Saya kira Anda lebih mafhum tentang hedonisme, eidos, tentang apapun yang dianggap falsafi, berhubungan dengan filsafat. Saya hanya bisa menjawab “tak tahu” jika Anda menanyakan “apa itu filsafat?” Saya tak tahu, siapa yang sebenarnya “tak tahu”, Anda, atau saya, dan mari kita ngobrol di warung kopi tentang itu, sehingga kita sama-sama (tak) tahu. Ngobrol itu, jika terjadi, adalah ngobrol yang terjadi bukan karena kesadaran akan hak, melainkan karena kesadaran akan keterbatasan. Ngobrol itu tak bersandar pada postulat “semua orang bebas berpendapat, termasuk saya!”, tetapi lebih kepada “mungkin saya salah”. Untuk postulat pertama, saya tak menduganya merupakan implementasi dari will to power-nya Nietzsche. Atau jika anda memaksakan kepada saya demikian, maka bagi saya, anda tidak memahami will to power dari Friedrich Nietzsche, melainkan power to will dari Nietszche Friedrich.
Mungkin Anda juga bisa mengatakan bahwa filsafat adalah ruang kosong yang membentang antara metafisika dan sains. Atau filsafat adalah pioneer, yang melakukan babat alas pada sebuah pulau yang baru ditemukannya, dan kemudian langsung meninggalkan pulau tersebut—untuk mencari pulau lain—sementara pasukan ilmu pengetahuan melanjutkan misinya di pulau tersebut. Anda juga bisa dengan bebas mengatakan bahwa filsafat adalah kecintaan akan kebijaksanaan, dan filsuf adalah orang yang mencintai sesuatu yang bijak—meskipun dirinya sendiri tak bijak. Dan saya berharap yang terjadi bukanlah silogisme tak logis yang terjadi diantara para filsuf, “saya filsuf. Saya menyukai filsafat. Karena itu, apapun yang saya sukai adalah filsafat”. Anda tahu, jika “si filsuf” (sengaja saya apit tanda petik, sebenarnya untuk kata yang sama di kalimat selanjutnya, jika anda berkenan mengingatnya) tersebut mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Thomas Aquinas adalah filsafat, itu bisa saja bukan karena apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas adalah filsafat dalam dirinya sendiri, tetapi karena si filsuf menyukai apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas atau karena si filsuf mengagumi Thomas Aquinas.
Dan celakanya, si filsuf adalah orang pintar, dan omongannya didengar, dibaca, dan dipercaya oleh orang banyak. Anda tahu, si filsuf telah seperti Napoleon (entah yang ke berapa) yang mengatakan L’etat c’est moi (“negara adalah saya”—pun jika saya tak salah tulis), hanya saja kata negara di situ diganti dengan “filsafat”, sehingga kita bisa mengejanya “filsafat adalah saya”. Dengan demikian definisi filsafat oleh si filsuf tersebut telah kontradiktif dalam dirinya sendiri. Apakah Anda tak salah tangkap, yang mana filsafat, dirinya, atau apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas, atau “saya”? Bisa saja saya salah, dan Anda boleh mendebat saya dengan mengatakan bahwa Thomas Aquinas adalah filsuf besar yang mengatakan bahwa Tuhan adalah causa prima. Lantas, anda tahu apa yang sebenarnya ingin saya katakan, namun akhirnya hanya bisa saya gumamkan? Saya bergumam “trus kenapa?”, jika Anda mendengarnya. Maksud saya, dimana letak ke-filsafat-an Anda dan klaim-klaim Anda? Karena bagi saya, apa yang saya, apa yang dikatakan Aquinas bukanlah filsafat.
Saya kira, saya masih bingung tentang “apa itu filsafat”, dan Anda boleh terus mengikuti saya, lepas dari Anda masih bingung seperti saya, atau tidak. Anda boleh, dan itu tidak mengikat anda untuk harus memilih antara “ikut” atau “tidak ikut”, bahkan Anda boleh “tidak memilih”, boleh abai dan tak acuh.
Saya kira Anda lebih mafhum tentang hedonisme, eidos, tentang apapun yang dianggap falsafi, berhubungan dengan filsafat. Saya pernah mendengar tentang eksistesialisme, sosialisme, kapitalisme, atomisme, holisme, postmodernisme, strukturalisme, psikoanalisa, dan lainnya yang dianggap filsafat. Saya juga pernah mendengar bahwa Plato, Aristoteles, John Locke, Rosseau, Sartre, Luhmann, Habermas, Fuocault, Kiekergaard, Derrida, Kant, Hegel, Fichte, Heidegger, dan masih banyak yang lainnya, adalah seorang filsuf. Saya memang suka dengan hal-hal semacam itu. Maksud saya, saya tidak ingin mengatakan bahwa saya menyukai filsafat. Saya menyukai hal-hal semacam itu, yang menawarkan sesuatu-yang-tak-terduga, untuk memahami ke-diri-an saya sebagai manusia. Dan saya kira semua manusia di dunia ini pasti menyukai hal-hal tertentu, dan mempunyai alasan masing-masing untuk menyukai hal-hal yang mereka sukai tersebut. Jadi apa maksud Anda mengatakan ”saya suka filsafat?”. Saya kira jika Anda memang megaku menyukai filsafat, dan Anda berkata sermacam itu, maka bagi saya, Anda seperti mermakan roti burger karena melihat banyak orang yang menikmatinya, sehinggga Anda merasa kenyang dan sedikit keren.
Saya membayangkan jika Noam Chomsky…., atau mungkin begini saja, pada zaman Aristoteles hidup, mungkin ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh Chomsky, dan waktu itu, hal semacam itu tidak falsafi. Saya belum bisa mengatakan, bahwa definisi, apakah suatu pembatasan atau pengkaburan, tetapi saya kira hal yang dibahas oleh Aristoteles berbeda dengan yang dibahas Chomsky, dan keduanya hadir dengan satu label : filsafat. Anda bisa merunutnya melalui sejarah filsafat, melihat benang merahnya, atau melihat diagram akar, bahwa si ini dipengaruhi si itu, si itu dipengaruhi oleh si itu yang lain. Bahwa si ini termasuk aliran itu, karena dia dipengaruhi oleh si itu. Atau si ini membuat aliran baru yang berbeda dengan aliran si itu. Tetapi bagi saya, ada semacam membedakan hal yang sama dan menyamakan hal yang beda, dalam setiap pembatasan (definisi) dan runutan semacam itu.
Tetapi bukan itu yang ingin saya katakan.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah berita tentang peluncuran album baru Letto. Iya, Letto grup band yang digawangi Noe, Patub, dan kedua temannya yang lain. Album itu berjudul Lethologic. Dalam wawancara, Noe mengatakan dalam satu lagu di albumnya kali ini, ada ;agu yang menceritakan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat satu hal yang hilang, dan satu yang hilang inilah, yang dia cari selama hidupnya. Satu yang hilang itu bisa jadi kekayaan, kemasyhuran, ketenangan, kebahagiaan, dan sebagainya.
Saya mencoba mengkaitkan ini dengan si Victor Frankl yang konon mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mencari makna, atau si Aristoteles yang mengatakan bahwa hidup adalah mencari kebahagiaan. Saya kira ketiganya mengacu pada hal yang sama, bahwa hidup adalah mencari sesuatu. Ketiganya, saya kira juga mengacu pada hal yang sama. Kebahagiaan, makna, dan satu yang hilang, berada dalam posisi yang sejajar. Atau saya coba mengkaitkannya dengan postulat lain yang mengatakan bahwa manusia hidup karena ada yang mendorongnya untuk hidup, seksualitas kalau itu Freud, will to superriority kalau itu si Alfred Adler, will kalau itu si Schopenhauer. Mereka semua adalah manusia yang hidup, atau setidaknya pernah hidup, tetapi mengatakan perihal kehidupannya masing-masing.
Berdasar dengan itu, saya tak bisa mengatakan bahwa inti dari bahasan Freud adalah dorongan seksualitas, id, ego, superego. Seperti halnya saya tak bisa mengatakan bahwa kata kunci dalam bahasan Nietszche adalah will to power, dan banyak yang lain, yang saya kira Anda lebih mafhum. Saya hanya bisa mengatakan bahwa semua yang mereka katakan adalah ”analogi”. Dan bagi saya, analogi adalah ”semacam---”, dan maka dari itu bukan sesuatu yang Ada.
Bagi saya, Freud hanya menganalogikan, bahwa ada 3 ”kekuatan” yang ada dalam diri manusia. Kekuatan yang mendorong manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya, kekuatan yang mendorong manusia untuk memperturutkan norma umum, dan kekuatan untuk memilih antara keduanya. Kemudian saya tahu masing-masing dan berturut-turut bernama id, superego, dan ego. Kesemuanya itu adalah analogi, yang, saya kira, terpaksa digunakan untuk mempermudah penyampaian. Dan definisi bermula dari situ. Definisi bisa bermula dari ”----adalah” atau ”sebut saja---”. Jika saya mengatakan bahwa “filsafat adalah----“, tentu berbeda dengan jika saya mengatakan “ada sesuatu yang mendorong saya untuk hidup sampai sekarang, sebut saja uis”. Pada yang pertama, juga berarti pemahaman saya tentang filsafat, sebagai sesuatu di luar diri saya. Dan yang kedua adalah untuk mempermudah pembahasan selanjutnya. Pada yang pertama, Anda bisa menyangkalnya dengan mengatakan “filsafat bukan seperti itu, tapi seperti ini”, sedang pada yang kedua Anda tidak bisa menyangkalnya dengan “uis bukan itu, tapi ini”. Dan hal yang saya kira lebih mengena adalah jika saya mengatakan “maksud saya” dan Anda pun mengatakan “maksud Anda” dalam sebuah obrolan di Warung Kopi.
Atau misalnya tentang Oedipus Complex, yang saya kira Anda juga pernah mendengarnya. Freud mungkin pernah membaca tentang kisah Oedipus yang membunuh Ayahnya, karena menganggap bahwa Ayanya adalah saingannya dalam hal memperebutkan cinta Ibunya. Freud menganggap bahwa manusia pun seperti itu, mengalami hal yang identik dengan yang dialami oleh Oedipus, sehingga apa-yang-dialami tersebut dinamainya Oedipus Complex. Apakah di sini Anda menganggap bahwa Oedipus Complex itu ada? Ataukah ada semacam kompleks seperti yang dialami oleh Oedipus? Bagaimana Anda menempatkan Oedipus Complex, apakah sebagai “---adalah” atau “sebut saja---“? Saya kira bahasan inilah yang menjadi penting sebagai pijakan untuk membahas tentang Oedipus Complex—dan semacamnya—(jika kita ingin membahasnya), karena kita tak bisa menanyakan langsung pada Freud.
Pembahasan yang lebih mendasar dalam hal ini, lagi-lagi jika Anda bersedia membahasnya, adalah tentang kehidupan manusia, jika diibaratkan orang yang berjalan, apakah jalannya orang tersebut karena didorong oleh sesuatu—seperti yang dikatakan Freud dan Maslow—ataukah karena ingin menggapai sesuatu—seperti yang dikatakan Noe dan Frankl. Apakah hidup ini, yang kita mengalaminya, adalah proses pasif atau aktif?
Saya mencoba memberikan contoh lain. Saya menuliskan sesuatu yang Anda baca ini pada Jum’at pagi, 30 Januari 2009. Malam tadi saya menyelesaikan sebuah novel yang berjudul ”The Last Empress” yang merupakan sekuel dari “Empress Orchid”, karangan Anchee Min. Novel itu bercerita dengan latar negeri Cina (saya tak perlu membahas lebih lanjut tentang ”Cina” sebagai identitas yang juga memuat tarik-ulur, atau ”sebut saja Cina”, jika Anda menuntut saya untuk konsekuen dengan apa yang saya katakan) pada abad 18. Tentang kerajaan Manchu. Saya tak pandai bercerita, maka saya tak ingin menceritakan Novel tersebut. Saya hanya tertarik untuk menceritakan bagian akhir dari novel tersebut.
Di sana, di novel itu, disebutkan tentang Sun Yat Sen. Jika Anda pernah mendengar, dan yang Anda tahu tentang Sun Yat Sen adalah seorang pahlawan pembebasan Cina, maka ke-tahu-an semacam itulah yang digugat oleh novel tersebut. Novel itu bercerita dengan sudut pandang orang pertama Putri Yehonala. Yehonala adalah pemimpin kerajaan Manchu. Jika Anda memahami Sun Yat Sen adalah seorang pembebas, maka kerajaan Manchu adalah belenggu yang mengikat, dan Putri Yehonala yang memimpin kerajaan tersebut. Novel itu mengatakan bagaimana pemahaman Anda yang semacam itu, adalah hasil dari konstruksi media massa pada saat itu, yang mengatakan bahwa Sun Yat Sen adalah pembebas. Novel itu menceritakan bahwa Sun Yat Sen bukanlah pembebas, dia hanyalah pemberontak yang bersekongkol dengan Jepang—dan didanai oleh Jepang—untuk meruntuhkan Dinasti Manchu, demi kepentingan pribadi Sun Yat Sen, dan secara kebetulan bersesuaian dengan kepentingan Jepang untuk mengekspansi kerajaan Cina. Dan Jepang membantu Sun Yat Sen (atau mereka saling membantu). Saya kira Anda bisa melanjutkan berbagai kemungkinan lainnya.
Melalui ini bisa dipahami, bagaimana tesis ”pengetahuan adalah kekuasaan” adalah terbalik. Kekuasaan adalah pengetahuan, saya kira lebih tepat. Mungkin Anda mengkaitkan ini dengan relasi pengetahuan dan kekuasaan, atau Anda bisa mengkaitkan ini sebagai pemurnian Sejarah, atau menganggapnya sebagai hiburan saja.
”Sun Yat Sen adalah tokoh pembebasan” adalah pengetahuan. Jika Anda mengkaitkannya dengan adanya pengaruh kuasa dan politis dalam membentuk suatu pengetahuan, maka novel tersebut menggambarkan seperti yang Anda inginkan. Ke-tahuan Anda tentang ”Sun Yat Sen adalah tokoh pembebasan Cina”, bukan hanya karena peran Sun Yat Sen yang masih dalam tanda tanya dalam pergulatan politik Cina di antara abad 19-20, tetapi juga karena terkonstruk oleh informasi dari pendidikan sejarah di masa SD, yang berdasar pada pemberitaan surat kabar zaman itu. Surat kabar yang menjadi dasar tersebut, kebanyakan dari luar Cina (Prancis, Amerika, Inggris, Jerman), yang kesemuanya berkepentingan dengan Cina. Dan kepentingan mereka, akan terhalangi jika Dinasti Manchu, yang dipimpin oleh Yehonala, masih berkuasa.
Atau Anda bisa menolak sedari awal, dengan mempertanyakan “apa maksud anda dengan Ada? Mengapa anda mengatakan bahwa analogi bukanlah hal yang Ada?” kepada saya. Saya tak yakin bisa menjawabnya. Dan jika Anda pun tak yakin, maka saya rasa kita perlu mengajak beberapa orang lagi dalam obrolan kita selanjutnya di Warung Kopi itu.
Ahmad Fahmi Mubarok
Selasa, Februari 03, 2009
Undangan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
Ya...kelihatannya dalam hal ini saya 'agak' sedikit sepakat fah. "Kekuasaan adalah pengetahuan" bukannya 'pengetahuan adalah penguasa'...
kekuasaan pengetahuan itu berserakan dimana-mana...termasuk yang kita dengar dari TK-PT...itu semua adalah kekuasaan! bukan pengetahuan....
undangan yang asyik, fah. menarik.
remember, guys! fatwa teman kita ini; will to power or power to will!
hmmm...
tauf
..hehe...dilarang fatwa di semarang tempat hehehe...sebagaimana dilarang kencing di sembarang tempat...
tapi mas fah, kalau Anda menyatakan di akhir tulisan..., "...Atau Anda bisa menolak sedari awal, dengan mempertanyakan “apa maksud anda dengan Ada? Mengapa anda mengatakan bahwa analogi bukanlah hal yang Ada?”..
kok saya akan mulai bertanya dengan hal sederhana, "apa maksud tulisan ini?", "apa maksud dari 'Undangan' itu?", kalau benar Derrida maka tulisan ini amat sangat mendekonstruksi dirinya sendiri, maka semua perendahan hati sang penulis runtuh, dan yang tampak adalah peninggian hati, hehehe...just kidding..
tapi klo saya suka filsafat, kok rasanya saya bukan karena melihatnya bak burger, coz (1) saya gak suka burger, saya lebih suka mendoan, dan (2) saya tidak merasa keren berfilsafat, tidak asal ngikut tren orang berfilsafat, tapi mungkin dengan adak muluk2 adalah sebagaimana kata orang-orang itu..."kesadaran", yah...itu saja..
bravo mas, sukses
mas ed, paragrap 3 berlaku juga di paragrap 4 komentar njenengan lho..
hehe
....lho iya mas, memang begitu adanya hehe...
tapi klo mas fah maksud tentang dekonsruksi, bukankah klo pertanyaan itu betul pertanyaan, maka dekonstruksinya adalah konstruksi, karen pertanyaan bersifat dekonstruktif dengan sendirinya, tentu dengan mengikut Derrida...
tapi, saya kira derrida, jika mengaku telah melepaskan diri dari kategori opositif biner, baik vertikal maupun horosontal, seharusnya konsepnya tak bernama "dekonstuksi"
saya kira derrida cukup janggal di sini..
....iya makanya agaknya memang bukannya derrida melepas oposisi biner, tapi bagaimanapun juga tak ada yang bisa lepas dari itu, ada dekonstruksi ada konstruksi, strukturalisme saussurean khan lahir sebagai upaya untuk mendobrak eksistensialisme sartre...yang tak meletakkan subyak pada struktur...
paling jauh yagn dapat diupayakan derrida adaknya sebatas upaya membongkar dan membuyarkan konsentrasi, sebagaimana postmo pada lazimnya, bukannya menghilangkan rasionalisme, kebenarna, dan yang metanarasi sejenisnya, tapi membiarkannya menjadi banyak, merayakan dst itu..
Posting Komentar