Hari ini, mbok Ti tampak cerah wajahnya, lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Tangannya begitu ringan mempersiapkan berbagai macam sayuran dan bumbu sebagai bahan utama pembuatan pecel, yang memang menjadi menu utama kedainya. Keceriaan mbok Ti ini menular juga pada kang Kus, suaminya. Sang suami ini dengan sigap membantu istrinya menimba air dari sumur dan menata piring-gelas di rak. Menjadi sesuatu yang lazim memang, di pelosok timur desa di Jawa Tengah ini, seorang suami berperan seolah-olah menjadi karyawan istrinya. Ini didasari keadaan sosial ekonomi yang memang tak bisa di hindari. Ladang dan sawah yang dikerjakannya tiap hari tidak mampu menyangga konsumsi harian keluarga karena hanya bisa dipanen tiga bulan sekali, bahkan lebih lama jika tidak dibantu dengan turunnya hujan. Hal ini menyebabkan kang Kus rela menjadi karyawan istrinya, karena hasil dari warunglah yang memang menjadi andalan penghidupan sehari-hari. Sedangkan nanti bila masa panen tiba, hasilnya digunakan untuk membeli kambing atau anak sapi yang dirawat sendiri, sebagai fungsi tabungan dan investasi. Mungkin akan timbul gejolak jika yang mengalami pola ekonomi seperti ini adalah keluarga yang tinggal di kota, karena budaya patrilinial melekat erat di sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya kesadaran dan saling pengertian antara mbok Ti dan kang Kus sajalah yang membuat pola rumah tangga ini berjalan lancar.
Gerangan apakah yang membuat mbok Ti dan kang Kus bersuka cita ? Alasannya cukup sederhana dan biasa-biasa saja : omzet penjualan kedai pecel miliknya meningkat dan dipastikan akan terus meningkat. Puluhan orang setiap hari antri untuk mendapatkan seporsi nasi pecel buatannya. Seluruh warga kampung bahkan para pegawai kantor yang terletak di seberang jalan raya sana tiba-tiba memburu pecelnya.
Minggu kemarin, pak Camat memerintahkan seluruh warga dan jajaran pegawainya, mulai sejak dibacakannya instruksi, agar gemar mengkonsumsi makanan tradisional daerah setempat, terutama pecel. Bukan itu saja, merekapun diminta untuk ikut mempelajari cara mengolah sayuran dan bumbu menjadi pecel yang nikmat. Dengan bangga pak Camat mengeluarkan perintah itu disertai kata-kata seperti yang tertera pada spanduk-spanduk sebelum tahun 1998 “Dengan Mengkonsumsi Dan Melestarikan Pecel, Kita Jaga Aset Dan Budaya Daerah”. Pak Camat juga memerintahkan sekolah dan tempat kursus untuk menambah mata pelajaran “membuat pecel” untuk para siswanya. Bahkan ide itu berkembang menjadi proposal pada sebuah universitas agar menambahkan mata kuliah tentang perpecelan, agar mahasiswa tahu dan mengenal pecel tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi juga merupakan bidang penelitian ilmiah yang dapat dikaji dari sisi ekonomi, sosial-budaya bahkan politik. Hidangan yang disajikan setiap ada rapat atau tamu penting yang berkunjung ke kecamatan itupun tak lepas dari pecel.
Sontak saja kebijakan ini membuat warung mbok Ti kebanjiran pembeli. Semua orang berlomba membeli pecelnya dan tak jarang bahkan meminta izin untuk belajar membuat pecel darinya. Warung pecelnya mendapat peringkat terlaris paling tinggi di banding warung yang menjual makanan lain. Bahkan mbok Ti berencana membuka kedai baru sebagai perluasan agar dapat menampung semua peminat. Tak lupa, mbok Ti juga menambah jumlah belanjaan agar mampu memenuhi permintaan yang kian tinggi karena kebijakan pak Camat tersebut. Hal ini dilakukan karena mbok Ti khawatir pembeli akan mencari warung lain yang tiba-tiba saja menjual pecel karena iri melihat potensi pasar yang begitu besar. Warung–warung baru tersebut tentu belum terjamin mutunya dan berpotensi merusak citra pecel yang sedang naik daun.
Rencana memperluas kedai dan menambah produksi tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk mbok Ti dan kang Kus. Mereka harus memperlebar warung, menambah bumbu dan sayuran, menambah jumlah piring dan sendok hingga sampai harus merekrut beberapa karyawan baru untuk membantunya. Merekapun harus melatih karyawan baru tersebut agar memenuhi kualifikasi dalam membuat pecel sesuai dengan standar rasa yang digariskan, dan sesekali melayani permintaan semacam wawancara dari pembeli yang ingin mengetahui perkembangan program pak Camat ini. Belum lagi biaya untuk memperbesar bisnis ini ternyata lumayan besar juga. Merekapun harus bekerja ekstra keras dan mulai menggunakan teori efektivitas dan memperhitungkan besaran modal yang mereka keluarkan apakah sebanding dengan potensi pendapatannya. Tapi toh, mereka rela melakukan kerja ekstra itu karena sadar peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peluang ini bisa jadi takkan pernah ada lagi karena, kata orang, keberuntungan macam ini tidak akan datang dua kali.
Di balik semua itu, ternyata memang karakter suami-istri penjual pecel itu, yang orang jawa tulen, tak mudah hilang begitu saja. Sebagai orang jawa, mereka dididik untuk selalu ingat dan waspada akan setiap perubahan yang dibawa oleh sang waktu. Mereka, sekalipun disibukkan dengan kerja keras melayani pembeli, tetap selalu bersyukur atas limpahan anugrah ini sembari tetap tidak lupa diri. Entah berfikir secara modern tentang teori peluang pasar ataukah berpikir tradisional yang berdasarkan sikap nrimo ing pandum, mbok Ti dan kang Kus sepertinya sadar bahwa perubahan ini tidaklah kekal dan akan disusul dengan perubahan-perubahan yang lain. Mbok Ti dan kang Kus juga sadar, bahwa mereka tidak tahu sampai kapan kebijakan pak Camat ini akan terus berjalan dan efektif dilaksanakan. Mereka juga tidak tahu motif apa yang membuat pak Camat memerintahkan hal ini (mendekati pemilu yang sebentar lagi tiba, perilaku pemerintah memang sukar di tebak. Dan semua orang tahu, sekalipun pegawai negeri dilarang berpolitik, pak Camat adalah simpatisan golongan tertentu). Mbok Ti dan kang Kus juga sadar bahwa seenak apapun pecelnya, tentu lidah orang akan jengah juga jika setiap hari disuguhi pecel melulu.
Semua itu membuat suami-istri ini tidak membabi buta dalam mengembangkan institusi warung pecelnya. Mereka tidak mau kapiran karena termakan oleh perubahan zaman. Jika sewaktu-waktu kebijakan ini dicabut karena diganti dengan kebijakan lain atau karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau karena didemo penjual lain yang iri, mbok Ti dan kang Kus tetap akan bertahan dan tidak terlalu merugi atau bahkan mengalami post power syndrome. Mereka tetap melandaskan kemajuan warung mereka berdasarkan naluri kerendahhatian sembari takut untuk membayangkan berapa kerugian yang harus mereka tanggung karena telah membelanjakan dengan tanpa pertimbangan seluruh modal dan tabungan mereka untuk memperluas warung, membeli piring dan sendok dan menrekrut karyawan serta melatihnya.
Siang yang panas ini, saya berkesempatan mencicipi pecel mereka. Lantas entah mengapa, tiba-tiba saja saya teringat jajaran pimpinan sekolah tinggi nun jauh disin(i) yang sedang getol mencoba membuka lapak-lapak baru untuk didatangi para calon mahasiswa dan para guru dan para guru yang sedang bersukahati menanti-nanti berkah sertifikasi.*** (12-Jan-2008)
Selasa, Mei 20, 2008
Warung Pecel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Kang Yoghas...aku kangen pecele...!
mungkin ada makna nasionalisme (mempertahankan budaya bangsa dan Negara), meski sekedar pecel. he he...
Di Jakarta kan banyak yang jual pecel, Mas Edi. Malah lebih bervariatif dan beraneka isi dari pada pecel jawa tengah atau jawa timur. Asal lantas jangan kepincut "pecel-pecel" yg lain...
Skalipun "nasionalisme" saya sedang susut, jangan kuatir, Bang Ali. Lidah saya tetep nasionalis, gak gampang kepincut kuliner yang nganeh-nganehi...YogArd
Kita ini sumber dari segala sumber kuliner....tau gak Pizza, itu khan cuma martabak versi Italy aja.... tak lebih gurih dari bakwan dan mendoan..walau sekarang jadi tipis2 dan kecil2 gara-gara minyak naek..hehehe
sayang sungguh sayang... orang makan aja pake gengsi?? biar rasa ga karuan di lidah, yang penting itu kemasan luar negeri!! buseeet dah, itu orang buangganya minta ampun.
padahal dibanding getuk, kelepon, bubur cendil, gado-gado, bikang, pukis DLL. ya eelah.. jauh dah nikmatnya, kesehatannya, dan murahnya... hehe..
Posting Komentar