online degree programs

Sabtu, Januari 10, 2009

Ramai-ramai menebar Pseudo Empaty

Pesta demokrasi yang akan diadakan pada bulan april mendatang, memang merupakan sebuah ekspektasi yang sangat besar bagi seluruh lapisan masyarakat. Bangsa kita sangat mendambakan adanya sebuah perubahan serta problem solving bagi setiap permasalahan multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa. Dalam hingar-bingar politik di Indonesia, muncul dan menjamurnya partai politik seolah-olah memberi celah lahirnya sebuah tatanan politik yang lebih baik. Namun hal itu tidak kita sadari bahwa politik yang secara esensial adalah bagaimana partai politik dan politisi menawarkan produk politiknya, platform dan janji-janji politik demi perubahan secara progresif. Tapi dalam pelaksanaan dan realitanya politik kita makin keos dan carut-marut, karena ada sebuah metafora politik yang yang dikuasai oleh Bani-bani berkantong tebal. Mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk memegang tampuk kekuasaan politik, tak ayal para politisi tersebut berani merogok kocek hingga ber miliyar-milyar untuk sebuah tayangan iklan politik.
Dewasa ini Political Marketing memang merupakan strategi yang dianggap jitu bagi para politisi dan partai politik peserta pemilu. Yang menjadikan ancaraman adalah adanya ketidak sadaran kita akan munculnya Pseudo Empaty yang diciptakan dan direkayasa para politisi. Pseudo Empaty adalah suatu rekayasa yang dilakukan untuk menciptakan sebuah empati seorang kandidat untuk mendapatkan empati dari masyakat. Sapaan yang dilakukan para politisi seperti Prabowo, Wiranto dan Sutrisno bachir di berbagai media dan ruang publik melahirkan sebuah rekayasa yang hanya memuat kepentingan politik semata, belum tentu dalam setiap kebijakan dan tata laku nantinya setelah mereka menjadi penguasa politik ingat akan nasib rakyat kecil yang diilustrasikan dalam tiap durasi iklan politik mereka.
Dapat dibayangkan bagaimana jika sindrome Pseudo Empaty yang mereka ciptakan menyebar dalam benak masyarakat apa yang akan terjadi Alaamakk….mungkin akan terjadi legalisasi pembodohan publik. Pembinaan dan pendidikan politik di negeri ini teryata masih sangat rendah dan sangat jauh dari harapan. Para politikus tak jauh beda dengan anak kecil yang berlagak kesakitan dan menangis, agar dibeliin permen oleh ibunya “gak lucu kan? Tapi ini memang ironis dan nyata terjadi dalam hingar-bingar politik di Indonesia. Mungkin kita ingat bagaimana seorang Prabowo dengan GERINDRAnya yang seolah-olah ikut merasakan penderitaan para petani, apakah rasa empati itu tulus adanya? Jawaban ini dapat kita buktikan nanti setelah pemilu dan Pilpres. Tingginya angka kemiskinan memang merupakan sebuah ladang yang subur bagi para politisi agar dapat membentuk sebuah rasa empati dan positioning mereka, oportunity itu acap kali mereka manfaatkan, alih-alih mementingkan rakyat miskin, nasib petani dan wong cilik tapi…….??.
Ketakutan itu muncul manakala rakyat hanya dijadikan obyek politik saja, yang seharusnya rakyat lebih difungsikan sebagai subjek politik. Menumbuhkan empati terhadap masyarakat Indonesia yang didominasi oleh petani, nelayan, para buruh memang menjadi prioritas utama dari segmentasi political marketing para politisi. Ini merupakan sebuah shortcut atau jalan pintas mereka untuk merauk keuntungan sebesar-besarnya dari produk politik yang mereka tawarkan. Masalahnya, di Indonesia, iklan politik kadang menjerumuskan rakyat untuk memilih tokoh yang memiliki popularitas tinggi tanpa mengenali kapasitas dan kapabilitas sebenarnya tokoh tersebut.
Mungkin diperlukan adanya semacam alat pendeteksi sindrome Pseudo Empaty, yah…mungkin semacam alat pendeteksi sunami kali…, agar para politisi penebar Pseudo Empaty, perbuatan yang dilakukan oleh para politisi busuk tersebut dapat terdeteksi. Tapi kayanya ide yang saya sampaikan ini hanya sebuah imaginer saja bagaimana mungkin Human error behaviour seorang politisi bisa terdeteksi secara dini.

By : Andi Peka (Kadang-kadang Suka Nulis)

18 komentar:

Tikno mengatakan...

Saya percaya seiring bertambahnya waktu, pengalaman dan tingkat pendidikan, maka rakyat akan lebih kritis dan dewasa dalam bersikap.

Salah satu hal yang saya senang adalah diterapkannya system pemilihan langsung.

Imam Semar mengatakan...

Quote:
Masalahnya, di Indonesia, iklan politik kadang menjerumuskan rakyat untuk memilih tokoh yang memiliki popularitas tinggi tanpa mengenali kapasitas dan kapabilitas sebenarnya tokoh tersebut.

Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di semua negara demokratis . Oleh sebab itu saya sering mengatakan bahwa:

Democracy is a government by the people, of the people, to fool the people.

Imam Semar mengatakan...

@tikno,
Anda suka pemilihan langsung? Nanti yang anda lihat bukan NKRI lagi tetapi RSDI - Republik Sinetron dan Dagelan Indonesia.

http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2008/12/republik-sinetron-indonesia.html

Pustaka Pohon Bodhi mengatakan...

Saya sarankan semua anggota kabinet, MPR, DPR, DPRD, dan tentu saja Presiden mempublikasikan no tlp kantor, no fax, atau alamat email ke publik.

Saat ini benar-benar tidak jelas bagaimana caranya masyarakat bisa menjangkau / berkomunikasi dengan mereka.

Bisa dibilang sekelompok "alien" tak dikenal sudah mengambil alih negara.

Kalau masyarakat tetap seperti sekarang, sama sekali tidak tahu bagaimana menghubungi "wakil rakyat" mereka, lebih baik gak usah pilih aja, percuma..

Anonim mengatakan...

tuk tikno, ya kalau pendidikannya membuat jadi kritis, gimana klo sebaliknya, membodohi hehehe.... makanya mesti dapat keluar dari kepompong dn menjadi kupu-kupu...halah!!!

tuk mas imam semar, klo gitu apa yang lebih baik dari demokrasi???

tuk pustaka pohon bodhi, mungkin itulah yang disebut sebagai penyakit kekuasaan, makanya mungkin juga diperlukan oposisi permanen dalam tiap pemerintahan...

salam,

Anonim mengatakan...

Untuk pak imam semar.
menurut saya, masalah salah pilih dan siapa yang bnerkuasa itu adalah konsekuensi dari demokrasi.

untuk memberi pencerahan kepada masyarakat, itukan dimulai dari kita sendiri, dan berarti pak imam semar juga harus ikut andil untuk memberi pencerahan kepada masyarakat luas.seperti kata Zianuden Ahmed

pak imam semar perlu diketahui demokrasi di indonesia itukan merupakan pilihan mau tidak mau kita juga ngikut.
klo ga ada pilihan langsung berarti kita mau menganut sistem Khilafah yang sering di dengung2kan oleh sahabat-sahabat dari HTI.

eh ngomong-ngomong masalah dagelan pak...klo demokrasi kita dianggap dagelan berarti ada PHK besar-besaran akiobat para wakil rakyat jadi pendagel......haaa..hhhaaawah wah...mesake Tukul yo......

Anonim mengatakan...

commen to Mr Tikno, i believe the political progres will be come but it's need long time and need more fight to escape from the bad govermant, because in our country have'nt heroism lead to save many poeple in our country...

Anonim mengatakan...

Democracy was made by the men, exept good human itself. We're give wrong to democracy is false way. In the best democracy include the better men. Nothing the best democracy without the perfect men. Actually, indonesian had implemented democracy value, for example aplication local election from chairman of villages. But only democracy's the name, system and culture had been recognizing to now. Neither democracy development withaout the good human nor democracy implementation without basical culture and system which had being.

Anonim mengatakan...

promosi, setiap selasa malam, jam 19.30 mpe selesai, di tvone ada acara uji kandidat, disitu calon-calon legislative diuji keluasan wawasannya, ketajaman analisisnya, kepekaannya atas aspirasi rakyat, dll...

saya baru mengikuti 2 episode, tetapi dari situ, kesimpulan semantara saya, kapabilitas para caleg tersebu ya 11 - 12 lah dengan kita2...

jawaban yang diberikan terlalu melebar/tidak fokus, abstrak, tidak tajam, cenderung emosional daripada kritis&logis...

nah, itu saja caleg yng mau dan berani berdebat... terus, bagaimana dengan yang diam&tidak berani duduk berdiskusi di mimbar publik??bagaimana kualitas mereka?

yaaaa nggak semua sih, masih ada segelintir saja -mungkin- yang kapabel..

tetapi, saya tidak dapat membayangkan, kursi-kursi terhormat para wakil rakyat diduduki oleh orang2 yang
'kurang tepat'

cita2 demokrasi, mungkin orang2 yang 'tepat' nantinya bakal mencalonkan diri dan yang dipilih adalah yang terbaik.... tetapi, kenyataan yang saya raba, orang yang mempunyai kapabilitas sebagai wakil rakyat malah mengalah/mengasingkan diri dari gelanggang politik, sehingga yang tersisa di gelanggang adalah yang punya kualitas ke-2 atau dibawahnya...dan ini yang akan dipilih masyarakat?
weleh2...
mungkin, ini menjadi salah satu sebab golput..

Anonim mengatakan...

badut-badut politik..... fondational building demokrasi kita belum kukuh, jadi ya begitulah....

Anonim mengatakan...

Saya kira; ada baiknya ide tentang demokrasi dipikir ulang untuk diterapkan di Indonesia. Mungkin dengan sesuatu yang meragukannya, keberpihakan kita terhadap demokrasi akan semakin menjadi kokoh.

Atau mungkin yang kita lakukan bukanlah mengikuti cara berpikir dan bekerja alur demokrasi formar, melainkan melakukan usaha terus menerus untuk memberikan penyadaran-penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya politik as a public policy. Oleh karenanya, jika masyarakat sudah melek politik maka apapun sistem yang digunakan kita tetap santai saja karena masyarakat sudah pada melek. Demokrasi deliberatif, Habermas menyebutnya demikian.

Ini semua bisa terjadi jika segala hal dalam kehidupan---dalam dimensi apapun (politik, ekonomi, sosial, dll), juga dalam skala apapun (lokal, nasional, regional, dll)---dengan segala dinamika yang menyertainya dimaknai sebagai sebuah proses (belajar) menuju sebuah utopia yang saya yakin masih tertanam dalam-dalam di benak setiap manusia, yaitu Keadilan, Kesejahteraan, Kesamaan dan segala hal yang traumatik itu.

Tidak ada jawaban tunggal.Tinggal kita pilih yang mana dan perjuangkanlah! We must choose and fight!, demikian jika anda mau mendengarkan Foucault

Salam,
Tauf

Anonim mengatakan...

Di zaman ini 'tuhan' yang paling populer adalah demokrasi...tapi bisa jadi domokrasi ialah 'tuhan yang gagal'...

adakah tuhan yang mengalami kegagalan? ya ada! dia adalah tuhan yang diciptakan manusia itu sendiri...

so, bukan tuhan beneran donk....

Imam Semar mengatakan...

Banyak yang menanyakan, tentang alternatif apa selain demokrasi.

Sebenarnya apa sih yang kita inginkan dari entity yang disebut pemerintah? Kalau saya, sangat terbatas yaitu keamanan dan keadilan (hukum) - keduanya saling terkait.

Perlukah urusan kemakmuran dijadikan urusan pemerintah? Tidak lah...., memangnya pemerintah mau menanam padi, pelihara sapi dan dibagikan kepada rakyat? Yang ada adalah pemerintah merampok si A untuk diberikan ke si B.

Jadi, area pemerintah cuma keamanan dan hukum. Kalau mau penanganan infrastruktur masih boleh.

Arrangementnya seperti kontraktor saja. Projek keamanan & hukum ditenderkan, perusahaan mana yang paling murah maka dialah yang menang. Calon-calon pemerintah (parpol)harus mengajukan tender, untuk projek dgn jangka waktu tertentu!!

Jadi jelas apa yang kita bayar dan yang kita dapat.

Kalau calon-calon pemerintah (parpol) mau masuk juga ke sektor infra struktur, hal yang sama (tendering) harus dilakukan.

Kalau pemerintah ternyata defisit, ... ya tanggung saja kerugiannya.

Bentuk organisasi seperti ini, akan memaksa pemerintah (service provider) untuk ramping dan effisien.

Pembeli jasa (rakyat) boleh menolak membayar uang jasa pemerintah kalau tidak memperoleh service yang sesuai dengan spesifikasi yang telah dijanjikan sebelumnya.

Sederhana bukan?

DPA, wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati, Dept Sosial, Dept Agama, Dept Pora, dept tenaga kerja.... dan banyak departemen akan (harus) bubar supaya kompetitif.

Anonim mengatakan...

hehe....sudah saya duga argumennya pasti begitu terus....sama seperti yang sering diajukan oleh mereka yang antinegara-antipemerintah...

sekadar pertanyaan/pernyataan sederhana juga adalah, "tak ada jaminan urusan kemakmuran diurus langsung 'rakyat' tanpa campur tangan 'kekuatan' konvensi yang disebut sebagai negara atau ruang publik bagi Habermas, maka otomatis akan makmur.."

justru potensi terbesar adalah pertikaian antarpemilik modal kapital dalam hiperkapitalisme, hiperkonsumerisme, sejarah telah membuktikan itu .... dan sampai sekarang berlaku..


apa argumen anda atas pernyataan saya ini??? I'll waiting 4 u...

Anonim mengatakan...

Ed Khan:
sekadar pertanyaan/pernyataan sederhana juga adalah, "tak ada jaminan urusan kemakmuran diurus langsung 'rakyat' tanpa campur tangan 'kekuatan' konvensi yang disebut sebagai negara atau ruang publik bagi Habermas, maka otomatis akan makmur."

I.S.:
Mari kita berhitung. Katakanlah dalam system negara ada X% warga yang tidak produktif, misalnya duduk di DPA, Dept Tenaga Kerja, Dept. Sosial, Dept Agama,.... maka X% ini betul betul tidak menghasilkan apa-apa. Malah cenderung mengganggu. Misalnya sekitar 2 tahun, dept naker mengeluarkan peraturan bahwa TKI timur-tengah kalau cuti & pulang ke Indon, harus lapor depnaker. Kalau tidak lapor maka airlines tidak akan memberi boarding pass. Banyak teman yang kehilangan waktu 1-4 hari untuk mengurus surat lapor sontoloyo ini. Bagi mereka yang honor hariannya $800 - $1500, kehilangan berapa??? $800 - $6000, tidak termasuk biaya di depnaker $25......., sontoloyo.

Kalau Deptnaker, depag, DPA, wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati dibubarkan, maka sebagian dari X pengangguran dan pengganggu terselubung akan produktif. Tentu saja tidak semua menjadi produktif. Buah yang busuk selalu ada.

Semuanya itu logis dan bisa dihitung. Apakah anda punya hitungan yang menjamin bahwa birokrasi yang ramping tidak menaikkan kemakmuran?

Anonim mengatakan...

@Said Hukum,

Saya tidak keberatan system khalifah...., asal khalifah Umar di daerah Barat (pimpinan Amr ibn As).

Amr ibn As mereduksi peran pemerintah mejadi:
1. Penjaga keamanan dan penegakan hukum.

2. Pengelola infra struktur (pengairan dan transportasi).

Amr menghapuskan tataniaga gandum yang diberlakukan oleh Romawi. Pedagang, petani boleh menumpuk gandum dan menjualnya ke mana saja. Tidak ada DMO (domestic market obligation). Petani dan pedagang gandum memperoleh keuntungan sesuai dengan usahanya. Tentu saja petani gandum harus bayar pajak pengairan. Itu service pemerintah yang harus dibayar.

Amr juga menolak permintaan khalifah Umar untuk menaikkan pajak untuk menolong Hijaz yang mengalami kesulitan akibat kemarau.

Amr mengundurkan diri ketika Uthman menjadi khalifah dan meminta Amr menaikkan pajak.

Jadi kalau HTI mengatakan sistem khalifah, anda harus tanyakan, khalifah yang mana?

Saya tidak akan pilih Uthman, Ali, Abu Bakar, Muawiyah, atau gubernur Abu Ubaida dengan Khalid bin Walid nya. Mereka tidak sama dan menganut sistem yang berbeda.

Anonim mengatakan...

Ed Khan:justru potensi terbesar adalah pertikaian antarpemilik modal kapital dalam hiperkapitalisme, hiperkonsumerisme, sejarah telah membuktikan itu .... dan sampai sekarang berlaku..

IS:
1. Pertikaian antar pemilik modal. Apakah ini buruk. Kalau pertikaian yang dimaksud adalah persaingan maka yang muncul adalah yang effisien. Seperti GM, Ford, Chrysler harus mati karena tidak effisien.

2. Hyperkonsumerisme. Asal tidak distimulir oleh hutang, apakah jelek? Apa salahnya istri saya pakai jam cartier yang seharga 1 honda accord, kalau saya mampu membelinya dari hasil usaha yang halal, fair, bukan memeras orang lain dengan undang-undang.

I.S.

Anonim mengatakan...

Para kapitalis memang selalu berhitung dengan perangkat materi, bukan perangkat hati. Bagi saya mereka DPA, Penakertrans, Depsos, tetap ada manfaatnya kalau mereka memang dapat menjalankan perannya secara benar sesuai idealnya, yakni dengan tidak korupsi, dan menjalankan amanahnya.

Soal peraturan TKI itu artinya mereka tidak sesuai dengan amanat yang semestinya mereka emban, dan itu bagi saya mesti diperbaiki, bukan dihilangkan institusinya. Mereka dalam mekanisme yang ideal patut mendpatkan gaji, karena membantu pengaturan hukum, keamanan, dan lainnya, di mana semuanya ini ditujukan untuk rakyat banyak, makanya rakyat banyak bayar pajak tuk menggaji mereka –dan tuk membangun jalan, misalnya.

” Apakah anda punya hitungan yang menjamin bahwa birokrasi yang ramping tidak menaikkan kemakmuran?”

Oh...saya gak menyatakan menolak perampingan birokrasi om, tapi yang saya tolak adalah sama sekali menghilangkannya. Perampingan birokrasi tentu akan sangat membantu efisiensi dana yang dapat lebih digunakan untuk dana kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainnya.

Cerita Amr bin ’ash itu kan di jaman dulu mas, yang permasalahannya tidak sekompleks sekarang, mekanisme perdagangan jgua sederhana, tata negara juga sederhana, militernya sederhana, jadi peran pemerintah juga sederhana, dalam kotneks tertentu bahkan dapat disederhanakan. Tata niaga Romawi itu memang mesti dhapuskan karena hanya sebentuk monopoli kapitalis saja, hingga harus dihapus, tapi kan dibentuk aturan baru yang lebih fair, aturan ini yang buat siapa, negara.

Klo diberikan pada para pemilik modal tuk buat aturan, yang ada ya peraturan yang akan menguntungkan pemilik modal... peran negara justru terlihat dalam pengairan, sekarang di era ini, perannya kan tak hanya itu, banyak hal mas... Saya kok melihat Amr tidak sensitif sosialnya, masak ada provinsi lain sedang mengalami kemelaratan gak dibantu...ingat waktu itu juga sudah timbul friksi antar dinasti sahabat nabi, setelah Abu Bakar semua khalifah mati terbunuh karena politik kekuasaan kabilah. Jadi bukan pertimbangan ekonomi bagi saya, tapi politik tuk soal penentangan Amr pada Umar itu,...

Wah, HTI itu rujukannya adalah utopis, bukan khalifah empat itu mas, tapi mengambil saripatinya dari era khalifah empat itu saja dengan akhlakul karimah dan perpolitikan nabi, jadi tidak ada rujukannya...

Pertikaian selalu tidak menghasilkan ”kedamaian”, yang terjadi bukanlah efisiensi tapi adalah monopoli, manipulasi, persaingan tidak fair, karena tiap orang yang berhasrat memiliki kapital akan selalu dikendalilan oleh hasratnya untuk menumpuk modal, sebagaimana filosofi yang mendasarinya maka mekanisme ini lebih menekankan pada kesejahteraan individual, bukan sosial, makanya sensitivitas sosial menjadi luntur, dan hanya ditambah-tambal dengan CSR dan lain sebagainya itu.

Dalam logika kapitalisme, monopoli adalah sah-sah saja, saingan tidak fair juga sauh karena memang tujuannya untuk dapat laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya (gampangnya gitu).

Pertanyaannya adalah, efisiensi itu sebenarnya adalah mekanisme internal saja, yang lagi2 tujuannya untuk internal perusahaan saja, bukan untuk yang lain, yang ”dieksploitasi” (anda pasti akan menghilangkan/menghaluskan istilah ini dengan ”transaksi”, dan lainnya kan??).

Hyperkonsumerisme, ia adalah perilaku konsumerisme yang ”terlalu”, dulu orang cukup makan tiga kali kala lapar, sekarang dipaksa oleh media dan rayuan gombal dunia industri untuk mengkonsumsi produksi yang memang sengaja dilebihkan untuk mengeruk laba.

Makanya sejak dulu saya katakan, jeleknya hiperkonsumerismya adalah –sebagaimana dalam hyperkapitalisme/atau kapitlisme itu sendiri- sensitivitas sosial luntur dan hilang, individualisme/egoisme muncul, semuanya dalam logika percepatan modal-kapital yang menjadikan justru otentisitas kediriannya hilang, individualisme bagi saya bukan otentisitas kedirian, coz ia dibentuk oleh laju modal-kapital tadi.

Logikanya kalau istri anda pake cartier seharga 1 honda accord adalah, istri anda telah melakukan konsumsi secara berlebih dari yang dibutuhkan, istri anda terjebak pada hasrat yang selalu minta dipenuhi atau ”lack” dalam psikologi Lacanian. Apakah tidak cukup pakai arloji yang biasa dan sederhana saja, makanya sekali lagi adalah hilangnya otentisitas kedirian, sensitivitas sosial, semangat kesederhanaan, tepo seliro, dan bagaimana agar tidak menimbulkan iri hati, ini yang hilang, dalam istilah lain adalah post-metafisika.

Ed Khan,