Jika judul semacam ini diajukan dalam kontes penelitian karya ilmiah, skripsi, ataupun sekedar tugas akhir semester, mungkin akan langsung tertolak bahkan sebelum mentah-mentah. Memang tidak ada korelasi yang jelas antara dua hal tersebut, atau lebih tepatnya hal yang kurang spesifik dan jelas jika harus ilmiah. Lagipula demi mengejar sebuah kejelasan pada akhirnya kreatifitas yang tak dibarengi dengan keberanian mulai sekarat (atau terbunuh?) dalam korelasi dan komparasi variabel yang secara ”sederhana” telah selesai dengan salah satu software komputer. Di sisi lain, kehadiran software tersebut juga telah menghemat keringat banyak orang yang biasa keluar ketika berkutat dengan pena dan perhitungan deskriptisasi data angka juga anava. Entah sebuah efektivitas waktu, atau cerminan kemalasan.
Belum terlepas dari ihwal di atas, angka adalah bahasa kejelasan sehingga peranannya termasuk dalam salah satu unggulan dalam lintasan balap sejarah. Semacam plesetan matematika-nya tukang foto, 2 x 3 = 10, adalah hal yang tidak bisa dibenarkan oleh disiplin matematika. Tetapi terdapat ”kebenaran” lain yang terungkap dari gurauan tersebut, bahwa zaman ini menginginkan semua hal yang singkat dan jelas. Salah satu jargon iklan bahkan mengatakan ”yang pasti-pasti aja deh!”, sesuatu yang lebih tinggi dari singkat maupun jelas, yaitu kepastian. Maka tak heran jika pada akhirnya keinginan kejelasan dan kepastian menyublim dalam popularitas mie instan dan software komputer itu. Sampai di sini, apakah arti kejelasan dan kepastian, jika pada akhirnya hanya menetapkan langkah pada jalur stagnasi dengan membunuh kreatifitas?
Nilai dan Pelajar
Nilai merupakan hal yang akrab bagi seorang pelajar. Sedari Taman Kanak-kanak pelajar mulai dikenalkan dengan nilai, dan setelah puluhan tahun ”bergumul mesra” dengannya, tak heranlah jika keakraban terjalin antara keduanya. Entah pada mulanya, tapi sekarang ini (setidaknya menurut pengalaman pribadi penulis) nilai menjadi hal yang teramat penting yang menggeser posisi pemahaman, kejujuran, dan kemandirian. Terlihat dari proses perolehan nilai, baik melalui tugas ataupun tes evaluasi, selalu ada ketidakjujuran dan ketidakmandirian di sana. Yang terjadi bukan sekedar permasalahan menyontek atau apapun istilahnya, lebih dari itu adalah mentalitas menerabas, kata Koentjoroningrat, yang semakin menjadi demi kesakralan beberapa digit angka. Hal lain yang tak kalah penting adalah dalih-kilah solidaritas dan kebersamaan yang seringkali digunakan, seperti menunjukkan usaha pembenaran atas sesuatu yang berdampak buruk dalam jangka panjang, mengindikasikan ketidakberanian untuk bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan sendiri.
Keterkaitan Sebuah Senyuman
Secara umum, senyuman adalah ekspresi kesenangan hati, yang disebabkan tidak adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara das sollen dan das sein. Kenyataan tidak memungkiri bahwa semua pelajar menginginkan nilai yang bagus, tetapi dengan penurunan makna sebuah nilai, senyum yang timbul dari perolehan nilai bagus tersebut tak lebih dari sekedar ekspresi kebanggan yang semu.
Senyum lain mungkin tersungging dari pihak yang telah ”mengatur” keadaan sehingga menempatkan pelajar pada posisi yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Para perumus jargon pendidikan yang terkesan tak bisa lepas dari belenggu ideologi manusia super, membuat implementasi pendidikan terkesan hanya agar dapat lulus ujian dengan nilai dan angka-angka. Mungkin mereka memang tak bermaksud menjawab pertanyaan Abraham Maslow tentang mengapa pendidikan (kita) hanya mencurahkan perhatian pada angka-angka, bukan pada pemahaman?
Ahmad Fahmi Mubarok.
Minggu, Mei 11, 2008
Korelasi Angka dan Senyum
Label:
Pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar