Entah bagaimana sejarah penamaan kota ini, mungkin berasal dari kata “kebo menek” (kerbau yang memanjat), atau mungkin saja “kabumen” (semacam acara sedekah bumi). Tapi yang jelas tulisan ini tidak akan membahas itu. Kota yang terletak di sebelah barat daya kota Purworejo ini bukanlah kota yang kaya, bahkan menurut keterangan yang semoga saja tidak benar, bahwa kebumen adalah kota yang berpenghasilan per-kapita urutan nomor dua dari bawah di seluruh wilayah Jawa Tengah. Wajar saja, di sana tidak terlihat adanya pabrik seperti kota Kudus, ataupun pertanian bawang merah seperti kota Brebes. Hanya usaha genteng yang masih kalah populer dari kerajinan ukir kota Jepara. Dalam hal pariwisata, kota ini juga masih kalah jauh dari Magelang yang mendunia dengan candi Borobudur, juga tak se-santun stereotip yang dilekatkan pada Surakarta. Lalu apa yang menarik dari secuil wilayah Kedu ini?
Lambaian matahari pagi hari Selasa lalu mulai menyeruak menyapa Kebumen, setelah malam sebelumnya dibuai dalam ruang rindu Letto. Tak berbeda dengan semua kota di dunia, warga kota ini mulai melakukan rutinitas hariannya. Hanya saja, rutinitas pagi tanpa dimeriahkan kepulan asap mesin-mesin modern, tawa dan gurauan renyah pelajar sekolah di atas sepeda onthel mereka, paling-paling tetesan keringat yang dianggap ”mencemarkan” bagi orang-orang metropolis pecinta ”kebersihan”. Tentu saja bukan tak ada hitam karbon monoksida, tetapi nuansa seperti itu, yang hampir tak lagi ditemui di Semarang. Tegang-regangan otot kaki yang mengayuh sepeda, bukan sepeda elit macam polygon ataupun pacific, tetapi sepeda jengki yang sebagian orang sudah malu untuk memakainya. Hal ini bukan terbatas pada para pelajar SD, bahkan siswa SMP dan SMA yang sudah mulai mengenal gengsi, yang jika hidup di Jepara pasti sudah merengek minta dibelikan sepeda motor keluaran terbaru, juga memakainya (tidak semua memang, kebumen bukan tak tersentuh pengaruh budaya ”anak gaul”). Dan lagi-lagi, nuansa yang sudah jarang (tidak lagi?) ditemui di Semarang.
Ketika malam datang, beberapa muda-mudi dan pasangan suami-istri beserta anak-anaknya terlihat berkayuh mesra dengan sepeda, atau jika melihat pada satu-satunya mall di sana (Rita, pasar raya) kemilau logam sepeda onthel masih banyak menghiasi tempat parkir, hal yang sama juga terlihat di Hotel Candisari (tempat transit personel Letto di malam sebelumnya). Suasana kesenyapan terasa sangat kental di sana, kota ini bukan kota yang tak pernah mati. Jarum jam baru menunjuk angka 10, sudah tak banyak kendaraan yang lalu-lalang di alun-alun kota, sangat kontras dengan suasana simpang lima Semarang apalagi di kota Jakarta nun jauh di sana.
Jawa Tengah tentu tahu bahwa Bupati kota itu sekarang ikut meramaikan bursa pemilihan Gubernur, hal yang sama dengan yang terjadi di Semarang. Jika di Semarang bahkan papan iklan di Pandanaran (kalau tak salah ingat) pun tak lepas dari pampangan foto Walikota calon Gubernur (entah bayar atau tidak), di kebumen hanya ada hanya beberapa spanduk sosialisasi cagub, itupun berdampingan dengan spanduk dari cagub lain. Kalau diadakan penghitungan resmi prosentase jumlah spanduk yang terpasang, mungkin masing-masing cagub berimbang, sama sekali tak terlihat yang satu lebih dominan dari yang lain.
Ya, dari potensi pariwisata maupun industri, Kebumen memang kalah dari Kudus, Magelang, Jepara, apalagi Semarang. Tapi nuansa kebersahajaan yang ada, kini tak tak benyak tersisa dari kota-kota itu. Nuansa khas yang tentu masih ada kota lain yang memiliki, tetapi Kebumen benar-benar menentramkan hati seorang mahasiswa rantau yang tak terbiasa dengan kayuhan pedal sepeda.
Ahmad Fahmi Mubarok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar