‘Ah, malam ini aku bermimpi aneh. Aku bermimpi, aku menjadi seorang Snow White. Tetapi, Snow White yang tertidur dalam sekotak peti mati batu, dan pangeranku tak bisa mendorong tutup peti itu, sehingga peti itu bisa terbuka. Aku, Snow White, tak berhasil dibangunkan. Aku, Snow White, tetap mati suri. Mimpi ini aneh, karena pintu itu tak pernah terbuka, tetapi, aku tahu, kalau ada pangeran di luar sana, yang mencoba membuka pintu.” Canda seorang, beberapa waktu lalu.
Mimpi, kemudian merujuk pada “jalan-jalannya nyawa”, saat mata terpejam sebelum bangun di pagi hari. Mimpi, kemudian dianalisis, setidaknya oleh Freud dan Carl Jung. Bahwa mimpi adalah salah satu luapan alam bawah sadar, yang hadir dengan symbol-symbol, sehingga perlu untuk meraba-raba maknanya. Alam bawah sadar, kata Jung, adalah akumulasi pengalaman si subyek, juga nenek moyangnya, yang tersimpan dalam jiwa setiap manusia, sehingga bersifat kolektif di satu sisi. Archetype, adalah istilah yang dirasa tepat, oleh Jung, untuk menyebut alam bawah sadar yang kolektif itu.
Karena mimpi penuh dengan rangkaian symbol, yang bersifat subyektif, sekaligus kolektif, maka Jung kembali mengatakan, bahwa tidak ada rumusan penafsiran yang bisa berlaku secara universal. Mobil, tak bisa melulu diandaikan sebagai diri. Dan rumah, tak bisa melulu diartikan sebagai ibu. Menurutnya, seorang penafsir mimpi yang baik, adalah seorang yang juga mempelajari symbol-symbol; semiotika.
Belajar tentang semiotika, berarti belajar tentang symbol, atau tanda, dan bagaimana meraba maknanya. “Semiotika, adalah ilmu tentang kebohongan”, kata Umberto Eco. “Karena jika tak bisa mengungkap kebohongan, maka suatu hal juga tak bisa mengungkap kebenaran”. Menafirkan sesuatu, bukan berarti menyematkan makna kepadanya, tetapi lebih kepada menghargai apa-apa yang menyusunnya. Seolah, Jung juga Eco, sangat berhati-hati, dan mengingatkan atas subyektivitas pemimpi, juga subyektivitas penafsir.
Dan behavioris, terkesan lupa, bahwa penafsiran, tak bisa obyektif an sich. Mungkin juga, mimpi menjadi tak ilmiah, karena tak bisa menjadi obyektif, kecuali lompatan-lompatan setrum diantara potongan neutron.
***
Seiring dengan persetubuhan manusia dan waktu, kemudian hadir “mimpi”. Apitan tanda petik, mengisyaratkan adanya pergeseran makna di sana. Seperti teriakan lantang Mario Teguh “jangan takut bermimpi!”, juga bisikan seorang anak, “aku bermimpi, suatu saat nanti bisa seperti Mario Teguh..”
Mimpi, kemudian menjadi “mimpi”, yang lebih dekat dengan cita-cita, dengan harapan-harapan akan masa depan. “Mimpi” bukan lagi desakan alam bawah sadar a la Jung, maupun Freud.
Harapan itu sendiri, menyiratkan kesadaran bahwa diri adalah makhluk yang rendah, yang dhaif. Harapan terkait erat dengan masa ; waktu. Harapan akan masa silam, senada dengan penyesalan. Harapan akan masa kini, adalah harapan itu sendiri. Sedangkan harapan akan masa datang, bersinggungan keinginan, dengan hasrat, yang terkadang tak bisa terpenuhi oleh sekedar obyek.
Sebuah harapan, setidaknya adalah sebuah permainan, yang denotatif, dan yang teknis, kata Lyotard. Denotatif, adalah permainan tentang baik-buruk. Tetapi, adakah, batas antara baik dan buruk? Minggu lalu, Juventus bertanding melawan Torino. Juventus memperoleh hasil yang baik, karena memenangi laga dengan skor 1-0. Tetapi, malam itu, Torino juga bermain baik.
Mengatakan baik, atau buruk, ternyata tak bisa dilandaskan pada satu alasan. Secara teleologis, bisa dikatakan Juventus lebih baik dari Torino. Dan secara deontologi, Torino lebih baik dari Juventus. Mengatakan “secara teleologis, Juventus baik”, secara tidak langsung, setidaknya, juga mengatakan “menurut pengamatan saya pada pertandingan tersebut, anggapan saya tentang potensi pemain-pemain Juventus -yang saya dapat dari media dan permainan championship manager-, pemahaman orang-orang yang memperkenalkan saya dengan ‘teleologi’, pemahaman saya tentang pemahaman orang-orang tersebut, sehingga saya secara sadar [kebanyakan tidak sadar] mereduksinya menjadi “secara teleologi, Juventus bermain baik”.
Permainan teknis, berarti tentang bagaimana me-nyata-kan harapan. Berbicara tentang harapan, cita-cita, adalah berbicara tentang keresahan akan masa depan, yang tersusun dari apa yang sedang dilakukan [sekarang], dan kekecewaan-kebahagiaan masa lalu. Tetapi kita, manusia, yang selalu dalam keadaan terlempar ke dunia, kata Heiddeger, hanya hidup di sini [diskursus ruang], dan sekarang [diskursus waktu]. Kita, manusia, hanya bisa ber-laku di sini, dan sekarang, sambil menggantung pada rajutan pengandaian tentang masa depan.
“Eh, ikanku tambah gemuk lho!”, imbuh sosok yang sama, yang bermimpi menjadi Snow White, yang ternyata juga memelihara ikan.
Ahmad Fahmi Mubarok
Selasa, November 11, 2008
Mimpi, dan “Mimpi”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
what this ??
let me know more..
thanks for ur support,,
Posting Komentar