online degree programs

Kamis, Oktober 16, 2008

Mahasiswa, Buku, dan Penjualnya


“Cari buku apa Dik?” tanya seorang penjual buku di bilangan Kwitang.
“Metodologi penelitian Mas, pengarangnya Moleong, terbitan tahun kapan aja dech, yang penting ada bukunya”, jawab seorang perempuan, sepertinya seorang mahasiswi.
“Oo, itu, ada..ada.. sebentar ya” kata penjual buku kemudian. Setelah transaksi selesai, giliran saya bertanya kepada penjua buku itu.
“Pak ada buku tentang ideologi gak pak?” tanyaku.
“Judulnya apa Mas?” penjual itu balik tanya.
“Ya..belum tahu Mas, yang penting tentang ideologi lah...” jawabku.
“Wah susah Mas klo gak tahu pengarangnya, penerbitnya apa?” tanya dia lagi.
“Wah...ya belum tahu Pak, khan saya lagi cari bukunya, gak penerbitnya he..he..he...” jawabku.

Ini mungkin pengalaman personal yang mungkin saja dialami oleh kita semua yang senang berburu buku-buku murah, yakni penjual buku ya hanya penjual buku, tak lebih. Ternyata mereka lemah dalam mengetahui genre buku yang mereka jual, baik buku lama maupun baru. Apakah di dalam buku yang ia jual terdapat bahasan ideologi, filsafat, pendidikan, atau apa, dan mereka lebih mengedepankan untuk sekadar tahu judul, pengarang, dan penerbit saja.

Hal ini tak hanya di Kwitang saja, hal yang sama juga terdapat di shopping center Yogyakarta, dan pasar Johar atau Stadion Diponegoro Semarang. Ketiganya merupakan bursa pasar buku murah di wilayahnya masing-masing yang sudah terkenal dan menjadi tujuan utama bagi pemburu buku-buku murah. Penjual tidak lebih tahu dari pembeli soal buku yang ia jual. Dan ini tentu saja menyusahkan pembeli seperti saya yang berharap buku murah dan bermutu; yang datang tidak dengan sebendel data buku yang sudah pasti judul, pengarang, dan penerbitnya, tapi mencari jangan-jangan menemukan buku menarik -tentang ideologi misalnya. Memang kalau kita mencari buku baru dengan pelayanan bagus ya ke Gramedia, Gunung Agung, Merbabu, Social Agency dan lainnya, tapi memang bukan itu yang dicari, tapi yang murah a la mahasiswa.

Di sini terdapat dua jenis pembeli yang datang ke kawasan penjual buku murah, pertama adalah mereka yang mencari buku sebagaimana yang ditugaskan oleh dosen lengkap dengan judul, pengarang, penerbit, bahkan tahun terbitnya. Mereka bukanlah pemburu buku sebenarnya, tapi sekadar memenuhi referensi dari tugas perkuliahan saja. Ini sebenarnya sayang sekali, yakni sampai sekarang ternyata masih banyak mahasiswa yang kuliah sekadar kuliah, membeli buku sekadar membeli buku untuk memenuhi referensi yang diberikan dosennya. Ibarat dokter memberikan resep mujarab pada pasien, maka dosen ibarat memberi resep buku-buku tertentu yang “mujarab” bagi mahasiswa agar dapat pintar dan lulus dalam matakuliah.

Sayang, mereka tidak melihat banyak referensi yang lebih variatif dan mungkin lebih bermutu dari yang diresepkan oleh dosennya. Karena biasanya dosen yang hobi memberi resep buku tersebut adalah dosen golongan tua (konservatif), buku yang dirujuk dan ditugaskan mahasiswa untuk mencari dan memiliki pun biasanya adalah buku-buku lama yang out of date. Dosen tersebut tidak menyarankan buku baru dengan banyak kemungkinan, di antaranya adalah ia enggan mengikuti perkembangan mutakhir di bidang kajiannya, ia merasa cukup dan menganggap bahwa apa yang ia kuasai dari pengetahuan yang lalu, dengan referensi buku “yang lalu” pula lebih unggul dari “yang sekarang”. Padahal mahasiswanya dan ia sendiri tinggal di masa sekarang, hingga akan relatif tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan yang kian cepat.

Kedua, mereka yang datang dengan tujuan untuk mendapatkan buku murah dan bermutu, entah akan mendapat buku apa, tidak tahu. Jenis kedua inilah pemburu buku sejati. Jika jenis pertama setelah mendapatkan buku dengan judul, pengarang sesuai resep dosen ia akan pulang, maka jenis kedua mengharapkan alternatif-alternatif buku sesuai minatnya. Ketika berminat dan sedang memerlukan buku tentang ideologi misalnya, entah itu tugas dari dosen atau tidak, ia tipe orang yang tak terpaku pada pengarang dan judul buku yang telah diberikan dosen sebagai rujukan. Lebih dari itu, ia berupaya untuk mencari buku-buku tentang ideologi secara luas, mencari mana yang bagus dan tidak, di antara alternatif-alternatif itu kemudian ia memebeli yang lebih sesuai dengan keinginannya.

Nah, penjual buku di kawasan penjual buku murah ironisnya sebagian besar “sekadar” penjual saja, belum tahu dan menguasai betul buku yang membahas ini-itu secara mendetail. Jika ditanya, apakah ada buku tentang ideologi, maka sebagian besar akan balik bertanya karangan siapa, penerbitnya apa, tahun terbitnya kapan. Tanpa itu ia takkan dapat memberikan referensi buku-buku tentang ideologi itu. Hal itu jelas menyulitkan pada pemburu buku dengan harapan besar dapat menemukan buku-buku murah dan bermutu di situ. Agaknya kebiasaan mahasiswa yang datang ke situ dengan bertanya judul, pengarang, dan tahun terbitnya sejak dulu telah turut membentuk budaya penjual seperti itu. Jelaslah sekarang betapa budaya melek literatur mahasiswa sebagian besar pun masih rendah sejak dulu sampai sekarang.

Memang sebenarnya sudah dengan sendirinya terjadi segementasi pembeli dan jenis buku, untuk Gramedia dan toko buku lainnya menjual buku-buku baru denga harga yang relatif “mahal”, sedangkan kawasan penjual buku murah menjual buku-buku bekas dan baru –walaupun beberapa di antaranya adalah bajakan- dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan Gramedia Cs. Namun bukan berarti mereka yang datang ke kawasan penjual buku murah hanya berburu buku bekas saja, dengan asumsi mereka sudah lebih dulu mengetahui judul dan pengarangnya. Banyak pemburu buku yang datang dengan harapan dapat menemukan buku yang unik, yang tak terduga, yang bermutu, tanpa “terbebani” mesti mengetahui judul dan pengarangnya lebih dulu.

Kawasan Kwitang, Johar, belakang Stadion Diponegoro, dan Shopping center adalah alternatif dan arena berburu buku-buku murah dan berkualitas. Mungkin saja ketika penjual di situ tidak mau berubah menjadi lebih melek buku secara lebih mendalam, hingga memudahkan para pemburu buku mencari kebutuhannya, maka kawasan tersebut akan sekadar menjadi kawasan penjual buku bekas, yang tak nyaman. Dan pada akhirnya para pemburu buku tak lagi berminat ke situ, tapi ke toko-toko buku yang lebih nyaman. Di sinilah yang lebih penting sebenarnya tak sekadar merevitalisasi sarana prasarana kawasan penjual buku murah, tapi juga merevitalisasi paradigma berpikir mereka dalam memahami buku dan pembeli.

* Edi Subkhan, penulis.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

ini analisa atau curhat kang. This's just only your problems brother!. Tapi aku setuju tentang teori dosen konservatif. Mereka yang tak sanggup menerima terpaan perubahan..

Anonim mengatakan...

Ora Luk, ne bukan cuma problemku ajah, ne problem kita semua...yang memiliki akal dan pikiran serta menggunakannya hahaha..... Dosen konservatif itu status quo, ya selamanya akan begitu, jangan berharap kepada mereka kecuali restunya....

Anonim mengatakan...

padahal di institut embun pagi, mas edi itu termasuk dosen tua,
hehehe

Anonim mengatakan...

Ah..mosok sie...???