Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan, dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat. Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan berdaulat.
Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam Budiardjo,1 rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran demokrasi, government or rule by the people, dari peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, kratein/ kratos berarti kekuasaan/ berkuasa. Sistem Negara-Kota (city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M) merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial. Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi. Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah. Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja, bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat.
Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habis-habisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan.
Penulis memandang terdapat empat masalah paling menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah : uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus mengalami fase pendewasaan politis elit dan masyarakatnya.
Uforianis pemekaran merupakan persoalan yang bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali (pusat suku bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una (terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebut-nyebutkan bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah di implementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh sebagian besar rencana kabupaten baru.2
Sementara persoalan keuangan daerah membawa pada satu titik di mana kemandirian daerah dan ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal.
Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah lain yang tertinggal.
Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri.3 Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pembangunan menjadi prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah, penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas penggunaan anggaran,4
Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi dari Jawa. Untuk mengindari kerugian financial dagi daerahnya, maka nagari di pecah-pecah menjadi unit administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak lahirnya, system desa dan pemecahan nagari ini dikritik habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit territorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda dengan desa.5 Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di masyarakat dari sudut budaya.
Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan, melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6 Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret ekonomis.
Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang bersamaan pembangunan basis politik daerah yang demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik dan pendidikan politik pun telah banyak memulai pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara kolektif komunal daerah setempat.
Awaludin(luluk)
1. Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka. Jakarta. Halm. 50-54
2. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries; local politics in post-Suharto Indonesia. Diterjemahkan oleh, Bernard Hidayat. 2007. Politik Lokal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal. 50
3. Dede Mariana dan Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Graha Ilmu. Yojakarta. hal. 139
4. Tranparancy International Indonesia. 2007. Pakta Intregitas Kota Banjarbaru. TII. Jakarta. hal. 5-8. Tesis dalam tulisan ini adalah potensi korupsi paling banyak terdapat dalam pengadaan barang/ jasa. Masalah pengadaan barang/ jasa pemerintah daerah di identifikasikan sebagai berikut : masih terjadinya praktik penyuapan dan pembayaran yang tidak resmi; masih terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power); masih adanya pejabat/ pegawai dan penyelenggara Negara yang beraktivitas bisnis terkait dengan jabatannya; masih adanya konflik kepentingan; masih adanya praktek pemerasan dan budaya premanisme; adanya pertentangan hokum dengan tidak mempertimbangkan kaidah hukum yang berlaku; rendahnya keterlibatan masyarakat dalam melakukan pemantauan terhadap proses pengadaan barang/ jasa; kurangnya pemahaman dalam pelaksanaan metode penunjukkan langsung; kekeliruan pemahaman tentang jens pekerjaan swakelola; kurangnya pemahaman dalam penentuan metode pengendaan jasa konsultasi; masih terjadinya tender diatur (tender arisan); masih terjadinya pengalihan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama kepada pihak lain (jual beli proyek); lambatnya pelaksanaan penyelesaian pengaduan dan penyelesaian masalah; kurangnya penghargaan dan lemahnya pemberian sanksi kepada pihak yang terkait; dan terakhir lemahnya pengawasan pelaksanaan pekerjaan.
5. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries;......Op. Cit. halm. 545
6. Ibid., halm. 225
Senin, November 10, 2008
POTRET DEMOKRASI LOKAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar