Sebuah Tanggapan Atas Tanggapan Saudara Abdul Aziz
Oleh; Giyanto*
Paradigma
Dalam artikelnya saudara Aziz menulis:
Oleh karena itu, dalam berparadigma kita perlu melihat dan membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma tersebut. Komunitas gerakan pemikiran yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan paradigma sangat penting dalam pergulatan ilmu pengetahuan dalam membaca realitas. Paradigma ibarat sebuah kacamata. Dia ialah sebuah pembatas bagi manusia atau sang ilmuwan untuk melihat, meyakini dan menjelaskan realitas. Tanpa paradigma sang ilmuwan ataupun intelektual tidak akan dapat mensistematiskan atau menata realitas yang ada dihadapannya. Dengan kata lain, tanpa paradigma fakta akan menjadi teracak-acak.
Sedangkan dalam berparadigma sang ilmuwan setidaknya memerlukan sejenis alat, prosedur, dan ’keyakinan’ tertentu untuk mencari kebenaran ilmiah. ’Keyakinan’ ialah pegangan filosofis yang bersembunyi di relung pemikiran sang ilmuwan. Keyakinan-keyakinan tersebut tercermin dalam asumsi-asumsi yang mendasar, yang sayangnya, seringkali tidak dipertanyakan lagi. Di wilayah inilah seringkali tersembunyi kesesatan dan kekeliruan yang walaupun kelihatan sederhana dapat menyebabkan bencana kemanusiaan, karena pandangan tersebut, yang biasanya membutuhkan waktu yang panjang, sering dapat menjadi pandangan umum dan menjadi kebenaran umum. Yang akhirnya apabila tidak dipertanyakan lagi dapat melegitimasi keputusan ataupun kebijakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Problem Realitas
Selama ini sudah menjadi asumsi umum bahwa pengetahuan seharusnya mengacu realitas. Tapi, sejak lebih dari dua abad yang lalu, setidaknya filsuf besar Immanuel Kant meragukan keyakinan tersebut. Alih-alih menganggap pengetahuan mengacu realitas, Kant meragukan klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa bisa jadi realitaslah yang sebenarnya mengacu pengetahuan kita.
Tanpa bermaksud membela filsafat rasionalisme Kant, yang solusinya tentang keputusan sintetis-apriori masih menjadi perdebatan filosofis yang cukup sengit, di sini saya ingin mengatakan bahwa menganggap ’realitas’ sebagai sesuatu yang bebas dari intervensi asumsi-asumsi pikiran sebenarnya adalah kesesatan berfikir itu sendiri. Artinya, tanpa mempertanyakan dengan mengurai, merefleksikan dan mendebatkan keyakinan ’paradigma’ kita sendiri, kita bisa jadi dapat terbawa arus narsisisme pengetahuan. Dengan kata lain, karena menyebut diri paling ilmiah, kita dapat terjerumus dalam subjektivisme dengan jubah palsu objektivitas.
Apabila kita membaca kembali artikel saudara Aziz, kita dapat mencium sebuah aroma paradigma empiris yang menjadi keyakinannya, yang sejak zaman Locke dan Hume hingga saat ini empirisme telah menjadi berhala filsafat pengetahuan. Sebuah paradigma, yang apabila ditelaah secara filosofis terdapat kontradiksi yang cukup besar di dalam dirinya sendiri. Ketika saudara Azis menganggap sejarah sebagai determinan bagi peristiwa kekinian. Saya cenderung melihatnya secara lain. Menurut saya sejarah tidak pernah menggerakan apa-apa, hanya individulah yang bergerak. Ketika saudara Aziz menganggap Negara sebagai suatu yang riil, saya menggap Negara sebagai sebuah kepalsuan. Ketika Comte bermimpi mengenai masyarakat ilmiah yang positivis, saya memimpikan sebaliknya dst.
Berjuang Menciptakan Tradisi
Tidak sedikit komentar-komentar yang sering dilekatkan terhadap komunitas ini terkait sifatnya yang mengawang-awang, absurd, kurang membumi dan sulit dipahami. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kalau digambarkan suasana di sini---di komunitas ini---memang sangat kompleks. Dengan beragam latar belakang disiplin yang dibawa masing-masing anggota, akan nampak suasana yang riuh, angkuh serta konyol. Ada yang berbapandangan skeptis, relativis, serta ada juga yang telah membawa nilai-nilai tertentu yang kadang-kadang menciptakan konflik internal yang seringkali sulit didamaikan.
Itulah kesan yang saya dapat di komunitas embun pagi. Terlepas dari kesan-kesan tersebut, disini saya ingin menyampaikan bahwa tradisi diskusi yang ’diciptakan’ teman-teman setidaknya telah membawa perjalanan intelektual saya pribadi untuk selalu mempertanyakan hakekat pengetahuan. Dampak lebih jauh dari pencarian tersebut, saya melihat bahwa dalam pencariannya masing-masing, teman-teman sering terkesan oleh orang lain tidak mendasarkan diri pada realitas. Namun apakah itu ’realitas’? di sinilah kita semua bebas memperdebatkannya. Di sinilah ruang sosial terbentuk, sebuah tradisi yang entah beberapa banyak intelektual di negeri ini ’mau’ melakukannya. Sebuah ruang dimana realitas dibaca dan dipahami secara lain.
Apakah pengertian dari ’lain’? Kalau ternyata, setidaknya menurut saya, itu semua merupakan sesuatu yang wajar. Kewajaran yang seringkali diabaikan, dikebiri serta dicemooh, yang sayangnya seringkali pelakunya ialah kalangan dunia akademik itu sendiri. Dan saya kira ini bukan perlakuan yang sepatutnya didapatkan oleh mereka-mereka yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Ketika bandit-bandit kampus mendapatkan ’prestise’ status dosen dengan menjilat pantat birokrat kampus, mereka memilih untuk tetap idealis memegang kemurnian niat untuk belajar. Saya kadang merasakan kefrustasian mereka, bukan karena pemikirannya, tapi lebih pada pengalaman-pengalaman ’di darat’ yang cukup menyedihkan. Kami hampir kesulitan mencari tempat diskusi, biaya untuk meng-copy makalah, menentukan waktu untuk sekedar bertemu ataupun tukar menukar buku. Semua dilakukan dengan mengorbankan waktu, biaya dan seringkali harga diri.
Sebuah Penawaran
Tanpa mempersoalkan kebenaran ataupun kesalahan kita dalam berparadigma. Di sini saya ingin menawarkan atau setidaknya mengundang teman-teman semua, bagi sebuah peciptaan tradisi intelektual yang seharusnya diapresiasi oleh khalayak luas, khususnya bagi mereka yang merasa bergerak dalam industri pengetahuan. Untuk bersama-sama menciptakan tradisi pengembangan pengetahuan yang berdasar pada pengetahuan. Sebuah pertaruhan harapan yang telah diciptakan oleh anak-anak muda yang selalu bertanya, bertanya dan terus bertanya. Entah sampai kapan, yang kita sendiri tidak akan tahu. Barangkali hingga diri ini sudah meniada...semoga!
*Gelandangan yang sementara masih tinggal di Kota Semarang
3 komentar:
yang sejak zaman Locke dan Hume hingga saat ini empirisme telah menjadi berhala filsafat pengetahuan (Giyanto: 2008)
Ha ha ha ekstrem tenan kang, mantap. Memang semua gagasan punya bahasa provokasinya sendiri-sendiri. John Locke pernah juga menyatakan dalam An Essay Concerning Human Understanding bahwa "apa mungkin rasionalisme itu menemukan kebenaran, apa mungkin mereka menjawab persoalan kehidupan tanpa melihat (membaca), mendengar, baru kemudian menganalisa"
Kutipan menarik Luk, saya kira pertanyaan-pertanyaan John Locke akan saya bahas tuntas ke depan---selama saya masih dikasih umur panjang...
Dan yang jelas kalau skripsi saya udah selesai Luk...he
Sembarang kang, kita pun tentunya sudah punya jawaban masing-masing. Bukannya pencerahan (aufklarung/ jerman, enlightening/ inggris)sebuah masa di mana para pemikir mencoba melepaskan dari jerat-jerat dominasi religiusitas dan pembaharuan nalar rasionalis (Descartes, Leibniz, Spinoza Pascal, dst) dengan empirisme (Hobbes, Locke, Berkeley, Hume, dst). Dan jawaban teoritis lainnya aku nunggu comment kang gik setelah skripsi selesai juga gak apa-apa. he he he he he he
Selamat mengerjakan, semoga luluws cepat, amien....
luluk
Posting Komentar