online degree programs

Minggu, Mei 04, 2008

Membaca Wacana Intelektual:Kritik Terhadap Paradigma Modern

| Giyanto|

Pasca perang dingin, berbagai spekulasi wacana mencoba menangkap berbagai akar permasalahan sosial yang akan muncul. Huntington, dengan keras kepala, menawarkan paradigma peradaban dalam upaya menganalisis akar konflik dunia. Sebagai tanggapan terhadap tesis Fukuyama, bahwa sejarah telah berakhir, Samuel Hutington beranggapan bahwa manusia-manusia di masa mendatang akan mati-matian membela eksistensi kebudayaannya. [1]

Memang tidak dapat disangkal, bahwa berbagai konflik yang muncul belakangan ini bersumber dari perbedaan keyakinan individu-individu dalam peradaban tertentu. Dan bahwa wacana terorisme berawal dari asumsi tersebut. Akan tetapi, memunculkan dan mendramatisir problem peradaban bukan berarti menyelesaikan ataupun menguraikan berbagai problem sosial, melainkan akan semakin mengaburkan makna dari tugas intelektual dalam mengupayakan perubahan sosial.

Alih-alih memperjuangkan kemerdekaan individu yang tertindas, wacana-wacana intelektual modern bahkan semakin mendorong kekuasaan untuk melucuti dan memperkosa kebebasan individu-individu melalui simbol-simbol baru. Atas nama agama, negara, ras, bangsa maupun ideologi bahkan melalui jargon demokrasi maupun hak asasi manusia, para penggerak wacana modern telah melupakan tugas kaum intelektual sebagai agen pembebasan.

Awal mula kegamangan ini, terutama, bermula dari belenggu pandangan universalisme serta kolektivisme dalam memandang permasalahan sosial. Kita hampir tidak pernah mempertanyakan, sudah tepatkah paradigma filosofis yang telah kita pakai sekarang ini?

Paradigma Modern: Universalisme dan Kolektivisme

Belakangan ini telah bermunculan berbagai pandangan epistemologis, baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeneutika, materialisme historis dan dan sampai dengan postmodernisme.

Semua aliran epistemologis tersebut telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Bagi kaum muda, berbagai alternatif pilihan tersebut telah menjadi “jalan keluar” bagi pencarian intelektual yang tidak akan kunjung berakhir. Di tangan kaum intelektual mudalah, ke depan, berbagai paradigma keilmuan tersebut akan tumbuh dan tersebar luas sebagai paradigma modern.

Apa fungsi berbagai paradigma tersebut? Yang jelas, paradigma tidak lain adalah kacamata kita dalam upaya memandang dunia. Sebuah paradigma adalah alat bagi kaum intelektual untuk membaca segala problem keilmuan serta kemanusiaan. Paradigma memberikan dasar pandangan, asumsi, cara kerja serta kriteria mengenai bagaimana kebenaran ilmiah seharusnya diraih.


Meneguhkan konsep Individu dan Tindakan dalam Kesatuan Kolektif

Sekali lagi perlu diingat, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kita membicarakan manusia serta masyarakat. Apa yang diabaikan paradigma modern ialah bahwa dirinya telah melupakan individu yang sebenarnya membentuk kolektif yang disebut keluarga, masyarakat, negara, bangsa dan bahkan peradaban. Paradigma modern berspekulasi mengenai hal-hal yang bersifat universal. Mereka melupakan arti penting tindakan individu.

Apabila dicermati, kasus wacana yang dilontarkan Hutington serta wacana-wacana sosial lainnya, masih terbelenggu oleh wacana universalisme dengan sarana analisa argumentasi historis. Seolah-olah apa yang terjadi di masa lalu akan terjadi di masa mendatang. Setiap argumentasi berdasar pada data historis. Mereka barangkali lupa, bahwa sebuah kejadian sejarah diakibatkan oleh tindakan-tindakan individu baik secara khusus, kebetulan ataupun secara khas. [2]

Jika ditelusuri, cara pandang yang demikian memang tidak lepas dari pengaruh pandangan filosofis tertentu. Studi historis yang dipakai untuk memprediksi masa depan telah menjadi ciri khas mazhab Jerman. Pandangan ini telah menyebar ke berbagai belahan dunia dan sudah menjadi keyakinan kebenaran bagi kaum intelektual modern.

Tanpa mengabaikan makna sejarah, kita patut menengok penemuan-penemuan terbaru dalam bidang yang lebih spesifik. Dalam bidang genealogi, Steve Olson dalam karyanya yang berjudul Mapping Human History, menyimpulkan bahwa pada dasarnya asal-asul manusia itu sama, yang membedakan ialah susunan DNA manusia yang telah termutasi. Mutasi adalah kunci untuk merekotruksi sejarah genetic manusia. Dengan kata lain, kesimpulan Olson adalah bahwa kita sebenarnya berasal dari nenek moyang yang sama. Perubahan-perubahan susunan DNA lah yang membuat kita berbeda. Jadi berbagai bentuk perbedaan warna kulit, budaya dan kecerdasan adalah perbedaan-perbedaan yang hanya bersifat topeng. Perbedaan tersebut tidak lain merupakan akibat dari faktor lingkungan, bukan akibat dari asal-usul genetic yang berbeda. [3]

Penemuan Olson tersebut jelas-jelas telah mematahkan wacana-wacana sosial yang cenderung bersifat rasial—termasuk wacana Hutington. Akan kemanakah alur sejarah ke depan, memang tidak akan pernah pasti. Untuk menganilisis permasalahan ke depan, kita tidak bisa hanya menyederhanakan permasalahan dengan cara membagi antara Barat dan Timur, Islam dan Kristen, fundamentalis dan liberal, dan menaruh jawaban konflik sosial ke dalam kotak hitam dan putih.

Sebaliknya, sebuah bangunan masyarakat, bangsa, ataupun peradaban hanya bisa dianalisis satu-per-satu melalui tindakan-tindakan individu. Tanda-tanda tindakan individu yang sebenarnya akan membentuk pola, apakah kesatuan kolektif tersebut akan runtuh, tetap eksis atau bahkan akan berbenturan. Hanya dengan konsep tindakan, tujuan serta cara-cara individu dalam kesatuan kolektif kita akan mendapatkan pola-pola kemanakah bangunan sosial itu akan menuju. Hal ini menyiratkan bahwa, dalam menganalis masyarakat, kita harus beralih ke dalam pandangan dari sudut pandang manusia. Dalam melihat manusia, maka kita tidak dapat mengabaikan sifat dasar manusia yaitu bertindak. Setiap tindakan memiliki tujuan dengan cara-cara tertentu.

Contoh yang ekstrim terhadap konsep tindakan, tujuan dan cara, bisa dicermati dari laporan terbaru dari ahli Primatologi, Jill Pruetz. Pruetz meneliti selama empat tahun terhadap kehidupan simpanse Fongoli di Afrika. Penemuan Fruetz memang membuat “merinding” sebagian ahli antropologi. Karena dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa, selain manusia, ternyata kelompok simpanse Fongoli telah lama memiliki “budaya” tersendiri. Dalam temuan Fruetz, simpanse menggunakan stik (sebatang kayu yang digunakan dengan cara lembing) untuk menohok bush baby. [4] Dalam menyebarluaskan penemuannya, Pruetz memang mendapati pengabaian dari ahli primatologi sejawat. Tapi bukankah kasus yang demikian sudah biasa dalam penemuan ilmiah.

Tantangan Baru Dalam Memerdekakan Individu

Berlawanan terhadap asumsi universalianisme, bahwa konflik mendatang ialah konflik antara kesatuan kolektif yang satu terhadap kesatuan kolektif yang lain. Akan tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita ialah konflik yang sebenarnya terjadi antara individu dengan berbagai konsep-konsep kolektif yang meresap dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, berbagai bentuk dogma, doktrin, keyakinan, dan bahkan kultus yang membabi butalah sebenarnya akar dari berbagai permasalahan sosial. Dengan demikian, konsep-konsep kolektif sebenarnya bukan mewakili dari cita-cita riil individu dalam sebuah kolektif. Konsep tersebut tidak lain adalah konstruksi kekuasaan–baik itu kekuasaan ideologis maupun kekuasaan intelektual.

Sungguh sangat ironis, bahkan menyedihkan, kalau di jaman sekarang yang telah dianggap merdeka, masih terdapat individu-individu yang benar-benar percaya bahwa dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan atas nama keyakinan telah menjadikannya menjadi sosok yang suci dan merasa dirinya telah berjuang di atas kebenaran. Bahwa dia ialah wakil dari pembela kebenaran absolut tertentu. Dengan meyakini hal tersebut, nyawa individu lian tidak akan memiliki arti apabila dibandingkan dengan kepentingan idealisme kesatuan kolektif yang telah menjadi keyakinannya.

Sebagian besar masyarakat kita memang masih hidup di atas kultus dan dogma. Jalan satu-satunya untuk melepaskan itu semua adalah melalui program pembebasan. Artinya, bagi kaum intelektual, tugas sebenarnya ialah merumuskan visi yang lebih jauh mengenai kemerdekaan individu. Perjuangan untuk membela kebebasan individu, hak kepemilikan, pasar bebas dan meminimalkan segala bentuk campur tangan pemerintah adalah visi sesungguhnya dari intelektual bebas. [5]

Walaupun ajaran pembebasan telah lama muncul, akan tetapi sedikit sekali yang mampu melaksanakan ataupun menyebarluaskan dengan visi yang benar-benar menggugah. Ajaran Tao yang telah muncul abad ke -6 SM atau tokoh Prancis Etienne de La Boitie yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Sedangkan, dalam bidang pedagogi pembebasan modern kita akan mendapati tokoh-tokoh seperti Paulo Friera, Ivan Illich, sampai dengan Mahatma Gandhi dari India.[6] Manusia-manusia tersebut merupakan sekelumit intelektual bebas yang tidak henti-hentinya berjuang memberikan pencerahan terhadap umat manusia.

Kembali ke wacana paradigma intelektual modern, yang juga menjadi alasan adanya tulisan ini, yaitu makin maraknya serta simpang siurnya berbabagai gagasan yang yang sekarang muncul. Memang tidak dapat disangkal, bahwa peran media massa, baik cetak maupun elektronik, dan bahkan blog, memang sangat membantu bagi pendidikan masyarakat modern. Hampir di setiap sudut jalan, kantor dan rumah, kita tidak dapat mengelak dari keberadaan media. Namun demikian, di satu sisi media sangat membantu bagi intelektual untuk menyebarkan gagasannya, disisi lain kekuasaannya juga sangat rentan untuk menyalahgunakannya.

Dengan kata lain, apa yang menjadi problem sekarang dan di masa depan tidak lagi permasalahan sarana bagaimana intelektual bebas menyebarluaskan gagasannya. Tetapi yang lebih penting serta krusial terhadap hambatan program pembebasan adalah makin maraknya perselingkuhan kekuasaan dengan intelektual gadungan. Artinya, bahaya terbesar ke depan adalah melencengnya arah berbagai agen-agen yang selayaknya berdiri bebas melakukan fungsi sosial masing-masing tetapi malah menjadi penjilat terhadap segala bentuk kekuasaan.

Akhir kata, seteru abadi dan terbesar perjuangan pembebeasan tidak hanya kekuasaan yang berada mengintari kita, tapi juga yang bersemayam dalam pikiran kita.


Catatan:

[1] Hutington, S.P & Fukyuman, F. 2003. The Future of The World Order: Masa Depan Peradaban dalam Cengkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme. Yogyakarta; IRCiSod

[2] Mises, Ludwig Von. Perseolan-Persolan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu Pengentahuan yang Mengkaji Tindakan Manusia. Jurnal Akal dan Kehendak

[3] Olson, S. 2002. Mapping Human History: Gen dan Asal-Usul Manusia. Jakarta: Serambi

[4] Roach, M. 2008. Nyaris Manusia. Dalam Majalah National Geographic Edisi April 2008.

[5] Rothbard, M. 1990. Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire. The Journal of Libertarian Studies Vol IX.

[6] Nohlen, D. 1994. Kamus Dunia Ketiga. Jakarta: Grasindo

18 komentar:

Anonim mengatakan...

Bukakah RAsul SAW telah mengemukakan bahwa musuh terberat adalah melawan diri sendiri ...

C.G. Jung, dalam penelitian collective unconsciousnessnya juga menyimpulkan bahwa potensi terbesar menusia untuk mencapai masa depan yang gemilang berada dalam ketidaksadarannya, bersamaan dengan itu, ketidaksadaran juga berpotensi menjadi "alat" perusak yang jauh lebih hebat dari senjata Nuklir manapun...

Dan Kini Bung Gie juga sampai pada simpulan tersebut...

Anonim mengatakan...

kemandirian dan ke-indivudual-an hidup adalah belenggu yang sebenarnya !!
konsep pelepasa diri dari diri demi penyatuan dengan alam merupakan konsep perjalanan penyadaran pemikiran..
kekuasaan adalah kodrat!! pemikiran kemuliaan mahluk manusia!! yang perlu di jadikan musuh seharusnya maksud dari kekuasaan tersebut dan tujuan dari pemikiran itu!!

Anonim mengatakan...

Anonim mengatakan:
Kemandirian dan ke-indivudual-an hidup adalah belenggu yang sebenarnya !!......

Saya tertarik dengan statemen ini:
Kemandirian+invididu=belenggu,

Barangkali rumus itu cocok untuk makhluk:
1. Malaikat
2. Setan, dedemit, dan tuyul, ato gendruwo

yang cocok buat manusia rumusnya:
Kemandirian --> kebebasan ---> tanggungjawab ---> manusia sejati ---> manfaat bagi makhluk lain = nilai2 Ilahiah.

Jadi:
argumen yang mengatakan manusia untuk melepaskan diri ke alam berarti sama dengan:

Larilah ke hutan! hiduplah sendirian di sana, bertapa, dan berusaha menjadi dewa...

Ya ndak apa untuk anda yang mempunyai konsep tersebut, tapi buat saya no way!

Salam
Giy

Anonim mengatakan...

he he he... yang di maksud melepaskan diri dari diri demi penyatuan dengan alam, alam adalah bumi dan isinya. bagaimana bisa kita bebas, bagaimana mungkin kita bertanggung jawab, bagaimana mungkin menjadi manusia sejati dan bermanfaat bagi orang lain, jika tidak menyatu dengan alam termasuk didalamnya adalah manusia. bagaimana mungkin dapat menyatu dengan alam jika kita masih terbelenggu dengan kemandirian dan indivudial. kebersamaan adalah penyatuan dengan lingkungan, mahluk sosial adalah kodrat karena kita harus membantu dan dibantu, menolong dan ditolong, dihargai dan menghargai... itulah nilai2 illahi yang seharusnya.
sebaiknya anda pahami dulu kata2 itu.
baik psikoanalisis, budhis atau konsep yoga maupun tasawuf bicara tentang belenggu oleh diri adalah penghambat untuk menyatu dengan alam(sekali lagi termasuk manusia).

Anonim mengatakan...

Anonim:
bagaimana mungkin dapat menyatu dengan alam jika kita masih terbelenggu dengan kemandirian dan indivudial?

mahluk sosial adalah kodrat karena kita harus membantu dan dibantu, menolong dan ditolong, dihargai dan menghargai

Giy Menjawab:
Oh, saya sepakat bila definisi alam yang anda maksud itu. Tapi tolong cermati kalimat anda di atas.

Bagaimana orang bisa membantu kalo membantu dirinya sendiri saja tidak mampu. Sebelum menolong orang lain, dirinya mesti mampu dan selamat. Kalo dirinya tidak mandiri tapi mau hidup bersosial. itu namanya parasit Bung!

lha, Sudah ketahuan topengnya.

Salam Giy

Anonim mengatakan...

begini saja, yg dimaksud dengan penyatuan manusia dengan alam, dan berbagai komponen kosmos mungkin lebih tepat disebut transendensi.... bagaimana?

Kemandirian dan keindividuan akan menjadi belenggu apabila dipahami sebagai kerja EGO,

tetapi, dari penulisan2 yang menurut saya salah di atas, mungkin saya bisa mengusulkan untuk mengunakan istilah prinsip individuasi dan keunikan seseorang untuk mencapai realisasi diri, menjadi manusia yang otonom.

setelah menjadi individu yang otonom itu, proses transendensi baru dapat berjalan dengan baik.

untuk master Anonim (kyke aku tahu who you are, tp y mbuh lah...),

"baik psikoanalisis, budhis atau konsep yoga maupun tasawuf bicara tentang belenggu oleh diri adalah penghambat untuk menyatu... "

maksudnya adalah dalam tingkatan personal, yaitu fisik-emosi-intelektual, proses pembebasan dari tingkatan inilah yang kemudian dikatakan pembebasan dari belenggu dan menjadi manusia yang transenden. (coba baca buku : Transendent quotient)

Anonim mengatakan...

Mohon dipahami antara konsep individu dalam pengertian pandangan ilmu sosial dengan konsep individu yang memakai konsep psikologis.

Konsep sosial mencermati individu dalam konteks hubungannya dengna individu yang lain. Sedangkan psikologi, terkait konsep diri dari individu tersebut.

Perdepabatan ini sudah bukan pada letak konteksnya. Mohon dikembalikan kembali.

Awas, kalo ndak dikembalikan, maka anda bisa dianggap pencuri,ha2...

Salam Giy

Anonim mengatakan...

Bagaimana mungkin memahami individu dalam hubungannya dengan ilmu sosial kemudian dipisahkan begitu saja dengan proses psikis yang terjadi dalam individu tersebut??

Bandura memperkenalkan social learning theorinya dimana pribadi+lingkungan+perilaku+pribadi..... adalah segitiga yang saling mempengaruhi satu sama lain. jadi tidak mungkin melepaskan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan dan melupakan bahwa setiap individu adalah unik.

menurut Cattel, tidak ada manusia di dunia ini yang sama persis meskipun ada individu2 yang terlahir kembar sial.

Belum lagi leori medan Lewin yang berpendapat, walaupun setiap manusia adalah makhluk otonom, manusia bukanlah makhluk yang dapat berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya baik itu lingkingan psikis maupun lingkungan non psikis.
jadi, lingkungan+kepribadian= perilaku.

diskursus manusia sebagai makhluk sosial tanpa memperhatikan keunikan setiap individu dan menganggap setiap individu sama adalah kesalahan.

disadari atau tidak, ini menyebabkan sistem sosial yang diciptakan oleh pemikir2 dahulu cepat usang dan tidak dapat digunakan di banyak tempat yang karakter individunya sangat heterogen...

Anonim mengatakan...

Anonim Juga mengatakan:

disadari atau tidak, ini menyebabkan sistem sosial yang diciptakan oleh pemikir2 dahulu cepat usang dan tidak dapat digunakan di banyak tempat yang karakter individunya sangat heterogen...

Giy menjawab:
Heterogenitas manusia itu jelas (pandangan klasik tidak menafikkan kebenaran tersebut)

Oke, saya membuka perdebatan ke ranah psikologis. Tanpa harus terkungkung dalam konteks artikel di atas, yang rentan terhadap pembaca yang kurang memahami problem sosial dasar.

Disini saya akan memasuki ranah psikologis personal saya, tanpa mengambil dari pemikiran psikologis yang sering berspekulasi ttg jiwa.

Bukankah pernyataan tersebut sama dengan:
Usaha pembebasan.

Saya tidak akan memperdebatkan hal tersebut;
Tapi, ketika manusia dilahirkan. Dia lahir dalam sebuah keluarga, masyarakat, negara, doktrin, keyakinan, agama, dan nilai2 tertentu. Ini sudah sangat jelas.

Kalau demikian, manusia, dengan kata lain tidak bebas, jadi dia harus berusaha membebaskan diri sebisa mungkin ketika telah mengetahui dan memahami makna keberadaannya. (Dan ini adalah tugas sebenarnya dari para intelektual untuk perubahan social)

Tapi manusia yang demikian sangat jarang. Dalam konteks tulisan saya di atas, intelektual, tidak juga seorang manusia yang bebas. Jadi intelektual selayaknya juga harus membebaskan dirinya dari dogma, dan mencoba menangkap "realitas". tapi yang menggelikan, dan menurut saya aneh, intelektual---yang terbaru dr Buku Amien rais, malah semakin terkungkung untuk menganggap kekuasaan sebagai solusi:
padahal, problem sosial dasar kita adalah segala bentuk campur tangan kekuasaan yang sudah masuk ke ranah antar personal yang selayaknya bertindak secara bebas. Akibat campur tangan kekuasaan tersebut, interaksi personal sekarang menjadi tidak adil. Orang produktif dirugikan, dan kekuasaan membela para pemalas.

Untuk masalah kebebasan individu: Baca Lao zi, mises, rotbhard, atau Gandi. Saya sudah menelusuri konsep2 mereka.

Tapi kalau anda masih menolak konsep mereka, itu tdk apa, saya tidak akan memaksa.

Untuk melepaskan doktrin2 keilmuan modern. Anda harus merenung dulu. Dan wacana ini akan tetap saya buka. Dan memang sengaja belum saya tutup. Saya tunggu.!

Salam Giy

Anonim mengatakan...

Untuk masalah kebebasan individu: Baca Lao zi, mises, rotbhard, atau Gandi. Saya sudah menelusuri konsep2 mereka."ueddannnnn tenannnn..."

sebenarnya banyak Filsuf-filsuf besar tentang manusia, mulai dari "dunia kayangan Plato hingga Ronggowarsito, ho ho ho...."
bagaimana dengan konsep cinta kasih Isa AS, lalu dengan kebebasan kehidupan ala Rosulullah Muhammad SAW yang tidak memakai sistem negara atau kekuasaan untuk menguasai, tapi kekuasaan untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sosial.

yang cocok buat manusia rumusnya:
Kemandirian --> kebebasan ---> tanggungjawab ---> manusia sejati ---> manfaat bagi makhluk lain = nilai2 Ilahiah.

anonim menjawab; rumus itu sudah menunjukkan konsep pelepasan diri dari diri agar bebas dengan diiringi tanggung jawab demi menjadi manusia sejati menuju penyatuan dengan alam agar menjadi manusia sejati demi tercapai nilai2Illahiah,.. kenapa anda mengingkari rumus anda sendiri?! he he..

"Bagaimana orang bisa membantu kalo membantu dirinya sendiri saja tidak mampu. Sebelum menolong orang lain, dirinya mesti mampu dan selamat. Kalo dirinya tidak mandiri tapi mau hidup bersosial. itu namanya parasit Bung!
lha, Sudah ketahuan topengnya".
kenapa anda seolah seperti hewan, serakah dan tidak mengenal nilai2 Illahiah yang anda rumuskan sendiri?? bukankah rumus anda adalah agar bermanfaat untuk orang lain, kenapa mengutamakan diri sendiri dulu, membantu atau menolong orang kan tidak harus mengharap balasan!! nilai-nilai Illahiah itu kan berarti setelah membantu orang mengharap balasannya dari Illah, bukan dari anda, ya to??

Untuk melepaskan doktrin2 keilmuan modern. Anda harus merenung dulu. Dan wacana ini akan tetap saya buka. Dan memang sengaja belum saya tutup. Saya tunggu.!
jawab; seharusnya anda renungi dulu buku yang telah anda baca, cari kenyataan sosial dari teori2 tersebut. agar anda tidak sekedar memahami teori saja, tapi juga fakta/peristiwa dari teori-teori tersebut seperti apa. malu duoong! ketika anda menawarkan teori kebebasan, justru anda sendiri terbelenggu oleh kebutuhan2 anda sendiri. jadilah menusia sejati, jangan jadi hewan yang sibuk membela diri, he he he!!

lha, Sudah ketahuan topengnya. ha ha ha..

Anonim mengatakan...

Anonim:

kenapa anda seolah seperti hewan, serakah dan tidak mengenal nilai2 Illahiah yang anda rumuskan sendiri?? bukankah rumus anda adalah agar bermanfaat untuk orang lain, kenapa mengutamakan diri sendiri dulu, membantu atau menolong orang kan tidak harus mengharap balasan!!

Giyanto Menjawab:
Halo Anonim....

Oke saya tidak mempermasalahkan mengenai teks yang saya baca atau anda baca. Saya kira itu hanya masalah jangkauan bacaan. Tapi disini kita memerlukan sebuah penangkapan realitas apa adanya.

Saya mau memberi contoh: Rasul itu awalnya manajer/pengembala/pedagang. Dia hidup dan bisa memberi orang lain dengan kedermawanannya dari jerih payahnya sendiri. bayangkan kalau Rasul kayak ulama yang sekarang lagi jual kitab. Saya kira pengaruh Islam tidak akan sekuat sekarang.

dan masalah argumen anda di atas cermati sendiri. Saya kira pembaca bisa lebih bisa menilai argumen anda.

Dan nanti saya kira ujung2nya debat kusir. Kalau saya mau memberi contoh, maka sangat banyak sekali. Sekarang anda sedang menggunakan jasa blog, anda renungkan saja sendiri, ini atas kerja keras siapa? apakah mereka memikirkan umat seperti yang anda pikirkan, tapi anda sendiri lemah. semakin anda lemah, maka anda akan semakin menjadi pecundang dan parasit, yg akhirnya malah merugikan umat yang anda pikirkan sendiri,he2. Dan anda Bisanya hanya menyalahkan orang lain yang merugikan anda. Padahal, ketika anda tidak kuat dan mandiri, sebenarnya anda sendirilah yang perlu dipersalahkan. Bukan orang diluar anda!

Kalau sekarang saya banyak mengkritik kekuasaan, karena mereka itu sering menyalahgunakannya. Bukan karena mereka merugikan saya.

jadi, saya kira konsep saya tidak akan saya paksakan kepada anda. Itu terserah anda. Sekali lagi, Saya tidak akan memaksa!

Dan ketika anda memakai anonim pun saya tidak mempermasalahkan. Saya kira sejak awal posisi anda memang sudah lemah. Jadi yang anda sering mengcounter pendapat saya, dengan pendapat saya. Jadi anda mengadu domba diri saya,ha2.

Padahal, hal2 yg demikian tidak pernah membuat saya pusing atau sakit hati.

Saya kira rumusan yang saya ajukan tetap konsisten. Intinya: benahi diri anda sendiri dulu, baru ngurusi orang lain.

Percayalah: bencana yang sekarang ada itu adalah mayoritas yang berpikiran seperti anda.

Salam kenal Anonim
Nama saya sangat jelas: Giyanto. Thank!

Anonim mengatakan...

Amin. Semoga saja.
Saya memang sukanya bekerja, jarang berdiskusi. Kok saya baru tahu kalau ada bahasa diskusi? bentuknya seperti apa ya?
Kalau saya tidak sedang diskusi, berarti sedang ngapain?he2. Ngligaau barangkali.
Ya itu menurut definisi anda. Terserah deh...dah ya, Ak bekerja dulu!
Salam
Khususnya dengan bahasa diskusi anda!

malik mengatakan...

hidup dimasa sekarang
dengan kebebasan berfikir
tapi kesulitan ekonomi

atau

hidup dimasa lampau
dengan terpasungnya kebebasan berfikir
tapi ekonomi mapan

mana yang kau pilih.......?

malik mengatakan...

kalau kau ditanya
mana yang kau pilih
hidup di masa sekarang
dengan kebebasan berfikir
tapi kesulitan ekonomi
atau hidup dimasa lampau
dengan terpenjaranya kebasan berfikir
tapi ekonomi mapan

mana yang kau pilih....?

malik mengatakan...

kalau kau ditanya
mana yang kau pilih
hidup di masa sekarang
dengan kebebasan berfikir
tapi kesulitan ekonomi
atau hidup dimasa lampau
dengan terpenjaranya kebasan berfikir
tapi ekonomi mapan

mana yang kau pilih....?

Anonim mengatakan...

Siapa bilang sekarang kita hidup di zaman yang bebas?
Sekarang adalah zaman pemasungan ekonomis yang paling kejam.
Ini beberapa deretan pemasungan ekonomi yang bikin kemelaratan:
Uang Fiat
Obligasi Pemerintah
Subsidi
Regulasi ekonomi
Tarif impor
Tarif ekspor
Pajak
Suap
korupsi
dsb....
kalau Malik menyamakan demokrasi prosedural dengan kebebasan,
Kedua barang tersebut jelas2 berbeda spesies.
Hak mencoblos dan bersuara (tidak sama dengan) kebebasan!
Yang benar-benar harus dihadapi lebih dulu adalah; Kebodohan!

Andi Maddukelleng mengatakan...

Apa sich mimpi manusia modern itu???

Andi Maddukelleng mengatakan...

apa bedanya dengan mimpi manusia yang tidak modern..?