online degree programs

Jumat, Februari 06, 2009

MEMILIH golput


Oleh: Muh. Ulil Amri*

Ketika saya menuliskan judul tulisan ini, pikiran saya langsung teringat sebuah lembaga yang suka memberi fatwa haram. Sengaja saya memakai huruf kecil pada kata golput. Alasannya sih ya takut kalau nanti kualat dengan para ulama yang memberi fatwa haram pada para pelaku (atau pemilih) golput. Saya termasuk pengikut pak kyai (baca: ulama). Bukan berarti ketika saya menulis artikel (artikel??) ini saya termasuk golput, bukan. Atau mengajak untuk golput juga bukan. Saya hanya pengin curhat. Hmmmm…

Penduduk dunia mana sih yang tidak tahu apa itu demokrasi. Atau minimal pernah mendengar kata demokrasi. Kecuali kalau memang akses informasi di tempat tesebut tidak tersedia. (Dimana ya. Kalau ada tolong aku dikasih tahu).

Semua sudah mafhum bahwa umur demokrasi di Indonesia masih seumuran jagung jika dibandingkan dengan AS misalnya. Saya tidak mau panjang lebar menjelaskan proses mengapa Indonesia memilih sisitem ini. Silahkan baca sendiri di buku-buku sejarah. Yang pasti, Indonesia menjadi Negara yang menganut sitem demokrasi.

Memilih pemimpin dan wakil rakyat adalah konsekuensi dari sistem demokrasi. Joseph Schumpeter berteori bahwa demokrasi terkait dengan masalah prosedur, yaitu prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh kekuasaan rakyat. Atas pijakan inilah kita mengenal pelembagaan demokrasi prosedural yang biasa kita sebut Pemilu.

Baru-baru ini saya mengamati sebuah pemilihan kepala desa di kabupaten Demak, tempat saya tinggal. Pemilihan semacam ini bukanlah hal yang baru di desa yang mayoritas Petani ini. Setiap ada Pemilihan Umum masyarakat cukup antusias dalam menggunakan hak suaranya. Namun sedikit berbeda ketika pemilihan Gubernur Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Sedikit berbeda tapi efeknya lumayan juga. Angka Golput cukup tinggi, sekitar 45 persen. Sebagian masyarakat lebih memilih untuk bekerja di sawah dari pada menggunakan hak pilihnya. Setelah ditelusuri ternyata banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak begitu kenal dengan para calon.

Dua bulan sebelum pemilihan kepala desa, sudah ramai dibicarakan para bakal calon yang akan maju, termasuk lurah incumbent. Akan tetapi ketika penetapan calon, hanya satu orang yang bersedia mencalonkan diri.

Bukan tidak ada masalah ketika hanya ada calon tunggal. Ketika nantinya jumlah pemilih kurang dari lebih dari 50 persen dari jumlah penduduk atau pemilih lebih banyak yang memilih gambar kosong, maka calon tunggal gagal. Kepemimpinan desa akan diserahkan kepada pejabat kepala desa yang ditunjuk oleh Kabupaten.

Untuk menyiasati hal ini, di beberapa desa lain, calon akan mengajukan isteri atau saudara sebagai calon “jadi-jadian”. Tentu saja berbagai kompromi politik dilakukan. Nah, calon kepala desa di desa penghasil cabai dan bawang merah tersebut urung melakukan strategi itu dengan berbagai pertimbangan. Tetap melangkah sebagai calon tunggal.

Hari pemungutan suara pun datang. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti pemilihan. Antusiasme masyarakat sungguh kentara sekali. Kelihatannya pemungutan suara terlihat biasa-biasa saja. Namun sesuatu yang unik dan ganjil terjadi. Di pintu keluar Tempat Pemungutan Suara (TPS), sejumlah lelaki berseragam rompi hitam berdiri. Masing-masing membawa segepok amplop yang dibagikan kepada masyarakat yang telah memilih. Mirip orang yang membagikan sumbangan. Ternyata calon tunggal tersebut telah menjanjikan kepada masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, akan mendapatkan “amplop”. Di dalam amplop tersebut terdapat sejumlah uang yang setara dengan upah sehari buruh tani laki-laki. Padahal disana ada Panitia Pilkades, Pengawas Pilkades, dan sejumlah pria berseragam polisi. Perilaku pembagi amplop tersebut tidak ada yang mencegah. Nah lo..

Demokrasi ohhh??!!

Warga yang sempat ngobrol dengan saya menganggap mereka pantas mendapatkan uang tersebut karena telah meluangkan waktu mereka untuk mencoblos. Selain itu menurut mereka, setelah calon kepala desa menjadi kepala desa, dia akan menikmati hidup sebagai kepala desa yang bergelimang kesenangan. Jadi, tidak ada salahnya mendapatkan sedikit “jatah” dari calon pemimpin mereka.

Kondisi semacam itu sangat mudah dijumpai di desa-desa lain. Bahkan yang lebih parah ketika ada dua calon yang kedua-duanya saling jorjoran membagi uang kepada masyarakat agar menang dalam pemilihan. Ironis ditengah anggapan dunia yang menganggap Indonesia sebagai salah satu Negara besar yang menerapkan sistem demokrasi. Apakah bulan April nanti kondisinya akan sama?? Partai politik melakukan pendekatan “kertas hijau, biru merah” yang bisa buat beli beras??

Saya teringat pada Plato dan Aristoteles, tokoh penggagas sistem demokrasi, 2500 tahun lalu telah mengingatkan kita. Filsuf besar Yunani kuno ini mengatakan agar tidak terburu-buru memilih demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara, sebab tanpa adanya kesadaran politik masyarakat, situasi Negara malah menjadi chaos. Bahkan karena sistem demokrasi inilah plato kehilangan guru kesayangannya, Socrates.

Namun ketika rakyat enggan untuk menggunakan hak pilihnya (baca:golput) atau rakyat minta “bayaran” karena telah memilih, apakah hal itu juga konsekuensi dari sistem demokrasi? Bukankah golput juga menjadi sebuah pilihan? Dan mengapa mesti haram? Mumet aku.

Ironsinya demokrasi yang tidak sehat ini tidak hanya dilakukan oleh elite politik saja, tetapi juga banyak muncul di masyarakat bawah. Pemilihan kepala desa diatas menjadi gambaran kecil masyarakat kita sebenarnya. Meskipun tentu saja kita tidak bisa dipukul rata. Setidaknya itulah yang saya temukan di lapangan. Bahkan dikampus Unnes ini pun mahasiswa tidak antusias mengikuti Pemilihan presiden BEM KM. Dari dua puluh tiga ribu mahasiswa, hanya enam ribu yang menggunakan hak suaranya.

Apakah rakyat sedang mengalami kejenuhan berdemokrasi?? Bagaimana dengan Pemilu 9 April nanti? Ya kita tunggu saja hasilnya.

* Penjaga Warnet Nautilus

Tercatat sebagai Mahasiswa Psikologi Unnes yang sedang persiapan KKN

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Golput haram! begitulah jika negara dianggap sebagai sama dengan tuhan.

Siap-siap saja, kita usul pada tuhan: malaikat penjaga neraka ditambah! Kasihan repot nanganin bejibunnya Golput asal Indonesia!he..

Jempol buat MUI!

tauf

Anonim mengatakan...

Golput ya Amr...

mmm,sampai saya menulis ini, saya masih termasuk golput..

biar saja saya dosa..
Dosa pada MUI

biar saja saya masuk neraka...
nerakanya MUI

Kalau saya dikasih pahala MUI, biar nanti saya kembalikan...

hehe

Imam Semar mengatakan...

Golput/kursi kosong di Jawa Tengah dan Kalimantan Timur adalah mayoritas, masing masing 52% dan 56%. Bukan 40%.

http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2009/01/asal-kata-pemerintah.html

Anonim mengatakan...

Sstt...sstt...
Jangan kenceng2 ngobrolnya. Tambah deket ke neraka loh, nanti... Kalo golput dikharamkan, tentunya segala yg bersangkutan dgn pemilu khan jd sunnah, ato bahkan fardlu, termasuk LUBER. Kalo sampeyan pada terbuka ngomongin akan "memilih" golput dari sekarang, berarti sampeyan sudah melanggar unsur Rahasia dalam pemilu. Nah, dosa lagi kan?

Hidup permanen bergelimang dosa : hanya di Indonesia
-yog-

Anonim mengatakan...

...klo di neraka ada Cak Nun dan Gus Mus...saya mau GOlput....hehe

Anonim mengatakan...

Hmm...Ya, begitulah Mir kalau agama ikut campur masalah negara...

Piss...
Muthia

Anonim mengatakan...

makasih komentar dari teman2
salam kenal dari kom admin warnet Nautilus
Amri