Oleh: Giyanto*
Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi 'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan beo....
terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.
Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?
Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.
Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-- dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.
Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker---ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya---hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.
Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan---tokoh idola ekonom-ekonom 'liberal' kita--- tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.
Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.
Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.
Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri! Salam
terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.
Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?
Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.
Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-- dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.
Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker---ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya---hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.
Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan---tokoh idola ekonom-ekonom 'liberal' kita--- tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.
Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.
Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.
Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri! Salam
*foto menyusul
23 komentar:
Ya, investasi memang membutuhkan keberanian seorang enterprenuer, karena resiko investasi sangat labil, perlu hitungan yang jelas, minal nilai investasi harus lebih besar dari suku bunga bank. Di sinilah daya tarik investasi, bukannya tokoh pemikir besar ekonomi John Maynard Keyner juga seorang investor yang mati dalam kondisi yang kaya raya berkat kejituan kalkulasi bisnis investasinya.
Nah, bisa ditempatkan bahwa investasi dengan resikonya milik pebisnis pemberani dan permainan penyimpanan uang di bank dengan mengandalkan suku bunga hanya diperuntukkan bagi pebisnis pengejut yang gak punya nyali. Investasi memerlukan kejelian ekonomi matematis, baik net present volue, buy back periode, avarrage rate of return, cash flow hingga kriteria investasi yang tidak bisa dimainkan oleh sembarang orang secara serampangan jika tak berniat mendapatkan keberuntungan pasti.
Konsepsi sistem bank ataupun sebaliknya, tinggal pada pola penawarannya, di dalam ekonomi dikenal dengan lahirnya “penawaran” dikarenakan adanya “permintaan” sebagai hukum alam. Namun hukum alam ekonomi ini dihajar habis-habisan pasca Adam Smith dan para pengikutnya, terutama Jean Baptiste Say pendukung utama laissez faire, pasar bebas. Mereka, terutama Say1 dalam A Treatise on Political Economy, or The Production, Distribution, dan Consumption of Wealth, bahwa penawaran bisa menghasilkan permintaannya sendiri, jadi bukan kebenaran mutlak bahwa permintaan saja yang bisa menciptakan penawaran, tetapi bisa juga penawaran yang menciptakan permintaan. Dalam skema dasar ini, maka kemenangan sebuah bangunan ekonomi secara teoritis maupun praksis tak bisa jauh dari upaya promosi dan penawaran konsepsi yang bersangkutan.
Namun, saya rasa konsepsi ala barat -bank, sistem kepemilikan hak pribadi, pasar bebas- kurang cocok di pakai di indonesia. Ketidak cocokannya terletak pada nilai yang diusung olehnya, individual liberal sangat lekat dalam tubuh konsepsi barat. Bagaimana koperasi dan sistem ekonomi distrubutif ala syariat juga tak kalah jauh lebih cocok dengan kondisi indoneisa yang berwarna nilai komunal kolektif. Kesejahteraan komunal lebih diprioritaskan ketimbang kesejahteraan individu. Ekonomi barat mulai merambah ke jalan ekologi/ lingkungan sebagai penebus dosa atas keserakahan, namun dimanakah letak kepedulian sosial dan kepekaan mereka terhadap sesama manusia, apakah cukup dengan CSR -sebuah konsepsi sebatas diatas kertas!.
Lebih dari itu, pendapat ini hanyalah imaginasi pengtakhayul seperti saya. Saya yang berusaha menjadi teman berpikir Giyanto..ha ha ha
Luk:
"Namun, saya rasa konsepsi ala barat -bank, sistem kepemilikan hak pribadi, pasar bebas- kurang cocok di pakai di indonesia. Ketidak cocokannya terletak pada nilai yang diusung olehnya, individual liberal sangat lekat dalam tubuh konsepsi barat. Bagaimana koperasi dan sistem ekonomi distrubutif ala syariat juga tak kalah jauh lebih cocok dengan kondisi indoneisa yang berwarna nilai komunal kolekti".
Giy:
Dengan kata lain km mendukung sosialisme per-Bank-an. Yang dalam istilah di atas berarti FRB.
Sekali lagi kita tidak usah terjebak dalam problem semantik seperti istilah Syariah, FRB, dsb...Yang penting kita harus memahami dengan jelas hakekat dan sistem yang dijalankannya berdasarkan alur logika yang jelas berdasarkan prinsip keadilan, keamanan dsb...
Saya kira itu lebih syariat daripada konsep bank syariat yang skarang ada di Indonesia...
Gitu boz.....
Wah klo gitu kang Gik blom memahami konsep bank syari'ah kayaknya heheeh....
Berarti kamu 'memahami' cara kerja Bank Syariah: Ayo kita uji disini...
Menurut kamu, Bank Syariah, memiliki cara kerja yang bagaimana?
Saya tunggu....
(Disini saya akan memposisikan sebagai penanya)
Ketika saya memberi pertanyaan, tapi tidak memberi acuan referensi. Bisa jadi saya 'dituduh' menjadi teman diskusi yang kurang baik.
Klik nama saya di atas...barangkali itu akan menjadi situs islami 'terbaik' menurut saya. Di sana ada sedikit penjelasan mengenai apa itu FRB. Saran saya, baca juga artikel yang lain. Terima kasih.
Selamat membaca
Sory Om..saya lagi gak mood debat, lagi ngrampungin buku neh....coz soal semantik "lebih syariat dari bank syariat" itu contradictio in terminis misalnya, apa syariat, apa bank syariat, apa fiqh, apa maqashidul fiqhiyah....ah panjang..ntar klo udah ada waktu luang ya...sori...ya yang penting kita mesti belajar dan mengakui bahwa kebenaran bisa berada di mana saja.
@Edy
"bahwa kebenaran bisa berada di mana saja."
Giy
Paling indah memang mengelak, dan menyatakan bahwa kebenaran berada di mana saja.?! aha!!!!
Barusan itu saya baca di sebuah artikelnya Prof Rothbard....dan dia mengatakan persis seperti yang kamu tulis....(bahwa: argumen filsafat gadungan seperti hermeneutis, dekonstruksi dsb...sering berpendapat: "its "open" men...." Please donk ah....
Dengan filsafat seperti itu, maka pengetahuan tidak akan menuju pada kebenaran ilmiah. Tapi jalan tol bagi filsafat seperti itu adalah nihilisme, ya paling minim mengarah ke relativisme.
Sekali lagi, Giy mengatakan: "semua itu benar kok"...aha!
Ngemeng-ngemeng masalah bank syariah nie, DPR dan Pemerintah dinanti-nanti mengesahkan UU Perbankan Umum Syariah. Dengan kata lain konsep perbankan yang dikenal dalam batas implementasi dan wacana karena negara semula hanya mengakui Bank Konvensional dalam UU No. 7 Tahun 1992, kini beralih tuk mengakomodasi perbankan syariah. Ya gitoe deh...
ngemeng-ngemeng tentang bank syariah juga nih.... setelah beberapa kali ikut pelatihan sebagai pelaku pemula usaha perbankan syariah dimana di dalamnya dilakukan perbandingan dan debat besarbesaran....
kalah jauh bos......
pemberdayaan umat lebih dimungkinkan di sistem syariah...
tapi semua berpulang pada implementsi dilapngan....
tulisan yang bagus, mas...
tauf
Saya punya harapan, masyarakat kita semua melek dengan 'ilmu ekonomi'. Biar tiap hari mereka tidak selalu dibohongi komentator2 di koran2 itu. Liat, mayoritas penulis ekonomi adalah 'kepanjangan tangan' industri Per-Bank-an. Atau minim para cecunguk yang mendapat penghasilan dari royalti tulisan. Ato paling tidak mereka yang menyebarkan ttg ekonomi rasisme (seperti Barat timur, yahudi-islam, dsb)
Ketika kita hidup di jaman yang sedikit sekali harapan untuk menuju kepada kedaulatan umat. Yang ada hanya sebuah jalur menuju 'kehancuran'.
Ciri-ciri-nya gampang untuk diamati: Ketika para 'ilmuwan' sudah berselingkuh dengan kekuasaan, para intelektual berselingkung dengan kekuasaan, para pemodal berselingkuh dengan kekuasaan, ketika mahasiswa juga ikut berselingkuh dengan kekuasaan. Maka kesimpulannya...tidak akan lama....yang diinjak-injak adalah orang yang tidak punya ruang untuk menghindar dari tangan besi kekuasaan. Apapun wajahnya, entah presiden kita mau bersenyum lebar, entah dia memiliki niat sebaik apappun. Semua itu tidak menjamin bahwa keadaan akan baik-baik saja...
Dan pemicu masyarakat untuk mudah frustasi dan marah, yaitu ketika 'perut' mereka merasa lapar. Bukan karena mereka tidak bisa bekerja. Tapi karena setiap hasil kerja mereka dirampok oleh kekuasaan...
Perjuangan kita untuk belajar masih panjang bror....tetaplah pada jalur seperti awal kita di sini...
walaupun sekarang studi km persis berada di 'jantung' kampus yang sangat dekat dengan kekuasaan....tetaplah berpegang pada prinsip...walaupun harus sampai berdebat dengan dosen2...he2...
Salam tabok dari jauh....semoga kita semua panjang umur....
Giy
Yah...apa sajalah yang membuat Kang Gik bisa bersukacita merayakan "intelektualisme"....btw, klo soal hermeneutik kayaknya perlu baca Dilthey, Freud, Schleiermacher, Gadamer, Heidegger, Habermas, hingga Ricoeur dan Thompson hehehe......
ya kamu juga bisa mencoba bc2 eseay2 tandinganya seperti artikel2 yg saya baca. Misal; Hermeneutical Invasion of Philosophy and economic oleh Rothbard
debate rame bozzzzzzzzzzzzz....
saya sepkat dengan kang ed khan..
kit mesti banyak membaca.....
HIDUP MEMBACA....
MEMBACA HIDUP....
malik
kng gi....
di tahan dulu,,,,
nanti klo kita semua kumpul.
baru......
ngamuk.........
malik
Sudah!....kamu terlambat....kemarin ak udah ngamuk2 di gerai nasi kucing sampangan....he2...
Ngapain ya, kalo ak yg posting....pasti rame...? Sekali2 ak dicuekin juga nggak apa2 kok....
Kapitalis yang sangat sosialis, Gie.
Terima kasih atas pencerahannmu pada kami. Yog.
Kenapa Kang Gik kerapkali dalam postingnya jadi rame...ya jawabnya singkat, coz seringkali postingnya berhasil membuat telinga memerah dan menampakkan keangkuhan yang dungu... (maaf agak/sangat kasar kata2 ini...) Salam,,,,
Ada dua point penting dari komentar Edy:
Pertama, bagi yang merasa telinganya 'memerah' setelah membaca tulisan saya berarti dirinya memang demikian adanya. Tapi, kalau yang tidak merasa demikian, pasti orang tersebut mengira saya gila dan tidak perlu diperhatikan. Atau minim tersenyum karena dirinya tidak merasa terancam.
Kedua, kedunguan yang disampaikan dengan tulisan lebih baik daripada kebencian yang disembunyikan dalam hati dan dibawa sampai mati. Dan keangkuhan yang keluar dari pikiran yang ju2r dan terbuka lebih berharga daripada kesantunan atas dasar oportunisme dari kemunafikan pikiran yang berdiri diatas gagasan tolol dan merugikan banyak orang.
Gitu aja kok repot....berarti disini kamu memang benar-benar dalam masalah besar....
membaca ribuan, bahkan jutaan judul buku sekalipun, ndak akan ngefek apa-apa, jika cara membacanya seperti membaca deretan huruf.
sudahkah merasa bebas hanya karena memekikkan kata "bebas!" sampai mengurat leher?
saya kira, kita perlu untuk menurunkan semua itu, sampai pada keheningan, dan bisa mendengar apa yang tak mau di dengar.
Trims
Okelah Kang saya akan berkomentar singkat saja....
"bagi yang merasa telinganya 'memerah' setelah membaca tulisan saya berarti dirinya memang demikian adanya."
pernyataan Kang Gik akan benar jika itu menyangkut "diri", tapi kita khan tidak sedang bicara soal "diri", kita bicara soal intelektualisme, ilmu pengetahuan, ekonomi misalnya... Setidaknya ada seorang sahabat yang mencoba untuk mengingatkan bahwa etika intelektual dan phronesis, atau illative sense, atau "rahsa" dalam bahasanya Sindhunata, hilang dari tulisan Kang Gik, makanya saya selalu saja dan akan selalu saja mengatakan pada Kang Gik "belajarlah! bacalah!". Dalam "peringatannya" mas Fahmi pada Kang Gik adalah, merenung dululah, kira-kira gitulah...
Kenapa, karena setidaknya dari bacaan yang sedikit dari saya, saya ketahui ada kekurangan, sempitnya perspektif, atau bahkan kesalahan dalam memandang.
"Tapi, kalau yang tidak merasa demikian, pasti orang tersebut mengira saya gila dan tidak perlu diperhatikan. Atau minim tersenyum karena dirinya tidak merasa terancam."
Saya kira bukan karena merasa terancam atau tidak, tapi karena merasa bahwa ada pernyataan yang salah tentang konsepsi pengetahuan tertentu, atau merasa ada umpatan yang tidak sepantasnya dikeluarkan.... maaf saya masih merasa etika intelektual mesti dijunjung di sini, di blog ini.... biar tidak jadi blog murahan yang mengumbar umpatan tapi ternyata asal mengumpat, bahkan untuk sebuah kebenaran sekalipun, saya merasa jangan diujudkan dalam bentuk umpatan, hujatan. Saya kira kerendahhatian perlu dijunjung.
"kedunguan yang disampaikan dengan tulisan lebih baik daripada kebencian yang disembunyikan dalam hati dan dibawa sampai mati."
Bagi saya kedunguan jangan sampai membawa-bawa orang lain. Kedunguan, kebodohan, yang diwujudkan dalam bentuk tulisan, entah di media cetak maupun internet, amatlah fatal jika tulisan itu "Dungu" yang kemudian dipercaya oleh orang banyak (tentu yang belum banyak baca) sebagai sebuah kebenaran. Saya belum bisa menerima, bagaimana mungkin seorang intelektual membelajarkan dengan umpatan dan tulisan yang dungu dan membodohi yang tidak tahu???
"Dan keangkuhan yang keluar dari pikiran yang ju2r dan terbuka lebih berharga daripada kesantunan atas dasar oportunisme dari kemunafikan pikiran yang berdiri diatas gagasan tolol dan merugikan banyak orang."
Bagi saya, keangkuhan itu merendahkan orang lain, keangkuhan itu bagi orang bijak dilihat sebagai justru memperlihatkan derajat diri yang rendah.
Dan saya kira, gagasan tolol atau merugikan banyak orang perlu dikaji lebih lanjut, jadi tidak asal tuding, tidak asal mengumpat. kata "tolol" itu kasar dalam dunia ilmiah, karena ia tiada berdasar dari penalaran yang sahih. ... ah teruskanlah....
Selama Kang Gik seperti ini, mungkin saya akan selalu menjadi yang "cerewet" untuk mengomentari, yah...mungkin karena merasa bertanggung jawab terhadap seorang sahabat di komunitas yang sama, di dunia intelektual yang sama, dan di ruang publik "blog" yang sama.
Salam,
he2....
sampailah kita pada suatu masa..
masa dimana kita sadar
bahwa kita banyak belum tau dan berbuat apa apa...
Posting Komentar