online degree programs

Sabtu, Oktober 11, 2008

Membedah Stigma G 30 S PKI dan Marxis


Sepuluh tahun yang lalu, September merupakan bulan duka di mana pemutaran film dan peringatan memori G 30 S PKI dilancarkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk membangun kebencian masyarakat pada komunisme dan Marxis.

Di era keterbukaan ini perlu direfleksikan kembali apa yang ada sesungguhnya di balik peristiwa G 30 S PKI. Pembantaian para jendral oleh PKI disinyalir akan menggantikan Negara ini menjadi Negara komunis dan menggulingkan Pancasila untuk diganti dengan “ajaran kiri”. Lebih dari tiga puluh tahun kebencian terhadap komunis dan sensifitas kepemilikan Pancasila oleh masyarakat menggelapkan kondisi yang ada.
Oleh sebagian kalangan, G 30 S PKI terjadi sebagai gejala dari keinginan penguasa Orde Baru untuk lebih mudah mencapai inti kekuasaan. Peristiwa ini juga berkaitan erat dengan kekuatan politik saat itu, Soekarno yang memiliki basis di PNI dan kedekatannya dengan PKI. Menyaksikan kekuatan politik itu, sang sutradara berkehendak untuk menghancurkannya melalui penciptaan suasana chaos dan mosi ketidak-percayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu.
Berikutnya, sang sutradara nampak seperti satu-satunya orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi saat itu. Jadilah sutradara sebagai penguasa baru melalui surat perintah sebelas maret yang hingga kini masih kontroversial. Para kritikus, masih menilai, pergantian kekuasaan ini hanyalah mengganti penindasan lama dengan penindasan baru, mengganti otoriterianis lama dengan otorianis baru, bahkan yang baru lebih besar skalanya.
Bukan rahasia umum lagi bahwa kebenaran sejarah dekat dengan penguasa. Saat sejarah dibentuk berdasarkan kemauan penguasa, agar supaya sejarah dapat membangun opini yang menguntungkan bagi penguasa saat itu. Selayaknya, Friedrich Nietzsche melalui Will to Power menegaskan besarnya kehendak penguasa dalam menentukan kehidupan masyarakat, termasuk sejarahnya. Sejarah adalah roda yang berputar, roda ini dijalankan oleh “manusia atas” atau penguasa.
Jadi untuk menilai sebuah kebenaran sejarah, dapat saja secara radikal memotret peristiwa sejarah, dan mempercayai kebalikan dari cerita sejarah tersebut. Semisal peristiwa G 30 S PKI yang brutal dipahami sebagai kehendak penguasa, dan sesungguhnya penguasa represif tersebut jauh lebih brutal dari apa yang dilukiskan dalam peristiwa sejarah itu. Pembuangan aktivis ke pulau Buru, pembantaian aktivis mahasiswa yang menolak kebijakan penguasa, penghilangan orang dan lain sebagainya itu jauh lebih brutal.
Ajaran Marxisme
Tindakan pelarangan ajaran Karl Marx pada masa orde baru lebih bernuansa politis ketimbang etis. Itu hanya sebagai implikasi penguasa masa itu tidak mampu melawan pemikiran dengan pemikiran. Yang ada hanya melawan pemikiran dengan kekerasan represif dan menebarkan ketakutan terhadap komunisme pada rakyatnya. Padahal Sosialis, Marxis, sampai komunis sederetan makna dan ruang yang cukup jauh berbeda.
Komunisme hanyalah sebidang gerakan teknis yang terinspirasi dari ajaran Marx namun dengan banyak kesalahan interpretatif. Revisionisme terjadi sebagai akibat penafsiran Lenin yang hendak berkuasa secara otoriter di Uni Sovyet, paham Marxisme-Leninisme sumber dari permasalahan dunia saat itu. Bercirikan Negara sebagai penguasa tunggal untuk memperjuangkan masyarakat tanpa klas, namun untuk mencapai itu, Negara masih tetap dipertahankan eksistensinya. Padahal dalam ajaran Marx, Negara harus segera dihapus bila masyarakat anti kelas terwujud. Inilah yang banyak di kritik oleh pemikir Marxisme seperti Rosa Luxemburg, Jean Jaures, Paul Lafargue, Georges Sorel, dan Antonio Labriola.
Memang ajaran Marx yang cukup fonumenal itu menjadi pandangan kaum buruh dunia melalui internasionale I dan Internasionale II, konggres kaum buruh internasional. Mulai dari ajaran Marx, Critique of Hegels Philosophy of Right, Introduction, On the Jewish Question, The Germany Ideology, Grundrisse (Foundations of Critique of Political Economy), A Contribution to the Critique of Political Economics, hingga karya raksasanya “Das Kapital”, resmi menjadi ruh gerakan buruh dunia.
Seiring perkembangan waktu, inspirasi dari ajaran Marx terbagi-bagi menjadi banyak tipikal gerakan dan pemikiran kaum buruh. Kaum pengikut Marx memang terpecah, marxisme ortodoks, neomarxisme, sosialis demokrat dan lain sebagainya. Sedikit sekali mereka yang menempuh tipikal gerakan anarkisme dan sindikalisme, memakai aksi kekerasan dan terror, karena ulah Mikhail Barkunin menerjemahkan ajaran Marx untuk kepentingannya.
Bagi kaum pengikut Marx yang baik, mereka cenderung memakai dan menyempurnakan ajaran Marx ini sebagaimana cita-cita Marx melalui teori perjuangan kelas, teori nilai lebih, dan materialisme historis, guna mencapai kesejahteraan umum yang di impikan oleh Marx. Bukan untuk melalukan penindasan, penghisapan, dan perampasan baru terhadap kelas proletariat.
Menuju Automarxisme
Frans Magnis (2005) menggambarkan kehidupan kaum marxisme di Austria dengan para tokoh-tokohnya seperti Max Adler, Otto Bauer, Rudolf Hilferding, Karl Renner. Mereka menamakan diri “automarxisme” yang beranggapan bahwa ajaran Marx bersifat universal, anti materialisme dan anti ateisme. Sebaliknya, buat mereka agama berfungsi positif bagi hidup masyarakat. Marxisme bukan milik eksklusif proletariat melainkan realisasi cita-cita tertinggi manusia. Jadi untuk memahami marxisme tidak harus menjadi anggota proletariat, melainkan cukup berpikir lurus. Automarxisme tidak mengisolasikan diri dari kehidupan intelektual masyarakat luas, melainkan sepenuhnya berpartisipasi di dalamnya.
Sesungguhnya marxis membuat kita lebih memiliki nurani dan kepedulian terhadap sesama. Bagaimana mungkin masyarakat kita dapat hidup bahagia bersama dan mencapai kesejahteraan umum, jikalau orang-orang terkaya se-Asia adalah beberapa orang Indonesia, namun pada kesempatan yang sama kemiskinan terbesar juga berada di Negara kita. Marxis memberikan inspirasi pada kita untuk selalu peduli terhadap kaum miskin dan kaum tertindas. Tinggal bagaimana mewujudkan ini dengan cara yang tepat dan baik, menuju automarxisme bisa menjadi jawaban sementara.

Awaludin Marwan, SH

Tidak ada komentar: