online degree programs

Senin, Februari 09, 2009

Sesuatu yang Open Ended

Ini adalah suatu ketika program dan ideologi bukanlah hal yang didengungkan dalam kampanye. Dengan kata lain, program dan ideologi bukan hal penting dalam politik, karena di sini, di Indonesia, kampanye selalu dirujukkan pada pemilu. Dan politik selalu ”adalah pemilu”. Mungkin dengan—salah satunya—alasan ini, kita masih harus berkabung di atas batu nisan politik.

Pertanyaan ”apa itu politik” akan terjawab dengan ”bagaimana”, sehingga kemudian kita bisa melanjutkan pertanyaan dengan ”bagaimana”, dan akan terjawab dengan ”bagaimana menjalankan ’bagaimana’ itu!”. Tetapi sepertinya tidak, selama kontrak politik masih dibelenggu hasrat ”siapa mendapat apa, dan kapan”.

Konon Hannah Arendt menolak untuk menerima klaim bahwa manusia adalah makhluk politik. Manusia bukan homo politicus, tandasnya. Karena politik berada dalam relasi antar manusia, bukan sesuatu yang substansial dalam diri manusia. Politik, adalah cara, sebagaimana makan adalah cara untuk membuat kenyang. Tapi saya kira klaim Hannah Arendt pun tak sepenuhnya berlaku di sini, setidaknya yang saya tahu tentang sekitar saya. Di sini politik tak sejajar dengan makan. Politik terkesan sejajar dengan ”sendok” bagi sebagian orang, dan ”kenyang” bagi sebagian lain. Dan bagi pengamat politik, tentu politik lebih identik dengan pentas sehingga bisa diamati.

Lagi-lagi terdapat lebih dari satu titik tolak di sini, antara melihat politik sebagai sesuatu di luar manusia, atau politik sebagai bagian dari manusia, dan Bagus Takwin—dan kawan-kawannya—berupaya menjelaskannya dalam sebuah buku berjudul ”Kembalinya Politik”, kalau saya tidak salah ingat.

Ini adalah suatu ketika program dan ideologi bukanlah hal yang didengungkan dalam kampanye, sehingga apa yang tersisa adalah kerinduan akan sosok. Satu hal yang mungkin, di tengah-tengah pesimisme yang demikian, masih ada beberapa orang yang optimis. Di sini, pesimis dan optimis bukanlah sesuatu yang sejajar sehingga bebas untuk dipilih, melainkan terdapat keunggulan pada sisi pesimis. Optimis yang ada adalah karena didahului oleh pesimis. Beberapa orang tersebut, yang optimis, bukan optimis dari mula, tetapi optimis dalam keadaan yang pesimis. Kerinduan akan adanya satu sosok adalah pesimis, dan karena itulah beberapa orang menghadirkan diri dan ingin dianggap sebagai sosok yang dirindukan tersebut, melalui iklan dirinya.
Beberapa orang tersebut optimis karena sudah pesimis.

Tapi tidak sepenuhnya demikian. Masih ada beberapa orang, setidaknya saya, yang belum bisa yakin bahwa sesuatu menjadi baik hanya karena peran satu sosok. Bahkan Muhammad menjadi makshum (terjaga dari dosa) tidak karena dirinya sendiri, tetapi juga lingkungannya mendukungnya untuk tidak melakukan dosa, di samping kualitasnya yang berada di puncak, dia tetap a’rodhul basyariah, dia tetaplah manusia biasa. Pun bisa dikatakan bahwa lingkungannya disetting demikian oleh Sang Settinger.

Sambil mendengar musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, tiba-tiba saya merasa ada yang luput. Adalah pertanyaan ”mengapa”. Pertanyaan semacam inilah yang juga biasa luput dalam pengandaian proses dialektika. Dalam dialektika hanya ada pertanyaan tentang ”apa” yang satu dan ”apa” yang lain, sehingga muncul pertanyaan tentang ”bagaimana”. ”Apa” yang satu adalah tesa, ”apa” satunya lagi adalah antitesa, dan ”bagaimana” adalah sintesa. Konon Hegel meyakini hal ini. Saya tak ingin setuju dengan Hegel, jika Hegel memang menyatakan demikian, karena titik tolak antara saya dan Hegel sepertinya juga berbeda. Bagi Hegel, kebenaran adalah hal yang ideal, berada dalam ranah yang ideal, yang bisa dicapai melalui sebuah proses yang ideal. Dan dialektika ditempatkannya dalam tempat yang ideal. Bagi saya, ideal itu sendiri adalah sesuatu yang selalu jauh dari manusia, sedang dialektika hanya bisa terjadi dalam diri seseorang, maka dari itu dialektika bukan hal yang ideal. Bagi Hegel, dialektika bisa terjadi antara dua orang dan lebih. At least, bagi saya dialektika semacam itu bukanlah dialektika, tetapi komunikasi.

Lalu pertanyaan kembali berkecamuk pada saya. Jika manusia juga terdiri dari banyak sistem, yang masing-masing sistem bisa menghidupi dirinya sendiri, maka mungkinkah apa yang bahkan dalam pikir manusia juga bukan dialektika? Kemudian saya melihat pemaparan tentang hubungan antara pikir-kata-laku, bahwa selalu ada reduksi dalam perpindahan sesuatu dari pikir ke kata, kemudian ke laku. Komunikasi, sejauh yang biasa saya lakukan, tidak bisa dilakukan dalam ranah pikir. Komunikasi selalu terjadi dalam ranah kata dan laku, sementara dalam setiap masing-masing pikir selalu ter-reduksi ketika menjadi kata dan laku.

Sampai di sini, untuk sementara saya menyimpulkan bahwa ”sesuatu” ada, dan orang mencari tahu apakah ”sesuatu” itu. Kemudian ”sesuatu” itu dinamakan ”dialektika”, ”komunikasi”, ”sistem”, dan sebagainya. Dalam setiap nama yang disematkan, selalu tidak bisa menjelaskan ”sesuatu” tanpa meninggalkan ”sesuatu”. Dan pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kita akan bertolak dari ”nama-nama” atau bertolak dari ”sesuatu”?


Ahmad Fahmi Mubarok.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Politik sub sistem dunia yang cukp berperan dalam membentuk dunia objektif sosial. Sehingga persoalannya di kawasan ini adalah bagaimana menyelenggarakan kekuasaan berdasarkan nalar dan intuisi masyarakat di sekitar lokalitas. Kita bisa menamakan politik kita saat ini adalah sebagai politik yang kehilangan legitimasi moral dan budaya lokalitas. Politik barat telah memberanguskannya, menyingkirkan tradisi dan peradaban lama yang seharusnya menjadi modal sosial yang dapat dipakai untuk mewujudkan tujuan dan cita masyarakat. Akar kultur budaya yang hilang bukanlah suatu perkara simpel, melainkan segala-galanya, melahirkan meta-perbudakan, kita dengan barat.