online degree programs

Selasa, Februari 24, 2009

A Walk to Remember

Masih dini hari, atau sudah dini hari. Saya lebih suka menyebutnya sunyi. Mungkin beberapa jam lagi akan terang dan ramai, mungkin juga tidak. Tetapi kemungkinan besar besok masih akan terang. Radiohead masih bernyanyi Creep, berulang-ulang, dari awal sampai akhir lalu kembali ke awal dan mengalun sampai akhir. Kemudian saya menambahkan Wild World dari Mr. Big. Adakah yang bisa membayangkan suasananya?

Hanya beberapa menit yang lalu, yang juga berarti hari yang lalu, saya masih menikmati acting Mandy Moore memerankan Jamie Sullivan, dalam A Walk to Remember. Tidak, saya berbohong. Saya sebenarnya tak menikmati acting Mandy Moore dan siapapun. Saya menikmati yang lain. Wajah anggun dan lembut, alur cerita, juga satu lagu. Film dengan judul A Walk to Remember kemudian dilanjutkan Radiohead, Creep. Di sini, di kamar kos, jam 1 dini hari saat liburan semester. Dan, silahkan tersenyum...
***

Beberapa jam sebelumnya saya menyelesaikan membaca satu buku kecil Victor E Frankl, Logoterapi. “Jika dijelaskan dengan satu kalimat, psikoanalisis berarti pasien harus berbaring di atas sebuah tempat tidur, dan menceritakan padamu apa-apa yang tak pantas diceritakan.”. Dengan cara yang sama, ”dalam logoterapi pasien boleh duduk atau berdiri namun dia harus mendengar apa-apa yang terkadang tidak pantas untuk diceritakan”. Demikianlah, Frankl membedakan psikoanalisa dan logoterapi, namun dalam canda.

Saya masih ingat film yang baru berapa manit lalu saya tonton, A Walk to Remember. Jamie Elizabeth Sullivan, menyukai planet-planet dan tata surya, anggota klub drama di sekolahnya, bercita-cita untuk witness the miracle, menjadi tokoh utama di film itu. Atau barangkali akan lebih baik jika saya memulai dengan garis besar ceritanya. Tapi mungkin juga tidak.

Saya lanjutkan.

Landon Lance Carter, juga tokoh lain dalam film. Dia anak gaul. Dan barangkali saya lupa, Jamie bukanah anak gaul, sepertinya boleh dikatakan dia memakai model pakaian yang sedang ­nge-trend disaat Ibunya masih muda. Ah, dengan cara menerangkan seperti ini, saya harus meminta maaf pada Jamie, karena ibunya telah meninggal.

Kehidupan Jamie, jika memang pernah ada, menjadi cerita film saat Ia berusia 18 tahun. Bertahun-tahun sejak TK, Jamie berteman sekelas dengan Landon, namun mereka tak bisa dikatakan kenal baik. Pada saat berusia 16 tahun, Ia, Jamie Sullivan, diketahui mengidap Leukimia, dan dokter menyarankan padanya untuk hidup sewajarnya, sampai waktunya meningal. Tetapi kalimat ”sampai waktunya meninggal” tentu tak diucapkan secara eksplisit oleh dokter.

Film itu diawali dengan Landon yang tertangkap oleh polisi. Dia bersama-sama peer group-nya memasuki area sebuah pabrik tanpa izin. Kabar sampai di sekolah, kepala sekolah menjatuhkan hukuman. Setiap akhir pekan dia harus mengajar beberapa anak tidak beruntung, membantu pementasan klub drama sekolah, membersihkan toilet sekolah setiap pulang sekolah. Dua hukuman awal membuatnya sering bertemu dengan Jamie, hukuman tengah membuatnya meminta bantuan kepada Jamie, karena pengasuh klub drama memberikan peran utama kepada Landon.

Bisa ditebak. Landon meminta bantuan kepada Jamie, dan Jamie mengajukan satu syarat : ”you have to promise, you won’t falling in love with me”. Dengan sedikit senyum seringai, agak mencibir, Landon menjawab “okay, that’s no problem”. Mungkin dalam benaknya, Landon tertawa lebar.

Drama selesai, dan, tentu saja, sukses. Landon memukau penonton.

Mungkin terlalu mengeksplorasi hubungan asmara antara 2 orang, atau fokus dalam cerita. Yang jelas adegan Landon membersihkan kamar mandi, juga adegan Landon mengajar anak kurang beruntung di akhir pekan tak lagi terlihat. Seakan cerita film telah terputus (seperti pada alur dari paragraf setelah ini menuju paragraf selanjutnya, jika Anda mencermati). Film yang diawali dengan Landon yang agak bengal dan kemudian mendapatkan sanksi, dilanjutkan dengan hari-hari Landon bersama Jamie. Rupa-rupanya sanksi atas Landon tidak menceritakan apa-apa.

Seperti suatu saat Landon mengajak Jamie makan malam pada Sabtu malam—boleh kita sebut berkencan—tetapi Jamie tak diijinkan berkencan oleh Ayahnya, yang seorang pendeta. Landon kemudian meminta ijin pada Ayah Jamie, atau lebih tepatnya memaksa, setelah beradu argumen di dalam sebuah gereja. Dan mereka berkencan.

Ketika berjalan beriringan, tiba-tiba Jamie menatap mata Landon dengan mimik muka terisak, dan berkata “Landon, I’m sick! I have leucimia”. Dan Landon menjawabnya dengan ”no, you’re eighteen, and you’re perfect” dengan bingung, mungkin setengah percaya dan setengah tidak. Jamie memang mengidap leukemia, karena itu Landon marah dan bertanya-tanya mengapa Jamie tak memberitahunya sejak awal. Jamie menjawab, karena dia tidak ingin orang-orang disekitarnya memperlakkannya dengan tidak biasa. Sedikit tinggi Landon berucap ”including me?!” dan Jamie menjawab ”especially you!”. Semua berjalan dengan baik pada diri Jamie, sampai kemudian Landon muncul. Meskipun demikian, bagi Jamie, tidak ada alasan baginya untuk marah kepada Tuhan.

Saya ingin berhenti di sini, dan berpindah pada Victor Frankl, bahwa manusia perlu untuk mencari makna, apakah itu melalui mempertanyakan esensi eksistensi, melalui cinta, atau melalui penderitaan.

Jamie, bagi saya adalah contoh yang cukup baik tentang penjelasan Frankl. Bahkan ketiga cara mencari makna, mencari suatu noo-dinamic, dalam bahasa Frankl, yang berarti keadaan jiwa yang dinamis. Bagi Frankl, apa yang dicari manusia bukan keadaan yang seimbang, melainkan keadaan yang selalu dinamis, yang hidup, dan tahu (barangkali erarti telah menentukan) untuk apa dia hidup.


NB : Landon menikahi Jamie, di gereja yang sama dengan gereja yang menjadi tempat pernikahan Ayah dan Ibunya 20 tahun lalu, seperti yang diimpikan oleh Jamie, hanya beberapa hari sebelum akhirnya Jamie meninggal.

Ahmad Fahmi Mubarok

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Fahmi:
"Bagi Frankl, apa yang dicari manusia bukan keadaan yang seimbang, melainkan keadaan yang selalu dinamis, yang hidup, dan tahu (barangkali erarti telah menentukan) untuk apa dia hidup."....


Giyanto:
Menurut saya, keseimbangan juga sebuah kedinamisan...

Anonim mengatakan...

Dan saya kira Film A Walk to Remember memberi pesan yang sederhana: "hati-hati dengan cewek yang berwajah polos dan lembut, suatu saat dia akan meruntuhkan segala keangkuhanmu..."he2...

Apalagi anak kepala sekolah...kalau perlu naksir sekalian anaknya Pak Rektor, biar tidak terancam DO....ha

Anonim mengatakan...

...beruntung saya sudah nonton fil itu setidaknya lebih dari sekali mas fah hehe...good analysis broer...tapi bukan dari perpspektif piskologis, agaknya justru lebih banyak analisis mas fah...dalam karya apapun pada pertimbangan filosofis...ketimbang psikologis hehe