dunia politik, hal ini bertujuan agar para kandidat tidak hanya menjadikan masyarakat sebagai objek politiknya saja, akan tetapi seorang politikus atau kandidat hendaknya menjadikan masyarakat lebih sebagai subjek. Selain itu juga program kerja yang mereka tawarkan juga harus relevan dan sesui dengan apa yang sedang dihadapi oleh masyarakat, akan tetapi para politikus atau kandidat tersebut harus memberikan janji program kerjanya yang rasional dan sesuai kemampuannya dalam problem solving agar pemilih tidak hanya disuguhi dengan janji-janji palsu saja. Hal tersebut memang sepele namun apabila dalam pelaksaanya sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat maka akan dapat menciptakan opini bulik yang tentunya dapat citra seorang kandidat tersebut dalam memperoleh positioning.
Positioning agar kredibel da efektif harus dilakukan berdasarkan analisis terhadap faktor internal dan faktor internal tentunya. Serta prefernsi segmen pemilih yang menjadi sasaran utama yang diperoleh dan diketahui dari hasil segmentasi.
Positioning agar kredibel dan fektif haris dijabarkan dalam bauran produk politik yang meliputi 4P (policy, person, party, presentation).
Policy adalah tawaran kerja jika terpilih kelak, policy yang efektif harus memenuhi tiga syarat yakni menarik perhatian, mudah terserap oleh masyarakat dan pemilih, dan attributable.
Person adalah kandidat legislatif atau eksekutif yang akan dipilih melalui pemilu. Kualitas person dapat dinilai melalui tiga dimensi, yaitu kualitas instrumental, dimensi simbolis, dan fonotipe optis.
Party dapat juga dilihat sebagai substansi produk politik. Kandidat atau partai mempunyai identitas utama, asset reputasi dan identitas estetis. Ketiga hal tersebut akan diprtimbangkan oleh para pemilih dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu dalam political marketing ketiga unsur tersebut harus dikelola dengan baik.
Presentation adalah bagaimana ketiga substansi ketiga produk politik (policy, person dan party) disajikan. Presentasi sangat penting adanya karena dapat mempengaruhi makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih.
Salah satu bukti nyata bahwa political marketing sangat jitu adalah, euforia dari terpilihnya presiden Amerika serikat Barack Obama yang berhasil mengungguli Jhon Mc Chain, kemenangan tersebut juga tak lepas dari adanya penerapan marketing politik yang benar-benar matang dilakukan oleh tim sukses Obama. Obama berhasil mendapatkan positioning dibenak para pemilih Amerika, selain itu juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi obama dalam percaturan politik di negeri paman Sam tersebut.
Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah obama memiliki kendaraan politik yaitu Partai Demokrat yang pada pemilu ini menjadi sangat populis, sedang kan MC Chain di usung oleh partai Republik yang dianggap melahirkan sebuah pemerintahan yang arogan, hal ini dikarenakan kebijakan yang keliru oleh Mantan Presiden J.W Bush yang melakukan inflasi militer ke irak. Sehingga banyak warga negara Amerika yang mananamkan sejuta harapan kepada Obama untuk mengembalikan image Amerika di mata dunia.
Faktor lain dari suksesnya Obama adalah, melibatkan semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam penggalangan dana kampanye, yaitu melalui situs internet/webbside yang dapat di akses oleh semua masyarakat di amerika bahkan di dunia untuk memberikan dana bantuan kampanye lewat rekening. Hal ini menumbuhkan Personal image yang kuat dari seorang obama di benak pemilih.
Di bawah ini kami juga memaparkan beberapa faktor yang peluang kontestan dalam upaya untuk mendapatkan dan membentuk positioning :
Mudah-mudahan suksesnya Barack Obama dalam menggunakan Political Maketing dapat memberikan warna dan pengaruh bagi demokrasi di Indonesia yang diharapkan menuju kearah yang lebih baik (progersif).
Regulasi Pilkada Tegal; SebuahPendahuluan
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatifdan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Dengan bergulirnya pemilihan kepala daerah secara langsung ini memberikan kontribusi terbaik dalam suatu tatanan masyarakat yang majemuk/penuh dengan opleralisme. Jadi, dengan adanya sisitemn pemilihan secara langsung yang dilenggarakna ini memberikan berbagai gambaran akan penting masrakat memberikan kontribusinya dalam memilih dan menentukan pemimpinannya dalam suatu daerah yang bisa membawa aspirasi dalam menciptakan masyarakat yanmg lebih maju dan sejahterah dalam kehidupan. Aeiring dengan meningkatnya kulaitas sumber daya amsyarkat maka kesadaran dan tanggapan terhadapa adanya suatu program pemilihan semacam ini nantyinya bisa membawa harapan terhadap arti pentignya kesadaran dalam berpolitik dalam suatu masyarakat, khususnyamasyarakatTegal.
Kontur Problematika
Dalam proses penyelanggaraan pilkada maka yang menjadi fokus utama dalam permasalahan ini yaitu mengenai proses regulasi pemilihan calon bupati dan wakil bupati tegal periode 2008-2012.
Diskursif Ekses Regulasi
1. Relasi demokrasi dengan PIlkada
Pengertian Demokrasi dan Hubungannya dengan PILKADA Pengertian Demokrasi Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos, yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat) dikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas Pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD 45 sehingga sering disebut dengan demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar ataua yang mempuyai pengaruh kuat pada daerah tersebut. karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah:
Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi
Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten
Walikota dan Wakil Walikota untuk kota
Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
2. Dasar Hukum Dalam Regulasi Penyelengaraan Pilkada
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Landasan Hukum Pilkada. Indonsia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education).
Dalam pelaksanaan pilkada yang dilakuakna secara langsung ini mempunyai landasan atuaa dasar hukujm yang positif diatur oleh negara antara lain undang-undang atau aturannya yaitu:
1.Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Pemerintah Daerah
2.Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 17 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
3.PP Pengganti UU Nomor: 3 tentang PERPU NO 3 TAHUN 2005
4.Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Penjelasan Pemerintahan Daerah
5.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (pilkada masuk dalam rezim pemilu).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
3. Berbagai Pelanggaran Seputar Pilkada
Pelaksanaan Pilkada di Indonesia Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing-masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing-masing. Dengan begini diharapkan dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini. Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Sering kali ditemukan pemakaian ijazah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka tindakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau balik modal ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massa untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus-kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatera. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut. Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelaksanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para pejabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangannya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pilkada.
Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu dilingkungan penulis yaitu desa karangwetan. Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi-bagikan uang kepada masyarakatdengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
Salam penyelanggaraan pemilu ataupun pilkada sering kali terjadi pelanggaran-pelanggran selama berlangsung pemilihan, adapun yang sering terjadi (penelitian) anatara lain:
1.Seputar isu penggunaan ijasah palsu.
2.Adanya politik uang (Money Politic) atau lebih dikenal dalam masayarakat dengan istilah “Serangan Fajar”.
3.Proses penghitungan surat suara, padahal dalam prosedurnya sudah terdapat saksi ataupun lembaga pemantau pemilu.
4.Isu Golput yang dilatar belakangi berbagai hal masalah, seperti kasus Ki Dalang gendeng Ki Entus yaitu seputar pencoretan surat suara dan penghinaan lain.
5.Penggunaan/penyalahgunaan dana APBD atau lainya untuk kegiatan kampanye pemilu pilkada.
6.Mendahului start kampanye untuk mencari simpati masyarakat.
7.Dan sampai pengangkatan calon pilbub/pilgub yang dianggap ”tidak sah” yang merupapkan isu dari pasangan yang kalah dalam pemilihan.
Intimidasi Intimidasi ini juga sangat berbahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyelewengkan sekali dari aturan pelaksanaan pemilu. Pendahuluan start kampanye Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagai media kampanye.
Bakal calon penyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. Kampanye negatif Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya manut dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut. Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi.
Catatan
Politik merupakan upaya interaksi pemerintah dana masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan masyarakat bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dengan adanya peran serta masyarakat/antusias masyarakat yang ikut berperan dan andil dalalm pelaksaan demokrasi ini akan memberikan kontribusi dalam menentukan masa depan suatu daerah. Dengan demikian jelas, bahwa keterlibatan masyarakat jelas sangat berpengaruh dalam proses terwujudnya pelaksaan demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah setempat.
Perlunya pendidikan politik dalam masyarakat sanagat penting artinya dalam proses pendewasaan mereka dalam aktifitas perpolitikan. Hal ini akan memberikan kesadaran akan arti pentingnya kehidupan politik dalam keiktsertaannya mementkan nasib daerah dan tidak hanya terfokus pada permasalahan itu saja tetapi hal itu akan menjadi tolak ukur dalam kehidupan politik yang diimbangi dengan tingkat intelektual yang memedahi yaitu akan tercermin tingkat pendidkan suatu masyarakat telah maju.
Erat kaitannya dengan upaya regulasi dalam proses pengaturan pelaksaan pilkada (khusus di Tegal), dalam proses penyelenggraan pilkada arus berlandasakan pada ketentuan-ketentuan norma yang berlaku atau hukum yang menjadi dasar sebagai proses pengaturan pelaksanaan pilkada. Jadi, secara tegas harus tunduk pada aturan yan gtelah diberlakukan aparat yang berwewenang. Hal ini, sangat diperlukan daam upaya mengantisipasi dan menanggulangi adanya permasalahan atau perselihihan nantinya ada dan tidak menutup kemungkinan hal itu pasti terjadi. Selanjutnya apa dan langkah yang harus ditempuh panitia penyelenggara dalam memberikan kepastian hukumnya? Semua itu hars kiata kembalikan pada aturan yang telah menjadi dasar dalam penyelenggraan pemilihan tersebut yaitu mampu menyelesaikan masalah yang terjadi, selain itu, hukum diharapkan mampu menjawab/memberikan kontribusi riel pada kemanfaatan, kepastian, dan keadilan.
Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala-kendala itu. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat karena hal ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja. Untuk menanggulangi permasalahan yang timbul karena pemilu antara lain. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama-sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh-tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik. Semua warga saling menghargai pendapat.
Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon lain. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip-prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
Peran para penegak hukum disini sangatlah penting dalam memberikan andilan penyelesaian masalah, baik pada level masyarakat ingkat bawah sampai pada ting
Kat kaum elit yaitu para pejabat. Ini artinya kinerja hukum bisa memberikan penyelesaian permasalahan sebagai konsepsi dasar kita kembalikan pada ”hukum pancasila” serta nilai-nilai dan padangan hidup dalam masyarakat khususnya masyarakat Tegal dan masayarakat lain pada umumnya harus kembali pada tatanan dengan cara penyelesaian yang lebih baik.
Pandangan Demokrasi tentang Regulasi
Asumsi Georg Sorensen yang dikuti mengatakan, Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat-pejabat politik dan dalam pembutan kebijakan publik. Dan dalam pandangan Rosseau, demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.
Keikutsertaan masyarakat pada waktu pemilihan bupati atau wakil bupati Kabupaten tegal, jika minatnya sedikit berarti itu menandakan belum efektifnya sebuah demokrasi. Hal ini merupakan bukti belum tercapainya demokrasi yang ideal bagi negara Indonesia umumnya dan Kabupaten Tegal Khususnya. Karena presentasi pemilih dengan golongan putih atau yang tidak ikut memilih dalam pilkada dimenangkan oleh golongan putih.
Asumsi keikutsertaan rakyat dalam memilih dalam rangka mensukseskan demokrasi juga diperkuat oleh Andrianus, Efiza, dan Fasyah (2006: 306), menyatakan bahwa pemilu Harus memenuhi tiga tuntutan sebagaimana dinyatakan oleh Aurel Croissan, yaitu :
Pertama, pemilu harus mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih. Derajat keterwakilannya adalah prasyarat untuk memberikan kekutan legitimasi bagi pemilu dan legitimasi merupakan hal yang sangat penting di negara konstitusional demokratis, dimana semua kekuasaan negara diperoleh dari rakyat tuntutan fungsional atas keterwakilan masyarakat, bahwa sebuah sistem pemilu harus secara proporsional memadai, sehingga cukup memberikan ruang pergantian kepentingan sosial yang bersifat pliralistik untuk menjadi mandat politik inilah yang disebut representativeness, atau derajat keterwakilan.
Kedua, pemilu harus dapat mengintregasikan rakyat. Robert Smend dalam Andrianus, Efiza, dan Fasyah (2006:306) menjelaskan bahwa sistem pemilu menuju pafa pembentukan parati politik dan mengenai suara mayoritas, bukan sekedar representasi tunggal saja.
Ketiga, system pemilu harus menghasilkan mayoritas yang cukup besar gua menjamin stabilitas pemerintahan dan nkemampuannya untuk memerintah (governbiltas).
Ketika minat masyarakat sangat kurang dalam keikutsertaannya untuk memilih para wakil-wakilnya yang akan duduk di eksekutif, maka kekuatan pemetintah dalam menjalankan roda pemerintahan di negara tidak sekuat jika rakyat yang ikut berpartisipasi dalam pemilahan langsung melebihi angka golput.
Ini bisa dilihat jika golput memenangkan pada suatu pemilihan, maka masyarakat akan apatis terhadap program-program yang akan ditawarkan pemerintah kepada masyarakatnya. Bahkan adapula yang bersifat sangat radikal, golongan ini bertindak sewenang-wenang dengan cara demonstrasi yang bisa mengganggu ketertiban umum. Mereka bisa bersifat seperti itu karena ketidak setujuannya dengan pemerintahan yang ada, mungkin bisa jadi disebabkan atas kekecewaannya pada pemimpin yang terpilih karena tidak ideal(minimnya dukungan masyarakat kepada dia).
Jika dirunut dari dasar, sedikitnya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu dekarenakan masyarakat sudah muak dan jenuh dengan banyaknya pemilu yang diselenggarakan dari pemilihan kepala desa samapai pemilihan presiden dan wakil presiden. Di perparah lagi dengan para politukus yang dalam masa kampanyenya menggunakan setrategi-setrategi yang mononton, seperti memasang sepanduk dengan gambar foto, Visi dan misi, lambang partai dan nomer urut partai yang bersangkutan. Kemudian mereka tempelkan di lokasi-lokasi umum. Hal ini bisa mengganggu keindahan kota dan masyarakat akan merasa bosan karena disetiap jalan ada pemandangan yang itu-itu saja.
Capabilitas calon juga dipertanyakan, karena selama ini para calon belomba-lomba membuat janji-jani yang menarik bagi masyarakatnya dan janji-jani tersebut sangat tidakl rasional, seperti pendidikan gratis maupun kesehatan gratis. Pendidikan dan kesehatan jika dilihat dari sudut pandang rasio sangatlah tidak masuk akal. Karena untuk membiayai fasilitas pendidikan dan kesehatan juga membutuhkan biaya. Bisa saja digratiskan jika pemerintah menanggungya akan tetapi dalam kondisi perekonomian indonesia yang masih carut marut jelas itu tidak mungkin bahkan jika kita meliha negara-negara yang perekoniamannya sudah mapan seperti Amerika Serika, Singapura dan Japan pendidikan dan kesehatan juga dikenakan biaya.
Di Kabupaten Tegal yang membuat masyarakat banyak yang apatis terhadap pilkada juga dipengaruhi dengan Keputusan KPU Kab. Tegal yang dalam isi keputusannya tentang kampanye terlalu diformalkan. Seperti dalam penegertian bentuk-bentuk kampanye 1) pertemuan Terbatas, 2) Tatap Muka Dan Dialog. Semua pesertanya adalah undangan. Jadi masyarakat umum yang memang sangat ingin merubah nasisibnya seperti para pengemis, pengamen dan gelandangan tidak bisa memasuki tempat yang akan digunakan untuk kampanye tersebut. Padahal merekalah yang merasakan langsung adanya ketimpangan sosial di masyarakat.
Dalam hukum responsif yang di cetuskan oleh Philipe Nonet & Philip Selznick, itu mengannggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan.(2003:62).
Kaum tertindas seharusnya diberi peran untuk ikut berpartisipasi aktif dalam masa kampanye, karena merakalah yang akan bertindak sebagai sumber tekanan, sesungguhnya darin kaum tertindaslah sumber permasalahan yang harus segara ditangani oleh para pemenang pilkada.
Banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pasangan calon bupati dan wakil bupati kabupaten tegal, juga tidak ada tindakan-tindakan yang serius dari pengawas pemilu, seperti pemasangan alat peraga di Tempat Umum, di bab itu tersirat peraturan yang memperbolehkan memasang alat peraga dengan ketentuan harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan daerah.
Namun dalam kenyataannya banyak pasangan calon bupati dan wakil biptai yang memasang di sembarang tempat seperti dipepohonan, peristiwa seperi itu akan merusaka pemandangan orang yang lalu lalang di sekitar pohon yang teduh tersebut, dan itu bisa merusak lingkungan karena merusak pohon dengan bahan besi seperti paku.
Begitu juga sanksi yang akan diberikan kepada pasangan calon kepala daerah yang melanggar ketentuan yang di larang dalam keputusan KPU tidak tegas dan tidak terperinci tentang ringan atau beratnya huykuman yang akan diberikan jika melanggar, misalnya pengurangan suara di setiap TPS.
1. Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka. Jakarta. Halm. 50-54
2. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries; local politics in post-Suharto Indonesia. Diterjemahkan oleh, Bernard Hidayat. 2007. Politik Lokal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal. 50
3. Dede Mariana dan Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Graha Ilmu. Yojakarta. hal. 139
4. Tranparancy International Indonesia. 2007. Pakta Intregitas Kota Banjarbaru. TII. Jakarta. hal. 5-8. Tesis dalam tulisan ini adalah potensi korupsi paling banyak terdapat dalam pengadaan barang/ jasa. Masalah pengadaan barang/ jasa pemerintah daerah di identifikasikan sebagai berikut : masih terjadinya praktik penyuapan dan pembayaran yang tidak resmi; masih terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power); masih adanya pejabat/ pegawai dan penyelenggara Negara yang beraktivitas bisnis terkait dengan jabatannya; masih adanya konflik kepentingan; masih adanya praktek pemerasan dan budaya premanisme; adanya pertentangan hokum dengan tidak mempertimbangkan kaidah hukum yang berlaku; rendahnya keterlibatan masyarakat dalam melakukan pemantauan terhadap proses pengadaan barang/ jasa; kurangnya pemahaman dalam pelaksanaan metode penunjukkan langsung; kekeliruan pemahaman tentang jens pekerjaan swakelola; kurangnya pemahaman dalam penentuan metode pengendaan jasa konsultasi; masih terjadinya tender diatur (tender arisan); masih terjadinya pengalihan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama kepada pihak lain (jual beli proyek); lambatnya pelaksanaan penyelesaian pengaduan dan penyelesaian masalah; kurangnya penghargaan dan lemahnya pemberian sanksi kepada pihak yang terkait; dan terakhir lemahnya pengawasan pelaksanaan pekerjaan.
5. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries;......Op. Cit. halm. 545
6. Ibid., halm. 225
7. Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta. Halm. 188-189
8. Ibid., Halm. 193-194
9. Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Halm. 73
Ibid., 74
10. E.P Dutton & Co. Inc. What is Democracy?. New York. 1955. Diterjemahkan oleh, Mukhtasar. Pengantar Demokrasi Richard M. Ketchum. Futuh Printika. Yogyakarta.
11. E.P Dutton & Co. Inc. What is Democracy?. New York. 1955. Diterjemahkan oleh, Mukhtasar. Pengantar Demokrasi Richard M. Ketchum. Futuh Printika. Yogyakarta.
12 Ibid., Halm.39
13. Jeff Hayness. 1997. Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement. Diterjemahkan P. Soemitro. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Halm. 134
14. Paul R. Abramson, 1995, “Political Participation”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Vol. III, (Washington D.C. : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 913-920.
15. Jeffry M. Paige, 1971, “Political Orientation and Riot Participation”, American Sociological Review, hlm. 810-820. Juga : Alfian, 1983, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, (Jakarta : Gramedia), hlm. 256-257.
16. G. Bingham Powell, Jr., 1982, Contemporary Democracies : Participation, Stability and Violence, (Cambridge : Harvard University Press).
17. Afan Gaffar, 1992, “Pembangunan Hukum dan Demokrasi”, dalam Moh. Busyro Muqaddas et.al. (eds.), 1992, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta : UII Press), hlm. 107.
18. Ibid., hlm. 109.
19. Muhammad Asfar, 2004, Presiden Golput, (Surabaya : Jawa Pos Press), terutama sub bab “Ancangan Voting Behavior”, hlm. 14-30.
20. Dean Jaros, 1974, “Explaining Political Behavior of Individual : Group or Social Factors”, dalam Dean Jaros et.al. Political Behavior, Choices and Perspectives, (New York : St. Matin’s Press), hlm. 111-146.
21. Mark N. Franklin, 1995, “Voting Behavior”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Vol. IV, (Washington D.C. : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 1346-1353.
22. Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, 1984, Controversies of Voting Behavior, (Washington D.C. : A Division of Congressional Quarterly Inc.), hlm. 9-12.
23. Ibid., hlm. 12-13.
24. Moshe M. Czudnowski, 1976, Comparing Political Behavior, (London : Sage Publication Inc.), hlm. 76.
25. Gerald Pomper, 1978, Voter’s Choice : Varieties of American Electoral Behavior, (New York : Dod, Mead Company), hlm.198-208.
26. Carolyn L. Funk, 1996, “The Impact of Scandal on Candidate Evaluation : An Experimental Test of the Role of Candidate Traits”, Political Behavior, Vol. 18, No.
27. Peningkatan iklim kondusif kehidupan beragama dan berkepercayaan. Memperkokoh ekonomi kerakyatan, terwujudnya budaya hidup sehat dengan terbukanya akses pelayanan kesehatan, Meningkatkan budaya belajar, Mengembangkan kualitas tata kehidupan masyarakat, Menungkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah Kabupaten Tegal untuk mendukung pelaksanaan good govermance.
28. Program Jangka Pendek : Meciptakan sebuah pemerintahan di Kabupaten Tegal yang bermartabat dan berwibawa dengan bebas( KKN), Siap menerima saran kritik dari masyarakat yang bersifat membangun, Penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk melaksanakan pembangunan Kabupaten Tegal secara transparan, Mendirikan stasiun Televisi Lokal Kabupaten Tegal, Mengalokasikan dana bantuan beasiswa pendidikan bagi siswa berprestasi, Meningkatkan pendidikan dasar agama islam, Mengalokasikan dana untuk mengadakan pelatihan ketrampilan, Mengalokasikan dana santunan musibah kematian terutama keluarga yang tidak mampu atau kelurga miskin, Program Jangka Panjang : Secara simultan diadakan kunjungan ke desa-desa untuk berdialog dengan masyarakat pedesaan guna mencari solusi pemecahan masalah pada tingkat yang paling dasar. Mengupayakan peningkatan produktifitas hasil pertanian dengan mensubsidi pupuk murah yang terjangkau bagi para petani melalui KUD, Memperhatikan kesejahteraan kaum buruh, mengupayakan datangnya investasi dari Luar Negeri di Kabupaten Tegal.
29. Social imagery adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai “berada” didalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Social imagery dapat terjadi melalui factor : a.Demorafi; Usia(contoh partai orang muda), Gender ; (contoh calon pemimpin dari kaum hawa), dan Agama, b.Sosio Ekonomi (pekrjaan; partai orang buruh, pendapatan; partai wong cilik), c. cultural, d. etnik.
30. Emotional feeling adalah dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukan oleh politik yang ditawarkan.
31. Personal event mengacu kepada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah dialami oleh seorang kandidat misalnya skandal seksual, skandal bisnis, menjadi korban rezim tertentu dan masih banyak contoh skandal lain yang dapat menumbuhkan image negatif dari kandidat tersebut.
Presented by Awaludin Marwan, Muhtar Said, Ahmad Sakirin, Andi