Beasiswa, secara etimologi berasal dari kata “bea” dan “siswa”. Dari pepatah ”jer basuki mawa bea”, dapat di mengerti bahwa bea adalah pembahasaan jawa dari kata biaya, cost, ongkos, dan lebih konkritnya adalah uang. Sedangkan ”siswa” telah banyak dipahami sebagai orang yang menuntut ilmu di institusi formal yang disebut sekolah. Bukan hal yang mengherankan jika pada saat ini beasiswa menjadi hal membuat banyak mahasiswa (UNNES) menggerutu, karena pada dasarnya penempatan istilah tersebut memang kurang tepat. Beasiswa diperuntukkan bagi siswa, bukan mahasiswa. Siswa adalah pelajar tingkat TK, SD, SMP, dan SMA. Pada perguruan tinggi, istilah lain yang digunakan adalah mahasiswa, menyiratkan kesan (kesombongan?) lebih dari sekedar siswa. Tak jauh berbeda dengan sebagian dosen yang tak mau disamakan denga guru, secara implisit terlihat dari ”UU Guru dan Dosen”. Kenapa bukan ”UU Pengajar” saja, atau tak perlu ada UU. Bukankah semakin banyak peraturan, dalam hal ini Undang-undang, menunjukkan kesulitan masyarakat kita untuk bisa tertib?
Bukan hal yang urgen jika terus berpanjang-lebar dalam permasalahan di atas. Yang jelas, beasiswa telah menimbulkan polemik bagi mahasiswa. Ketika beasiswa terkesan dikuasai oleh para aktivis, bukan hanya penguasaan sosialisasi informasi, tetapi lebih dari itu. Tindak lanjut dari kekreatifan pemanfaatan celah ini adalah hadirnya pseudo-aktivis, yang tercantum tapi tak aktif, atau meminjam bahasa Utopia ”antara ada dan tiada”. Padahal, sejatinya beasiswa terbagi ke dalam beberapa kategori, sebut saja beasiswa prestasi, beasiswa aktivis, dan kategori lain yang memudahkan calon pengaju permohonan untuk menimang dan mencocokkan dirinya pada kategori yang sepantasnya. Sudah ada banyak kamar yang disediakan, dan masing-masing kamar bisa dimasuki oleh orang-orang yang memegang kuncinya. Persyaratan masing-masing kategori adalah kunci dari kamar beasiswa tersebut, sehingga perasaan terdiskreditkan tak harus membelenggu salah satu pihak.
Permasalahan selanjutnya adalah pemanfaatan beasiswa bagi mereka yang mendapatkan. Beasiswa diharapkan bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang menunjang proses pendidikan mahasiswa. Membayar SPP bulanan, membeli buku-buku kuliah, adalah sedikit hal yang sebenarnya menjadi sasaran pemanfaatan beasiswa. Namun jika mentraktir teman, membeli aksesoris macam kosmetik, handphone, mempertebal dompet uang saku, dilihat sebagai hal yang menunjang kegiatan belajar-mengajar, mungkin saja hal semacam itu memang pantas dilakukan. Dengan penyusunan skala prioritas seperti ini, sudah semestinya beasiswa menimbulkan polemik dan kecemburuan sosial dari pihak yang merasa terdiskreditkan.
Tertaut dengan beasiswa, program lain yang ditujukan bagi pengembangan mahasiswa adalah pertukaran pelajar. Sebagai salah satu bentuk nyata dari sebuah kerjasama antar Perguruan Tinggi yang tertulis dalam hitam di atas putih, pertukaran pelajar menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar biaya belajar. Lebih dari itu adalah tawaran pengalaman, tanpa melupakan adanya beberapa percik gengsi dan kebanggaan di sana. Namun tak berbeda dari permasalahan beasiswa, monopoli informasi dan ”permainan kecil” yang sering dituduhkan mungkin memang benar-benar ada, mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas rumor kepergian beberapa orang penting dalam kerajaan mahasiswa UNNES sudah bisa sedikit berbicara mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan tidak menutup kemungkinan akan ada ekor permasalahan terkait dengan apa yang dinamakan politik.
Jika ratusan tahun lalu Voltaire mengatakan ”dalam segala hal yang berkaitan dengan uang, semua orang mempunyai agama yang sama”, maka polemik yang terjadi memang tak (mungkin) harus selesai.
Hidup Mahasiswa!
Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi FIP UNNES
Senin, Mei 12, 2008
Dari Aktivis, Beasiswa, Sampai Pertukaran Mahasiswa
Label:
Intelektual mahasiswa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar