Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai peta kesusastraan kontemporer Indonesia. Penulis hanya ingin menunjukkan bagaimana dialog atau relasi kuasa dalam kesusastraan Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa dalam kesusasteraan Indonesia terdapat berbagai blok atau kelompok yang mempunyai visi dan politik kebudayaan yang tidak sama satu sama lain. Perbedaan visi dan politik berkesusastraan tersebut dapat dikarenakan oleh berbagai macam hal; ideologis, preferensi pribadi ataukah soal pasar.
Sebelum memulai membuat pemetaan blok sastra kontemporer Indonesia, penulis akan mulai sedikit dari tinjaun sejarah polemik kebudayaan antara Lekra dan Manikebu. Dari polemik tersebut akan dicari motif perdebatan seputar realisme sosialis dan humanisme universal. Apakah murni perdebatan ideologis ataukah ada motif lain, misalnya pasar? Hal ini untuk menjadi bahan perbandingan dengan motif polemik yang terjadi dalam kesuasastraan Indonesia kontemporer.
Setelah itu untuk masuk dalam polemik kesusastraan kontemporer Indonesia, penulis akan masuk melalui pembahasan biografi Wa Ode Wulan Ratna, pengarang muda yang dinobatkan sebagai Penulis Muda Terbaik Khatulistiwa Literary Award 2008. Dan juga biografi tentang Khatulistiwa Award yang sangat berpengaruh bagi perjalanan sastra Indonesia. Politik Award, dengan demikian, tidak bisa terlepaskan dari kesusastraan Indonesia kontemporer.
Apa yang menarik dari biografi penulis ini adalah posisinya yang “diperebutkan” oleh beberapa blok sastra. Hal ini berhubungan dengan, menurut asumsi penulis, relasi kuasa modal (pasar) dan strategi penerbit masing-masing blok sastra dalam ‘berdagang’. Artinya, ada kemungkinan bahwa segala polemik sastra yang terjadi sudah bergeser dari murni ideologis ke arah pasar (ekonomi).
Melalui penelusuran biografi Wa Ode Wulan Ratna dan posisinya dalam perebutan pasar blok-blok sastra Indonesia, penulis berusaha untuk memetakan blok-blok kesusastraan Indonesia kontemporer. Melalui biografi Khatulistiwa Award penulis akan menggunakan politik Award dalam melakukan pemetaan kesusastraan Indonesia. Dari konteks pemetaan tersebut, penulis berharap dapat meneliti tentang apakah blok-blok tersebut melakukan dialog ataukah saling ”berperang”/relasi kuasa (menutup dialog).
Sekilas Polemik Manikebu vs Lekra
Perdebatan antara pendukung realisme sosialis dan humanisme universal menemukan titik puncaknya sejak terjadi polemik kebudayaan antara blok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebuadayaan (Manikebu). Manikebu merupakaan sebuah manifes yang dikeluarkan oleh beberapa pengarang Indonesia yang mengusung sastra beraliran humanisme universal. Manikebu lahir sebagai sebuah upaya perlawanan terhadap kediktatoran Presiden Soekarno yang melarang segala bentuk kesusastraaan (kesenia pada umumnya) yang tidak berhubungan dengan perjuangan negara. Sastra, menurut bung besar, harus menjadi alat perjuangan politik sebuah bangsa. Kita bisa mengerti karena saat itu politik telah menjadi panglima di Indoensia. Sastra yang tidak berhubungan dengan perjuangan dianggap tidak berdaya bagi kemanusiaan. Dalam bahasa Wiratmo Soekito, latar bnelakang kelahiran Manikebu adalah ”hilangnya kepercayaan bahwa kegiatan seniman dapat diteruskan tanpa perlindungan politik”.
Di belakang bung Karno adalah kelompok Lekra. Lekra mengusung dengan tegas posisi kesusastraan yang diperjuangkannya, yaitu sastra realisme sosialis. Sastra, bagi mereka, harus bertendes untuk kepentingan perjuangan politik sebuah bangsa dan rakyatnya.
Dari konteks yang melatarbelakanginya, polemik kebudayaan tersebut dapat disimpulkan merupakan sebuah polemik ideologis yang murni. Artinya, masing-masing blok memang berpolemik dikarenakan keyakinan kebenaran prinsip masing-masing. Tidak ada faktor di luar ideologi yang menyebabka polemik tersebut. Dari sisi yang lain, kita bisa melihat konteks waktu itu bahwa industri penerbitan buku belumlah seramai dan semenggiurkan seperti saat ini. Ketika polemik terjadi, buku-buku yang diterbitkan oleh keduanya sama-sama tidak laku di pasar. Hal ini dikarenakan, industri perbukuan belum mapan seperti saat ini. Juga, dikarenakan minat baca masyarakat Indoensia yang belum tinggi. Kelompok terdidik Indonesia pada saat terjadinya polemik masih sangat terbatas dan kaum buta huruf masih sangat banyak. Artinya, ekonomi (dalam hal ini pasar) belum menjadi determinan penting bagi polemik kebudayaan saat itu. Demikian konteks polemik kebudayaan Manikebu -Lekra dan hal-hal yang melatarbelakanginya. Bagaiamanakah konteks polemik kesusastraan Indonesia kontemporer?
Wa Ode Wulan Ratna dan Politik Award
Belum banyak yang bisa diketahui dari Wulan, demikian panggilan akrab Wa Ode Wulan Ratna. Namanya berkibar di jagad kesusastraan Indonesia setelah mendapatkan anugerah sebagai Penulis Muda Terbaik dalam Khatulistiwa Award 2008. Wulan lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1984. Bapaknya seorang pelatih dayung profesional sedang ibunya merupakan seorang yang sangat jago karya klasik Indonesia dan dunia. Wulan merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Perempuan yang mempunyai hobi baca, jalan-jalan ke pantai dan gunung, bersolek, dan makan sesuatu yang baru ini memang bercita-cita menjadi pengarang sejak dari umur belia. Wulan sudah jatuh cinta pada buku sejak kecil. Saat balita, ia tinggal di tengah hutan Buton, Sulawesi Tenggara, mengikuti ayahnya, yang pelatih dayung. Wulan pun kerap ditinggal sendiri, hanya ditemani buku cerita anak-anak. Imajinasinya kian terasah dengan buku-buku pemberian orang tuanya itu, hingga dia membuat cerita anak-anak sendiri.
Perempuan yang sedang menyelesaikan skripsi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini mendapatkan julukan dari rekan-rekannya sebagai Miss Sayembara. Hal ini dikarenakan Wulan sering memenangi sayembara-sayembara penulisan cerpen baik berskala lokal maupun nasional. Beberapa sayembara yang pernah dimenanginya antara lain; cerpen “Fragmen 44” menjadi pemenang pertama Sayembara Cerpen Bulan Bahasa JBSI-FBS UNJ tingkat nasional (2003), “Bulan Gendut di Tepi Gangsal” yang mengangkat tentang illegal logging dan suku pedalaman Riau, menjadi pemenang pertama Sayembara Cerpen Tingkat nasional yang diadakan Dewan Kesenian Riau (2005). Lalu dalam Sayembara Cerpen tingkat nasional yang diadakan CWI, ia menjadi Juara I pula dengan cerpennya “La Runduma.” (2005). Sedang “Peluru-Peluru” menjadi Juara ketiga dalam Sayembara Cerpen HAM yang diadakan Kedubes Swiss dan Forum Lingkar Pena (2005). Cerpennya yang lain, “Catatan Harian Hans Mandosir” menjadi juara pertama lomba penulisan cerpen yang diadakan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ (2003), sedang “Cari Aku di Canti” mendapat nominasi dalam Krakatau Award yang diadakan Dewan Kesenian Lampung.
Karya-karya Wulan menyiratkan sebuah kecintaan akan yang lokal dan segala permasalahan yang melingkupinya. Dia sering bercerita tentang kehidupan di Jakarta, illegal logging, stereotype perempuan dan tema-tema sosial lain dalam cerpen-cerpennya. Seperti yang diungkapkan pihak dewan juri Khatulistiwa Award 2008, konsistensi karya-karya Wulan dalam menggarap tema-tema lokalitas merupakan salah satu pertimbangan pemberian penghargaan kategori Penulis Muda Terbaik 2008 kepadanya. Di samping, kekuataan imajinasi dan diksi yang segar yang terdapat dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Cari Aku di Canti.
Pada 2003, Wulan menerbitkan Perempuan Noktaria. Cerpen tersebut sangat provokatif karena menggugat eksistensi perempuan di masyarakat. Wulan menganggap isu ini pantas diangkat karena dia sendiri mengalaminya. Dia berangkat dari pengalamannya sendiri yang sering mendapat gunjingan tetangga-tetangganya di Kelapa Gading karena dia sering pulang malam. Padahal dia punya hobi menonton teater dan karya seni lain yang biasanya selesai larut malam. Dia juga resah atas konstruksi sosial perempuan cantik sebagai putih atau langsing. Padahal, menurut dia, perempuan lokal yang berkulit gelap itu adalah perempuan yang cantik dan eksotik. Saat menulis, dia berusaha meresapi kecantikan perempuan, dengan berdandan lebih dulu. Biasanya dia mengenakan pakaian terang dan ber-makeup tipis.
Meskipun kumpulan cerpen pertamanya menang, Wulan masih menggugat. Cari Aku di Canti berkisah tentang kegundahan perempuan yang dipaksa orang tuanya menjadi dokter, padahal dia pingin jadi pelukis. Itu mirip yang dialami Wulan sendiri, yang diminta orang tuanya menjadi dokter. Namun demikian, dia beruntung akrena orangtuanya tidak memaksa dan tetap memberikan dukungannya untuk bergelut di bidang sastra.
Yang menarik dari kisah kemenangan Wulan adalah bahwa kumpulan cerpen Cari Aku di Canti tersebut diterbitkan oleh penerbit Forum Lingkar Pena. Ada tiga hal yang pantas dicatat dari fakta ini dalam kaitannya dengan relasi antara blok-blok sastra Indonesia kontemporer dan politik award. Pertama, karya Wulan merupakan satu-satunya buku terbitan Lingkar Pena yang masuk nominasi Khatulistiwa Award dalam kategori Penulis Muda Terbaik maupun dalam kategori umum lainnya. Sebab, karya Helvy Tiana Rosa yang diterbitkan Lingkar Pena berjudul Bukavu hanya lolos seleksi Tahap 1 Khatulistiwa Literary Award 2008 dan tidak lolos pada tahap 2. Lingkar Pena merupakan sebuah penerbit independen di bawah Forum Lingkar Pena (FLP). Forum Lingkar Pena lebih mirip disebut sebagai sebuah lembaga dakwah Islam melalui kesusastraan. Para penulis yang bergabung dalam organisasi ini sebagian besar merupakan aktivis lembaga dakwah (khususnya lembaga dakwah kampus).
Yang cukup ganjil dari kemenangan Wulan adalah pihak Khatulistiwa Award, yang dimotori oleh blok sastra Komunitas Utan kayu, memenangkan sebuah karya terbitan Forum Lingkar Pena yang nota bene secara ideologis sangat bertolak belakang dengan mereka. Namun, karya Wulan memang sebuah karya yang tidak biasa bagi Forum Lingkar Pena. Sebab, secara ideologis karya Wulan sejalan dengan visi kesusastraan Komunitas Utan Kayu. Hal ini memunculkan beberapa spekulasi, di antaranya: pertama, dewan juri memang melakukan penjurian secara fair memandang kualitas karya tanpa memperhitungkan blok sastra manakah yang menerbitkan karya tersebut. Spekulasi kedua, Wulan menjadi obyek tarik menarik dua kekuatan antara blok Komunitas Utan kayu dan Forum Lingkar Pena. Dengan memberikan Wulan penghargaan kepada Wulan, pihak Komunitas Utan kayu melalui Khatulistiwa Award sedang melakukan pendekatan untuk menarik Wulan ke blok mereka. Sebagai penulis muda, Wulan tentu masih mempunyai peluang jam terbang yang tinggi dan dengan kualitas kepenulisannya dapat memperkokoh blok yang dimasukinya baik secara ideologis maupun secara ekonomi (pasar). Pada spekulasi ekonomi tersebut, pendekatan Komunitas Utan Kayu dapat dimaksudkan agar penerbitan karya-karya Wulan selanjutnya dapat melalui blok mereka dan menarik Wulan dari Lingkar Pena.
Khatulistiwa Award
Sudah lazim diketahui bahwa di Indonesia telah diadakan berbagai macam penghargaan dalam dunia sastra Indonesia. Masing-masing institusi (blok sastra) berhak memberikan penghargaan bagi karya dan penulis terbaik versi masing-masing. Salah satu penghargaan sastra yang secara independen diselenggarakan adalah Khatulistiwa Award.
Sebagai sebuah upaya pengembangan sastra, Khatulistiwa Award memberikan udara segar bagi dunia kesusastraan Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan diadakannya penghargaan tersebut diharapkan terjadi kompetisi dan kesungguh-sungguhan dalam membuat karya terbaik di antara para pegiat sastra. Khatulistiwa Award secara reguler diselenggarakan satu kali setahun. Dalam setahun juri akan memilih karya terbaik yang diseleksi secara ketat. Adapun bagaimanakah cara atau metode memilih karya tersebut masih terdapat kesimpangsiuran informasi; apakah juri memilih sendiri semua karya yang layak untuk diseleksi dari awal ataukah juri hanya memlih karya yang sudah terseleksi oleh panitia. Hal inilah yang membuat beberapa pihak menuntut trasparansi penjurian Khatulistiwa Award.
Yang tidak bisa dipungkiri dari sebuah penghargaan adalah ketidaknetralan atau subjektivitas atas penilaian mana karya yang baik dan mana karya yang buruk. Foucault (dan juga beberapa pemikir Posmodernisme lainnya) datang menunjukkan bahwa pengetahuan tidaklah pernah netral. Penilaian atas sebuah karya yang baik atau buruk terhadap karya sastra tidaklah pernah terlepas dari subyektivitas, kepentingan bahkan nafsu (passion) seseorang, dalam hal Khatulistiwa Award adalah para dewan juri. Hal ini berarti bahwa sudah saatnyalah kita jujur mengakui bahwa penilaian terhadap sebuah karya (apalagi karya sastra) tidaklah pernah terbebas dari kepentingan. Dalam hal ini, memandang Khatulistiwa Award sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari kepentingan tertentu merupakan sesuatu yang tidak hanya tidak boleh melainkan memang seharusnyalah begitu adanya.
Penulis ingin memberikan contoh tentang ketidaknetralan sebuah penghargaan dengan sebuah perbandingan. Kita tahu blok Folum Lingkar Pena (FLP) juga menyelenggarakan sebuah penghargaan yang mengatasnamakan kesusastraan Indonesia. Namun, kita bisa melihat bahwa kedua penghargaan (Khatulistiwa dan FLP) meskipun sama-sama dilaksanakan atas nama sastra Indonesia tetapi keduanya menghasilkan penerima penghargaan yang berbeda. Penulis ingin menunjukkan bahwa sebuah penghargaan (betapapun objetifnya) tak akan bisa melepaskan subjektivitas ideologinya masing-masing.
Dalam hal Khatulistiwa Award, penulis memandangnya sebagai representasi ideologi sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu. Hal ini dikarenakan kesamaan warna sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu selama ini dengan beberapa warna karya sastra yang masuk seleksi, nominasi dan yang memperoleh penghargaan dalam ajang tersebut. Kita tahu, misalnya, karya Wulan terbitan FLP yang memenangi ajang tersebut dan karya Helvy Tiana Rosa yang masuk seleksi tahap pertama merupakan karya yang sangat dekat dengan warna sastra Komunitas Utan Kayu. Objektivitas dalam hal perlakuan yang sama terhadap karya (dan tidak memandang blok apa yang menerbitkan karya tersebut) patutlah mendapatkan apresiasi. Masuknya karya Saut Situmorang dalam seleksi tahap pertama juga merupakan bukti bahwa Khatulistiwa Award memang masih “setia” dengan ideologi sastra yang diusungnya.
Demikianlah, dalam warna atau ideologi sastra yang diusung oleh Khatulistiwa Award penulis (dan mungkin juga pemerhati sastra yang lainnya) melihat kesamaan dengan warna atau ideologi sastra Komunitas Utan Kayu. Hal ini membuat segala persiapan teknis selanjutnya psti tidak bisa terlepas dengan kesamaan ideologi tersbut. Misalnya, siapakah yang menjadi juri, karya yang bagaimanakah, bagaimakah seleksi dan penjurian merupakan hal-hal yang hanya mengikuti ideologi sastra tersebut.
Kita bisa melihat, Khatulistiwa Award masih konsisten dengan memberikan penghargaan kepada karya-karya dan sastrawan-sastrawan yang sesuai dengan ideologi sastra yang diusungnya. Nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Ayu Utami, Nirwan Dewanto dan lain-lain (yang merupakan punggawa Komunitas Utan Kayu) tidak bisa dipungkiri merupakan contoh kongkret atas kesamaan ideologi sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu dan Khatulistiwa Award. Meskipun bukan maksud penulis ingin menunjukkan bahwa semua yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award adalah “orang-orang” Komunitas Utan Kayu. Penulis hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang penulis maksud dengan Komunitas Utan Kayu adalah ideologi sastra yang diusungnya bukan pribadi-pribadi atau kelompok komunitas itu sendiri.
Dengan kejujuran dalam memandang peta kesusatraan kontemporer kita hari ini, penulis berharap dapat mengidentifikasi dan melakukan pembelaan terhadap pihak-pihak yang termarjinalkan (marginalized) akibat subjektivitas dalam relasi kuasa yang tidak bisa dihindari tersebut. Dalam hal ini, penulis memperlakukan semua penghargaan (award) yang diadakan oleh berbagai macam blok sastra secara sama. Artinyam semua penghargaan dan blok sastra tersebut sama-sama mempunyai potensi dalam memarjinalkan atau meminggirkan beberapa pihak yang terekna dampak relasi kuasa tersebut. Inilah yang ingin penulis teliti dengan lebih baik.
Penulis sadar mungkin akan lebih baik diadakan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan demi mengupayakan obyektifitas yang mungkin tak tercapai. Pemulis merasa perlu untuk mencatat polemik kesusastraan kontemporer kita sebagai sebuah upaya dokumentasi sastra yang mungkin berguna untuk menjawab sejauh mankah perkembangan kesusastraan kita dengan berbagai macam polemik yang menyertainya, tentunya sebagai pelajaran bersama bagi kita semua.
Ideologi atau Pasar atau Keduanya?
Ambiguitas kehadiran karya Wulan tersebut menimbukan catatan kedua, yaitu penerbitan karya Wulan oleh Lingkar Pena. Terbitnya karya Wulan melalui kelompok Forum Lingkar Pena mau tidak mau membuat kita tertegun. Sebab, kecenderungan karya-karya yang diterbitkan Forum Lingkar Pena sangat bertolak belakang dengan karya-karya Wulan. Secara ideologis, Forum Lingkar Pena merupakan sebuah organisasi kesusastraan yang memuat karya-karya dengan tema agama dan dakwah dengan “pangsa pasar” adalah kelompok generasi muda. Strategi yang dilakukan pun mengemas karya-karya tersebut dengan bahasa yang lugas dan sederhana. Oleh karenanya, karya-karya yang diterbitkan FLP biasanya cenderung karya yang tidak menampilkan kompleksitas baik dalam segi isi maupun dalam pencapaian bahasa. Tema-tema agama yang mestinya penuh kompleksitas, baik dalam tataran teologi, akidah, akhlak, spiritual, dan sosial, dengan bahsa yang sederhana dan alur cerita yang lugas pula.
Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan karya-karya Wulan. Karya Wulan mewakili sebuah karya yang secara ideologis lebih dekat (bahkan mungkin sangat dekat) dengan kelompok Komunitas Utan Kayu. Dari segi kompleksitas isi dan penggunaan bahasa metaforik yang terpilih, Wulan menampilkan karya-karyanya. Bahkan, bisa di bilang tema yang diangkat Wulan tidak pernah secara lugas bicara tentang agama (religi formal) dan dakwah. Jikapun ada lebih banyak berbicara tentang religiusitas. Tema yang diangkat Wulan berada seputar soal lingkungan seperti illegal logging, sosial seperti keadaan Jakarta, bahkan tema yang sensitif di kalangan anggota FLP, yaitu tema feminisme. Dalam salah satu puisinya berjudul Masih Ada Puntung Rokokmu, Wulan menulis tentang bagaimana kisah percintaan seorang perempuan dengan sang kekasih di ranjang kamarnya. Meskipun mungkin hanya dalam tataran metaforik tetapi karya Wulan tersebut tentulah sebuah karya yang sangat jauh dari kesan sebuah karya yang diterbitkan oleh FLP. Karya tersebut tentu sangat jauh dari kesan ”agamis’ dan ”moralis” yang biasa dinikmati oleh anggota FLP yang sebagian besar merupakan aktivis dakwah. Hal inilah yang membuat kita bertanya apakah penerbitan karya Wulan murni soal ideologis atau strategi FLP dalam memperluas pasarnya (ekonomi). Dalam hal ini, ideologi mungkin bukan lagi menjadi sebuah determinan utama polemik antar blok sastra melainkan faktor ekonomi sangat berpengaruh.
Catatan ketiga tertuju pada Khatulistiwa Award itu sendiri. Sebagai sebuah ajang penghargaan kesusastraan bertaraf nasional, Khatulistiwa Award merupakan sebuah ajang yang sangat berpengaruh terhadap wajah kesusastraan Indonesia selanjutnya. Sebagai sebuah strategi politik kesusastraan, Khatulistiwa Award tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pihak penyelenggara, yaitu blok Komunitas Utan kayu. Oleh karena itu, bagi penulis memandang Khatulistiwa Award tidak bisa dilepaskan posisinya sebagai sebuah politik Award oleh sebuah blok tertentu untuk terus bertahan dan bagi blok Komunitas Utan Kayu merupakan sebuah strategi bertahan karena merekalah sekarang yang mengendalikan arah kesusastraan nasional kita.
Catatan Reflektif
Demikianlah tulisan yang sederhana ini dibuat. Tentu masih banyak “blok” sastra yang belum terbahas oleh tulisan ini, antara lain: blok Saut Situmorang dan sastra Cybernet, blok sastra pedalaman, blok sastra Rendra yang mengusung kemandirian seniman, blok sastra pesantren, dan sebagainya. Tanpa bermaksud memihak kepada salah satu pihak, penulis hanya ingin melakukan sebuah penelitian mengenai determinan utama polemik kesusastraan; apakah masih murni sebagai sebuah polemik ideologis ataukah sudah bercampur dengan kepentinga yang lain, yaitu perebutan pasar (ekonomi).
Dengan demikian kita bisa mengerti apakah dialog ataukah relasi kuasa yang berjalan dalam wajah multikultural sastra Indonesia kontemporer kita. Tentu kita tidak bisa menjawabnya dengan sederhana karena diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Penulis berharap dapat mengembangkan tulisan ini dengan lebih serius di lain kesempatan.
Kesulitan kita untuk menyederhanakan relasi antara kekuasaan (relasi kuasa) yang terjadi dalam sastra Indonesia terletak pada sifat kekuasaan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Foucault bahwa: ”power is everywhere not because it embraces everything but because it comes from everywhere”. Sifat kekuasaan selalu berada dimana-mana dan tidak terpegang oleh sebuah institusi. Sesuatu dapat menjadi penguasa (mainstream) dalam satu hal tetapi pada saat yang sama dia bisa menjadi yang dikuasai (marginal) dalam hal yang lain.
Mungkin benar apa yang dikatakan Foucault bahwa yang diperlukan bukanlah dialog (seperti yang ditunjukkan oleh para pelaku sastra Indonesia dari dulu hingga sekarang?) melainkan memilih tempat dimana kita berdiri dan berjuanglah sekuat tenaga dari sana. Para pendatang baru dalam dunia sastra yang tergolong di luar mainstream harus berjuang, hanya itulah hal yang paling mungkin untuk dilakukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Daiva Stasiulis seperti dikutip oleh Budianta:
“setiap bentuk baru ekspresi budaya dan semua “suara baru” harus berjuang untuk mendapatkan perhatian publik. Proses ini bukan saja merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi juga merupakan suatu proses yang produktif. Perjuangan itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses yang “menciptakan” suara baru tersebut”.
Demikianlah semoga impian akan posisi yang seimbang dan setara antara pihak-pihak dalam kesusastraan Indonesia dapat terwujud. Semoga juga dialog yang diandaikan terjadi dalam politik multikulturalisme dapat terwujud. Penulis berharap dapat mengembangkan dan menperdalam tema relasi kuasa dalam kesusastraan Indonesia. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi pintu masuk ke dalam suatu dunia yang pasti dapat berbuat banyak bagi kebaikan bersama masyarakat Indonesia, yaitu peta dunia kesusastraan Indonesia kontemporer.
Di akhir tulisan ini, penulis justru menjadi ragu; apakah multikulturalisme merupakan “sebuah” yang pernah terwujud di dunia ini (dulu, sekarang dan akan datang) ataukah ia hanyalah “sebuah” cita-cata yang tak mungkin terwujud di bumi sebagaimana Kebenaran, Keadilan, Persamaan dan segala yang traumatik itu?
Muhammad Taufiqurrohman
Komunitas Embun Pagi (KEP) Semarang
3 komentar:
wah, fik cakep ndk si wulan itu? gimana, prospek ndk dia buat lu...ha2....
Terus kalau ak suka nominasikan karya "kumpulan surat2 balasan penolakan cintaku saat SMA",ha2...kalau dikumpulin bisa jadi karya sastra lho...dalam perspektif politik, gimana tu fik?
..heh..saru, iku adik kelasku neng UNJ nda.... (ngaku2 kie...)
sip, mas. pasti jadi best-seller.se gang waru. he he...
Tauf
Posting Komentar