Upaya pemenuhan kebutahan manusia sudah berjalan begitu dinamis dan spketakuler tiap ruang dan waktu. Dengan mendapatkan kebutuhannya, manusia diyakini mampu menikmati kemakmuran untuk dirinya sendiri maupun bersama-sama dengan manusia lain. Langkah-langkah untuk menuju kemakmuran pun banyak, dimulai dari belajar, bekerja keras, disiplin dan menunda kesenangan, untuk selalu memproduksi supaya dapat mengkonsumsi kebutuhan hidupnya secara materiil maupun sprirituil.
Ekonomi dari sisi etimologi filosofis bermakna oikos (rumah, tempat tinggal) dan nemein (mengurus, mengelola) dari konstatasi Lorans Bagus (2008). Sederhananya, ekonomi berarti cara mengurus atau mengelola rumah tempat tinggal. Yang saat ini, makna ini terdistorsi menjadi suatu bidang yang lebih luas dan kompleks. Bagi Bagus, ilmu ekonomi di klasifikasikan ke dalam ilmu sosial, karena masih adanya hubungan yang lekat dengan keutamaan ilmu sosial, yakni manusia. Meskipun pendapat ini mudah saja ditepis oleh ahli ekonom yang notabene-nya lebih puas bila ekonomi di sebut-sebut sebagai disiplin yang berdiri sendiri dalam bangunan teoretis tersendiri yang kuat. Warna asing dalam ilmu ekonomi hanyalah kajian turunan sekunder yang menguatkan disiplin ilmu ekonomi itu sendiri.
Pelaku ekonomi pada intinya adalah manusia, meskipun secara positifistik berupa individu, kelompok badan hukum, dan kelompok non badan hukum. Dalam menjalankan kegiatan ekonomi ini, manusia memiliki grafik yang cenderung meningkat, apalagi dengan dorongan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seolah-olah keserakahan dan kerakusan manusia tiada pernah ada habis-habisnya. Dulu manusia hanya tertuntut bekerja dan menghasilkan nilai ekonomi dari bekerja secara konvensional –berburu, meramu zaman kuno, berdagang di zaman pertengahan dan berbagai macam bisnis di era sekarang, entah hasil kerjanya kelak akan ditukar dengan barang kebutuhan yang lain (barter) maupun menggunakan nilai tukar (uang, surat berharga, dll). Namun pada intinya semuanya itu kembali lagi pada bagaimana format dan konsepsi ekonomi yang cocok bagi manusia sekarang ini.
Ya, ekonomi yang baik bagi manusia untuk memenuhi keserakahan dan kerakusannya secara manusiawi tanpa mengindahkan keadilan dan keadilan sosial. Toh, sekarang tidak pada tempat orang banyak berpikir sistem ekonomi yang banyak diperdepatkan –pasar bebas, moderat, atau konsentrasi terpusat–, orang lebih menyukai sistem ekonomi gado-gado, tak jelas juntrung dan jenis kelaminnya, yang penting bermanfaat pragmatis buatnya, itu saja. Terbukanya pasar bebas, menunjukkan betapa dunia perekonomian ini menuju dari pasar bebas menjadi pasar liar. Setelah resesi di AS yang berimbas ke perekonomian di negeri ini, aksi praktek manipulasi harga saham di bursa di lakukan oleh oknum-oknum yang bermain kotor, seakan mereka tak peduli dengan nasib bangsa ini.
Sementara, konsentrasi terpusat yang telah lama akur dengan sistem pasar di Indonesia ini menempatkan positioning dan kewenangan negara yang berlebihan. Alhasil, Bursa Efek di tutup dengan asumsi penepisan krisis ekonomi global, namun sesungguhnya, ini merupakan dominasi negara terburuk dalam menangani krisis multinasional. Melihat dua phenomena ini, dengan demikian, “hasrat untuk mempertahankan hidup di sector ekonomi membawa manusia dalam suatu ketakutan dan kegelisahan tanpa batas !!!!!!”
Terlebih-lebih jika kita terhentakan sejenak oleh fatwa Bank Sentral, penaikan suku bunga 9, 5 % kemarin. Di mana banyak negara justru menurunkan suku bunganya untuk menghadapi krisis, kini negara mengajak bunuh diri missal, menghalangi pertumbuhan ekonomi, dan menghambat investasi. Investasi sangatlah penting, apalagi di sector riil, karena metode ini memerlukan anggaran yang cukup banyak dengan batasan waktu yang sistematis dan relatif cukup stabil. Jikalau jenis transaksi perdagangan seperti investasi terhambat, niscaya keterpurukan merupakan pridiksi yang paling valid.
Investasi Sektor Riil
Investasi disinyalir memiliki kesesuaian dengan konsepsi Adam Smith, sebuah konsep yang mengilhami kapitalisme. Meskipun, kita tidak sepakat bahkan bertentang dengan ide-ide kapitalis serta ajaran Adam Smith, namun sulit bagi kita untuk tidak terpesona. Karyanya The Weath of Nation yang mengilhami Kapitalis sungguh luar biasa.
Sekarang kita bahas pentingnya investasi yang mulai ditinggalkan oleh negara karena hendak memburu hutang luar negeri untuk mengatasi krisis ekonomi nantinya. Prinsip kesesuaian investasi dalam ajaran Smith adalah bahwa kunci penting bagi pertumbuhan ekonomi bukan hanya kebijakan pemerintah, lingkungan dunia usaha yang kompetitif dan manajemen berbasis bisnis yang sehat, namun juga tabungan dan penghematan. Mark Skousen 2001, sependapat dengan Smith perlunya investasi modal dan mesin penghemat tenaga kerja sebagai elemen vital dalam menaikan standar hidup bagi orang kebanyakan.
Tanda-tanda kemanfaatan investasi ini dirasa cukup menggiurkan bagi pelaku ekonomi, mengingat invetasi sama halnya dengan melakukan penabungan dengan bunga yang lebih besar ketimbang bunga bank. Meskipun kita menggira metode investasi ini cukup membuat ekonomi menjadi inklusif, siapa saja dengan latar-belakang apa pun jika memiliki dana dan keberanian, bisa sesegera mungkin melakukan permainan investasi.
Namun lebih dari itu, dibalik kuatnya efek yang timbul dari investasi yang menggiurkan itu, tetap saja membutuhkan resiko yang sama hal dengan metode yang lain. Tidak hanya analisa financialnya aja yang di hitung, seperti profitabilitas indeks (PI), payback period (PP), net present value (NPV, dan average rate of return (ARR), tapi juga faktor yang melekat pada investasi itu. Saya ingin mengatakan bahwa investasi di sector riil cukup menggiurkan, berinvestasi di bidang pembangunan pariwisata, perikanan, perkebunan, dan eksploitasi sumber daya alam lebih menjanjikan ketimbang di sector yang lain. Namun melakukan permainan di sini memerlukan pertimbangan kaitannya dengan faktor keamanan, politik, kepastian hukumnya, sampai ke infrastruktur pendukung.
Bagaimana faktor-faktor ini memberikan dukungan pada kelayakan bisnia suatu investasi. Kepastian hukum yang tak menentu, konflik yang terjadi, suhu politik meningkat saat sirkulasi elite politik lewat pemilu menjadi faktor utama para investor enggan berinvestasi di area tersebut.
Membangun sistem ekonomi yang lebih terstruktur, tidak hanya sebuah konsepsi yang dilihat sebagai produk politik, namun dari pergumulan kesadaran dan inteletualisme di ranah ekonomi. Ekonomi yang kontruktif bukan yang reaksioner, yang hanya berisi tentang peramalan dan aktivitas temporer. Salah satunya dengan penguatan iklim investasi.
Awaludin Marwan,SH
Jumat, Oktober 10, 2008
HASRAT EKONOMI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Saya tidak yakin pertemuan negara G-7 hingga G-20 sampai ke G ribuan sekalipun, mampu menanggni krisis ekonomi internasional kalau tidak amerika sendiri yang menangani resesi di negerinya sendiri.
Pertemuan itu hanya semacam ekspansi yang tersembunyi dibalik Bush yang berkehendak menyeragamkan kebijakan ekonomi tiap negara. Saatnya banyak negara terjebak dalam manuver amerika
Posting Komentar