Menghangatnya diskursus rancangan undang-undang pornografi tetap mempersitegangkan kubu pro dan kontra di mana satu sama lain tak mau di perdamaikan. Inilah sinetron kehidupan demokrasi yang menarik di tonton, asyik dan gratis.
Beberapa waktu lalu, maraknya pembahasan rancangan undang-undang ini disinyalir sebagai peredam dan pembelokkan isu kenaikan harga BBM. Ternyata prakiraan tersebut menemui kenyataannya, setelah kenaikan harga BBM berkumandang dari kabinet, pembahasan RUU tersebut pun meredum dan hilang sudah. Namun kontroversi RUU ini lahir kembali seolah-olah menyulut persoalan yang tak pernah tuntas.
Persoalan yang tak kunjung tuntas menandakan ketidak-dewasaan elite pemangku Negara, bahwa keseriusan memberikan kepastian pada publik cukup rendah. Misalnya saja, jikalau RUU ini di syahkan, kinerja pansus pun sudah selayaknya optimal hingga publik benar-benar menerima. Jika tidak jadi di syahkan, maka RUU ini patutlah dihapuskan dalam program legislasi nasional (prolegnas), agar supaya kontroversi seperti RUU ini tidak menjadi persoalan di kemudian hari.
Dengan dihapuskannya RUU tersebut dalam prolegnas –apabila RUU tidak jadi di syahkan, menutup kemungkinan berulang-kalinya pembahasan yang di warnai pro-kontra cukup keras. Masyarakat sudah cukup resah dengan dialektika yang tak kunjung tuntas, sementara banyak agenda lain yang lebih penting untuk dikerjakan.
Tontonan paling menarik adalah kelompok yang menamakan diri sebagai kaum critical legal study, barisan penolak keras RUU. Barisan ini ditandai dengan “munculnya peraturan, bukannya solusi tapi masalah”. Dengan demikian, barisan ini akan berjuang mati-matian guna menggagalkan RUU yang konon tanpa melalui obrolan publik. Energi yang dipakai pun sebesar-besarnya kekuatan yang di miliki, hingga tak melihat disekelilingnya bermunculan isu privatisasi BUMN, Pemilu, dan kebijakan Ekonomi neoliberalisme yang jauh lebih penting untuk dikritisi.
Kita sudah melihat dengan seksama, kristalisasi dan besarnya penolakan terhadap RUU ini, jika tetap dipertahankan untuk syahkan oleh pemerintah, maka betapa otoriternya Negara ini yang ditandai dengan pengesahan RUU Pornografi setelah kenaikan harga BBM kemarin. Jadi penyimpanan energi perlu di lakukan oleh kelompok penekan (preassure group) –NGO, Ormas, Mahasiswa, dan Pers– supaya lebih sensitive terhadap isu lain yang lebih penting.
Hukum yang Seharusnya
Perbincangan selanjutnya diarahkan kepada bagaimana hukum yang seharusnya (ius contituendum), karena finalisasi debat kusir ini nantinya akan diakhiri dengan syah atau tidaknya suatu RUU. Untuk menjawab hal ini, terlebih dahulu kita selami dialektika yang sedang perkembang saat ini. Bagi pemrakarsa RUU, adanya peraturan akan membuat sebuah upaya demi perubahan sosial (social engineering) dan pengontrol sosial (social control).
Hukum sebagai instrument perubahan sosial (social engineering) dipandang berguna bagi pengubahan cara hidup masyarakat yang di nilai masih terancam dengan ramainya aktivitas porno. Sedangkan hukum sebagai intrumen pengontrol sosial (social control) diprediksikan mampu mengawasi masyarakat dari bahaya perilaku dan tontonan porno. Sehingga dengan asumsi ini, pemrakarsa RUU berniat menjadikan hukum represif yang dicarikan legitimasinya dari moral, etika, agama, dan budaya, semuanya itu untuk merubah, mengontrol dan melindungi masyarakat dari sindrom porno.
Namun bagi mereka kelompok penolak RUU, memiliki kegelisahan semacam kriminalisasi perempuan dan anak-anak, pembonsai-an kehidupan pekerja seni, dan perampasan hak-hak privat. RUU ini di analogikan seperti orang membunuh lalat dengan sebuah bom martil, spontan lalat mati, namun bangunan disekitarnya pun hancur porak poranda. Dengan demikian, RUU itu disinyalir tidak hanya memberantas pelaku porno, namun seluruh perempuan, anak-anak, dan sendi-sendi seni budaya Indonesia.
Dari peta argumentasi pro-kontra RUU dapat dipahami bahwa niat untuk melindungi masyarakat dari bahaya laten porno cukup baik, namun tinggal caranya saja belum benar. Baik saja tidak cukup sebelum kebenaran dan ketepatan mendampinginya. Maka perbincangan selanjuntnya menjelaskan tentang bagaimana hukum yang seharusnya mengatur persoalan porno?
Berangkat dari konsepsi yang di ajarkan oleh Phileppe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Reponsive Law. Menjelaskan tentang kebaikan hukum responsive, yang dapat menampung rasa keadilan masyarakat hukum, dan menghilangkan keadilan menurut penguasa. Penguasa hanyalah fasilitator yang menampung dan mengadministrasikan pendapat masyarakat. Jadi kehendak masyarakatlah sebagai tolok ukur hukum itu dibentuk.
Dengan demikian, suatu produk hukum patutnya mendapatkan persetujuan masyarakat, jika preferensi publik mengarahkan pada ketidak senangannya pada suatu produk hukum, maka produk ini perlu dihapus atau di gagalkan. Singkatnya, jika RUU porno belum mendapatkan restu publik, maka Negara tak bisa memaksakan RUU tersebut untuk disyahkan.
Senada dengan Nonet dan Selznick, Prof. Satjipto Rahardjo dalam hukum progresifnya mengatakan bagaimana hukum sebagai ilmu mengatur masyarakat dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, mengatur masyarakat juga tidak berarti harus melakukannya secara penuh, total, (full regulation). Pengaturan tidak perlu melakukan intervensi dan penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Apabila kepedulian kita adalah kepada manusia dan masyarakat, maka pengaturan bisa dilakukan sekadar membuat suatu skema besar, sedangkan proses-proses nyata diserahkan kepada masyarakat. Ini yang disebut mengatur tanpa mengganggu keberlangsungan kehidupan yang sdah berjalan.
Cukup menggembirakan lagi, karena kita sudah memiliki produk hukum yang sudah bisa untuk menjerat pelaku porno. Dengan UU penyiaran, UU perlindungan anak, UU Pers, dan Pasal 282 KUHP pelaku porno dapat saja di jatuhi pidana, tinggal peran aktif masyarakat dan kesadarannya untuk memberantasnya. Dengan ini, hukum nampak lebih indah dan nyaman, bukan sebagai alat bagi pembentukan rasa ketidak-adilan masyarakat.
Awaludin Marwan
Senin, Oktober 20, 2008
Hukum Anti Pornoasyik dan Pornogratis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
astaghfirulloh....
katanya komunitas ini komunitas intelektual. ternyata, hanya gerombolan pengumbar hawa nafsu...
semoga Alloh SWT menunjukkan jalan yang benar!!!
hidup RUU APP!!!!
penolak RUU APP adalah para musuh-musuh Islam...
Allohu akbar!!!
salam,
hamba Alloh
Hehehehe....sokor Luk kowe wis entuk musuh siji hehehe....
tuk "hamba alloh" terima kasih telah menjustifikasi kami sebagai "hanya" gerombolan pengumbar hawa nafsu, terima kasih do'anya agar Allah menunjukkan pada komunitas ini jalan yang benar.
hehehe...btw sekarang namanya bukan RUU APP, coz kata "anti" sudah dihilangkan, jadi "RUU P" thok!
Gak ilmiah, jadi gak tak tanggapi ah...
Daripada saling hujat -tapi Luluk belum menghujat ding hehe- mending saya posting RUU P neh. Silakan dikomentari, maaf saya gak sempet baca mendalam hingga belum bisa komentar, dan file ini berasal dari dari temen-temen LSM yang mungkin kontra dengan dengan RUU P tersebut, hingga terdapat huruf yang ditebalin, diberi warna, dan lainnya, saya sama sekali tidak memformat lagi, trims.
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara, terutama bagi anak dan perempuan dari pornografi; dan
d. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
(Perubahan Judul Bab tentang Larangan dan Pengaturan menjadi Bab Larangan dan Pembatasan dimaksudkan untuk menyinkronkan Pasal 2 dan Pasal 3 mengenai asas dan tujuan.)
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-belikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
e. alat kelamin.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melibatkan anak sebagai objek atas kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 6
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Catatan:
“Mengunduh” disejajarkan dengan meminjamkan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 7
Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya:
- Lembaga Sensor Film;
- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
- Penegak hukum (antara lain penyidik, penuntut umum, hakim);
- Lembaga Pelayanan Kesehatan (rumah sakit, poliklinik, rumah terapi kesehatan (seksual), dsb);
- Lembaga Pendidikan (antara lain pelajaran biologi, fakultas kedokteran, akademi keperawatan/kebidanan, dan kepustakaannya);
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di lembaga atau di tempat pekerjaan/praktek yang bersangkutan.
Catatan:
Timsin menyusun penjelasan dari hasil pembahasan di Timus.
Pasal 8
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 9
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 11
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Penjelasan: Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” misalnya kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Catatan:
Timsin menyesuaikan dengan rumusan Pasal 4 mengenai makna pornografi lainnya.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Catatan:
Ketentuan Pasal 12 disinkronkan dengan Pasal 5 agar tidak terjadi over lap.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Penjelasan: Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4″ dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model yang berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk:
a. tujuan dan kepentingan pertunjukan seni dan budaya;
b. kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual;
Catatan:
Substansi Pasal 14 tentang pendidikan dan kesehatan telah diakomodir dalam penjelasan Pasal 7.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “materi seksualitas” adalah materi seksualitas yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan lembaga pendidikan dan lembaga pelayanan kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Penjelasan:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 17
(1) Negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
Catatan:
Yang ada hubungannya dengan perkara saja yang bisa dihapus atau dimusnahkan.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil penyitaan dan perampasan.
Catatan:
Frasa “penyitaan dan” dihapus untuk menyinkronkan dengan KUHAP.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Catatan:
Ketentuan Pasal 39 disinkronkan dengan Pasal 12 dan Pasal 5 agar tidak terjadi over lap.
Pasal 40
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 41
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 42
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
d. pencabutan status badan hukum;
e. pemecatan pengurus; dan
f. pelarangan kepada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Catatan:
Usul dari Timsin, sebagai konsekuensi adanya larangan memiliki pornografi
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PORNOGRAFI
Globalisasi, asusila dan tindak pencabulan dimasukan dalam penjelasan umum.
2. Tap MPR VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa; dan UU terkait. Jiwa dan semangatnya masuk dalam PP
I. UMUM
Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah memberikan andil yang cukup besar terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang semakin berkembang luas di tengah masyarakat, serta memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang adanya ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya prostitusi dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mendorong revitalisasi khazanah etika dan moral yang ada dan bersemi dalam masyarakat.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, dirasa kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sehingga harus dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, antidiskriminatif, dan perlindungan terhadap warga negara, yang berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci;
2. menghormati dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk;
3. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya; dan
4. melindungi setiap warga negara, khususnya anak dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan yang dianut dalam Undang-Undang ini meliputi tiga hal, yaitu (1) melarang pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi terhadap pornografi tertentu yang bersifat publik; dan (2) mengatur dalam arti menetapkan syarat-syarat pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi selain yang dilarang, dan (3) menetapkan tata cara pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan untuk pribadi atau keperluan khusus, seperti pendidikan dan ilmu pengetahuan, pengobatan, pertunjukan seni dan budaya, serta untuk keperluan acara keagamaan.
Terhadap pornografi yang dilarang, Undang-Undang ini juga telah menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan, yakni berat, sedang, ringan, dan memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan secara korporasi dalam bentuk melipatgandakan hukuman pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua komponen masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah yang dikenal dengan istilah “down load”.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang”, antara lain: persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” termasuk menampakkan payudara, puting, dan/atau pantat (bokong).
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” termasuk menampakkan payudara, puting, dan/atau pantat (bokong).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “eksploitasi seksual” adalah tindakan pemanfaatan atau penonjolan daya tarik seksual.
Pasal 10
Yang dimaksud “dengan membiarkan” adalah tidak menggunakan kewenangan atau kekuasaannya untuk mencegah perbuatan dalam memproduksi, mendistribusi dan menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 16
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….
NCI Bookman Buat perpustakaan
Eh ternyata kalimat yang ditebalin, diwarnain gak muncul hehehe.....soir
Nama "agama" terlalu besar dan suci ketika harus dihadapkan dan di bawa-bawa dalam membhs sebuah RUU. Mereka yang membawa-bawa nama ini dalam aksi dan pemikirannya sesungguhnya mereka yang memiliki keterbatasan ratio, sehingga dengan menggunakan "agama" letak persembunyian ketidak-mampuan seseorang dalam menjawab persoalan sosio-filosofik, sosio-kultural, dan sosio-ekonomi dengan landasan teoritis, ilmiah, dan praktis.
Salah satu item dalam "abstraksi RUU" yang paling banyak diperdebatkan dalam definisi porno adalah "membangkitkan hasrat seksual". Gambar diatas adalah salah satu dari eksperiementalistik dari ungkapan bahwa definisi ini kabur ataukah sudahlah jelas. Silahkan anda perpikir sendiri?
Tadi aku yang komentar di atas,..
luluk
hamba allah yang saya hormati..
saya sepaham denga anda dalam hal mendukung ruu pornografi,...
dalam islam kalau tidak salah ada konsep amar ma'ruf nahi munkar..
amarma'ruf itu tugasnya ulama dan orang-orang yang mengerti yang ma'ruf, sedangkan nahi munkar adalah tugasnya umaro' yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rakyatnya.
tapi saya sangat tidak setuju dengan anda soal jastifikasi anda yang justru tidak menyelesaikan masalah.Khilafiah itu rahmat, bukan laknat dan maksiat.
hamba allah 2
Posting Komentar