online degree programs

Senin, Januari 26, 2009

Buah Cerita dari Lasem di Hari Imlek

Siang ini, setelah perjalanan dari Surabaya, saya berkesempatan melewati kota tua di ujung timur propinsi Jawa Tengah, kota Lasem. Kota ini memang tidak asing bagi saya karena selama tiga tahun, dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, setiap pagi dan sore saya selalu melintasi kota ini dalam rangka berangkat dan pulang dari SMA di kota Rembang. Sungguh sebuak kenangan yang selalu lekat dalam benak saya sampai hari ini. Dan hari ini, kembali saya melintasinya sekali lagi. Sepanjang jalan di Lasem sampai dengan kota Rembang, ada sesuatu yang menarik dalam penglihatan saya. Di sisi jalan, banyak sekali mobil-mobil ber-plat jauh, misal H (Semarang), L (Surabaya) dan B (Jakarta) terparkir dengan rapi. Bukan sembarang mobil, mobil-mobil ini tidak mencerminkan keadaan lazim karena sebagian besar dari mobil ini adalah mobil mewah. Sepintas lalu saya melihat Mercedez Benz seri C dan E berdampingan dengan Kijang Innova (kalau tidak salah versi automatic). Kemudian saya lihat pula beberapa sedan BMW keluaran baru, Toyota Camry dan Harrier, bahkan sebuah Ford Everest. Disamping itu tentu saja berbagai macam mobil kelas MPV macam Isuzu Panther Touring, Suzuki APV dan beberapa city car seperti Honda Jazz, Toyota Yaris dan Suzuki Swift. Lasem siang ini bagai showroom terbuka mobil new middle/high-end, bersanding dengan dokar, bus mini dan becak yang memang sudah merajai jalanan Lasem sejak dahulu kala.

Tentu saja bukan mobil-mobil ini yang hendak saya ceritakan, melainkan fenomena yang menyebabkan kehadiran mobil bawaan teknologi dan peradaban modern tersebut. Hari ini, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, Lasem –dan kota-kota pesisir utara pulau Jawa seperti Tegal, Pekalongan, sampai dengan Tuban, Gresik dan Surabaya, saya pikir- memang menjadi kota tujuan mudik masyarakat suku Tionghoa. Sejak berabad-abad silam, Lasem memang terkenal sebagai tanah leluhur suku Tionghoa. Di kota ini masih bisa banyak dijumpai rumah-rumah yang dibangun dengan motif budaya arsitektur cina yang sangat amat kental. Bangunan ini rata-rata di bangun pada pertengahan abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 dan sekarang berubah fungsi menjadi gudang atau gedung tua yang sekadar dihuni oleh beberapa orang kerabat saja. Hanya sedikit yang masih terawat. Saya pernah menemani Ayah –yang seorang penggemar tanaman hias- mencari pot-pot cantik yang dijual di sebuah rumah kuno tersebut. Begitu memasuki halamannya, serasa saya disedot ke dalam sebuah mesin waktu yang melemparkan saya barang seratus tahun kebelakang, pada masa kejayaan para Cino Lasem tergambarkan pada bentuk bangunan, perabot, dekorasi dan ukiran yang menghiasinya.

Maka hari ini, untuk menghargai leluhur mereka, masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi konglomerat di berbagai kota, bahkan sampai Singapura, Australia dan Kanada, mudik ke “kampung halaman” mereka. Di komplek pemakaman Tionghoa Gunung Bugel, beberapa kilometer sebelah selatan Lasem, mereka berkumpul untuk sekadar melihat sekeliling atau khusuk berdoa di depan makam leluhur mereka, mungkin dengan menyalakan beberapa dupa. Moment sekali dalam setahun ini tampaknya benar-benar dimanfaatkan, tak beda dengan budaya nyekar pada bulan ramadhan yang dilakukan masyarakat muslim di daerah Lasem ini. Kesibukan memang mulai terasa sejak beberapa hari belakangan. Seorang teman di Surabaya mengatakan bahwa saya datang di waktu yang tidak tepat, karena ia dan keluarga hendak merayakan “Lebaran Cina”. Ia harus mempersiapkan segala sesuatu, mungkin berupa pernak-pernik, penganan dan berbagai macam kue yang menjadi ke-khas-an Imlek. Mereka sekeluarga hendak berbelanja di Pasar Atom, katanya. Dan benar saja, ketika saya melintasi Pasar Atom, daerah ini sudah penuh sesak dijejali masyarakat, Tionghoa dan Jawa berbaur, entah untuk membeli atau melihat apa. Saya tidak sempat menelisik barang khas Imlek apa saja yang dijajakan di pasar ini. Saya hanya sempat berkelakar dengan seorang penjual di kios kelontongnya, bahwa seandainya pemerintah hendak mendirikan PLTN di Surabaya, maka tidak usah bingung-bingung lagi untuk mencari bahan bakunya. Pemerintah bisa mendapatkannya di Pasar Atom dengan melimpah ruah… “Lhoh? Dak bissa, Dek. Dak bolleh bangun Nukler ndek sinni. Ditollak samma arek-arek, nanti…”. Saya menebak penjual tersebut berasal dari pulau Madura.

Kembali ke bahasan Lasem, moment tahun baru Imlek memang menjadi momen khusus, paling tidak tujuh tahun belakangan ini. Imlek sebetulnya bukanlah acara yang betul-betul baru, karena sebelum tahun 1966, momen ini bahkan dirayakan bahkan lebih semarak daripada tahun-tahun ini. Namun sejak tragedi nasional tahun 1965, Imlek menjadi hal yang tabu, bahkan dilarang, sekalipun tidak ada satupun kaitan secara historis-ideologis antara Imlek dan tragedi tersebut. Kemudian, di era yang sudah lumayan terbuka kali ini, sedikit atau banyak Imlek menjadi berkah tersendiri buat Lasem, karena paling tidak, dari segi ekonomi, cipratan uang bisa didapatkan dari belanja “saudara jauh” yang setahun sekali mampir di kota ini. Menganalisis hal tersebut, ingatan saya tertuju pada masa sekitar tahun 2005, dimana saya bersama “saudara sinoro wedi”, mas Ahmad Syaifudin yang sekarang menjadi staff pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, melakukan penelitian mengenai akulturasi masyarakat Jawa dan Tionghoa di Kota Semarang. Penelitian ini, dengan segala kelemahan metode dan analisisnya karena kekurangtahuan penulis, membuka pemahaman saya mengenai betapa masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Semarang yang mungkin bisa menjadi semacam cerminan untuk kota-kota lain di pulau jawa, terikat erat oleh suatu budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dan asimilasi, melebur membangun pola kebudayaan masyarakat Semarang sekarang. Paling tidak, moment-moment yang secara khas dilakukan oleh masyarakat Tionghoa, juga dinikmati dan dirasakan pula oleh masyarakat Jawa layaknya budaya sendiri, begitu pula sebaliknya. Sungguh sebuah kejujuran kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri, kecuali oleh iri-dengki dan tamak-serakah yang membutakan hati berbalut kesombongan dan eksklusifitas. Penelitian yang kami lakukan itu, sekalipun hanya membidik bidang sosial budaya dan sedikit analisis ekonomi sederhana, sepertinya dapat membuktikan bagaimana sebenarnya masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Semarang pernah lahir, besar dan tumbuh dalam nuansa kebersamaan. Pola-pola seperti ini yang mungkin bisa menghapus luka –jika itu dikatakan luka- akibat pergesekan yang pernah terjadi yang sebetulnya lahir dari dramatisasi dan kambinghitam anasir politis belaka. Pendekatan-pendekatan budaya yang misalnya dalam bentuk kesenian dan forum-forum kebersamaanlah, yang saya yakini bisa membangun dialog antar tokoh, antar warga untuk mengikis habis tembok kepicikan pandangan satu sama lain. Saya pernah sangat akrab –bahkan sampai saat ini- dengan seorang wanita Tionghoa yang anggaplah sebuah kebetulan saja pernah juga menjadi dosen pembimbing saya dalam menulis skripsi. Tetapi lebih jauh, saya menggaris bawahi bahwa keakraban kami justru terasa dalam karena kami sering melakukan diskusi mengenai berbagai hal, terutama hal antara Jawa dan Tionghoa. Ia berulang kali memberikan kesematan pada saya mengikuti acara-acara budaya Tionghoa dimana ia menjadi panitia atau pemrakarsanya. Oleh karena itu beberapa kali saya sempat berdialog, walaupun singkat dengan tokoh Tionghoa untuk memahami bagaimana pandangan mereka mengenai disharmoni ini. Ia pula, dengan lugas, mengungkapkan bahwa kesalahpahaman dan kekolotan pemikiran ini harus segera dilenyapkan. Dua etnis anak ibu pertiwi bernama Indonesia Raya ini, yang kebetulan digolong-golongkan oleh ilmu pengetahuan menjadi ras yang berbeda, harus membangun kesepahaman dalam hati, bahwa segala daya dan upaya harus dilakukan untuk memuarakan kesimpulan pada kemanusiaan, kemudian berlanjut pada kebangsaan. Semua itu, saya tambahi, hendaknya diawali dan dimotori oleh generasi muda dari kedua pihak.

Pada masa-masa tenang seperti ini, memang mengungkapkan topik ini justru terkesan mengungkap-ungkap kembali ketenangan yang telah ada, menyingkap-nyingkap kedamaian yang telah “terjalin”. Tapi perlu diingat, siapa yang menyangka bahwa Mei 1998 akan menjadi kerusuhan rasial ? Siapa yang menduga Februari 1980 di Solo berubah menjadi pengungkapan kesumat kebencian ? Siapa yang memprediksi bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, harga minyak tanah naik seratus rupiah saja, telah terjadi huru-hara antar etnis berujung pembakaran di kecamatan Sarang dan Kragan kabupaten Rembang? Inilah api dalam sekam. Api yang diciptakan dengan sangat efektif sejak berabad silam oleh kolonialisme, disimpan dalam sekam kesenjangan-kecemburuan kronis berbalut kepicikan dan kebodohan membaca sejarah. Inilah api dalam sekam, yang pada masa tahun pemilu ini bisa dipolitisir untuk meraih simpati dan mendulang suara yang biasanya lantas dilupakan begitu saja begitu hajatan usai, atau disulap menjadi pematik kekacauan jika memang diperlukan untuk merebut kekuasaan.

Biarlah api menjadi api, dan sekam menjadi sekam. Keduanya, paling tidak, bisa disandingkan dalam kandang lembu untuk perapian dan cadangan pangan, jika memang Indonesia saat ini tidak lebih dari kandang lembu belaka.

Sugeng warso enggal kagem sedherek Tionghoa, mugi dados berkah tumraping sedoyo. Waallohu a’lam, bi showab.

Semarang, 26 Januari 2009.
Yog, ardiansyah_jfc@yahoo.com

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Yogas sebenarnya permasalahan yang mendasar dari Gap antara etnis Jawa dan Tionghua adalah masalah Ekonomi, sebetulnya orang jawa juga bisa sukses seperti warga keturunan Tionghua, tapi menurut pengamatan saya daya juang dan ke uletan masyarakat jawa dan Thionghua lah yang menjadi perbedaan dari kualitas hidup mereka. akhir-akhir ini masyarakat jawa lebih dimanjakan oleh Sumberdaya dan Keadaan maka tak ayal mereka hanya berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras....

Anonim mengatakan...

Tapi cewek tiong hoa patut dihargai lho. Aduh cantik-cantiknya. he 3X
Mas Yogas, tulisannya mantap

Anonim mengatakan...

Secara sepintas memang seperti itu, Mas Andi. Jawa terkenal dengan budaya adem ayem dan slow, sedangkan tenen2 Tionghoa terlanjur di stereotipi dengan ulet, pekerja keras dan money oriented.Tetapi, dalam kenyataan, jika kita dengan agak detail meneropong, banyak juga orang jawa yang -nuwun sewu, saya juga termakan label ini- "lebih cina" ketimbang orang cina sendiri : pelit, culas, tegelan, dsb. Sebaliknya, ada juga orang Tionghoa yang "sangat njawani" sekali : glendam-glendem sj. Jd, saya pikir, bagaimana persepsi kita mengenai orang jawa dan orang cina dari sudut pandang ekonomi hanyalah stereotip yang memang sengaja dijejalkan kepada kita sejak berabad silam, oleh pihak yang tidak mau dua etnis ini hidup berdampingan. Dan kita, baik orang jawa ataupun orang Tionghoa, sangat amat sukses termakan oleh persepsi tersebut. Malas, nriman dan slow bukanlah melulu milik orang jawa. Juga sebaliknya, ulet dan ber-fighting spirit tinggi bukan juga dominasi tionghoa. Itu adalah karakter individu, menurutku. Tapi, memang, kesenjangan ekonomi yang sudah terlalu luas sekarang ini menjadi sekat utama pembangunan kesepahaman sebagai saudara sebangsa antara dua pihak ini.

Nah, terlihat kan, siapa yang lebih seneng serik2 an ?

(cewek tinghoa...cewek tionghoa...pesen satu dong, Luk. Bungkus, jangan pedes2..)

xie-xie
Yog