Sudah selayimnya kenaikkan harga BBM akan lebih banyak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat luas. Namun gerakan perlawanan terhadap kebijakan ini masih sekterian, gerakan mahasiswa sudah tak bisa diandalkan, jelang kenaikkan BBM masyarakat lebih memilih menyerbu SPBU ketimbang mendukung pemprotesan mahasiswa dan aktivis pergerakan untuk menggagalkan kebijakan pemerintah itu.
Gerakan perlawanan diperlukan tidak hanya sebatas kekuatan penyeimbang (check and balances) saja, namun juga bisa menjustifikasi segala kebijakan pemerintah dalam konteks baik-buruk, tepat-tidak tepat, dan benar-salah. Kebijakan kenaikkan harga BBM akan menyulut kenaikkan harga barang lain, meningkatkan jumlah kemiskinan, dan menciptakan keputus asa-an social masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian kebijakan ini sudah tidak tepat, buruk dan salah. Untuk menghadapi kebijakan ini diperlukan gerakan perlawanan.
Gerakan perlawanan dimaksudkan untuk meniadakan kebijakan yang tidak adil (unfairness), bukan kemudiaan untuk mudah terdistorsi dalam skenario politik, menuju upaya pemahzulan dan sarana bagi kampanye (campaign) tokoh, paham, simbol lain. Namun gerakan perlawanan ini mudah sekali diklaim sebagai gerakan yang sudah tidak lagi murni, dan hanya berorientasi kepentingan politik praktis saja. Argumentasi ini mudah terbentuk dan pantas saja beredar, sebab, gerakan yang dimotori oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan cenderung terbelah-belah dengan target dan isu-isu yang berbeda-beda.
Kendatipun dengan tema sentral tuntut kenaikkan harga BBM, gerakan perlawanan ini tidak bisa mencapai tujuan –menggagalkan kebijakan pemerintah. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa interdependensi lembaga kemahasiswaan dan institusi aktivis pergerakan masih berafiliasi pada kekuatan lain seperti kekuatan pemerintah dan DPR yang memiliki kepanjang-tanganan kader partai yang serumpun ideologi, visi, dan kultur, yang semuanya ini masuk dalam sederetan faktor, kenapa gerakan perlawanan masih sekterian.
Sehingga memunculkan kembali sentimen-sentimen kelompok, terpisahnya orientasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dan hanya mengejar eksistensi di media. Bahkan justru gerakan perlawanan sebuah fenomena utopis yang madul pada kebiasaan terbitnya kebijakan kenaikkan harga BBM.
Kemandulan gerakan perlawanan ini bertambah parah dengan pergeseran nilai-nilai di masyarakat. Nilai-nilai patriotisme terkikis dengan metamorfosis nilai-nilai individualistik. Jelang kenaikkan harga BBM, masyarakat berduyun-duyun mempertahankan kemudahan hidupnya sendiri-sendiri. Mereka lebih memilih mengisi kendaraan pribadinya di SPBU ketimbang bergabung dengan gerakan perlawanan untuk memperjuangkan nasib masyarakat secara bersama-sama. Hanya demi kenaikkan harga BBM 28,7 %, mereka merelakan diri untuk antre, membuang-buang waktu, dan ironisnya berniat untuk mengikuti kemauan pemerintah, padahal hati mereka tak sependapat dengan kebijakan itu.
Lemahnya gerakan perlawanan tidak hanya sekterianisasi gerakan mahasiswa dan aktivis pergerakan saja, tapi juga tidak adanya dukungan masyarakat. Masyarakat cenderung ingin menyelamatkan diri sendiri masing-masing. Padahal gerakan perlawanan yang terdiri dari gerakan mahasiswa, aktivis pergerakan, dan masyarakat yang solid mampu menghasilkan perubahan siginifikan. Jadi perubahan tidak hanya membutuhkan gerakan mahasiswa dan aktivis gerakan saja, tetapi sikap dan dukungan masyarakat terlebih penting.
Sebagaimana di kemukakan oleh Piotr Sztompka, dalam The Sosiology of Social Change yang mengisyaratkan bahwa perubahan efektif berasal “dari bawah”, melalui aktivitas yang dilakukan massa rakyat biasa dengan derajat “kebersamaan” yang berbeda-beda. Dengan dukungan masyarakat yang tergabung dalam satu paket gerakan perlawanan yang digelontorkan oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan, gerakan perlawanan akan efektif dan menjadi gerakan social yang melahirkan kolektivitas orang yang bertindak secara bersama-sama untuk mengendalikan perubahan atau mengubah arah perubahan.
Kemenangan Mafia Berkeley
Kebijakan neolisberalisme tumbuh subur dan menuai kemenangan untuk kesekian kalinya di negeri ini. Kebijakan neoliberalisme yang pada intinya dimotori oleh alumnus kampus di Amerika ini sebelumnya membawa misi: pasar bebas, privatisasi, dan pencabutan subsidi pada akhirnya sukses besar. Keberpihakkan kebijakan neoliberalisme hanya tertuju pada para konglomerat, sedangkan klas kedua yang terdiri dari rakyat biasa dimarjinalkan. Klas konglomerat pada piramida social tingkat atas dimanjakan, diberikan subsidi, dan kemudahan, dengan alasan klas ini akan lebih bermanfaat menyokong pertumbuhan ekonomi makro. Sedangkan klas di bawahnya dipandang tak berguna, di peras tenaganya, di batasi hak-haknya, bahkan hampir di anggap tak pernah ada.
Pasar bebas dan privatisasi melenggang jauh tanpa ada yang bisa menghentikannya, apalagi semenjak amandemen konstitusi dasar yang mengijinkan privatisasi dan pasar bebas tersebut. Aset-aset menjadi di dominasi pihak asing, dan kemandirian sedikit demi sedikit terkikis yang pada akhirnya semuanya hampir bergantung pada pihak asing. Sementara pencabutan subsidi untuk yang ketiga kalinya sukses dilaksanakan, setelah 1 Maret dan 1 Oktober 2005, harga premium yang semula Rp. 1.800,- menjadi Rp. 2.200,- kemudian Rp. 4.500,- dan kini kenaikkan mencapai Rp. 6000,-. Fakta empiris ini menjadi sederetan tanda kebijakan neoliberalisme yang digawangi oleh mafia Berkeley telah mengakar dalam negeri ini.
Pandangan internasionalisasi membuat bangsa kita kehilangan identitas, yang kemudian memaksa kita untuk selalu memakai standar internasional. Untuk menjadi bangsa yang maju, perlu semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme yang kuat, bukan terjerumus ke dalam alur permainan global yang itu belum tentu membawa kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme, elit pembuat kebijakan tentu akan lebih memilih nasionalisasi, renegosiasi, ataupun moratorium utang luar negeri yang lebih banyak bermanfaat bagi bangsa dan tidak menyengsarakan rakyat.
Senin, Mei 26, 2008
TUMPULNYA GERAKAN PERLAWANAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar