Oleh: Muhammad Taufiqurrohman
Bahasa Inggris diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Hal ini menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang paling memungkinkan dalam relasi internasional. Modernismelah yang memungkinkan hal ini terjadi. Perkembangan teknologi telah mempermudah umat manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut bisa terjadi antar berbagai latar belakang suku , negara, bahkan benua yang sangat berjauhan secara geografis dan berbeda dalam penggunaan bahasa.
Konsekuensi modernisme tersebut juga membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling populer di dunia. Hal ini dikarenakan bahasa inilah yang paling banyak digunakan oleh penduduk bumi. Sejarah Inggris sebagai negara penjajah terbesar di dunia menjadi faktor dominan perkembangan tersebut. Di negara-negara bekas jajahan Inggris kita bisa melihat penggunaan bahasa Inggris sebagai second language setelah bahasa resmi mereka seperti bisa kita lihat di India, Malaysia, dan Singapura (Singlish).
Lain halnya Indonesia yang tidak pernah mengalami penjajahan Inggris. Hal inilah mungkin yang menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak bisa menjadi second language seperti di ketiga negara tetangga kita tersebut. Faktor historis ini juga mungkin yang menjadi faktor mengapa perkembangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan di ketiga negara tersebut.
Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dengan demikian telah menjadikannya sebagai milik warga dunia. Dengan kata lain, bahasa Inggris tidak hanya monopoli Inggris atau Amerika saja. Implikasi jauh dari perkembangan ini adalah tidak ada otoritas (juga termasuk Inggris dan Amerika) yang paling berhak mengatakan bahwa bahasa Inggris di negara X bukanlah bahasa Inggris karena berbeda dengan bahasa Inggris versi Inggris atau Inggris versi Amerika. Dengan demikian, perkembangan bahasa Inggris yang menemukan berbagai macam bentuknya hasil dari perkawinan dengan masyarakat dunia yang beragam tidaklah bisa dielakkan lagi.
Model perkembangan bahasa Inggris di India, Malaysia dan Singapura sangatlah menarik untuk dijadikan model perkembangan tersebut. Dalam perspektif kajian subaltern, perkembangan bahasa Inggris di ketiga negara tersebut telah berhasil menemukan bentuk baru bahasa Inggris yang telah berubah dari bentuk pakem (resmi) bahasa Inggris yang dibawa oleh bekas penjajah (colonizer) mereka (Inggris). Meskipun tidak berubah seratus persen, perubahan tersebut mengindikasikan penciptaan yang baru dalam arti mengadakan suatu bentuk yang sebelumnya belum pernah ada. Bentuk baru tersebut sangat identik dengan masing-masing kekhasan dari kekayaan lokalitas masyarakat mereka. Bentuk-bentuk baru tersebut belumlah pernah ada dalam tradisi bahasa apapun. Di India misalnya, bahasa Inggris telah menjadi sangat India dengan pemertahanan terhadap dialek India yang sangat kental. Hal yang serupa juga terjadi di Singapura dan Malaysia meski dengan bentuk yang berbeda.
Pertanyaan yang jarang sekali diajukan adalah mengapa di Indonesia bahasa Inggris tidak (atau mungkin belum) menemukan bentuk barunya. Mengapa Inggris versi Inggris (British English) dan versi Amerika (American English) masih dapat bertahan dengan sangat baik bahkan telah menjadi semacam ukuran berbahasa Inggris yang paling baik (“standard English”) di Indonesia? Padahal kita tahu kekhasan berbahasa dalam ranah fonologi (intonasi, aksen, dialek, dll) masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan masyarakat Inggris dan Amerika. Apalagi jika kita melihat beragamnya kekhasan berbahasa masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke dalam ranah fonologi tersebut. Perbedaan dialek orang padang sangat berbeda dengan orang batak, misalnya. Bahkan dalam satu suku bisa terjadi perbedaan dialek yang sangat tajam. Pada suku jawa misalnya, dialek orang jawa tegal akan sangat berbeda dengan dialek orang jawa jepara apalagi jawa solo. Demikianlah di negara yang sangat kaya akan keberagaman kekhasan berbahasa inilah mengapa bahasa Inggris tidak menemukan bentuk barunya?
Hal yang tidak kalah penting dari alasan penemuan bentuk baru bahasa Inggris versi Indoneisa tersebut adalah kenyataan bahwa terdapat korelasi positif antara pemakaian bahasa Iggris masyarakat dengan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Contoh yang menarik kita bisa lihat dari produksi film-film India yang mampu menembus pasar internasional karena kemampuan bahsa Inggris pemain film India yang sangat baik. Hal serupa juga bisa kita lihat di Singapura dan Malaysia. Salah satu faktor kemajuan Singapura dan Malaysia disinyalir adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai second language.
Faktor historis Indonesia yang tidak pernah dijajah Inggris mungkin bisa menjadi alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Tetapi, apakah dengan demikian kemungkinan penemuan bentuk baru (hybrid) dari perkawinan bahasa Inggris asli dengan konteks lokalitas masyarakat Indonesia tidak bisa terjadi? Jika India, Malaysia dan Singapura bisa mengapa kita tidak? Untuk memulai usaha pembongkaran ini bolehlah kita curiga dengan memulai memeriksa apakah benar British English dan American English telah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni atas cara berbahasa Inggris di Indonesi?. Jika memang benar ada, bagaimanakah mekanisme hegemoni ini bekerja dalam masyarakat kita?
TEORI HEGEMONI GRAMSCI
Teori hegemoni pertama kali disampaikan oleh Antonio Gramsci. Pria yang lahir di Sardinia, Italia, pada 22 Januari 1881 ini menyelasikan studinya di Universitas Turin di Fakultas Sastra. Penulis Letters From Prison ini adalah seorang Marxian sejati. Oleh karenanya, sebelum membicarakan Gramsci kita tidak bisa melewatkan pembicaraan mengenai pandangan-pandangan Karl Marx. Dengan memasuki pandangan Marx kita akan lebih mudah memahami pandangan Gramsci, khususnya mengenai teori hegemoni.
Marx tersohor dengan teori determinisme ekonomi-nya. Teori ini menyatakan bahwa segala hal yang melingkupi proses sosial tidak bisa terlepas dari ekonomi sebagai determinan utamanya. Dengan ini Marx menyatakan bahwa kapital sebagai struktur ekonomi adalah faktor utama perubahan-perubahan dan cara pandang masyarakat terhadap sesuatu.
Marx membagi struktur masyarakat menjadi dua, yakni base-structure dan super-superstructure. Base-structure adalah hal-hal yang kasat mata yang bersifat materiil yang bisa kita panca indrai, seperti uang, modal dan produksi yang melingkupinya. Kapital di bawah struktur ekonomi merupakan salah satu wujud base-structure yang paling nyata. Sedangkan superstructure adalah hal-hal yang bersifat abstrak seperti nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan dan ideologi. Tesis utama Marx atas pembedaan ini adalah bahwa base-structure membentuk superstructure. Oleh karenanya, Marx menganggap ekonomi---tempat perkembangan kapital--- sebagai faktor utama yang membentuk politik dan kebudayaan sebagai tempat bersemainya nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi. Kapital menentukan nilai-nilai dan ideologi.
Konsekuensi pandangan Marx ini adalah bahwa kapitalisme yang dikuasai oleh kaum borjuasi akan berusaha terus melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya cara pertahanan mereka adalah eksploitasi kaum buruh (proletariat) yang semakin kuat. Dari titik inilah Marx percaya bahwa eksploitasi yang semakin hari semakin keras akan melahirkan perlawanan atau revolusi proletariat dalam bahasa Marx. Jadi, pandangan Marx adalah bahwa revolusi proletariat ini akan terjadi dengan sendirinya seperti hukum alam lainnya. Oleh karena itu, tidak diperlukan usaha apapun untuk mewujudkan revolusi proletariat. Sebab, menurut Marx perlawanan oleh kaum proletariat dengan wujud perjuangan kelas pastilah terjadi dengan sendirinya. Hal ini seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis-nya yang terkenal:
“The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1)
Benarkah ramalan Marx dengan teorinya ini? Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar Gramsci atas teori Marx. Konteks pemikiran Gramsci lahir saat menyaksikan revolusi proletariat yang tak kunjung tiba di masyarakat Eropa yang semakin kapitalis. Mestinya jika mengikuti alur pandangan Marx semakin kapitalis masyarakat semakin kuatlah gerak menuju revolusi proletariat. Tetapi kenyataan yang dilihat Gramsci adalah kaum proletariat justru semakin terintegrasi dengan kelas yang memeras mereka yaitu kaum kapitalis borjuis. Gramsci memandang kekuatan kaum proletariat semakin hari justru semakin melemah dan patuh kepada kaum borjuis walaupun kaum borjuis tidak menggunakan cara-cara kekerasan (coersive) dalam memeras tenaga mereka. Kepatuhan tanpa kekerasan kaum proletariat kepada kaum borjuis yang luput dari ramalan Marx inilah yang oleh Gramsci dinamakan sebagai hegemoni. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh During (2005:21) bahwa:
For Gramsci, hegemony helped to explain why class conflict was not endemic despite the fact that power and capital were so unevenly distributed and the working class (in Italy, particularly the southern peasantry) led such confined lives. Gramsci argued that the poor partly consented to their oppression because they shared certain cultural dispositions with the rich.
Hegemoni adalah konsep terpenting Gramsci. Berbicara tentang hegemoni berarti berbicara tentang kekuasaan dan pengaruh, pihak yang menguasai (dominant) dan pihak yang dikuasai (subordinate). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Strinati:
“…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups.” (Strinati, 1995: 165)
Pada mulanya ketika kita berbicara tentang kekuasaan akan diidentikkan dengan ranah kekuasaan militer, negara dan kerajaan. Era globalisasi yang melahirkan kapitalisme telah menggeser pengertian tersebut. Kapitalisme, dalam hal ini para kapitalis dan sistem itu sendiri, telah menjadi sebuah institusi kekuasaan tersendiri. Perkembangan selanjutnya adalah ketika kekuasaan telah beroperasi dalam ranah kebudayaan yang biasa disebut sebagai imperialisme budaya. Institusi-institusi kebudayaan semacam gereja, ulama, dan pakar-pakar bidang keilmuan tertentu adalah contoh kekuasaan dalam ranah budaya di sekitar kita. Roger Simon menyebut hegemoni sebagai:
“…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23)
Lalu bagaimanakah kekuasaan dan pengaruh diperoleh? Ada dua cara memperoleh kekuasaan, yaitu melalui kekerasan (coercive) dan melalui kesepakatan (consent). Cara yang pertama adalah cara klasik merebut kekuasaan yang sering dipakai dalam ranah militer, negara dan kerajaan pada zaman dulu. Sedangkan cara yang kedua lebih banyak dipakai dalam ranah ekonomi dan budaya. Meskipun perkembangan terkini tidak bisa disederhanakan mempunyai alur yang selalu demikian. Negara-negara modern saat ini juga menggunakan cara-cara kesepakatan sebagai senjata mereka dalam merebut kekuasaan dan pengaruh negara lain, misalnya Amerika. Sedangkan institusi-institusi budaya terkadang justru menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperebutkan pengaruhnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam gerakan separatis yang mengarah pada tindakan terorisme yang terjadi beberapa dasawarsa ini.
Inti konsep hegemoni Gramsci adalah penekanannya terhadap consent dari pada coercive. Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuasaan yang dijalankan tanpa paksaan dan menekankan kesepakatan terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan seperti yang disampaikan Strinati:
“It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.” (Strinati, 1995: 166)
Mekanisme hegemoni bekerja dengan cara membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena itu, definisi hegemoni lebih dekat sebagai upaya mencapai kekuasaan, apakah politik, ekonomi atau budaya, melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.
Konsekuensi logis dari konsep hegemoni Gramsci ini adalah penekanannya pada peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang terabaikan dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “base-superstructur”. Kerangka ini menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik.
Gramsci melihat kekuatan kaum borjuasi di negara-negara barat sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini oleh Gramsci disebut sebagai “blok historis (historical bloc)”, yaitu semacam konstalasi utuh di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Inilah alasan yang dilihat Gramsci mengapa revolusi sosialis tidak jua terjadi. Kelas borjuasi telah berhasil menghegemoni kelas-kelas lain dalam masyarakat. Sehingga masyarakat (khususnya kelas proletariat) menganggap situasi kekuasaan hegemoni kelas borjuis tersebut sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Oleh karena itu, rekomendasi Gramsci adalah konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai strategi perebutan dan pertahanan hegemoni.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement”(perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual, moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolah-sekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembaga-lembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan (nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun walaupun tidak selalu demikian dalam prakteknya.
DIALEK DAN ETNISITAS
Dalam Language and Etnicity, Fought memberikan penekanan bahwa terjadinya perkawinan dua dialek dari dua etnis yang berbeda sangatlah sah. Bahkan terkadang memang tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak pertemuan antar dialek dari berbagai macam etnis justru semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk. Fought (2006:133) menyatakan:
One issue that has frequently been raised in research on dialect contact is the question of convergence or divergence. That is, are the varieties in an area influencing each other in such a way that they become more alike, are they influencing each other in such a way that they become more different, or do they develop and change as two (or more) completely independent entities?
Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara waraga European America dengan African America. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat beragam antar dua dialek tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa justru di Indonesia kita mempertahankan American English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang sama juga terjadi dalam British English dengan adanya dialek Scotish, Irish, dll.
Senin, Oktober 27, 2008
HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH DI INDONESIA (I)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
beberapa hari lalu, saya menonton film, yang dibintangi oleh matt damon. "brother grimms", kalau tidak salah [ingat dan tulis].
dalam salah satu adegan, civaldi, seorang serdadu berdarah perancis, berteriak "genekhraale", untuk menyebut "general", yang matt damon sendiri mengatakannya "jen(e)ral".
saya kira, tidak apa, kalau lidah ini terbiasa menebutnya "jendral", juga "keni" untuk menyebut "knee" (mungkin juga pembenaran),hehe...
Posting Komentar