Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata?
Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.
Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut [dianggap] adalah ketika Pangeran Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan.
Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical Technology}, yang masih mempesonakan, melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas.
Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo [Surakarta]. Kota yang mem-brand¬-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya].
Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL] Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh –kurang lebih- 400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan.
Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Frans Budi Hardiman.
Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran.
Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia [sebagai makhluk hidup] yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada.
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan manusia banyak [massa], tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.
Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan.
Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.
Fah_itusaja@yahoo.com
Jumat, Oktober 31, 2008
Solo vs Sragen
Label:
Kebudayaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar