online degree programs

Sabtu, November 22, 2008

Matinya Diskursus Ilmu Pendidikan


Dunia pendidikan sekarang mengalami kekeringan ide, minim diskursus ilmu pendidikan yang mampu membangun fondasi ilmu pendidikan baru. Para generasi tua, para pendidik dan aktivis pendidikan tua lebih disibukkan atau mungkin memang sengaja dibuat sibuk untuk menanggapi isu-isu kulit seperti ujian nasional, sertifikasi guru dan dosen, UU Sistem Pendidikan Nasional, Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, dan lainnya, sementara itu diskursus ilmu pendidikan tidak terurus.


Tak banyak diskursus ilmu pendidikan yang mengemuka di jagat pendidikan nasional kita. Satu yang dapat disebut adalah H.A.R Tilaar yang begitu produktif untuk terus mengkaji dan mengembangkan diskursus ilmu pendidikan melalui karya-karyanya, antara lain Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (2002), Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (2003), dan Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (2005). Melalui karya-karya itu beliau mempertemukan diskursus ilmu pengetahuan kontemporer, terutama teori-teori sosial kritis, cultural studies, post-strukturalis, feminis, posmodernis, muncullah nama-nama Adorno, Marcus, Habermas, Lyotard, Derrida, O’neill, Bourdieu dalam diskursus ilmu pendidikan yang coba dikembangkan Prof. Tilaar.

Satu wakil dari penulis muda pendidikan kritis, Eko Prasetyo pun tampaknya lebih berperan sebagai provokator intelektual kritis dalam karya-karyanya, belum terdapat yang betul-betul mengkaji secara serius diskursus ilmu pendidikan dengan mempertemukan pikiran-pikiran besar seperti Foucault, Bourdieu, Habermas untuk mendedah ilmu pendidikan di Indonesia. Menurut hemat penulis, baik Prof. Tilaar maupun Eko Prasetyo –anggap saja mereka mewakili dua generasi pendidik kritis Indonesia- masih berkutat pada sekadar menghadirkan diskursus itu ke dunia pendidikan kita, belum membuat diskursus tersendiri dengan pikiran-pikiran besar itu.

Selebihnya para intelektual pendidikan lebih banyak terjebak pada menyikapi ketidakberesan implementasi sistem pendidikan Indonesia. Memang secara prioritas problem empiris seperti ujian nasional, akses pendidikan, dan lainnya yang terjadi mesti segera diselesaikan, namun pada akhirnya hal itu menjadikan mereka terlupa pada hal fundamental pendidikan, yakni untuk terus mengembangkan ilmu pendidikan. Di sinilah terjadi matinya diskursus ilmu pendidikan, mungkin banyak artikel muncul di media massa nasional yang seakan-akan membawa diskursus ilmu pendidikan karena mengambil ide-ide besar dan seringkali membuat pembaca terperangah, “oh iya, ternyata teori itu cukup tajam untuk menganalisis fenomena pendidikan”. Namun sebenarnya tidak, ia hanya sambil lalu, reaksioner sesuai dengan fenomena sosial dalam pendidikan yang agaknya mesti dikomentari, ia tak mampu tumbuh menjadi diskursus, atau ide-ide besar ilmu pendidikan. Ya, karena memang itulah sifat media massa dan tulisan di media massa.

Sejak Ki Hajar Dewantara agaknya diskursus ilmu pendidikan kita tak berkembang, tak pernah ada diskursus, polemik, atau ide-ide besar yang muncul dari para pendidik kita sampai sekarang. Salah satu penghambatnya adalah perasaan telah cukup dengan ajaran Ki Hajar Dewantara yang ‘diwajibkan’ oleh pemerintah untuk dilaksanakan, merasa cukup dengan dogma ilmu pendidikan berbasis agama masing-masing, dan merasa cukup puas dengan impor teori-teori pendidikan dari luar yang dibawa oleh para pengasong ilmu dari Barat. Rasanya belum pernah terdapat diskursus besar yang merupakan dialektika dari ide-ide besar Barat dengan konteks keindonesiaan kita. Padahal memegang ajaran Ki Hajar bukan berarti tak boleh mengembangkan atau bahkan mengkritiknya, justru ia akan mati jika tak dibaca secara kritis dalam konteks kekinian.

Matinya diskursus ilmu pendidikan sebagai sebuah kekosongan diskursus ilmu pendidikan selama ini mengakibatkan keterputusan generasi yang memiliki concern pada ilmu pendidikan -semuanya mengarah pada dimensi praksis pendidikan- yakni mereka yang tak sekadar berminat terjun dalam dunia pendidikan, namun juga menguasai literatur yang memadai atas ilmu-ilmu pendidikan kontemporer maupun klasik, termasuk penguasaan secara multi dan lintasdisiplin sebagai modal awal untuk menumbuhkan ide-ide dan diskursus-diskursus besar ilmu pendidikan. Di sinilah mesti ada satu generasi baru, dan itu tidak mungkin berasal dari generasi tua, para pendidik dan intelektual lama, tapi anak-anak muda yang sadar perlunya penguatan fondasi ilmu pendidikan baru di tengah kejumudan praksis pendidikan dan kekosongan ide-ide besar ilmu pendidikan, yang hal itu menjadi sebab karut-marutnya praksis pendidikan sekarang.

Ketika institus keguruan dan ilmu pendidikan sudah terbelit pragmatisme pedidikan dan prestise beralih menjadi universitas, ketika program filsafat pendidikan pada fakultas ilmu pendidikan sudah dihapus rezim berkuasa dengan alasan dan sepi peminat dan tak ada lapangan kerja, ketika mereka yang belajar S2 atau S3 pendidikan lebih diniatkan untuk menunjang karier akademik masing-masing, maka anak-anak muda ‘yang baru’ dengan kesadaran atas kekosongan ide besar dan diskursus ilmu pendidikan sekarang, mesti pro-aktif menggugat ‘kemapanan’ ini. Mesti berinisiatif untuk mendatangi para guru-guru besar, intelektual, dan pendidik yang memiliki kapasitas ilmu pendidikan cukup tinggi, berguru pada mereka. Kemudian bersama mengkaji diskursus berbagai disiplin keilmuan kontemporer dengan ilmu pendidikan dalam konteks keindonesiaan dan kekinian untuk melahirkan ide-ide dan diskursus besar ilmu pendidikan di Indonesia.

* Edi Subkhan, penulis

3 komentar:

nandank mengatakan...

bagus!!!!!

TOP Abiezzzzz.....!!!
KAPAN DISKUSI LAGAI MAS EDY kHAN!HEEHE

Anonim mengatakan...

Menolak formalisme pendidikan harus direalisasikan secara radikal. Pertama, pada dasarnya setiap orang secara natural pastinya terus berproses dalam kehidupan sosial, lingkungan dan spiritual. Proses inilah yang otomatis mengkonstruksi otoritas "belajar" yang secara kodrati sudah melekat dalam tubuh dan jiwa manusia ybs. Kedua, dalam kondisi yang pertama diungkapkan, pendidikan sebagai sarana kapitalisasi yang perlu ditinjau ulang untuk menidakannya. Ketiga, tradisi kritis haruslah menjadi keutamaan. Pencarian kebenaran itulah yang terpenting, menuju kebaikan tertinggi, baik pikiran maupun tindakan.

Aviandri Cahya Nugroho,S.Pd, Gr mengatakan...

Bagus Bung....
Lanjutkan....