online degree programs

Kamis, Januari 15, 2009

Masyarakat Konsumtif

Bertolak dari perspektif ekonomi, konsumsi adalah salah satu dari 3 anasir utama di dalamnya, selain produksi dan distribusi. Meskipun telah diadopsi dan diserap dalam bahasa Indonesia, secara umum, “konsumsi” kemudian membawa pemahaman kepada “memakai”. Tetapi dua kata tersebut bukanlah hal yang sejajar. Maksudnya, hal yang dikonsumsi itu sendiri tidaklah selalu berupa benda (makanan, pakaian, dsb). Mengkonsumsi, lebih kepada memakai fungsi dari benda tertentu. Dalam hal makan misalnya, yang dikonsumsi bukanlah makanannya, melainkan fungsi dari makanan tersebut yang membuat kenyang. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, bukankah satu benda bisa saja memiliki bermacam fungsi? Dan bagaimana jika perilaku konsumtif tersebut telah menjadi perilaku komunal?

Dari sini lah, agaknya pemaparan ini bertolak.

Secara konseptual, konsumsi merupakan oposisi dari produksi, jika produksi dipahami sebagai proses memberikan nilai bagi benda. Tetapi pada keadaan riil, konsumsi dan produksi, sebagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia, tidak jarang mencampurkan dirinya dalam satu perilaku manusia. Proses produksi, di saat yang sama, atau didahului oleh proses konsumsi. Demikian halnya dengan proses konsumsi maka proses produksi bisa dijalankan. Hal ini terjadi karena proses tersebut tidak bisa dilepaskan dari si pelaku, yakni manusia. Dalam diri manusia, selalu berjalan proses konsumsi dan produksi. Bahkan satu kegiatan dapat dianggap produksi dan konsumsi. Sebagai misal, makan, adalah mengkonsumsi sesuatu dari luar tubuh manusia. Tetapi, pada proses makan itu sendiri juga dilakukan proses-proses mekanis-biologis, sehingga substansi dari makanan bisa didapatkan, dan akhirnya digunakan sebagai sumber energi untuk beraktivitas. Terlihat di sini bahwa konsumsi dilakukan sebagai tuntutan akan suatu kebutuhan.

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa pemenuhan kebutuhan bersifat memaksa. Dalam konsep psikologi, kebutuhan harus dipenuhi, tetapi obyek pemenuhannya dapat dimanipulasi, baik dari luar, maupun dari dalam diri manusia. Jika seseorang terdesak oleh kebutuhan, dan keadaan sekitar tidak mengijinkan orang tersebut untuk mendapatkan obyek yang diinginkannya, maka orang tersebut dengan sendirinya akan menurunkan nilai-nilai idealnya, dan memilih obyek yang paling mugkin, sehingga kebutuhannya bisa terpenuhi atau tertunda sampai didapatkan obyek yang sebenarnya. Hal demikian adalah bentuk manipulasi yang dilakukan dari dalam individu. Manipulasi dari luar, misalnya saat anak kecil menangis karena meminta balon, si Ibu memilih untuk menenangkan si Anak, dan kemudian menidurkannya.

Jika hal ini dikaitkan dengan fenomena sekitar, terjadinya “ekstase” dalam konsumsi, misalnya yang sering terlihat, ada mahasiswa yang berganti handphone setiap sekali dalam bulan, lalu tertulisnya “jalan-jalan, hang out, shopping, di mall” dalam curriculum vitae beberapa finalis pemilihan putra-putri psikologi pada kolom hobi, tentu ada sesuatu yang patut dicurigai di sini.

Sebagai kemungkinan pertama, adalah adanya pergeseran dalam memahami dan melakukan proses konsumsi. Konsumsi, yang pada awalnya ditempatkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan, justru ditempatkan sebagai kebutuhan itu sendiri. Munculnya kebutuhan akan konsumsi paa dirinya sendiri. Kemungkinan kedua, adalah terdapat kekurangmampuan dalam mengurai dan memprioritaskan kebutuhan. Kebutuhan makan atau minum bukan lagi hanya makan atau minum saja, tetapi telah dibumbui dengan sedikit gengsi, kenyamanan suasana, dan trend, misalnya. Telah terdapat percampuran kebutuhan, dan individu terkait tidak bisa membedakan antara keduanya, dan cenderung tidak menyadari keadaaan yang seperti itu.

Dalam satu Catatan Pinggirnya, Goenawan Mohamad menulis—dan menyesalkan—bagaimana kini telah terjadi pergeseran, dari apresiasi menjadi konsumsi. Apresiasi mengesankan adanya penghargaan atas suatu hal, dan konsumsi hanya semata-mata memakai fungsi dari benda tersebut. Bisa dilihat di sini, bahwa ukuran dari suatu benda—dan juga orang lain—adalah “apa fungsinya bagi saya”, ataupun “apa tujuannya”. Artinya, rasionalitas tujuan menjadi dominan, sementara hubungan interpersonal yang tak bertujuan apa-apa selain hubungan itu sendiri, akhirnya tak terpikirkan. Dan inilah kemungkinan ketiga.

Terkait dengan ekstase konsumsi, Mall adalah salah satu fenomena lain, yang agaknya cukup menarik, sehingga beberapa nama tertarik untuk untuk membahasnya. Dalam konteks kekinian, Mall telah mejelma sebagai ruang bersama untuk mempelajari seluk-beluk seni, sampai dengan kehidupan sosial. Tetapi, Mall sendiri sebenarnya adalah tempat untuk berbelanja, sehingga selain sebagai ruang berkumpul orang banyak, orang banyak tersebut juga seakan-akan bersiap-siap untuk menjadi konsumer masa depan.

Sebagai sebuah pasar (market), Mall bukan lagi hanya berfungsi sebagai tempat untuk bertransaksi. Mall juga mempunyai fungsi akulturasi, sehingga bisa dikatakan tempat untuk belajar, dan sebagai sumber nilai-nilai baru. Yasraf Amir Piliang, bahkan mengatakan bahwa Mall adalah tempat untuk mencari Nabi-nabi vrtual, Tuhan digital, juga surga cyber.

Sementara itu, saat melihat banyak orang di dalam Mall, terlihat bagaimana hampir bisa dikatakan terdapat keseragaman dalam hal pakaian dan gaya mereka. Potongan rambut, model celana, dan juga aksesoris. Di sisi lain, ketika pandangan diarahkan pada toko-toko pakaian, maka pakaian yang dijual pun merupakan pakaian yang satu tipe. Artinya, konsumtif bukan lagi merupakan sesuatu yang datang—dari satu pihak—atas atau bawah saja, melainkan karena keduanya bersama-sama menjadi konsumtif.

Tetapi disamping itu, bagaimana terjadi banjir barang, sampai dengan informasi, keduanya begitu cepat datang, dan memaksa manusia untuk segera membuat pilihan, sehingga manusia tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Berbagai hal datang dengan berbagai cara, menawarkan diri untuk dibeli dan dimiliki, mengesankan “jika Anda tidak bergegas, maka Anda akan keduluan oleh orang lain”. Masyarakat, seakan baru belajar untuk mengeja, namun telah disodori banyak hal, sehingga tak bisa lagi kritis, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Konsumerisme, bukan terjadi hanya di dalam satu bidang. Dalam makanan, keilmuwan, kependidikan, bahkan spiritualitas. Dalam kependidikan, terlihat bagaimana ramai-ramainya pelajar yang hijrah untuk berkuliah di luar negeri. Pertanyaan besar untuk hal ini adalah—seperti telah dijelaskan sebelumnya—dari sekian banyak motif yang ada, motif manakah yang lebih dominan? Apakah pengembangan keilmuan pribadi, prestise, atau yang lain? Atau permasalahan spiritualitas, terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap aliran-aliran yoga. Artinya, terjadi pergeseran, antara melihat kebutuhan sebagai kebutuhan itu sendiri, ataukah kebutuhan akan simbol-simbol?

Di sisi lain, manusia bukan sekedar seperti tong yang menampung segala yang dimasukkan ke dalamnya. Bukan pula sebagai keranjang, yang hanya bisa menyaring apa-apa yang tak lolos dari saringan. Manusia, selain mempunyai kemampuan tersebut, juga mempunyai kemampuan untuk menyematkan arti kepada suatu symbol. Bukan cerita asing lagi, bila celana jeans, pada awal konteks sosio-historisnya merupakan pakaian seorang petani. Tetapi sampai di sini, jeans adalah celana yang bisa digunakan kemana saja, dan perlu dicatat, celana jeans jarang digunakan untuk bertani. Artinya, dalam kungkungan ketakberdayaan oleh melimpah-ruahnya benda dan symbol, manusia masih sempat berlaku kreatif. Manusia bisa menarik-ulur makna. Dan yang perlu disayangkan dalam hal ini, adalah kikisnya kritis, karena kritis dianggap sebagai sesuatu yang menghambat laju kelimpahruahan tersebut.

Dalam Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russel mengatakan bahwa untuk memahami suatu zaman, adalah dengan memahami filsafatnya. Mungkinkah, filsafat pada zaman ini adalah “konsumerisme”? Ataukah mungkin tesis dari Bertrand Russel sejak awal justru memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri?


Ahmad Fahmi Mubarok

18 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau ndk salah, kategorisasi produksi, konsumsi dan distribusi ialah hasil olah pikir Stuart Mill, kelihatannya pandangan tersebut perlu direvisi secara total...karena dengan pengatogorian tersebut membuat siswa seluruh negeri di Indonesia mengalami kesesatan pemahaman ekonomi...

Dalam satu hari, saya sering melakukan 3 kali makan, 12 jam kerja, dan 4 jam bolak-balik warung makan....oh lupa...bolak-balik penelitian skripsinya belum saya hitung....he2...

Jadi masyarakat konsumsi itu tidak ada! yang ada hanya mahasiswa yang sering membohongi orang tuanya bahwa dia butuh uang untuk beli buku, eh taunya dibeliin pulsa....butuh motor untuk kuliah, eh tak taunya buat antar jemput 'cewek simpanannya'...butuh dana untuk ngerjain tugas, eh tak taunya buat main2 'anu'-nya cewek....

Gitu fah, jangan ditiru ya!....he222

Anonim mengatakan...

haha... pengalaman pribadi po mas?

ya emang ndak ada, makanya disitu masyarakat konsumtif. atau orang-orang konsumtif.

Anonim mengatakan...

wah pengalaman pribadi gimana. Hampir ndk pernah ngerasain gituan. Masa mudaku telah banyak direnggut sebagai 'gelandangan PKM', 'pendusta ilmiah (alias Lomba Karya Tulis), dan yang terakhir pengais sisa-sisa uang saku mahasiswa (alias bisnis seputar kampus)...

Jangan ditiru ya...berat hidup kaya gituan...kalo yg ndk kuat bisa gantung diri...ha2...

Anonim mengatakan...

Saya kok lebih sepakat dengan Baudrillard yang begitu bagus artikulasinya tentang kapitalisme yang hyper, modernisme yang hiper, konsumsi yang hiper...

tapi soal realitas, sebagaimana Yasraf, agaknya Ricouer lebih meyakinkan dalam menyandingkan bahwa antara realita dan hiperealita sama-sama bersanding ketimbang kata Baudrillard hiperealita "menggangtikan" realita ..hehehe

mungkin dengna begitu yang tidak dapat menyadari "adanya" konsepsi masyarakat konsumsi even dalam tataran ide, adalah mereka yang tidak sampai pada tataran permenungan ontologis-filosofis..hehe

Unknown mengatakan...

tetep konsumtif yang berlebihan tak baik bah...ya dikontrol aja mending buat tabungan masa depan kalo masih punya masa depan

Anonim mengatakan...

Psikologi, dalam metode2nya untuk menaklukkan masyarakat, mempunyai peran penting guna mengubah konsumsi untuk memenuhi kebutuhan menjadi integral dengan kebutuhan itu sendiri...
Konstruksi budaya populer sangat mengijinkan hal itu..

Anonim mengatakan...

@Edy
Perenungan ontologis-filosofis ide konsumsi, ato konsumsi ide filsafat ontologis?
Ed, kelihatannya anda sulit membedakan keduanya. Bah!

Anonim mengatakan...

saya pikir tidak ada masalah dengan konsumsi, juga terhadap ide atau gagasan atau ilmu pengetahuan atau apa saja. soalnya, menurut saya, adalah apa yang dikonsumsi. secara sederhana, mengapa anak muda lebih memilih untuk mengkonsumsi hp super terbaru ketimbang buku karya Foucault misalnya.

apalagi, jika yang dikonsumsi itu adalah "konsumsi" itu sendiri, atau biasa orang menyebutnya hiper konsumsi.ada kenikmatan adalah bukan pada "apa" yang dikonsumsi, melainkan pada laku "konsumsi" itu sendiri.

dalam kasus yang diberikan mas Giy,saya pikir tidak hanya ada dua pihak yaitu anak yang diberi uang untuk bayar spp tapi beli hp dan bapak yang memberi uang pada anknya untuk bayar spp dan bukan untuk beli hp. lebih dari itu, ada aktor lain selain kedua belah pihak tersebut.sebut saja, media. Televisi dengan segala iklan, sinetron, dan sebagainya dan juga mall-mall yang semaki menawarkan daya kenikmatan yang seakan tak ada habisnya turut merubah pola pikir si anak yang tadinya harus bayar spp tapi malah beli hp. di seberang yang lain, segala "modelling" untuk melakukan segala apa yang bisa mengcounter hal-hal tersebut sangat kecil sekali.

saya kira, mari mengkonsumsi! tapi konsumsilah makanan yang bergizi, baik untuk kesehatan badan, pikir, dan jiwa. dan juga, marilah mengkonsumsi makanan para petani Indonesia! pesan ini disaampaikan oleh Partai Gergeran. he.....

Anonim mengatakan...

terlepas dari masalah masyarakat konsumsi, memang pola hidup orang indonesia menuntut adanya budaya konsumerisme. kalo bukan konsumerisme mana mungkin bisa dianggap eksis mas fahmi??, wong mahasiswa sekarang ja kalau ga kenal dugem belum disebut mahasiswa ko..,
boro-boro ke Gramedia atau ke perpus yang gratis, mungkin alergi kalau udah denger kata perpustakaan or buku gitu...
ha...ha....2x

Anonim mengatakan...

benar juga mas Andi, jangan-jangan kita juga mengalami nikmatnya laku "konsumsi" (hiper konsumsi) dengan segala teori, wacana, buku dan segala yang kita diskusikan.

jangan-jangan, kita tidak peduli lagi terhadap apa yang kita pelajari (teori ini itu) tanpa tahu betul keguanaannya bagi kesehatan kita dan manfaatmya bagi masyarakat. jangan-jangan...

tauf

Anonim mengatakan...

Jangan-jangan kita salah baca buku...atau jangan-jangan kita membaca buku yang salah...

Anonim mengatakan...

Aha erlibniz... kang giy, itu kan hanya perasaanmu saja, tak masalah apapun yang dikau kata...

agaknya ada yang lupa dikau namai, yakni filosofis-ontologis dalam tiap hal yang dikau omongkan, atau jangan2 dikau gak paham apa itu filosofis-ontologis hehehe....

jangan-jangan......ah jangna-jangan

Anonim mengatakan...

ah....
jangan-jangan.....

jangan-jangan kita semua tidak sadar bahwa tanpa konsumsi kita semua akan mati.
tak peduli konsumsi yang wajar atau yang hyper......

Anonim mengatakan...

sodaraKU ngawur...
tidak ada kata kita salah baca buku...atau membaca buku yang salah...

hanya orang bodoh yang bicara begitu..


yang salah bagaimana kita menginterpretasiakan dan mengaplikasikan apa yang kita baca.

Anonim mengatakan...

Hitler, Musolini, Castro adalah penerjemah gagasan2 konyol...kalau teman-KU ada yang mengatakan bahwa: membaca buku yang salah itu tidak ada...
Barangkali dia perlu me-ngecek otaknya sendiri. Barangkali saat menulis kalimat itu, dugaan saya, otaknya sedang tidak sering dipakai...

Anonim mengatakan...

hwa ha ha.... salah interpertasi dalam posmo itu sah, salah implementasi itu gak ada, yang ada hanya "merayakan semuanya", baik kesemuan, kebenaran, konsumerisme, dan lainnya... dalam hyperkonsumerisme orang dapat nyaman, makanya dirayakan saja kata Baudrillard dkk...


kang giy, "yang salah adalah jika tidak membaca buku, tidak menggunakan otaknya"...

Anonim mengatakan...

kupikir-pikir lagi, hyperconsumerism,hyperreality,hypersemiotics, dll itu tidak ada. yang ada adalah konsumsi yang kurang, wajar, dan berlebihan. soalnya, adalah motif apakah yang membuat seseorang melakukan konsumsi di tingkat itu?

menurut saya, ada dua macam motif; motif dari dalam pribadi sendiri(perspektif manusia)dan motif yang datang dari luar pribadi (perspektif struktur/sistem). pada mas Giy, penekanan konsumerisme yang berlebihan terletak pada sifat manusia sendiri yang cenderung tidak bisa mengendalikan diri dan bukan karena iklan dan mall yang berlebihan. pada cak edsu, penekanan terhadap segala realitas yang dikonstruksi oleh struktur yang membuat konsumerisme masyarakat berlebihan. seolah-olah, manusia tidak bisa menolak segala godaan konsumsi yang berlebihan di sekelilingnya.

jadi,kira-kira sederhana saja; janganlah berlebihan dalam segala hal, juga dalam melebih-lebihkan!

salam damai,
taufiq

Anonim mengatakan...

itulah yang saya maksud selama ini sebagai "jangan melampaui kapasitas definitifnya" Gus hehe....