online degree programs

Senin, Februari 16, 2009

Pengetahuan dan Kenyataan yang Berpihak


Sebuah Tanggapan Atas Tanggapan Giyanto terhadap Tanggapan Abdul Aziz



Sekitar 20 tahunan yang lalu, Jean-François Lyotard menulis bukunya yang termasyur La Condition Postmoderne: Rapport sur le Savoir, saya sekadar memahaminya melalui tulisan bahasa inggris Robert Hurley (2000), yang salah satu intinya adalah konsepsi “awan”. Awan selalu berubah-ubah, tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya, begitulah konstruksi bangunan pengetahuan manusia. Ia tak luput oleh relativisme subjektif dan penilaian asumtif yang dilakukan subjek kepada objeknya. Demikianlah pengetahuan oleh Kant di proposiskan dalam sebuah kemurnian nalar yang berbasis hukum yang universal, Marx pengetahuan berpihak dan nilai bentukan klas borjuasi, sedangkan Lyotard berusaha menyempurnakan dengan mengandaikan bahwa pengetahuan pada mulanya sudah berpihak pada diri subjek itu sendiri.

Jadi kebenaran terhadap sebuah pernyataan bagi pemikiran intelektual modern, terutama posmo -khususnya Lyotard, tidaklah lagi kebenaran objektif, melainkan kebenaran relatif dan subjektif, kalaupun mungkin itu kebenaran kolektif kemungkinan bisa di selesaikan pada batasan kebenaran intersubjektif, sifatnya bukan universal melainkan lokalistik. Tergantung pada orang dan kelompok yang memungkin komunikasi rasional itu berjalan tanpa hegemoni dan dominasi, meskipun itu sulit.

Jadi mas Giyanto mengklaim empirisme yang dapat membohongi nalar (reason) dan menawarkan resolusi atas tawaran mas Azis barangkali sebatas kebenaran yang dikehendaki dan dilaksanakan oleh Giyanto itu sendiri. Dan tergantung bagaimana juga Mas Azis menanggapinya. Sebab, intelektualisme memang bukan sebuah arena pertarungan kejeniusan dan mengharuskan pihak menang dan kalah. Tetapi prosesi dialektika yang diperuntukan bagi kuatnya pengetahuan dan munculnya berbagai alternatif baru bagi perolehan pengetahuan manusia guna mencari kebenaran. Sebab pencarian kebenaran memiliki kepuasan tersendiri bagi pemikir dan memberikan pencerahan bagi khalayak.

Yang agak saya pikirkan sekarang ini, kemungkinan Giddens bermain dalam ranah konteks Indonesia. Memang Giddens pernah menguraikan paradigma sosiologi dalam interkoneksitas yang terdiri dari mikro dan makro. Namun uraian tersebut diikuti oleh pernyataan Giddens tentang “internasionalisasi”, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tak lagi mengenal batas-batas negara, dan hendaknya dunia menjadi satu untuk menjawab tantangan zaman yang seiring dengan perkembangan kejahatan, lemahnya intregasi sosial, perputaran laju perekonomian, dst.

Memang Giddens pernah menyatakan tentang identitas diri, yang berupa identitas individu dan indentitas struktur. Pribadi-pribadi yang menyeragamkan pandangan dan menciptakan warna, tradisi, dan hukum tersendiri, namun eksistensinya telah tergerus desakan globalisasi dan kepetingan pembangunan internasional. Sehingga identitas pun hanya semacam sebuah sejarah yang tertulis di kertas dan dihafalkan, ia tak lagi banyak berguna secara praktis oleh masyarakatnya.

On of the distinctive features of modernity in fact, is an increasing interconnection between the 'extremes' of extensionality and intensionality: globalising influences on the one hand and personal dispositions on the other. (Anthony Giddens: 2000: 12). ...changes create conditions which call for the individuals reflexive organization of the life-span: a process dependent on balancing 'risk' and 'trust' in the social and institutional network of modernity (O'Brien&Penna: 1993: 8)

Identitas internasional yang direkomendasikan oleh Giddens inilah yang kemudian batut dipertanyakan dalam konteks Indonesia. Memang Giddens banyak membahas tentang kajian sosiologis yang teorisasinya bisa dipergunakan dalam membaca konteks kekinian, tetapi bangunan teoritisnya perlu didekonstruksi kembali kaitannya dengan persoalan ke-Indonesiaan. Pernyataan Giddens baik dalam teori strukturisasi, post-post strukturalisme, jalan ketiga (the third way), modernitas, demokrasi kosmopolitian (yang nanti teman-teman bisa membahas dan membaca buku saya yang akan terbit he he he) dst, semuanya itu perlu di kontruksi-dekonstruksi-rekontruksi, mengfalsifikasikannya dengan kecurigaan warna-warna “barat” yang diusungnya di dalam gagasan Giddens.


Awaludin Marwan

7 komentar:

Anonim mengatakan...

"Jadi mas Giyanto mengklaim empirisme yang dapat membohongi nalar (reason) dan menawarkan resolusi atas tawaran mas Azis barangkali sebatas kebenaran yang dikehendaki dan dilaksanakan oleh Giyanto itu sendiri" (Awaludin)

Saya memang berencana memihak, dan saya kira sudah saya tuliskan sebelumnya:

"Tanpa bermaksud membela filsafat rasionalisme Kant, yang solusinya tentang keputusan sintetis-apriori masih menjadi perdebatan filosofis yang cukup sengit, di sini saya ingin mengatakan bahwa menganggap ’realitas’ sebagai sesuatu yang bebas dari intervensi asumsi-asumsi pikiran sebenarnya adalah kesesatan berfikir itu sendiri. "

dan saya sudah mengatakan, bahwa permainan ini belum berakhir...

Dan kelihatannya saya memiliki rival baru di sini...ha

Imam Semar mengatakan...

Yang kalian bicarakan disini adalah model, bukan reality. Tidak ada seorangpun bisa bersentuhan dengan reality.

Tidak heran kalau kalian menyebut Robert Hurley, Lyotard, Giddens, karena reality (baca: model, persepri) ini sebenarnya versi orang-orang tersebut.

Dalam ilmu alam diketahui bahwa kita tidak bisa bersentuhan, karena molekul tidak saling bersentuhan. Yang kita rasakan sebagai bersentuhan adalah gaya tolak-menolak antar molekul.

Kita tidak 'melihat' awan, yang kita 'lihat' adalah rangsangan dari sinar yang memantul dari awan. Apakah pantulan itu sesuai dengan bentuk/wujud awan...., itu soal lain. Debatnya bisa panjang.

I.S.

Anonim mengatakan...

http://www.onlineforbisnis.blogspot.com

Anonim mengatakan...

Hari ini memang kita tidak bisa menjustifikasi konsepsi mana yang paling tepat tanpa "diskursus". Sebab persoalannya bukan terlihat dari semua penampakan yang tampak, melainkan di arena pemaknaan atau tafsir.
Terkadang persoalannya juga pada 'keberanian seseorang menggunakan rasio-nya sendiri', kebebasan dalam berpikir di ruang privat tidaklah sama dengan ruang publik yang perlu medium komunikasi.

luluk

Anonim mengatakan...

Ya Pak IS, dan molekul hanya abstraksi dari materi. Tanpa abstraksi orang tidak akan melihat sebuah 'realitas' materi.
Berapa juta orang yang telah melihat apel jatuh, tapi mengapa hanya Newton yang mampu merumuskannya secara matematis hukum gravitasi?
Dan hal ini sama juga dialami oleh Protagoras, Kepler dsb....jadi ketika ada orang menganggap bahwa 'realitas' tidak memerlukan 'abstrasksi' saya kira orang tersebut telah membohongi nalarnya sendiri.
Katakanlah dalam sistem moneter, beberapa orang yang 'memahami' bahwa 'uang kita' sering dicuri oleh pemerintah kita? hanya orang-orang yang mampu memiliki 'model abstraksi' tentang hakekat uanglah yang mampu menyadari hal tersebut. Di sinilah pentingnya kajian praksiologi.
Dan anehnya akademisi/intelektual di negeri kita menganggapnya semua bukan masalah yang serius untuk dipikirkan.
Begitu juga beras, berapa kali orang makan nasi. Tapi berapakah orang yang menyadari harga beras sering dikontrol seenaknya sendiri seperti boneka barby. SEkarang kita sedang melihat kebodohan itu berkali-kali oleh capres dan moderator televisi pesanan itu. Dan kita sering dikelilingi oleh orang-orang yang sering menyimpangkan pemahaman, seperti Aviliani, Bustanul Arifin dkk itu...

Hidup memang penuh dosa...dan siapa yang mau memikirkan itu semua? sekali lagi, ini semua adalah dosa empirisme dan filsafat gadungan yang sering seenaknya sendiri ber'abstraksi' tanpa memperdulikan dampak bencana kemanusiaan yang ditimbulkannya...

Imam Semar mengatakan...

Walaupun science dan 'realitas' itu hanyalah abstraksi termasuk penjelasan tentang 'inner work', tetapi penjelasan itu harus konsisten.

Misalnya dalam advertensi partai Demokrat yang seakan-akan mengatakan bahwa SBY bisa mengontrol harga minyak dan telah bermurah hati menurunkan harga minyak. Tentu saja persepsi ini harus diuji.

Kenyataan bahwa:
1.harga minyak beberapa bulan ini sudah turun 3 kali.
2.pada periode itu, SBY adalah presiden RI

Advertensi partai Demokrat bilang (supaya rakyat menyimpulkan) bahwa SBY yang menurunkan harga minyak.

Tapi ada kenyataan lain bahwa 6 - 12 sebelumnya harga minyak membumbung tinggi.

Pertanyaannya: Apakah SBY juga yang menaikkan harga minyak? (Maukah partai demokrat menyebut SBY kejam tidak berperikemanusiaan dengan menaikkan harga minyak dan membuat langka minyak?).

Pertanyaan ini menguji apakah SBY bisa mengontrol harga minyak.

Sebuah konsep/model/persepsi dinyatakan benar, jika tahan terhadap ujian.

Anonim mengatakan...

Ya itulah contoh gambaran masyarakat yang sedang gila. Mereka lupa bahwa SBY itu 'presiden', bukannya penjual minyak. Kalau memang benar bahwa sekarang SBY menurunkan harga minyak, kesimpulan logisnya berarti bahwa dia dulu yang juga menaikkan harga minyak. Kelihatannya kesimpulann tersebut tidak sahih.

Alasannya: para ahli 'ekonomi' atau politikus kelihatannya tidak mau tahu atau benar-benar tidak tahu bahwa 'harga' ditentukan oleh kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dan partisan partai Demokrat kelihatannya lupa bahwa mereka adalah pembeli minyak,ha2...bagaimana mereka bisa menentukan harga minyak?

Sekali lagi abstraksi realitas melalui konsepsi itu penting, bahkan sangat penting. Tapi orang bisa jadi terjerumus pada jurang kesalahan ataupun kesesatan....dan rasio ialah instrumen yang sangat handal untuk menangani kesalahan-kesalahan tersebut. Tapi sayangnya, politikus kita tidak memiliki rasio....


Kembali ke permasalahan abstraksi: disinilah kefatalan yang dilakukan apabila orang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tapi sudah mengklaim diri mereka yang bertanggungjawab. Menganggap bahwa keputusan politik dapat menjadi solusi permasalahan-permasalahan harga barang adalah pemahaman yang tidak berdasar pada pengetahuan yang sahih, yang dapat diuji oleh rasio. Yang jelas bukan pengujian empiris....