Oleh : Awaludin Marwan, SH2
Hukum pidana mengalami evolusi sekian lamanya hingga menjadi sebuah bidang sains yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain, teknologi dan kebutuhan manusia. Sebelumnya, coretan ini dibuat atas dasar pengabdian seorang murid pada gurunya, luluk kepada Ali Masyhar, seorang yang selalu dirindukan ditengah-tengah kegelisahan intelektual, karenanyalah si murid bisa membaca, menulis, dan berbicara apa adanya. Sang guru –walaupun nanti biasanya dikritik oleh temen-temen embun pagi, sebab mereka kaum yang tidak percaya eksistensi guru dan murid, mereka teralu kolot dengan mengatakan semua manusia adalah guru dan semua manusia adalah murid– telah menelurkan sebuah karya yang perlu di kritisi sebagai bahan penguatan dan pengokohan materi buku ini. Setiap buku, semakin kontroversi tentunya semakin laris, namun bukan itu saja yang diharapkan, melainkan sekadar mengisi kekosongan intelektual. Karya tanpa kritik ibarat hidup tanpa nyawa, tinggal jasad dan puing-puingnya saja.
Pertama kali, saya ingin menyampaikan betapa berartinya sebuah “prolog” dalam kumpulan karya. Prolog tidak hanya sekedar rasa syukur kepada Tuhan dan terima kasih pada suatu kaum, namun prolog yang berisi prawacana yang menghantarkan pembaca pada benang merah intelektual antara satu karya dengan karya lain. Memberikan ilustrasi dan synopsis singkat berikut menggelitik tiap sub judul akan menggugah dan membawa pembaca tidak hanya dipersembahkan sederetan infomasi, namun diajak untuk berfikir dan berdialog dengan sebuah karya.
Selanjutnya, pada bagian judul pertama karya sang guru,3 berjudul pelecehan hukum di Indonesia penulis merasa kesulitan dengan teori sibernetika ala Parson. Gambaran teori parson yang dipercaya oleh Lawrence M. Friedman4 sangat susah dipahami tanpa adanya table yang ditanpilkan secara visual. Meskpiun teori ini sudah using dan perlu diperbaharui, karena perkembangan di bidang sains sudah begitu besarnya, karya Jurgen Hubermas, Fitjof Capra, dan penulis besar lain jasanya cukup besar dalam perubahan-perubahan di bidang teori/ ilmu/ konstruk pemikiran, sehingga konsepsi Parson yang hanya seorang ahli biologi –memaksakan semuanya kebentuk permainan sistem– perlu juga diperbaharui sesuai dengan perubahan-perubahan di bidang sains.
Selain itu, di sini saya juga ingin mengatakan bahwa “warna sosial” relatif rendah ketimbang rational legal study dalam bab-bab pertama yang membawa semiotic linguistic kata besar “tatanan sosial”. Perkembangan ilmu sosial yang sedemikian pesatnya, proses dialektika pertarungan konsepsi ilmu sosial tidak banyak masuk dalam buku ini.
Anthony Gidens dan Jonathan Turner5 misalnya, memberikan sumbansih yang besar dalam perkembangan ilmu sosial yang perlu di tangkap oleh semua bidang sains, termasuk ilmu hukum, terlebih-lebih kajian sosiologi hukum. Dalam The Social Theory Today, Gidens dan Turner mempertautkan konsepsi-konsepsi baru mulai dari : sentralistas pemikiran sosial Jeffrey C. Alexander; Behaviorisme versi George C. Homans; interaksionisme simbolik milik Hans Joas; Teori Parsonian terbitan otak Richard Munch; Analytical Jonathan H. Turner, Strukturalisme, Post Strukturalisme dan Produksi Budaya kepunyaan Anthony Gidens sendiri; Etnometodologi sindrom John C. Heritage; Teori Strukturisasi dan Praksis Sosial kepercayaannya Ira. J Cohen; Analisis Sistem Dunia keyakinannya Immanuel Wallerstein; Analisis Kelas ajaran Rapl Miliband; Teori Kritis peninggalan Axel Honneth, maupun Sosiologi dan Metode Matematika ungkapan Thomas P. Wilson6, harusnya ikut berurun rembug menyelesaikan persoalan-persoalan sosial kekinian.
Di samping itu, atau tepatnya lepas dari itu, masih pada judul pertama, penulis menemukan kata-kata “profesionalisme sumber daya manusia aparat” yang ditemui juga pada halaman-halaman berikutnya, 108, “menggagas adanya lembaga penyidikan : sebuah kritik pada lembaga kepolisian”. Rendahnya profesionalisme aparat memang telah dirasakan lama, namun penyelesaian dan pengurusannya yang belum terkupas tuntas. Bagi Prof. Barda,7 profesionalisme aparat dapat ditanggani salah satunya dengan pendidikan hukum akademik. Gagasan ini yang perlu ditangkap untuk menyelesaikan persoalan profesionalisme aparat selain pendidikan moral keagamaan, moral humanism, dan etika.
Profesionalisme aparat oleh Sang Guru banyak disinggung, namun terjadi ketimpangan umpamanya saja struktur hukum (legal structure) yang dibahas hanya sebatas institusi kepolisian, sedangkan kejaksaan, hakim, dan penyidik PNS tidak diikut sertakan dalam pembahasan.
Berikutnya, tiba pada pembahasan pendidikan hukum kritis dalam buku ini. Pendidikan hukum selama ini saya pandang hanya sebatas tranformasi feodalistik dan kolonialistik Eropa Daratan terutama Belanda. Sehingga pendidikan hukum tak bisa melepaskan diri dari jerat-jerat doktrin yang tidak tahu juntrung kesahihan dan kebenarannya. Ilmu pengetahuan tak netral dan bebas nilai, sama halnya ilmu hukum adopsi Eropa Kontinental (civil law).
Nah, kalaupun pendidikan dipahami sebagai alat perlawanan, penjauhkan diri dari penindasan. Maka konsepsi Paulo Freire8 perlu digelakan, di dukung dengan mahzab teori kritis aliran Frankfurt. Teori Kritis milik Mark Horkheimer9 banyak kebenaran di dalamnya, yang seharusnya bisa dilengkapkan selain teori hukum kritis yang sudah matang milik Robert M. Unger10.
Unger sendiri percaya bahwa hukum memang tak netral dan tak bebas nilai, sebuah keyakinan absolute hasil dialektika antara asumsi rasional dan kritikal yang bertarung dalam wacana perkembangan sains. Sehingga kerangka normatif hanyalah akan membawa masyarakat dalam kesengsaraan tiada pernah berhenti. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang bertumpu pada pengindahan subjek masyarakat sebagai pelaku utama hukum, pertama, posisi yang kurang seimbang antara penguasa dengan rakyatnya, dominasi penguasa memberikan tafsir pada kententuan normatif, sehingga cita hukum diukur dari subjektivitas dan atikulasi/ agregasi kepentingan mereka, barometer kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat tidak menjadi prioritas yang seharusnya. Hal ini di dukung oleh pernyataan Roberto M. Unger,11 bahwa hukum publik dan hukum positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. Kedua, hukum menuju ke kemapanan tidak mengijinkan perubahan. Perspektif cara berhukum yang ditawarkan selama ini mendukung penuh adanya proses kemapanan, bisa di tempatkan bahwa perubahan hukum tertulis hanya terjadi pada kententuan-kentuan yang berdekatan dengan isu politik dan kepentingan. UU bergantian tiap setengah dekade di Indonesia yang mengatur masalah pemilu, pilpres, pilkada dan sejenisnya, namun UU kemaslahatan umat, RUU KUHP dan regulasi penting, agraria, perkawinan, tidak kunjung mengalami perubahan.
Oh ya, di dalam buku Sang Guru juga perlu di tambah secarik pemikiran tentang konsep KUHP. Mau, tidak mau, kita yakin bahwa sumber paling vital di sistem hukum pidana nasional adalah koodifikasi sumber hukum materiil yang masih menggunakan Weetbook van Recht WvS12 peninggalan si-bangsat Belanda. Jadi, hendaknya disetiap buku-buku yang membahas tentang hukum pidana perlu di promosikan akan pentingan KUHP baru bagi bangsa sendiri, sebagai tanggung jawab sosial memecahkan persoalan sentral di pembangunan hukum pidana nasional.
Awaludin Marwan, SH
1. Di sampaikan di jagongan bedah buku karya sang guru “Ali Mashyar, SH, MH” di shelter kegelisahan, Sampangan
2. Wong edan, yak nggenah
3. Ali Masyhar. Pergulatan Kebijakan Hukum PIdana dalam Ranah Tatanan Sosial. 2008. UNNES PRET. Halm. 3-5
4. Lawrence Friedman, Legal Culture and Welfare State” dalam Gunther Teuber (Ed), Dilemas of Law in the Welfare State. Berlin New York: Walter de Guyter, 1986, halm. 12-27. William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order and Power, Reading, Mass: Addisin Wesly, 1971, hal 5-13. Juga dalam Lawrence Friedman, Law and Develompment, A General Model”, dalam Law and Society Review, No. VI. 1972. Lihat juga. Esmi Warassih. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. 2005. Suryandaru Utama. Semarang. Halm. 81
5. Anthony Gidens dan Jonathan Turner. Social Theory Today. 1987. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Social Theory Today, Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial. 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
6. Ibid., 1-667
7. Baca: Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. 2007. Prenada Media Group. Jakarta. Halm. 15-30
8. Made Pramono. Menyelami Spirit Epistemologi Paulo Freire. Dalam, Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. 2007. AR-RUZZ MEDIA. Yogjakarta. Halm. 125-146
9. Sunarto. Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik atas Masyarakat Modern. Dalam, Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. 2007. AR-RUZZ MEDIA. Yogjakarta. Halm. 93-104
10. Roberto M. Unger. Law and Modern Society Toward a Criticism of Social Theory. 1976. Diterjemahkan oleh Dariyanto dan Derta Sri Widowatie. 2007. Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Nusamedia. Bandung. Halm. 311
11. Ibid., Halm. 311
12. Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru. Sebuah Restrukturisasi Sistem Hukum Pidana Indonesia. 2007. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang
Kamis, Oktober 30, 2008
OMEGA, TITIK HUKUM PIDANA 1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar