Sudah lama aku gak nulis, di tengah rasa rinduku pada anak-anak embun pagi. Sebab di saat sibuk dan gak mood, mereka pada datang, tapi jika tak ada, aku selalu merindukannya. Ya, kesibukan yang sama sekali tak membebaskan dan menjenuhkan, aku hanyalah manusia yang tak bisa lepas dari jerat waktu yang telah dibagi sebelumnya oleh ilmuwan barat berdasarkan jam, hari, bulan, tahun romawi. Kekuasaan romawi -seorang Adolf Hitler sampai menyemboyankan Kerajaan Nazi Jerman pewaris Kerajaan Suci Romawi sebagai propaganda perang utama- telah mendarah daging di bawa oleh kapitalisme yang dengan cantik bersembunyi di balik bayang-bayang globalisasi, menuntut negara-bangsa dirobohkan, di gantikannya dengan keadilan kosmopolitan, optik yang tak terbatas, dunia menyatukan seluruh manusia menjadi masyarakat internasional yang dianggap homogen.
Semua aliran pemikiran dari pemikiran primitif hingga postmodern-postrukturalis bahkan sampai ke post-post-postnya postmodern, klaim tentang kebenaran rasa-rasanya telah terlalu memuakan. Namun konsep “tahu” dan “yakin” perlu diketengahkan disini, kita harus berambisi untuk “tahu” segala hal, tetapi yang kita “yakin”-i terserah pada hasil refleksi komtemplatif kita sendiri.
Hari ini aku ingin menyampaikan gagasan dialektika Kang Hegel. Sebagai tugas yang cukup menyenangkan di embun pagi dan aku bahagia bisa meluangkan waktu untuk blog dan keluargaku embun pagi. Ya, minimal tulisanku tak seburuk mereka yang jarang menulis, sekali saja menulis artikel, judulnya mirip judul skripsi mahasiswa yang tak matang 3,5 tahun sudah lulus S1.
Barangkali sudah banyak yang tahu tentang apa itu dialektika Hegel, tulisan ini hendak menguatkan ingatan kita pada tradisi berpikir salah satu tokoh sentral filsafat idealisme Jerman ini di samping Kant, Fichte, dan Schelling. Sederhananya, dialektika bisa dimaknai sebagai sebuah “dialog”, berpikir dengan menggunakan metodologi dan pengandaian bak orang berdialog dengan dirinya sendiri. Kendati metode ini terasa juga hampir sama dengan berbagai pendekatan: positivistik mekanistis di bidang sains dan fisika, relasi kausalitas pada tradisi materialisme kritis, induksi oleh Cartesian, deduksi oleh Hobbesian, dst, namun cara memandang Hegel terhadap segala sesuatu -filsafat, sejarah, kebenaran, dunia objektif- inilah yang memiliki keunikan yang patut disimak.
Hegel memaknai dalam memandang sesuatu melalui dialetika haruslah menempatkan oposisi biner yang terjalin secara terus-menerus tiada berhenti. Both the conflict and the resolution of differences (Niki Raapana and Nordica Friedrich, 2005), dua hal yang terus bertautan, yakni konflik dan upaya pencarian solusi atas relasi pertentangan tersebut. Banyak kalangan yang mengandaikan bahwa ini semacam tesis, anti tesis, sampai sintesis, namun Hegel lebih menempatkan bukan hanya dua hubungan pertentangan yang disyaratkan oleh dialektikanya, melainkan hubungan pertentangan yang jumlahnya tak terbilang. Atau dengan kata lain adalah sebuah tesis dengan anti-tesis, antio tesis lagi, anti tesis lagi, lagi dan lagi...mirip lagunya andra dan tulisan fah.
Dialktika Hegel sebuah metode yang berada dalam struktur logis dan rasionalis manusia. Ia di ibaratkan sebagai sebuah tangga yang nun tinggi sekali. Dalam setiap meng-antitesiskan di andaikan subjek telah naik dalam tangga yang lebih atas, begitu seterusnya. Hingga pada suatu ketika ditemukanlah idea absolute, yang bagi Hegel adalah, the absolute idea is the Subject which has become identical with the Object, and is in this sense just a return to the beginning - but at a higher level (Andy Blunden, 2007). Hegel mengkonstruksi dialektika telah bisa di pandang sebagai sebuah langkah melampaui pola pikir konvensional baik logika, deduksi maupun induksi. Bukan hanya pada pencarian idea absolut-nya, melainkan mencoba merakit nalar pikir yang telah ada dan menyempurnakannya. Bialektika tidak harus ada penghilangan eksistensi akibat silogisme, tidak pula dari hal khusus ke umum, atau sebaliknya, melainkan dialektika dituntut untuk bisa mengkomunikasikannya, melakukan penyelidikan dengan akal sehingga semuanya dibuktikan berdasarkan kekuatan nalar rasional, optimalisasi bekerjanya akal budi.
Dialektika hanya memiliki batasan konstruktivisme yang memungkinkan pemberlakuannya sebagai teori terhadap segala sesuatu. Discussion and reasoning by dialogue as method of intellectual investigation (Niki F. Raapana and Nordica M. Friedrich, Op. Cit. 2005) . Dialektika mencoba mendiskusikan dan memikirkan sesuatu dengan dialog sebagai metode investigasi intelektual.
Kalau Tan Malaka mengkategorisasikan dialektika berdasarkan empat hukum -pertentangan, ruang-waktu, gerak, dan eksistensi esensi biner- Fieyman, 2008 mengkonstasikan tiga elemen hukum dialektika, yakni: matter attracts each other (or worse all is interconnected), the speed of light is absolute (or worse, all is relative); organic entities replicate (or worse, all returns). Dialektika sepatutnya memiliki interconeksitas setiap biner, mempunyai relasi antar pernyataan, dan berlandaskan pemberitaan pada eksistensinya masing-masing.
Awaludin Marwan, Tanpa Gelar, Ada perubahan standar nilai baru dalam diriku
4 komentar:
Hegel yang menempatkan rasionalitas di bawah dan injak-injak oleh mitos, roh bagi saya adalah omong kosong
...si anonim gak banyak baca serius hegel kayaknya, terutama tentang roh absolut itu, roh absolut itu ya termasuk rasionalitas itu kang hehe...yang berdialektika sampai pada bentuk akhir dan riilnya adalah negara, di sisi inilah yang diambil Habermas hingga ia dikatakan neo-hegelian neo-kantian itu...
ya, akhirnya jadi Hegelian kiri dan Kanan kan!!! dan Feuerbach menantang mitologi Hegel yang tak rasional itu...Bau busuk Hegel yang tercium akibat persekongkolan jahatnya dengan Kerajaan Prusia telah mengakibatkan kesalahan fatal dalam filsafat dan sains. Orang-orang disuruh percaya dengan roh, perang bergelimpangan dan darah terkucur akibat bangunan teoritis Hegel. Kamu yang belum baca Hegel dengan baik bung....
Wah Bung Anonim, Trimakasih atas infonya. imfo yang Sangat berharga buat saya...
Yang saya tahu, dulu teman-teman satu kampung saya waktu kecil sering ceritaiin Roh gentayangan...yang jelas mereka tidak kenal Hegel...
he, cuma bercanda...tapi dulu ketika saya baca Hegel, tulisannya memang bikin pusing...tapi interpretasi pemikir-pemikir tentang pandangan dialektis-nya saya kira cukup berharga juga...
Salam Giy
Posting Komentar