online degree programs

Minggu, Januari 18, 2009

Krisis Silaturahmi

m

Pada suatu waktu Komunitas Embun Pagi (KEP) mengadakan sebuah diskusi kecil tentang tragedi Palestina. Dengan niat membuka kran dialog, KEP mengundang seorang teman anggota jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pemantik (pembicara). Secara jujur kami merasa teman-teman HTI dan teman-teman pergerakan Islam lainnya memang mempunyai perhatian yang lebih serius soal isu Palestina. Jadi, kami pikir tidaklah masalah mengundang mereka untuk bicara dan berbagi pengetahuan tentang isu tersebut.


Undangan pun segera kami kirimkan ke semua teman-teman lintas ideologi, pergerakan, dan agama. Dan memang harus kami akui dan terlepas setuju atau tidak dengan beberapa pandangan teman HTI kita tersebut, terdapat beberapa pandangan yang “tak terduga” seperti yang kami bayangkan sebelum kami berdiskusi. Ada sesuatu yang semula kami anggap sebagai pandangan HTI tetapi ternyata bukan dan sebaliknya yang kami angggap bukan pandangan HTI tetapi tenyata iya.


Begitulah, bertatap langsung dengan seseorang (sebuah kelompok) yang kita anggap liyan (the other) memang bukan sebuah perkara yang mudah tetapi ternyata cukup menyehatkan. Jika ada yang layak dicatat adalah bukan terletak pada soal pandangan-pandangan dan isi diskusi tersebut melainkan pada reaksi yang muncul setelah acara tersebut. Beberapa teman mengirimkan sms kepada penulis mempertanyakan (atau mungkin menggugat); “mas, kemarin saya menerima undangan diskusi. Memangnya apa hubungan KEP dengan HTI?”, “bro, apa maksudnya mengundang HTI?”, “mengapa yang diundang HTI, bukan PMII, HMI, atau IPNU”, “hati-hati konspirasi apalagi ni” dan berbagai macam reaksi yang penulis dengar baik secara langsung maupun tidak.


Di zaman yang penuh dengan pretensi dan “kepentingan” ini, penulis bisa memahami reaksi-reaksi tersebut. Juergen Habermas menunjukkan pada kita bahwa pengetahuan (knowledge) pasti tidak pernah terlepas dari kepentingan manusia (human interest). Dalam bukunya Knowlwedge and Human Interest, Habermas menunjukkan bahwa pengetahuan seberapapun objektifnya tidaklah pernah netral dan oleh karenanya bebas dari “kepentingan”. Oleh karena itu, bagi Habermas yang diperlukan seberapapuj beratnya untuk diusahakan adalah komunikasi yang mengandaikan terjadinya kemungkinan terjadinya dialog di dalamnya.


Michael Foucault, seperti halnya Habermas, mempunyai pandangan yang tidak berbeda perihal “kepentingan“. Bagi Foucault, setiap pengetahuan selalu mengandung sebuah relasi kuasa di dalamnya. “Kepentingan” dalam perspektif Foucault bahkan selalu bernama kepentingan utuk menguasai. Maka rekomendasi Foucault pun berbeda dengan Habermas. Foucault merekomendasi bukan pada dialog melainkan perjuangan dan keberpihakan yang tegas pada suatu posisi. “We must choose sides and fight!” demikian katanya. Demikianlah jika kita berbicara tentang “kepentingan”. Pertanyaannya adalah mungkinkah sesuatu terlepas dari sebuah “kepentingan”? Belajar dari keduanya, penulis berpikir bahwa ada yang lebih penting untuk selalu dipertanyakan sepanjang masa, yaitu apakah “kepentingan” itu?


Tidak sama dengan Habermas, penulis menganggap bahwa “kepentingan” itu adalah dialog itu sendiri. Dialog adalah “kepentingan” itu dan bukannya rekomendasi. Dialog adalah sesuatu posisi setara yang menyebabkan semua bisa bebas berkomunikasi. Oleh karenanya, penulis menganggap bahwa dialog itu sendiri merupakan kepentingan yang traumatik (yang tak akan mungkin terwujud) sebagaimana Keadilan. Juga berbeda dengan Foucault, penulis tidak menolak dialog karena “hipokrisi dan kenaifan” yang diandaikan Foucault dalam dialog. Sebab, dialog adalah isi dari imperatif dan bukan imperatif itu sendiri.


Penulis pernah mendengar sebuah ayat kitab suci AlQuran yang kurang lebih mengatakan bahwa Tuhan (Allah Swt) menciptakan perbedaan laki-laki dan perempuan, suku-suku dan bangsa-bangsa tidak lain adalah untuk saling mengenal (lita’arofuu). Saling mengenal inilah yang penulis maksud dengan dialog. Mungkin kita tidak pernah tuntas untuk mengenal seluruh perbedaan dengan bahkan sampai musnahnya peradaban manusia. Namun, demikianlah mungkin tugas kemanusiaan kita. Berpelukan mesra, saling berbagi, saling bicara terus menerus demi kebaikan bersama.


Jangan-jangan, kita mengalami krisis silaturahmi. Pretensi-pretensi, kecurigaan, dendam, dan segala konspirasi telah membuat kita lupa bahwa silaturahmi tidak selalu kompromi. Dialog bukan berarti manut (setuju). Seolah-olah kemungkinan untuk mencapai titik temu-titik temu seperti yang direkomendasikan Cak Nur merupakan sebuah utopia. Atau jangan-jangan memang impian itu adalah utopia. Jika memang utopia, lalu mau apa? Bunuh diri atau segera datang mengunjungi tetangga? Saya tidak tahu.


Mungkin syarat untuk itu semua sangat sederhana dan sudah banyak kita yang tahu, yaitu pada diri kita sendiri. Bisakah kita menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan, dendam pribadi, kepentingan pribadi, karir, dan segala kepentingan diri untuk belajar mendengar apa yang tidak ingin kita dengar dan menyapa yang tidak ingin kita sapa? Bisakah kita mengusahakan ketulusan hati, keikhlasan niat, kepercayaan pada sesama sahabat dan kekosongan pamrih dari segala usaha bersama dalam masyarakat? Bisakah akhirnya di tengah hidup yang penuh “kepentingan” ini kita berkata merdeka!. Mungkin benar kata sebuah sabda bahwa musuh terberat tak lain adalah diri kita sendiri.


Tiba-tiba kang Mul memutar suara bang Iwan Fals:

Tak habis pikir aku tak mengerti/ Mengapa ada oang yang senang membunuh

Hanya karena uang semata/ Atau demi kuasa dan nama


Demdam-dendam celaka/ Menghasut kita tak jemu menggoda

Damai-damai dimana/ Bersembunyi tak ada ujungnya


Kapan berakhirnya situasi seperti ini/ Tidak bisakah kita saling berpelukan/ Ooo…


Bukankah indah hidup bersama/ Saling berbagi saling menyinta

Terasa hangat sampai ke jiwa/ Memancar ke penjuru dunia


Jangan goyah percayalah, teman/ Berat itu melawan diri sendiri

Selamat datang kemerdekaan/ Kalau kita mampu menahan diri



Muhammad Taufiqurrohman
Penggemar Iwan Fals

4 komentar:

Anonim mengatakan...

mari kita bersilaturrahmi. mas giy, sering2 ke tempat kang mul ya ndak pa2, silaturrahmi brur..

maen PS juga bagian dari selaturrahmi (kalah terus ra masalah).

komentar di blog juga silaturrahmi lho, jangan salah..

hehe..

Anonim mengatakan...

kali pertama ungkapan jangan-jangan kecurigaan itu, finahan itu, hujatan itu, hanya karena kurang silaturahmi, saya dengan dari Gus Mus, bukan Gus Tauf hehe....

selama orang selalu meletakkan udang di balik batu, maka ia akan mengganggap bahwa pada tiap-tiap batu, maka di baliknya pasti ada udang.... padahal saya betul2 bawa batu, dan sama sekali gak abwa udang hehe....

Gus...SMS itu km jawab gimana??? hehehe.... coz katanya dunia dibentuk dari kata, asal mula dunia adalah kata, maka mempelajari dunia adalah dengan aktivitas membaca, semuanya membaca, dan dimulai dari membaca, membaca yang lain...juga

salam,

Anonim mengatakan...

siap, Gus Mus memang luar biasa ya.tapi, saya kira ilmu cak Edsu muda kita ini tak kalah luar biasanya dengan beliau.

mungkin yang dibutuhkan sekarang bukanlah pahlawan manusia superhero macam superman, batman, atau spiderman. mungkin yang dibutuhkan hanyalah manusia-manusia biasa yang tidak selalu benar tapi selalu bersilaturahmi untuk mengusahakan "dialog"(kondisi setara) yang dia tahu tak akan mungkin terwujud.

Siap, cak. membaca. sebab, dunia tidak hanya ditentukan oleh penulis yang hebat tapi juga oleh para pembaca yang besar. kata orang membaca sebenarnya adalah menulis.
reading is writing, then writing is just rewriting.

tauf

Anonim mengatakan...

dialog akan berjalan bila kita siap :
telinga buat mendengar
pikiran siap mencerna
hati melihat saudara
dan
lidah berkata dengan santun..
goodbye kekerasan !