online degree programs

Sabtu, November 08, 2008

PENIPUAN YANG SEMPURNA*

Dalam tulisan terdahulu saya telah menguraikan dengan singkat kaitan antara bagaimana prinsip hak milik pribadi dalam per-Bank-an bebas serta bagaimana sistem FRB sebenarnya bertolak belakang terhadap prinsip kekebasan. Pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah sistem FRB dapat dikatakan sebagai penipuan?


Ketika hampir semua Per-bank-an saat ini menerapkan sistem FRB, mengapa hampir semua masyarakat penabung tidak pernah merasa ditipu? Jawabnya, karena masyarakat memang benar-benar tidak mengetahuinya. Toh kalaupun mengetahui, mereka tidak akan mempersoalkan karena merasa tidak tertipu. Tapi pertanyaan lanjutannya, apabila terjadi penarikan besar-besaran terhadap seluruh deposit, dan ternyata cadangan di Per-bank-an tidak mencukupi terhadap permintaan dari nasabah, kemanakah si penabung dapat mengadu?


Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas dalam benak saya setelah kemarin memutuskan untuk menabung di salah satu Bank Swasta yang menurut saya dapat dipercaya. Bisa jadi, uang nasabah akan lenyap karena tidak mendapat jaminan, ataupun akan terhempas penyakit mematikan yaitu: inflasi.


Jawaban lain barangkali menarik mengutip kesimpulan yang ditulis dalam situs EOWI beberapa minggu yang lalu: bahwa 1) Pemerintah tidak menjamin nilai riil uang anda agar supaya tetap. Hanya nominalnya saja yang tetap. 2) Pemerintah tidak mengatakan bahwa deposit anda tidak akan dibekukan. Uang anda akan utuh di bank tetapi tidak bisa diambil kalau pemerintah memutuskan untuk dibekukan.


Dengan kata lain, tidak ada jaminan apapun bahwa uang anda akan aman ketika disimpan di Bank. Selanjutnya, bagaimana solusi praktis bagi persoalan tersebut. Jawabnya adalah: tidak ada! Anda tidak akan dapat mengelak terhadap segala resiko yang telah diterapkan oleh sistem per-bank-an saat ini. Apa pun penawaran yang ditawarkan kepada anda, baik itu Syariah ataupun tabungan biasa tidak akan dapat menghindar dari penyakit yang namnya INFLASI. Selama uang yang anda pegang masih bergambar lukisan pahlawan-pahlawan nasional.


Terlepas dari itu, pertanyaan moralnya adalah, mengapa sistem yang demikian telah diperbolehkan beroperasi selama bertahun-tahun dan mendapat legetimasi yang nyaris penuh dari pemerintah? Hal itu dikarenakan hampir semua ekonom kita menganggap bahwa perbankan adalah jantung bagi perekenomian. Jadi menurut pandangan tersebut, perbankan harus mendapat perlindungan dari pemerintah, bukan si nasabah. Lho kok bisa? Ya begitulah adanya yang kebanyakan dari kita masih menganggap bahwa negara adalah aparatus keadilan.


Jadi apa yang seharusnya dilakukan. Saran saya, tetaplah waspada. Apalagi dalam masa ekonomi mandeg seperti ini. Harga komoditas turun, sektor perkebunan lumpuh total sehingga bukan tidak mungkin nantinya akan banyak terjadi kredit macet, sehingga pengusaha tidak dapat membayar kreditnya ke Bank. yang akan mengakibatkan dana yang tersimpan tidak sesuai dengan jumlah deposit nasabah yang menabung. Anda bisa membayangkan apa yang akan terjadi?


Tidak bermasuk menakut-nakuti. Tapi ini adalah upaya penyadaran bahwa sebenarnya kita saat ini sedang berada di sebuah sistem yang benar-benar berdiri di atas prinsip yang rapuh. Prinsip yang berdiri atas dasar penipuan. Prinsip yang melegalkan kejahatan. Prinsip yang menginjak-injak kebebasan individu.


Dan hampir mustahil kita untuk berharap sistem tersebut dapat diperbaiki ataupun dibubarkan. Satu-satunya jalan adalah upaya penyadaran bahwa sebenarnya nasabah saat ini sedang ditipu. Bahwa bukti legal tabungan anda sebenarnya tidak benar-benar berada di bank, tapi telah ditanamkan ke berbagai perusahaan sekuritas untuk 'diinvestasikan' dengan berbagai resiko. Jadi solusi satu-satunya adalah revolusi sistem perbankan, yang harus dimulai dari nasabah itu sendiri.


*Giyanto adalah salah seorang nasabah. Anda dapat berkunjung diblogpribadinya.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

mas giy, sejak dulu saya tau itu. saya tau kalo nabung di bank, yang mendapat bunga sekian persen per tahun itu gak bakalan mungkin, kalo duitnya gak diputer..

saya tau itu.

ingin sekali saya mengungkapkan "something miss" dalam argumen mas giy, mas edi, mas luluk, pak nad, pak imam, rothbard, mises, descartes, heiddeger, hegel, kant, derrida, focoult, nietzsche, arendt, barthes, juga habermas.

tapi, saya lebih ingin menahan diri untuk tidak memekik kencang sembari menudingkan telunjuk untuk menyalahkan. saya merasa lebih perlu untuk menurunkan semua itu, sampai pada titik hening, sampai bisa mendengar apa yang tak ingin di dengar.

atau, beri satu alasan untuk itu, alasan yang bisa kita terima, dengan rasional, logis, ndak perlu menghasilkan profit ekonomis, dan dengan senang hati akan saya katakan.

Anonim mengatakan...

Ya, menikmati keheninangan sambil melihat 'drama' tersebut selesai memang cukup asyik dan terkesan 'bijaksana'.
sekali lagi itu adalah: pilihan.

Anonim mengatakan...

Mas fahmi...klo saya sedang dalam memosisikan diri untuk selalu mengingatkan Kang Giy yang mungkin terlalu terburu-buru itu....ya saya tahu alasan Kang Gik walaupun mungkin takkan diakuinya...kayaknya dulu saya juga pernah mengalami hal itu, tapi mungkin lebih menyimpannya dalam permenungan saja, tidak kemudian digembar-gemborkan dand itambah dengan umpatan-umpatan itu...

Salam,

Anonim mengatakan...

@Fah;
"saya tau kalo nabung di bank, yang mendapat bunga sekian persen per tahun itu gak bakalan mungkin, kalo duitnya gak diputer.."

Giy:
Pernyataan tersebut tidaklah menjadi persoalan. Tapi yang menjadi inti dalam sistem FRB adalah, bahwa bank diperbolehkan menyimpan uang tidak sebesar deposit yang didapatkannya. Katanlah dia memiliki deposit 10 M, tapi dalam kenyataannya, dalam sistem FBR, bank diperbolehkan meminjamkan dana sebesar 100 M. Jadi 90 M lainnya didapat dari "ruang hampa". Dalam logika sederhana: ketika saya punya satu juta deposit di Bank, maka Bank berhak meminjamkan sebesar 10 juta (dengan kerjasama bank2 lain melalui ibunya bank sentral) kepada pengusaha2. Berdasarkan status deposit saya sebagai nasabah. Dengan kata lain hak milik saya yang awalnya untuk keamanan, telah dipinjamkan dengan dasar klaim dari agunan beberapa pengusaha. Artinya: hak milik saya sekarang tidak 100%, tapi cuma 1/X dari hak milik saya. Bukankah ini penipuan? idealnya, sebelum memberikan kredit, Bank sebelumnya harus memiliki cadangan 100% cadangan deposit dari keseluruhan dana si penabung. Bukannya sebagian atau 1/x cadangan!

@Edy:
----

Giy;
No Coment

Imam Semar mengatakan...

Oom Giy,

Untuk menjawab FAH mungkin anda bisa memulai dengan menerangkan apa itu FRB dan berapa besarnya leverage yang dibolehkan. Apa akibatnya kalau bank rugi sebesar leveragenya.

Bank tidak bisa untung dan membiayai karyawannya dan CEOnya (yang gajinya gede) jika tidak ada leverage. Maksudnya leverage disini ialah, kalau modalnya 10 milyar dan leveragenya 10, maka bank boleh memberi kredit 100 milyar. Kalau leveragenya 1:10, artinya kalau investasinya rugi 10% maka seluruh uang nasabah habis. Ini resiko yang ditempuh bank dan tidak pernah dikasih tahu kepada nasabah. Resiko ke dua adalah, yang saya perhatikan bunga bank di Indonesia selalu lebih kecil dari pertumbuhan M2 (uang cash dan giro). Perbedaaannya sekitar 2%-4%Artinya tabungan anda walaupun sudah dapat bunga tetap nilai riilnya tergerus inflasi (pertambahan uang yang beredar). Jadi anda tetap saja rugi jika dilihat untuk jangka waktu yang lama. Angka 2%-4% ini kecil dan tertutup oleh gejolak harga sehari-hari. Jadi tidak kelihatan. Akan nampak jika ada krisis dimana pemerintah melakukan pencetakan uang untuk menyelamatkan bank. Itupun untuk krisis sekarang ini (di US) tidak nampak pada kenaikan harga (gejala inflasi)karena mekanisme demand-supply lebih dominan dari mekanisme moneter (pertumbuhan uang).

Mungkin saya salah dan tidak tepat dalam menggunakan kata leverage.