online degree programs

Minggu, Mei 25, 2008

Hal-hal Kecil yang Dilematis

Ketika sedang melihat seorang teman yang mempermalukan dirinya, memilih untuk ikut mencemooh, tak berkata apa-apa, atau justru berempati, adalah hal kecil.
Ketika berada di sebuah warung yang menyediakan Mie Ayam dan Bakso, memilih menu untuk makan malam adalah hal kecil.
Ketika selesai mandi dan bersiap-siap berangkat kuliah, akan memakai baju yang mana adalah hal kecil.
Ketika berjalan-jalan di sebuah swalayan, melihat-lihat dan menimbang-nimbang pajangan parfum beraneka aroma, adalah hal kecil.
Ketika memilih untuk menonton inbox atau naruto pada minggu pagi, adalah hal kecil.
Ketika merancang letak sebuah poster baru dalam dinding kamar, adalah hal kecil.
Ketika bermain sepak bola, memutuskan menggiring bola atau mengumpan pada rekan, adalah hal kecil.
Ketika sejenak berpikir apakah akan potong rambut hari ini, esok pagi, esoknya lagi, minggu depan, atau entah kapan, aalah hal kecil.
Ketika sedang berada di kamar mandi, bernyanyi, bersiul, atau diam saja adalah pilihan kecil.
Ketika sedang berbicara, memilih satu diantara jutaan kata dalam perbendaharaan konstruk ketatabahasaan, adalah hal kecil.
Ketika suatu waktu sedang memegang gitar, memilih bernyanyi lagu Scorpion atau Peterpan, adalah hal kecil.


Ketika berhadapan dengan suatu pilihan, ada proses kognitif di sana, yang melibatkan aspek-aspek emosi. Memilih memenangkan rasionalitas atau perasaan, adalah sebuah hal yang dilematis. Rasionalitas yang tercermin dalam dominasi Tes Binet, WAIS, dll, dan rangsekan Daniel Goleman tentang pentingnya pengaruh emosi yang justru lebih dari sekedar tabiat laten, emosionalitas yang tak kalah penting dan dapat dipelajari. Perseteruan klasik itu adalah dilema yang telah meluas dan membahasakan dirinya dalam realitas. Rasionalitas yang hanya bisu ketika jantung berdegup kencang karena beradu pandang dengan makhluk pujaan. Rasionalitas adalah laki-laki, dan emosionalitas adalah perempuan, dan keduanya saling melengkapi. Konstruk meskulin-feminin yang telah mengakar dalam suatu kebudayaan, juga digugat karena memang dilematis. Dan tak lupa ada spontanitas yang banyak kali terjadi dalam dilema-dilema tertentu.

Dilema ada ketika berada pada suatu pilihan, entah hal-hal yang termasuk penting atau kecil, dilema tetaplah dilema. Dilema selalu harus ada prioritas, yang sangat beragam pada masing-masing idividu, begitu kata Aidh Al-qarny. Dilema menjadi penting ketika melibatkan pilihan yang penting, hidup-mati misalnya. Begitu juga dilema akan segera berakhir saat mata memutuskan untuk sekedar melihat rok yang tersingkap dalam sekejap. Tetapi dilema tetaplah dilema, meskipun itu dianggap besar ataupun kecil, akan ada upaya penyelesaian untuk itu. Seringkali ada satu alternatif yang dianggap jitu untuk menyelesaikan sebuah dilema. Sering pula satu solusi untuk banyak dilema, satu obat untuk segala penyakit, seperti tablet APC di Belitong, kata Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi-nya. Dilema harus selesai, dengan adanya solusi yang nyata-kongkrit, layaknya sebuah cangkir yang bisa dipegang dan dibanting. Dilema harus terselesaikan, dianggap sebuah misi rahasia seharga jutaan rupiah. Entah ameliorasi atau peyorasi, mungkin pasti.

Sebuah dilema meniscayakan proses, bukan hanya mengharuskan penyelesaian yang lagi-lagi dilematis. Ada proses di situ, memilih, menentukan, memutuskan, yang selalu terkait dengan skala prioritas hidup. Ya, entah besar atau kecil, hal-hal yang dilematis pasti melibatkan prioritas pelaku dilema itu. Prioritas selalu melekat, menjadi bagian dari dilema, seperti halnya dilema itu sendiri yang melekat dan menjadi bagian dari keseharian manusia.
Lalu, jika dilema harus terselesaikan, jika penyelesaian itu harus kongkrit-praksis-praktis, haruskah satu hal yang telah memenuhi kriteria kongkrit-praksis-praktis, dipaksakan? Itu juga sebuah dilema, apakah satu hal itu benar-benar ”benar”, setelah mengalami transformasi yang tak pernah lepas dari reduksi dan distorsi. Sesuatu yang telah tak bisa lepas dari segumpal lumpur yang hina-dina tetapi eksotis? Lagi-lagi itu adalah dilema.


Ahmad Fahmi Mubarok

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus sekali...tulisanmu sudah mirip2 alurnya Hegel dalam "Fenomenologi Roh"-nya, Kant dalam "Critique of the pure reason" dan "critique of the practical reason", Focault dalam "Archeology of knowledge"...dalam hal abstrak, anfokus, aliran kata-kata, samar, dan abu-abunya.... (ndak fokus hehehe).tapi bagus tuk corak tulisan filsafat....

klo aku sie ... sekarang lagi blajar tulis yang lebih "memahamkan" awam.... tapi itu pilihan dan mesti disesuaikan dengan segmen baca dan tujuan, bagus mas!

Anonim mengatakan...

waduh, makasih ,mas..
semoga tidak mambuat saya puas sampai di sini..
tapi saya juga ga pengen seperti Fichte yang berpidato panjang lebar selama lebih dari i jam tetapi tidak ada respon apapun dari pendengarnya. bukan karena kagum terhadap apa yang dipidatokan, tetapi karena ga mudeng janjane si Fichte ngomong apa,hehe...
seringkali saya kesulitan untuk mengomongkan sesuatu ketika sedang diskusi, bingung sendiri malah, dan akhirnya cuma menjadi pendengar saja. ato kalo ngomong malah muter-muter ora nggenah. Kalo bikin coret-coretan gitu juga kadang malah mengkhianati kaidah ketatabahasaan, artinya alurnya tu ga ada (kata tmen sekamar+kamar sebelah si, hehe)..
hah, jadi bingung sendiri. tapi kata orang2 di pelatihan menulis itu kan yang penting PD, jadi ya PD ajalah..
haha

Anonim mengatakan...

Bagi yang sudah memahami bahwa ilmu itu lintastutur, mediumnya adalah apa saja dan siapa saja, dan yang lebih penting sebenarnya adalah metabahasa, sesuatu di balik bahasa....bagi yang melampaui 5 indra dalam memperoleh kebenaran dengan intuisi dan lainnya, memahami tanpa bahasa awam...ya gak akan ya gak akan bingung dengan Fichte, Foucault, kant, hegel yang mbuleettnya setengah mati itu hehehe...

yang penting nulis aja,...daripada jadi kerak di otak...ya gak?!