online degree programs

Jumat, Maret 20, 2009

Post-Gerakan Mahasiswa (3)


Dengan keprihatinan mendalam terhadap kondisi gerakan mahasiswa, maka digagaslah post-gerakan mahasiswa yang merupakan koreksi terhadap post-gerakan mahasiswa yang telah ada. Perlu ditegaskan kembali bahwa dengan demikian terdapat dua makna post-gerakan mahasiswa.

(1) post-gerakan mahasiswa sebagai kondisi gerakan mahasiswa yang acakadut, karut-marut, dan tidak sesuai dengan idealnya gerakan mahasiswa, yang tiada pegangan idealisme, yang tiada beda dengan partai politik dan kaum yang meyakini kebenaran mitos neoliberalisme, dan (2) post-gerakan mahasiswa sebagai “gagasan baru”, atau setidaknya membangun kembali gagasan ideal yang mulai ditinggalkan dalam formasi gerakan mahasiswa sekarang ini, yang tidak menempatkan gerakan mahasiswa sebagai determinan penting dalam perubahan sosial, mungkin juga dalam perspektif diskursus teori-teori sosial kontemporer, makna kedua dari post-gerakan mahasiswa ini dapat disebut sebagai post-post-gerakan mahasiswa.

Sebenarnya agar gerakan mahasiswa kembali berdaya sebenarnya adalah dengan memutus patronase mereka pada partai dan ormass, yang selama ini bahkan sudah menjadi kultur dalam organisasi mahasiswa ekstrakampus untuk mengemis donasi pada senior mereka di partai, parlemen, pemerintahan, kultur proposal, yang menjadikan mereka tidak dapat bersikap tegas, bersikap mandiri tanpa tekanan dari senior, menjadikan mereka justru seolah berjalan di bawah ketiak senior mereka, sebuah kultur yang melalui organisasi mahasiswa tersebut hanya melahirkan pemimpin atau politisi bermental pengemis, penjilat. Namun hal ini mustahil dilakukan karena memang ikatan patronase tersebut telanjur menjadi lingkaran setan yang tak dapat diputus. Jadi, dari organisasi mahasiswa tergantung pada senior mereka yang berhasil di perpolitikan, dan ketika mereka jadi senior pun akan begitu, menjadikan yunior mereka di organisasi mahasiswa bergantung pada mereka.

Sekarang yang dibutuhkan bukan musuh bersama yang dapat menyatukan gerakan mahasiswa, hal itu justru kontraproduktif dengan hakikat perjuangan gerakan mahasiswa itu sendiri. Datangnya musuh bersama hanyalah soal momentum seperti pada angkatan ’66 dan ’98, yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen pada memperjuangkan keadilan, membela rakyat dan melawan diskriminasi. Ketika komitmen ini hilang dalam gerakan mahasiswa yang tak dapat lepas dari patronase dengan partai dan ormass yang memiliki kepentingan dalam perebutan kuasa, maka yang perlu dilakukan adalah mencari agen-agen lain yang dapat terus berkomitmen dalam perjuangan, para aktivis mahasiswa yang tidak terikat secara ideologis dan politis dengan partai dan ormass yang berambisi merebut kuasa pemerintahan. Sudah tidak ada harapan lagi pada organisasi mahasiswa ekstrakampus yang ada sekarang ini, karena patronase mereka hanya meneguhkan lingkaran setan yang melahirkan politisi dan pemimpin bermental penjilat, oportunis, dan tak dapat mandiri. Alternatif solusinya agaknya hanya ada pada gagasan post-gerakan mahasiswa, lalu bagaimanakah bangunan gagasan ini mewujud?

Sebagaimana dikemukakan di depan, post-gerakan mahasiswa ini mengambil dari semangat Gramsci tentang blok-blok historis dan intelektual organik. Dengan demikian selayaknya dibentuklah banyak komunitas-komunitas intelektual yang tidak harus selalu mahasiswa sebagai anggotanya, melainkan bisa mahasiswa bisa pelajar, bisa santri bisa abangan, namun tentu bukan anggota partai politik, kalaupun anggota partai politik maka adalah dalam rangka tukar pengalaman, belajar bersama, dan tidak dibenarkan menjadikan komunitas intelektual sebagai underbow partai. Walaupun demikian, komunitas intelektual tetap membidik kaum cerdik pandai dari mahasiswa, para intelektual yang masih konsisten dalam perjuangannya –mungkin statusnya sudah tidak mahasiswa, tapi dosen, guru, aktivis- dan masyarakat umum lainnya yang berminat dalam aktivitas belajar (intelektualisme). Hal ini adalah upaya untuk keluar dari keterjebakan pada mode gerakan mahasiswa sekarang yang hanya mengakomodasi mahasiswa dan menghindari stigma negatif patronase gerakan mahasiswa dengan kekuasaan politik.

Gagasan Gramsci dalam memberikan solusi dari gerakan sosialis kaum proletar yang bertumpu pada buruh adalah dengan menggandeng kaum intelektual, di sini pula ditekankan pada peran penting intelektualisme, para intelektual organik, dan intelektualitas sebagai aktivitas politik. Lebih jauh, ketika mengartikan post-gerakan mahasiswa dengan melihat para mantan mahasiswa yang telah memosisikan dirinya di masyarakat, yang dapat dilihat dari peta persebaran profesi dan peran sosialnya di masyarakat, maka post-gerakan mahasiswa dapat juga mewujud dalam gerakan intelektual sebagai aktivitas politik di antara mereka, baik di buruh –dalam tesis Marx, serikat guru, dosen, peneliti, pedagang, dan lainnya.

Komunitas intelektual ini berprinsip tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, hingga semua pemikiran, sikap, dan aksi yang dilakukannya bebas dari intervensi dan kesungkanan dogmatis partai politik. Komunitas intelektual menjadi satu elemen atau kelompok masyarakat yang tetap memegang teguh intelektualisme, namun bukan intelektualisme elit yang juga seringkali berselingkuh dengan kuasa politik praktis dan modal neoliberalisme. Komunitas inilah yang akan mengoreksi kesalahan partai politik dalam banyak hal, juga kesalahan intelektual borjuis dalam pemihakannya pada modal dan kuasa. Penekanan pada intelektualisme ini bukanlah dalam pengertian intelektual akademik, melainkan intelektual organik yang tetap membangun tradisi membaca, belajar, diskusi, dialog, dan juga berkarya intelektual dengan menulis, bekreasi seni, budaya, bahkan aksi-aksi intelektual, budaya, dan politik.

Ideologi dasar post-gerakan mahasiswa mestinya adalah ideologi kritis sebagai ideologi gerakan. Komunitas intelektual ini digagas dengan membuat jejaring dengan komunitas intelektual lain secara intensif, mengisi ruang-ruang kosong intelektual yang menganga di banyak kawasan sekitar kampus, ya sebuah kampus yang gagal menghasilkan kaum muda (mahasiswa) minim komitmen pada aktivitas intelektual organik. Mengimbangi gerak laju budaya instant mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang tiada lagi bedanya dengan partai politik dan intelektual pro neoliberalisme, merintis sebuah gerakan alternatif, menjadi motor penggerak aktivisme gerakan sosial baru, cita-cita paling jauh mungkin adalah menyemai benih dan menyirami tumbuhnya masyarakat belajar.

Bagaimana dengan intelektualisme di Semarang, saya tidak lebih tahu dari Anda sekalian. Namun satu hal mengingat agaknya secara kaprah bahwa intelektualisme di Semarang tidak lebih semarak dari Jakarta, apalagi Yogyakarta. Beberapa komunitas intelektual berdiri dan beraktivitas tanpa banyak diketahui publik secara luas, di Unnes, Undip, IAIN Walisongo, dan lainnya. Di Undip salah satunya terdapat Histeria yang konon konsen pada kajian sastra dan filsafat, di IAIN di antaranya terdapat Justisia, komunitas pers mahasiswa fakultas Ushuluddin yang konsen dalam kajian keislaman kontemporer, dan di Unnes terdapat Komunitas Embun Pagi yang “rakus” mencoba mengkaji semua hal, di Gunungpati terdapat komunitas Gebyog yang dibidani oleh Kang Putu dan kawan-kawan. Mungkin gairah intelektual di Semarang yang paling kentara dan dikenal publik adalah dalam bidang budaya, sedangkan untuk yang konsen dalam kajian keilmuan masih sangat minim.

Konon berdasarkan penuturan sahabat yang relatif lebih tahu mengenai kondisi intelektual di Semarang, iklim senioritas dan hegemoni generasi tua masih sangat kental, intelektualisme kaum muda tidak mendapat tempat untuk berekspresi, bahkan cenderung dihalang-halangi, dan tidak mendapat kepercayaan intelektual. Kondisi inilah yang mestinya didobrak dengan menunjukkan bahwa masih terdapat kaum muda Semarang yang memiliki perhatian dan komitmen pada dunia intelektual di Semarang, yang selalu mencoba untuk menjadi intelektual –dalam pengertian yang paling sederhana pun tentangnnya- dan memberikan kontirbusi –sekecil apapun itu- bagi bergairahnya kembali dinamika intelektual Semarang. Semoga saya tidak sedang nglindur kawan-kawan.... [ ]

Edi Subkhan, penulis....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

After a moment, Ugg Boots Sale Uk did not speak out, ugg was going to be this depressing atmosphere forced to lose the usual calm, his move to stand up: "didn't I go!""We," ugg timely open, voice has a strong sorrow, "has come to the point?"Ugg started,http://www.cheapbootsselluk.com/ stopped and action, then no smile: "yes, you know?Since you have nothing to say, there are still together what?Inviting trouble!"
"Good!" The voice of the Cheap Ugg Boots choking a bit, try to remain calm, "So please allow me to quote you: in the end I do, you are willing to believe that I really do not care?"    Me "do not have in this tangled!" Ugg suddenly calm down, and even a slight smile, "there is no need to take care of the rest of my life because of guilt or responsible for holding the mentality! Now with feeling so tired, why also keep a smile barely do? each other, perhaps we would be better off! So give up now! atonement on behalf of your family before the dissolution of marriage, and I refused to, that you let me ...... feel then! '
To expiate sin.ugg 1873 such as lightning, trembled, the original "in your eyes, I love all of you, are only to sin and make an illusion?Ugg, you......Hello.He said, with a sudden, sharp dagger instantaneously inserted into his socket, blood, slowly flow out!

[URL=http://www.magct.com/blog/view/114960/the-most-attractive-2011-spring-the-north-face-pro]the most attractive 2011 spring the north face pro[/URL]
[URL=http://fcopa.com/blogs/entry/every-age-with-regard-to-women-ghd-iv-styling-tool]every age with regard to women ghd iv styling tool[/URL]
[URL=http://innocentlovers.com/member/blog_post_view.php?postId=4861]north face men's scythe jacket tnf black outlet ka[/URL]