online degree programs

Minggu, Mei 25, 2008

Kedirian dan (Kemungkinan) Revolusi

Nah itu baru saya setuju (pada Mas Anonim yang berkomentar pada artikel saya), yang utama secara fundamental dan substansial memang manusianya, bukan sistemnya! Termasuk dalam menata masyarakat kita… maaf saya jadi teringat kata seorang anggota Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, bahwa evolusi peradaban menuju pada kemajuan terbentuk dari kemerdekaan masing-masing individu dalam memberikan kontribusi pada khalayak atau public yang lebih besar di mana ia berada. Ini teori komunikasi Habermas yang bermula dari individu kemudian menuju masyarakat luas. Jadi peradaban itu terbentuk oleh kontribusi masing-masing individu yang ada di dalamnya.

Toh jika dilawankan dengan argumentasi bahwa; bukankah individu dipengaruhi oleh masyarakat yang lebih luas, maka akan kembali lagi bahwa bukankah masyarakat yang lebih luas berasal dari kontribusi individu? Ini jadi lingkaran yang tak terputus, cuma Habermas fokuskan pada peran besar individu tuk ”memulai” pekerjaan besar membangun peradaban itu. Walaupun begitu saya cukup pesimis dengan konsepsi komunikasi massa bebas penguasaan dari Habermas dalam membangun ruang publik dan civil society itu...bagi yang baca Habermas pasti tahu itu. Karena dalam konteks interaksi sekarang mana ada yang nirkekuasaan?

Jika dikaitkan dengan pernyataan Mas Anonim (saya pura-pura gak tahu siapa beliau sebenarnya...padahal udah dikasih tahu identitas sebenarnya di balik anonim itu hehehe), maka memperbaiki dan fokus pada perbaikan substansial-fundamental diri manusia lebih penting dibandingkan pada sistem, walaupun sistem tak kalah penting, tapi dalam skala prioritas dalam pemahaman filsafati, maka manusia adalah unsur utama yang mesti dibenahi dulu, baru yang lainnya. Apapun sistemnya jika yang menjalankan (manusianya) tidak benar, tidak baik, tidak amanah, ya akan sama saja dengan sistem-sistem yang membawa mudharat selama ini.

Mendasarkan pada konsep Habermasian, maka dengan ”sudah baiknya” individu maka dengan kebaikannya tersebut akan dapat berkontribusi pada ruang dan ranah yang lebih besar dan luas lagi, dapat mentransformasikan kebaikan dirinya pada ruang publik yang lebih luas lagi. Dalam konsep emanasi (istilah ini familiar dalam kajian tasawuf, tapi ”terpaksa” saya ambil dan manusia saya tempatkan sebagi pusatnya, antrophocentrism bukan teocentrism, selama ini konsep emanasi dalam tasawuf menempatkan Tuhan sebagai pusat klo gak salah, hingga alam ini sebenarnya adalah cerminan dan perwujudan Tuhan [ayat-ayat Tuhan]) pun alam ini adalah cerminan dari penghuninya, manusia.

Saya agaknya lebih setuju dengan ungkapan Cak Nun di Kenduri Cinta beberapa bulan yang lalu, bahwa dalam demokrasi, atau apapun sistem kenegaraannya, maka yang terpenting adalah berkuasanya, berdayanya, kuatnya rakyat! Demokrasi seperti apa pun, kerajaan seperti apapun, bahkan khilafah (saya kesulitan membedakannya dengan kerajaan dan konsili Vatikan sistemnya) tapi kalau rakyatnya gak berdaya ya sama saja, berpotensi despotik, otoriter. Seperti sekarang pemerintahan SBY-JK apa bedanya dengan otoriter, despotik, sak karepe udhele dhewe’. ”Semua” rakyat (kecuali ”pedagang” yang diuntungkan oleh kenaikan BBM) menolak kenaikan BBM, tapi ternyata kemauan rakyat tak didengarkan pemerintah, dan seenaknya memaksa rakyat ikut kemauan pemerrintah. Klo rakyat berdaya, maka pemerintah dapat dipaksa mengikuti kehendak rakyat, amanat penderitaan rakyat!

Ini pemerintah SBY-JK namanya mengkhianati rakyat! Kenapa rakyat tak berdaya, banyak hal yang menyebabkan itu. Di antaranya adalah, ”wakil rakyat” sudah bukan wakil rakyat, tapi wakil partai, yang ada hanya politisi, bukan negarawan; partai politik telah membelenggu munculnya negarawan-negarawan besar seperti Syahrir, Hatta, Agus Salim, Natsir. Partai jadi pabrik yang menjadikan semua sendi kehidupan sebagai komoditas politik, untuk uang dan kekuasaan belaka. Selain itu, pemerintah yang sudah despotik-otoriter-status quo sengaja membuat rakyat tidak berdaya secara sistematis. Caranya paling ampuh lewat ”kebijakan” yang tak bijak, yang memaksa. Bagi yang melawan dianggap makar dan subversif. Kekuasaan dibuat sedemikian rupa hanya berada di lingkaran ”pemerintah” saja, yang berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan dengan begitu adalah yang sevisi, setujuan, seperjuangan saja secara politik.

Eh, melihat itu semua, banyak mahasiswa kita tidur pulas, ngiler di kost-kostan, maen PS ampe pagi.... saya rindu Gie, Wahib, Arif Rahman Hakim, adakah di antara teman-teman mahasiswa berjiwa seperti mereka?! Ironis juga, mahasiswa kita begitu borjuis, aktivisnya aktivis borjuis, contohnya: mereka lebih senang jadi peserta diskusi di Democrazy dan news.com, atau bahkan Empat Mata! Duduk manis, ketawa-ketiwi, tepuk tangan, pakai jas almamater, bangga dan senyum-senyum di-shoot kamera, apakah itu akan merubah kondisi bangsa? Kata Bung Karno, jadi antek-antek Neokon! Bagi saya, jadi antek-antek Neolib! Ketika pemerintah sudah tidak mendengar amanat penderitaan rakyat, tak ada lagi penambung lidah rakyat, jalan apa yang dapat dilakukan? Siapa yang mesti memulai sebuah revolusi? Apakah bapak ibu kita yang sudah payah memikirkan besok makan apa, sopir yang bingung pikirkan kenaikan BBM sementara harga spare part naik, dipalak di tiap perempatan, setoran dituntut naik, sementara anaknya menangis minta susu. Bagi saya, siapa lagi kalau bukan kaum muda!!!

Saatnya kaum muda memimpin sahabat-sahabat! Setidaknya ada lima tuntutan yang mesti digelorakan, perjuangkan: (1) Nasionalisasi aset strategis yang sekarang banyak dikuasai asing, (2) Hapus utang lama, tolak utang baru, (3) Proteksi industri & ekonomi nasional, (4) Penjarakan semua koruptor dan penjahat lainnya, tarik asetnya tuk rakyat, dan (5) Laksanakan pemilu tanpa partai lama. Saatnya kaum muda memimpin, jalan baru, pemimpin baru! Menuju pemerintahan Indonesia yang kuat dan bermartabat!
Beberapa waktu lalu ketika diskusi di Taman Siswa Jakarta, saya sangat terharu ketika Prof H.A.R Tilaar yang sudah sepuh, 70-an lebih usia beliau, menyatakan ”seandainya saya masih muda, melihat kondisi sekarang ini, saya akan turun ke jalan”. Dalam diskusi RUU BHP waktu itu para hadirin bertanya, apa yang mesti diperbuat ketika pemerintah sudah tidak mau melihat realitas kebobrokan sistem pendidikan sekarang, beliau tetap berujar ”Turun ke jalan!” Dan di kost, kampus, kantin, kafe, mahasiswa enak-enakan menikmati fasilitas borjuisme?

Edi Subkhan, penulis

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sebab yang mereka "pejabat" gunakan sekedar ilmu tentang pertahankan kekuasaan untuk kekayaan.
bukan ilmu untuk membangun negeri, bukan ilmu memberdayakan masyarakat,
bukan ilmu tentang hakekat melaksanakan amanat,
bukan ilmu tentang kejujuran, keberanian, kesadaran, keseriusan mejalankan roda kehidupan rakyat.

pejabat bermodal ilmu politik!! tak ada nurani berjiwa korupsi.
karena ambisi ingkari harga diri.
mencari uang, mengemis dijalanan Neolib.
mengharap wibawa bermodal serakah.
tampakkan senyum pada rakyat setelah menipu.
SBY-JK = Susah Banget Ya Jujur Kata/Kelakuannya!!

sayang seribu sayang..
Indonesiaku belum merdeka
sama seperti dulu tetap terjajah
dulu kumpeni sekarang mulyani

alangkah malangnya Indonesiaku
berakit dahulu bersusah sekarang
seokarna-hatta merakit bangsa
SBY-JK merakit mangsa"asing"

bagai pinang dibelah kampak
gading patah ditinggal gajah
rakyat menderita seolah tak nampak
SBY-JK tetap melangkah dengan gagah

guru kencing berdiri
murid kencing dicelana
persis kayak Bakrie
sidoarjo makin merana

anjing mengonggong kapilah berlalu
mereka ngomong rakyat semakin pilu

bukan perang isme
bukan serangan pihak asing
bukan kesalahan sistem
bukan kesalahan penjajah
pemerintah bukan isme
pemerintah tidak asing
pemerintah tidak menjalankan sistem
pemerintah jelas menjajah

kapan kita bergerak, sebelum luka berkarat..
mugi-mugi gusti Allah njembatani
Indonesiaku benar-benar tanah airku!!