online degree programs

Selasa, November 11, 2008

Etika Lingkungan Sony Keraf

Konon, Sony Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan [atau alam] diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu.

Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.

Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis, mungkin seperti impian Fritjof Capra.



Antroposentrisme

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.

Nilai tertinggi adalah kepentingan manusia [sehingga, sebenarnya kurang tepat kalau diistilahkan dengan antroposenrisme]. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.

Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.


Biosentrisme dan Ekosentrisme

Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism)
***

Setidaknya, demikianlah beberapa poin pemikiran Sony Keraf, tentang etika dan etika lingkungannya.
Tetapi ada yang janggal ketika membahas tentang etika lingkungan, yang kemudian dibedakan menjadi yang bersifat biosentris, antroposentris, dan ekosentris. Antroposentris kemudian dirujukkan kepada Aristoteles, yang menekankan bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Bahwa dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Dan secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan menghindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu.

Lingkungan adalah segala hal yang “bersentuhan” dengan kita, baik secara pikir, rasa, indra, ataupun sarana lain yang kita miliki. Tetapi dalam diskursus ini, sebenarnya selalu ada hidden subject [subyek yang disembunyikan]. Kata “kita” di atas, menyiratkan adanya penyatuan antara saya, dan beberapa anda. Mengatakan “kita” berarti menapal batas, antara “kita” dan yang “bukan kita”. Ketika saya mengatakan “lingkungan”, sebenarnya saya mengatakan “lingkungan saya”. Begitu juga ketika anda mengatakan lingkungan, maka sesungguhnya anda pun megatakan “lingkungan saya”. Bagi saya, anda adalah “anda”; bagi anda, saya adalah “anda”, dan anda adalah “saya”. Subyek yang disembunyikan itu, tak lain adalah subyek itu sendiri. Dunia, hanya terdiri dari “saya”, dan yang lain, yang “bukan saya”.

Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan ikhtiar mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Maka etika adalah usaha “saya”, usaha “kita”, usaha manusia, untuk memahami bagaimana ber-laku kepada sesamanya, juga kepada yang bukan sesamanya. Etika adalah bagaimana “saya” ber-laku terhadap diri sendiri, juga kepada yang lain, sehingga etika mempunyai dimensi ke dalam dan keluar. Dan yang lain, juga bisa, untuk mengatakan “saya”, sebagaimana saya bisa untuk berkata “saya”.
Sehubungan dengan ini, kemudian Sony Keraf, dengan merunut cerita sejarah, membagi etika lingkungan [dimensi keluar, dari etika], menjadi antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia, juga harus dipahami sebagai makhluk biologis, serta makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup, dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.

Sedangkan ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme, yang hanya berpusat, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak hidup. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Dalam hal ini Keraf hanya memasukkan banyak “yang lain” ke dalam “kita”. “kita” yang semula hanya berisi “saya” dan “kamu”. Dalam diskursus antroposentrisme, “kita” berisi manusia. Kemudian ini dirasa tidak cukup, sehingga mengundang hewan dan tumbuhan, ke dalam “kita”. “kita” di sini, tidak bisalagi dinamai antroposentrisme, melainkan biosentrisme. Hal ini pun berlanjut, ketika kemudian bebatuan, minyak, gas, dan lain-lain dimasukkan ke dalam “kita”. “kita” adalah ekosentrisme. Jika etika adalah sebuah proses tentang bagaimana manusia ber-laku terhadap yang lain, dan lingkungan adalah segala sesuatu yang “menyentuh” subyek, dan di sini Keraf telah melebarkan konsepsi subyek, maka secara epistemologis, kategorisasinya terhadap etika perlu kembali dipertanyakan. Dan lebih jauh lagi, etika lingkungan tidaklah berbeda dengan dimensi-keluar, dari etika.

Menurut saya, permasalahan bukanlah sampai mana batasan kita tentang “kita”, juga bukan siapa saja yang harus masuk ke dalam “kita”. Melainkan bagaimana kita, sebagai subyek meng-etis-kan etika itu sendiri. Secara praktis, adalah terus mempertanyakan bagaimana ber-laku terhadap “yang lain”. Keraf melihat, dan mengandaikan bahwa relasi antara “kita” dengan “yang lain” adalah relasi tuan-budak, yang banyak disuarakan oleh Hegel, juga Nietszche. Dan saya kira, jika bentuk relasi semakin di teguhkan, maka bentuk etika ekosentrisme pun [atau etika lain, yang lebih banyak meng-kita-kan, kalau ada], tidak akan bisa memberikan banyak perubahan. Karena, bagaimana kita ber-laku kepada yang lain, adalah lebih mengenai sikap dan preposisinya, dan sekali lagi, bukan dengan memasukkan “yang lain” ke dalam lingkaran “kita”.


Ahmad Fahmi Mubarok

Tidak ada komentar: