online degree programs

Selasa, Januari 06, 2009

Perang Agama, Ras, atau Apa?


Israel memang nyusahin. Kita semua jadi repot. Harus demo, harus mengutuk, harus wiridan. Qunut nazilah. Diskusi sana-sini. Belum keluar duitnya. Utus orang untuk bantu penanganan kesehatan. Macam-macam. Anda semua juga pasti jadi repot. Ngerusak acara. Ngaco irama. Program kita jadi ekstra ini-itu. Hati jadi rusuh. Pikiran mesti menanggung beban dan mengolah hal-hal yang mestinya tak perlu. Saya diserbu SMS. Ada yang info saja, ada yang mobilisasi. Ada yang menuntut supaya saya turut menyatakan kutukan, seolah-olah ada yang tertarik memerlukan kutukan saya. Lebih-lebih lagi seakan-akan kutukan saya akan mampu mengubah arah terbangnya nyamuk.

"Kenapa sih Cak kok semua pembicaraan tentang penyerbuan Israel ke Gaza hanya satu saja temanya: kekejaman?" kata sepotong SMS.
Saya jawab dengan jengkel, "Pertama, kok nanya saya? Kedua, emang saya tahu apa tentang itu? Ketiga, orang lagi perang, kita diskusi."
"Kenapa tidak ada analisis yang agak luas, yang historis-komprehens if tentang segala hal yang melatarbelakangi konflik itu."
"Walah! Mana saya paham...."

"Kan harus diperjelas oleh kita semua bahwa konflik Israel-Palestina itu konflik ras, konflik agama, atau apa? Kalau ras, kan banyak juga warga Palestina yang beragama Nasrani. Apakah ini perang agama Yahudi melawan Islam-Kristen? Kalau ya demikian, mestinya semua umat Islam di dunia bahu-membahu dengan semua umat Protestan dan Katolik melawan Yahudi. Hancur dong Israel ngelawan Arab Saudi dan negara-negara Islam lain, Indonesia, gabung sama Amerika, Jerman, Inggris dll. Dengan catatan bahwa agama mayoritas penduduk menentukan sikap pemerintahnya. "
"Ya, lantas?"
"Orang beragama Yahudi kan juga tidak hanya ada di Israel, tapi juga di mana-mana, terutama negara-negara Barat, bahkan di Amerika Serikat banyak menguasai berbagai kunci strategis di bidang politik dan perekonomian. Berarti akan terjadi multikonflik di berbagai negara ndak karu-karuan di antara pemeluk tiga agama itu, kecuali Indonesia... ."

Saya goda, "Indonesia tak kalah serem konflik internalnya. Kan Yahudi itu bukan tidak ada di Indonesia. Jewish mirip-mirip Jawa, J dan W-nya. Ibu kota Israel saja Java Tel Aviv. Banyak kantor Yahudi di negara-negara Barat selalu pakai kata "Java". Ukiran hias di mahkota para rabi Yahudi mirip ukiran pintu bagian atas di sejumlah tempat pesisir utara Pulau Jawa. Makanya, kalau memang Israel jantan dan punya nyali, suruh serbu Indonesia, ayo kalau berani!"

"Saya serius, Cak."
"Saya juga serius. Kalau Israel berani nyerang kita, persoalan PHK menjadi beres. Jutaan orang yang tak punya kerjaan, jadi punya kerjaan. Pasti senang teman-teman itu kalau ada situasi perang. Hidup nggak ada harapan kok ditantang berkelahi, ya ayo!"
"Jadi, menurut Cak Nun, itu perang agama atau bukan?"
"Emang saya ahli Timur Tengah? Pakar agama? Nyang bener aje...."
"Atau perang ras?"
"Kalau saya sih ndak penting ras, agama, atau apa pun, pokoknya tidak perang."
"Kalau ras, kayaknya nggak juga. Kan di Israel sendiri ada demo menentang keputusan perdana menteri mereka yang memutuskan penyerbuan itu. Orang Yahudi kan tidak semua Zionis. Banyak juga orang Yahudi yang anti-Zionisme, baik dari kalangan Yahudi Askinazim maupun Sepharadim. Bahkan bukan tidak ada orang Yahudi yang beragama Kristen atau Islam. Atau malah jangan-jangan ada juga Yahudi beragama Kristen atau Islam tapi pro-Zionisme. "
"Anda ini bingung kok ngajak-ngajak saya!"
"Saya ini mau tahu itu sebenarnya konflik apa? Kok nggak ada ujungnya, nggak ada selesainya, kayaknya sepanjang masa."
"Salah alamat kalau nanya ke saya. Yang paling efektif dan produktif, bertanya kepada Tuhan."
"Apa urusannya ama Tuhan?"
"Lho, cacing saja punya garis keterkaitan yang logis rasional dengan Tuhan."
"Emang Tuhan mungkin terlibat dalam peperangan?"

Saya jadi gatal ingin menggoda lebih lanjut. "Kan seolah-olah Tuhan menggambarkan bahwa kehidupan ini begini: Ia memperjalankan manusia di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kan begitu di Surah Al-Isro. Hidup ini ulang-alik berdialektika dari dan di antara kegembiraan dan duka, di antara cahaya dan kegelapan, di antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan, di antara yang bikin hati semringah dengan yang bikin hati gerah. Kalau ingat Masjidil Haram, hati senang. Lantas ingat Masjidil Aqsa, hati jadi rusuh lagi. Dan itu semua berlangsung di malam hari. Artinya hidup ini kegelapan: kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi semenit mendatang. Apa kita penjual nasi, sopir taksi, pengusaha besar, pejabat tinggi, atau siapa pun: tidak tahu persis dagangan kita laku berapa, saham kita anjlok atau tidak, di depan sana ada calon penumpang nyegat taksi saya atau tidak. Hidup adalah malam hari. Dan seluruh SMS Anda itu seratus persen mencampakkan saya ke kegelapan malam...."

"Gini aja, deh," kata SMS itu lagi, "kenapa sih kok Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam tetangga Palestina tidak ngebantuin? Bahkan Iran yang dulu mengancam akan kirim rudal, nggak juga sampai sekarang."
"Mau saya teleponkan Pak Ahmadinejad sekarang?"
"Saya serius, Cak"
"Saya tidak hanya serius mikirin Palestina, tapi juga makin stres mikirin pulsa...."

Emha Ainun Nadjib, penulis

diunduh dari Koran Tempo 6 Januari 2009, oleh Edi Subkhan "semoga guruku yang satu ini mengijnkan tak posting ulang di blog ini"....
"Hoi...sudrun, ngaku-ngaku dadi muride...!!???"...

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Siapa yg sms cak,Nun? Hayo,ngaku! Marmos

Anonim mengatakan...

orak aku loh...

Pustaka Pohon Bodhi mengatakan...

Itu bukan perang... tetapi pembantaian... Yg satu pake tank & pesawat, yg satunya lagi cuma punya senjata api tangan & batu..

Anonim mengatakan...

Perang sebuah peristiwa yang terus berulang, tidak ada kedamaian yang abadi. Karena keabadian adalah ketidak-abadian itu sendiri. Lamban-laun perang tak akan dapat di hindari, komunitas, orang sehebat apapun tak akan bisa mencegahnya jika perang itu muncul. Upaya mediasi atau abritase yang menekan spiral-spiral perang hanya ada dalam wacana dan bahasa. Kehendak perang muncul tak terbendung lagi, manusia harus siap menghadapinya, dengan berbagai cara. Menghindar, melawan, berdialog, dan segala persiapan spiritual maupun material.

Anonim mengatakan...

Mas Edi dan teman2,
Sudrun itu, sepengetahuanku lho ya, dia keki minta ampun melihat brita serangan Israel di Palestina. Keki, gemes, sampe lidahnya kluar2 gitu, sambil netes2. Sarungnya yang (kebetulan) baru seminggu dia pake dan tentu saja belum dicuci, dia kruwel2 sampe kusut, persis seperti keponakan saya yang minta sesuatu tapi tidak dikasih sama ibunya. Tak tanya : "Lho, yak nopo, Kang Sudrun ? Sampeyan mari kesambet, tah?" Dia jawab : "kesambet...kesambet.. Dengkulmu mlocot kuwi...". Saya yang tadinya simpati jadi agak emosi. "Saya ini tanya baik2 Kang. Tingkah laku sampeyan itu, yang tadinya memang sudah nggilani, sekarang jadi semakin njijiki", sambil saya hindarkan tangan saya agar tidak terkena air liur super beracun bak idu komodo. Kemudian dia mulai agak kalem, lantas bercerita. "Aku ini kok selalu kalah cepet. Ainun itu kemarin sms-an sama aku. Pertanyaan dia itu wagu banget, sok peduli dan toleran". Jawab saya : "tentang apa, Kang ?". Dia melotot : "Tentang perang Israel dan Palestina yang lagi main petak umpet, bego !!! Kali ini saya sabar2kan hati saya, "lantas yang kalah cepet apa, Kang Sudrun ?" "Lhoh, dia merekayasa sms seolah-olah dia adalah aku. Lalu hasil sms-an itu dia sebarluaskan di media masa. Lha rak dia tho yang nanti dapat royalti? Dia selalu begitu..terus. Sebetulnya aku yang cerdas, cuman kalah cepet saja sama dia, jadi dia yang terkenal..."
Nah, saya tidak tau bagaimana tanggapan Kang Sudrun setelah tahu bahwa tulisan Emha di Kompas itu, yang dia klaim sebagai produk ke-sudrunan-nya lantas di posting dimana-mana, termasuk di blog kita ini....

(nek utopis ki rak yo luwih apik sing ngawur sisan tho ? Ngayal kok tanggung-tanggung..)

He..he..
Yog

Anonim mengatakan...

Markenun -sapaan Cak Nun di kalangan tertentu- memang gila, sehari artikelnya nongol di Kompas sama Koran Tempo hehe.... Ya, emang gila, tapi gak luar biasa, wong kenun biasa nulis kayak wong ngobrol je... dua artikel 3-4 jaman udah biasa, apalagi yang di posting di blog ini khan....udah sering kita denger di Kenduri Cinta, Gambang Syafa'at, dan lainnya... iku lho soal Jawa iku mbahe Israel...

gimana caranya berdamai dan mendamaikan Palestina dan Israel? kakalu memori peradaban mereka selalu dipenuhi dengan dendam, Israel pengen mudik ke kampung halaman di situ, Palestina pun juga ingin mudik ...ndilalahnya di tempat yang sama, piye jal?? Israel ingatan peradabannya adalah ingatan traumatik pemantik semangat, yaitu holocaust, sedangkan Palestina juga sama, ingatan traumatik pemantik jihad...perang2-an terus... klo ingatan peradaban ini dipelihara ya gak ada yang namanya damai terbit di Gaza...oalah drun, sudrun..!!!

jawabnya mungkin adlah, "Untuk berdamai, mungkin orang harus belajar untuk lupa" hehe....

dan ini cerita non-fiksi, kmarin aku di-SMS.. "Kang, apa yang bisa menghentikan israel membombardir Palestina?", ...
trus tak jawab dengan serius juga, "yang bisa menghentikan hanya dua, ya Israel sendiri sama....yahweh (tuhannya yahudi) heheh.."..

suwun, Ed Khan

Pustaka Pohon Bodhi mengatakan...

tapi gmana mau "pulang" ke kampung halaman kalau mereka memang tidak pernah meninggalkannya sebelumnya? Pembunuh di israel sekarang emang benar orang Yahudi keturunan Abraham? Bukan, mereka keturunan ashkenazi (mongol asia). Berpindah agama menjadi yahudi tidak lantas membuat mereka berhak mengklaim tanah di israel sana dong.

Anonim mengatakan...

yah manusia memang serakah.tapi manusia masih punya hati....perang ini sebagai contoh yang tidak punya hati.....

Anonim mengatakan...

Hem...
lagi-lagi israel,lagi-lagi israel..
kapan,sih mereka tobat???
tapi semuanya udah diatur...udah ada tuh di lauhul mahfudz (apaan sih??)

jalani saja...
yang penting tetap yakin dengan kebenaran hati, pikiran...