online degree programs

Selasa, Februari 03, 2009

Annisa 59 atau Annisa 62

Memang tidak layak penulis mengomentari fatwa para ulama, karena kalah dengan ilmu pengetahuannya. Penulis hanya berbekal ilmu yang didapat dari organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia(PMII) Unnes, itupun penulis terbuang secara teratur...he..he...namun, penulis berfikir sejenak tentang ’kegunaan otak’, kemudian muncullah jawaban otak digunakan untuk berfikir. Terlepas pemekiran itu, benar atau salah. tapi pemikiran penulis adalah sesutu yang bisa dikatan benar-oleh penulis-. Dan penulis akan tetap selalu menghormai para Ulama’
Ulama’ merupakan pewaris para nabi, dan sungguh mulianya mempunyai gelar ulama’. Disatu sisi ulama adalah tokoh masyarakat dan disisi lain , ulama’ juga sebagai pembaharu dalam syariat yang bisa disebut Ijtihad. Ijtihad para ulama, sekarang menjadi fenomena yang ramai untuk diperbincangkan, seperti fatwa ”haram” bagi orang muslim yang golput.
Golput dalam demokrasi merupakan Sesuatu permasalahan yang klasik dan sulit kita pecahkan, karena golput lahir dari hati seseorang. Akan tetapi jika golput dalam pemilihan langsung lebih banyak dari yang tidak golput, itu bisa mengurangi legalitas demokrasi. Karena esensi dari demokrasi itu adalah seberapa besar partisipasi publik terhadap pemilihan umum.
Untuk mengurangi angka golput, MUI mengeluarkan fatwa tentang golput itu haram, bagi kaum muslim. Ijtihad yang dikeluarkan oleh MUI itu memang didasarkan pada Al-qur’an surat Annisa’ayat 59. yang mengajarkan kita agar taat pada pemimpin di Indonesia ini. Pemerintah Indonesia juga mengharapkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi meningkat dan meninggalkan budaya golput dalam pemilu.
Mungkin jika penulis boleh beragumen tentang Ijtihad MUI yang berlandaskan Surat annisa; ayat 59, maka penulis akan mencoba untuk mengembangkan pemikirannya lewat surat annisa ayat 62. yang menurut pemahaman penulis mengatakan “jika ada orang munafik meminta bantuan kepadamu maka berpalinglah”
Kita semua mengetahuinya, para pejabat yang ada di negeri Indonesia tercinta ini, lebih sering menggunakan kewenangan untuk mengekang daripada mensejahterakan masyarakatnya. Janji-janji yang dulu mereka usung saat jadi calon, mereka lupakan demi kepentingan diri mereka semata. Sidang komisi yang seharusnya dihadiri lebih dari 15 anggota legeslatif, yang hadir hanya 4 orang,. Setidaknya itu adalah cerita dari sahabat penulis yang sekarang duduk Komisi E DPRD Kota Semarang.
Data-data fakta tersebut memperkuat penulis bahwa fatwa MUI yang berlandaskan Annisa’ ayat 59 terejawantahkan oleh Annisa’ ayat 62. Karena memang posisi perpolitikan di Indonesia masih berorentasi pada kekuasaan bukan pada pengabdian. Jadi bisa dikatakan bahwa politikus sekarang masih banyak yang pantas disebut munafik bukan baik.

Unsur Politik
Jadi fatwa haramnya golput seolah-olah ada unsur politik guna pemenengan salah satu partai-maaf jika terlau tendensius-. Fatwa itu bisa digunakan untuk memobilisasi massa yang bergama islam untuk berbondong-bondong memilih partai yan berasaskan Islam. Kita bisa membacanya dengan istilah kata ”haram”. Haram dalam kaidah sariat itu berkaitan dengan keyakinan masing-masing orang untuk menaatinya atau tidak. Dan saya percaya masyaraat muslim Indonesia kebanyakan tinggal dipedesaan yang mempunyai pendirian yang teguh jika berbicara mengenai agamanya.
Jadi fatwa MUI itu bisa digunakan alat oleh partai lain untuk men-sugesti masyarakat agar memilih partai yang berazaskan Islam tersebut. Memang yang seperti itu bisa berdampak positif bagi perkembangan demokrasi kita, karena bisa mengurangi angka golput, dan jika golput berkurang maka proses demokrasi bisa dikatakan berhasil. Akan tetapi ini akan berdampak buruk terhadap citra MUI yang nota bene adalah lembaga yang independen.
Jika lembaga Majlis Ulama’ Indonesia sudah disusupi dengan kepentingan politk praktis maka tidak ada bedanya dengan lemabaga kemasyarakatan seperti Muhamadyah dan NU-nyinder sitek-. Yang para anggotanya berlomba-lomba untuk meraih jabatan, setelah mencapai kekuasaan tertingi di organisasi terbut kemdian diteruskan terjun bebas ke politik praktis, dengan cara menjual massa yang ada di bawah naungan oraganisasi itu. dan jika syahwat politik dikembangkan dalam tubuh MUI maka MUI tidak ada bedanya dengan dua organisasi kemasyarakatan tersebut.
Jika citra MUI dimata masyarakat sudah tidak ada nilainya, maka yang terjadi adalah kemana masyarakat akan berpegangan, padahal di era globalisasi ini banyak terjadi pembaharuan-pembaharuan tentang hukum syria’at.


Muhtar Said
Mahasiswa Hukum Semestre 6 &
Aktivis PMII Unnes yang Terpinggirkan oleh sistem

Ket. Hasil Diskusi Kepemiluan ”Dewa Orga”kamis 28 januari 2009

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam dari ciputat

Anonim mengatakan...

Ada baiknya mendengarkan "fatwa" dari seorang sahabat; Golput halal, Pemilunya yang haram!

he he...

tauf