Oleh. Abdul Azis*
Siang itu Abdul Haris menyapaku mesra, dan dengan bangga memberikanku beberapa catatan dari teman-teman Komunitas Embun Pagi, agar dapat ku kritisi katanya. Tapi saat ku buka terasa betul letupan-letupan gairah muda mereka. Akan semua fenomena social dari kedalaman masing-masing pemikiran yang mereka miliki. Dengan argumentasi dari semua pengalaman dan latar belakang pemikiran yang mereka lontarkan, hingga berwujud kumpulan-kumpulan pemikiran yang menarik mengikuti genre catatan pinggirnya gunawan muhamad. Walaupun diwilayah ini mereka akui masih bias dari persoalan-persoalan obyek kajiannya, hingga kata-kata biaspun ikut menjadi bagian penting dari judul bukunya tersebut.
Sebuah Harapan
Tapi bagi saya, isi catatan yang mau dibukukan ini merupakan buktii yang signifikan dan tak bisa kita elakan lagi, bahwa carut marut panggung sandiwara Indonesia ini telah meradang kemana-mana. Dari yang “seangkuh” Perang Dingin sampai yang “selembut” dan seramah penindasan kaum borjuis terhadap kelompok pinggiran, yang menurut Giddens (2003) sebagai pemicu munculnya akumulasi yang menggelinjang dari “jalan ketiga”. Dimana Gidden merekomendasikan perlunya “melampaui” ideologi kiri ataupun kanan dengan asumsi bahwa keduanya telah gagal membawa peradaban pemikiran-pemikiran dinegeri kita tercinta ini, untuk membentuk negeri ini dengan penuh keharmonisan dan kedamaianan sebagai ruh dan sekaligus orientasi dengan ideology apapun.
Dalam sejarah yang sangat ironis, ditengah kencangya gerak majunya neo-liberalisme justru tidak ada struktur local yang mampu menghadapinya. Maka sebagai bagian dari optimisme, saya punya harapan komunitas-komunitas seperti Embun Pagi ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat membentengi kaum muda kita dari gerakan neoliberal yang kian mencekam. Karena struktur local telah terfragmentasi sedemikian rupa sehingga neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.
Meneropong Indonesia Dalam Bingkai Dunia
Disisi lain dalam hubungan bernegara, pemerintah dan rakyat kita sama sekali tidak terkait karena kita benar-benar telah terkunci oleh gerak sejarah. Jika hari ini adalah 55 tahun silam dan kita mempunyai kawasan seperti hari ini,niscaya kita akan memilih Mao Tse Tung ataupun Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang kita alami sekarang ini. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilhannya. Risikonya adalah seperti apa yang telah dialami Cina (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemoni dunia.(Azumi dkk. 2005). Tentu Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan gambaran yang bisa menjadi alternative selain Blue print AS yang harus diikuti oleh negara-negara berkembang.
Kita perlu melihat Indonesia dalam gambar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat bangsa kita ini sebagai bagian dari sebuah system dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasi oleh system tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif system dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan system dunia ini?. Sedangkan konsolidasi poltik Negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral dan regulasi internasional serta pembentukan institusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain.
Paradigma Berbasis Kenyataan
Oleh karena itu, dalam berparadigma kita perlu melihat dan membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma tersebut. Komunitas gerakan pemikiran yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah menjadi penting dalam penyusunan paradigma? Sebagaimana diketahui bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulative dan menyesatkan.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan yang riil, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat inii sedang bergerak dan pemikiran-pemikiran yang kita gerak akan mampu memutus roda-gila (free wheel) peradaban yang hegemonic. Karena tanpa kita sadari nalar-nalar yang sering kali kita gunakan dalam pengejewantahan paradigma alur pikir kita adalah nalar yang hanya berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi dan kita hadapi. Jadi, konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dari pada kenyataan.
Intaha, matur nuwun semoga dapat menjadi perenungan yang mendalam bagi kita semua.
* Aktivis 2001-2005 UNNES & Mahasiswa Magister Profesi Psikologi UGM
5 komentar:
..yang perlu diingat sebagaimana kata Giddens sendiri, bahwa "Jalan ketiga" itu lebih sebagai varian lain dari Neoliberalsime yang mesti juga diwaspadai, kalau perlu dilawan -bagi marxis dan Postmarxis seperti Alex Callinicos yang mengarang buku 'Menolak Postmodernisme' dan 'Againts the third way" bahkan jalan ketiga harus dilawan- atau mungkin sebagaimana saya dan gus taufik sempat perbincangkan dalah kompromi antara postmarxis dan postmodernisme -gak tahu kebetulan keduanya adalah "post"- yang entah formatnya bagaimana, setidaknya masing mengawang-awang di kepala saya...
makasih apresiasinya...
Saya kok agak ngaco berpikir bahwa daerah yg secara administratip dinamain Indonesia ini tidak bisa dipetakan secara penuh dalam sosialisme atau liberalisme. Keduanya pernah berkuasa di daerah tersebut, dan lebih cenderung membawa persoalan yg lebih parah. Mungkin yg jd soal bukan sosiolis atau liberalisnya, tp karena masyarakat dan daerah tersebut memang tidak bisa dipetakan begitu saja dengan ideologi dan isme macam itu, sebagaimana para ahli lupa dan tidak menyangka akan ada wilayah yang bernama Indonesia, yg tdk mempan oleh teori dan pendekatan mapan apapun...
Termasuk mungkin juga dua "post" dan Jalan Ketiga itu...
Lebih memilih Jalan Bayi drpd Jalan Ketiga... (Saru bianget ik...)
-yog-
Mas Yog, Sekedar usul, bagaimana kalau saya memilih 'jalan setapak'?...he
Tulisan di atas sungguh menarik, sampe2 saya baca lebih dari lima kali. Sempat terfikir untuk memberi tanggapan secara 'serius'. Tapi kondisi saya pribadi kelihatannya belum bersahabat...
Salam Giy
Aku pilih pendapat nietzsche ajalah yang sederhana untuk persoalan kali ini. Semua, termasuk sejarah adalah perulangan abadi. Tak hanya perang saja yang sempat kita saksikan di Gaza, padahal PBB telah mapan sedemikian rupa tak mampu membendung spriral kekerasan, bahkan tak mampu menjeratnya ke mahkamah internasional (international Criminal Court) sebagai kejahatan perang (war crime) atau kejahatan kemanusian (crime againt humanity). Tapi kita juga menyoalkan tataran metasifis di mana perulangan abadi telah nampak pada phenomenon tersebut. PD I, PD II, hancurnya uni sovyet diprediksikan sudah tak ada lagi perang, tetapi tesis tersebut telah hanggus. Berbagai perang baik terekpose media kapitalis atau tidak telah menjamur dan terus berulang. Karl Japers sesudah perang Nazi melawan Boleshevik dan Sekutu, menulis sebuah buku yang memuat tesa, "melupakan tragedi ini adalah kesalahan besar, melainkan dipergunakan dalam memandang hari esok, perang tak bisa dielakan, sejarah itu pasti berulang kembali".
Perhatian saya di sisi lain, dalam tulisan ini menyaksikan kemenangan kaum empirisme -basis kenyataan, padahal Thomas Hobbes, Berkeley, Loke, Hume dst pelopor tradisi empirical telah banyak dikrtik bahkan di godok oleh Kant, sehingga sains hari ini telah terkonstruksi lebih dari apa yang telah dihasilkan oleh masa lalu.
saya milih JALAN-JALAN saja. he...
Thanks mas Aziz. kami tunggu tulisan2 selanjutnya.
salam,
tauf
Posting Komentar