Budaya adalah produk masyarakat dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sekumpulan orang-orang dalam masyarakat, yang berinteraksi dalam kajian sosiologi menghasilkan sesuatu, yang disebut budaya. Maka, budaya adalah hasil interaksi manusia, baik dengan sesamanya, maupun dengan alam sekitar.
Budaya itu sendiri hadir dalam dua bentuk, yang secara dasariah berbeda. Konstruk gagasan di satu sisi, dan hasil budaya di sisi yang lain. Konstruk gagasan budaya tidak bisa ditangkap secara audiovisual karena bersifat abstrak. Meskipun demikian, hal ini menjadi penting karena sebagai dasar dari masyarakat untuk menghadapi tantangan zamannya. Masyarakat palaeolithikum, dengan konstruk gagasannya menghasilkan kapak batu, untuk menghadapi lingkungan. Karena memang konstruk gagasan yang ada masih sederhana.
Sedangkan hasil budaya, adalah budaya sebagaimana yang terlihat. Hasil budaya sebenarnya selalu mengikuti dan hadir kemudian, seiring dengan konstruk gagasan dari masyarakat. Hasil budaya diantaranya hadir berupa makanan, mode, karya seni, juga ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping hal-hal yang bersifat ritualistic. Pada kasus masyarakat Palaeolithikum tersebut, kapak batu adalah bentuk nyata perbenturan gagasan-gagasan yang ada dengan alam sekitar. Sehingga kapak batu bisa disebut sebagai hasil budaya pada saat itu.
Sebagaimana dikataakan bahwa budaya sebagai hasil dari interaksi manusia, maka budaya tidak bisa lepas sepenuhnya dari manusia itu sendiri, sebagai penghasil sekaligus pelaku budaya, yang dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Maka, sebagai konsekuensi logis adalah, budaya pun tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu.
Mencoba melihat keterkaitannya dengan konteks ruang, manusia sebagai individu tentu mempunyai ruang tertentu di mana ia hidup untuk bersosialisasi, sekaligus mempunyai banyak ruang dalam kehidupan sosialnya. Maksudnya, setiap individu mempunyai keluarga, tetangga, desa, negara, ruang pekerjaan, komunitas-komunitas, ruang dalam kaitannya dengan status sosial, beum lagi kaitan secara personal dengan individu lain. Semua bentuk ruang terdapat interaksi di dalamnya, yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, sebutlah itu ”kebudayaan kecil”. Teranglah, bahwa manusia tidak hidup hanya dalam satu ruang tertentu dalam hidupnya, tak seorangpun yang semata-mata hanya satu hal.
Budaya Sebagai Sejarah
Dalam keterkaitannya dengan waktu, manusia menjadi tahu tentang tentang adanya batas waktu, tentang adanya masa lalu. Masa lalu hadir sebagai sejarah, yang diketahui melalui cerita. Sebuah cerita, tentu saja sangat tergantung dari siapa yang menceritakannya. Maka dari itu sejarah selalu hadir dengan wajah yang tidak pernah utuh.
Jawa Tengah (sebagai konteks ruang), apa yang ada sekarang tentu berbeda dengan apa yang ada pada beberapa abad lalu (konteks waktu). Masyarakat Jawa Tengah sekarang bukanlah orang yang sama dengan masyarakat Jawa Tengah pada beberapa abad lalu. Baik dari heterogenitas, secara personal, juga apa yang dihadapi. Hal ini membuat budaya yang dihasilkan juga berbeda. Mungkin masyarakat Jawa Tengah pada saat itu menghasilkan Tari Gambyong, sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan gagasannya, dan secara kebetulan masyarakat sekarang tidak.
Di sisi lain, Tari Gambyong yang hadir pada saat ini juga menjadi bagian dari sejarah, yang selalu tidak lengkap. Mugkinkah, Jawa Tengah yang begitu luas, dengan individu yang juga begitu banyak hanya menghasilkan satu tarian? Jelas tidak. Begitu juga dengan hasil budaya Jawa Tengah lainnya.
Bagi saya, ada yang janggal di sini, ketika menyebutkan Tari Gambyong sebagai hasil budaya Jawa Tengah. Karena Tari Gambyong itu sendiri, bahkan keberadaannya jauh lebih dulu (baca : tua) dari sekedar Jawa Tengah. Jawa Tengah sebagai pembatasan wilayah propinsi, baru ada pada zaman pemerintahan Indonesia. Sedangkan Tari Gambyong jauh lebih tua, bahkan sama sekali tidak mengenal Indonesia. Maka yang terjadi adalah peng-aku-an Tari Gambyong oleh Jawa Tengah, dan buka sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa tari gambyong bukanlah kebudayaan Jawa Tengah, tetapi berasal dari salah satu tempat-yang kemudian-termasuk dalam pengkotakan Jawa Tengah.
Poin kejanggalan lain, ada kerancuan tentang siapa yang berhak me-resmi-kan hal tersebut. Apakah mereka adalah perwakilan Jawa Tengah, bagian dari Jawa Tengah, sebagian Kecil dari Jawa Tengah, atau bahkan yang sama sekali bukan dari Jawa Tengah. Dari sini, baik Jawa Tengah maupun Tari Gambyong, sebagai cerita sejarah telah dihadirkan dengan wajah yang tidak utuh.
Budaya Kita?
Dalam konteks kekinian, masyarakat mejadi sangat kompleks, sehingga sulit untuk menggambarkannya secara utuh dan komperhensif. Seperti yang kita tahu, perkembangan teknologi (juga sebagai hasil perkembangan budaya) sekarang ini telah menghadirkan alat-alat pertukaran informasi yang sangat beragam dan canggih. Handphone, jaringan internet, televisi, radio, berbagai media cetak, selain sebagai media informasi, ternyata juga membawa serta nilai-nilai dari budaya tertentu, yang secara geografis terbentang jarak yang sangat jauh. Orang indonesia bisa tahu, telah terjadi inflasi yang luar biasa di daratan afrika, juga melalui medium tersebut.
Lalu lintas informasi dan pertukaran nilai terjadi sedemikian cepat dan (lagi-lagi) kompleks. Informasi ”saling-silang” antar manusia dalam setiap belahan dunia, dengan percepatan yang berbeda. Sebagai contoh, informasi yang didapat oleh seseorang gemar mengakses internet, akan berbeda dengan orang lain yang jarang bersentuhan dengan jaringan internet. Terjadi kesenjangan informasi yang didapat, antara manusia satu dengan lainnya. Heterogenisitas menjadi sangat tinggi, bahkan manusia tak bisa lagi mengerti ”apa, bagaimana, dan dari mana” hal-hal yang mempengaruhi dirinya.
Jika dikembalikan pada konsep budaya sebagai hasil interaksi antar manusia, agaknya usaha untuk menyebutkan ”budaya murni” menjadi hal yang sulit, kalau tidak mustahil. Budaya sebagai hasil interaksi manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri yang kewalahan menghadapi perubahan. Dengan apa yang terjadi sekarang ini, konstruk gagasan yang terbentuk juga menjadi semakin ”carut-marut”, sebagai akibat lalulintas informasi yang sedemikian cepat dan ”timpang”.
Selanjutnya, dengan sisi sejarah yang selalu tidak utuh, peng-aku-an sebuah budaya yang tidak berdasarkan pertimbangan logis, kesenjangan informasi yang tinggi, saya rasa budaya ”resmi” Jawa Tengah perlu ditinjau kembali.
Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa FIP Unnes,
Pegiat Komunitas Embun Pagi, Semarang.
2 komentar:
Lebih tepatnya untuk melerai pertikaian antara sosiologi dan antropolgi dalam memperebutkan objek budaya di indonesia, kita lebih memilih kajian tentang folklore. Folklore suatu bidang sains yang mempelajari adat-istiadat berikut cerita baik tertulis maupun lesan suatu komunitas masyarakat. Budaya tradidional lebih lekat dengan mistisis atau mungkin sampai pada tingkatan takhayal dalam terminologi rasinalistik atau materiilistik. Namun dengan folklore atau mungkin etnometodologi bisa dijadikan sebagai bangunan dekonstruktif sebuah budaya INdonesia untuk dikembangkan dan dilestarikan...
luluk, mau komentarku mi'....
Posting Komentar