PENGANTAR ARTIKEL
Dalam postingan kali ini saya alamatkan untuk menanggapi artikel Saudara A. Aziz beberapa waktu yang lalu----yang nyaris penuh membela Positivisme Comte. Walaupun tidak dapat digeneralisasi, apa yang diyakini Akedemisi muda kita yang satu ini, dapatlah kita anggap sebagai keyakinan filosivis zaman ini. Sebagai seorang akademisi muda yang cerdas, brilian dan memiliki semangat tinggi dalam belajar, di tangan orang-orang seperti saudara Aziz-lah masa depan perkembangan pengetahuan dan pendidikan dapat kita potret arah dan nasib-nya.
Tulisan ini pun masih belum sempurna. Karena keterbatasan kemampuan, penulis hanya mampu menyuguhkan salah satu alternatif metodologi non-Comteisme. Berdasarkan beberapa pertimbangan dan masukan, penggarapan tulisan ini akan diulas secara serius di Komunitas Embun Pagi setelah penggarapan "Embun Pagi Nglindur". Bagi yang bersedia membantu (dalam bentuk apapun) dapat mengirim email ke pagiembun@gmail.com. Artikel ini juga terbit di sini. Selamat menikmati!
Apabila dilihat secara jeli, ada kesan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah menuju pada kematian. Dalam banyak seminar dan diskusi, kadang terdengar keluhan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah tersub-ordinatkan oleh pengetahuan alam. Hal ini memang disayangkan dan, bahkan, menurut saya, tidak terjadi secara kebetulan. Keluhan tersebut sering timbul sebagai reaksi terhadap berbagai kebijakan-kebijakan politik pendidikan ataupun kebijakan lain yang terkait dengan kepentingan kebutuhan-kebutuhan praktis (misalnya dalam “mencetak” tenaga-tenaga teknis terdidik).
Apakah benar landasan pemikiran di balik kebijakan-kebijakan semacam itu? Sejauh mana pengaruh ilmu pengetahuan alam telah menyilaukan para pakar ilmu sosial? Dan siapakah yang bertanggungjawab atas keyakinan filosofis dari penyimpangan yang terjadi sekarang ini?
Adalah Auguste Comte pihak yang bertanggungjawab di sini. Comte memberi kita visi tentang idealitas keilmuwan; tentang ilusi keagungan penerapan prosedur eksperimen dalam penyelidikan sosial; tentang pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”. Ironisnya, pandangan ini sekarang telah menjadi satu-satunya norma ilmiah–sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika, misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi filosofis Auguste Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak melalui prosedur eksperimen yang empiris.
Monopoli terhadap klaim bahwa prosedur kaum positivistik sebagai satu-satunya prosedur yang paling ilmiah merupakan satu bentuk kebebalan akademik. Positivisme dalam ranah epistemologi mensyaratkan bahwa ilmu tindakan manusia harus menerapkan prosedur yang sama seperti yang dilakukan dalam ilmu alam.
Dalam ranah aliran psikologi, kaum positivis terjelma dalam aliran behaviorisme, atau sering disebut neopositivisme. Dalam bidang budaya dia muncul dalam kritik sastra serta kritik seni. Dalam bidang politik dia tampil dengan pemberlakuan hukum positif dsb. Karena keterbatasan ruang serta kemampuan, di sini saya akan menunjukkan beberapa kesalahan dari sudut pandang epistemologi ilmu pengetahuan terhadap keyakinan-keyakinan filosofis kaum positivis.
“Teori” Positivisme
Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah menelaah sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif. Dalam penafsirannya, penemuan ajaran Bacon, konsep Descrates dan pandangan Galileo ialah salah satu bentuk semangat perkembangan masyarakat positif dalam melawan sistem skolastik. Untuk itu Comte mengajukan sebuah cabang ilmu yang, menurut dia, seharusnya memiliki keteraturan yang sama seperti ilmu alam, ia menyebutnya fisika sosial (Social Physics).
Alih-alih menelaah sifat manusia secara utuh, dalam karyanya Comte malah lebih banyak mengulas Matematika, Astronomi, Statistik, Geometri, Fisika, Kimia. Konon, menurut Comte, hal itu dimaksudkan untuk mencari prasyarat bagi tahap-tahap menuju masyarakat positif. Di sini Comte cukup “sukses”. Kita sekarang telah dibingungkan oleh ajaran Comte yang sesat. Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat mendekatkan kita pada objek observasional.
Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa. Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste Comte!
Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Ia mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku, ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu memiliki logika formalnya sendiri-sendiri.
Terakhir, masih menurut Comte, untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial. Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan. Pandangan ini jelas-jelas memberi jalan panjang bagi kematian karya-karya klasik. Bagi Comte, ide-ide masa lalu yang mengarah pada anarkis adalah musuh keteraturan masyarakat. Anggapan tersebut jelas keliru. Musuh keteraturan bukanlah anarkisme intelektual tetapi imoralitas perilaku.
Permasalahan Epistemologi Positivisme
Kesalahan Comte yang paling mendasar adalah memperlakukan setiap fenomena seperti hukum ilmu alam—yaitu memiliki sifat yang tak berubah serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Dia menganalogikan setiap fenomena harus mengikuti jalan yang sama bagi penemuan teori ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Ini kebodohan tingkat tinggi. Comte mengatakan:
The first characteristic of the Positive Philosophy is that it regards all phenomena as subjected to invariable natural Laws. Our business is,—seeing how vain is any research into what are called cause, whether first or final,—to pursue an accurate discovery of these Laws, with a view to reducing them to the smallest possible number. By speculating upon cause, we could solve no difficulty about origin and purpose. Our real business is to analyze accurately the circumstance of phenomena, and to connect them by natural relations of succession and resemblance. The best illustration of this is in the case of the doctrine of Gravitation.[1]
Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari keteraturan dari sebuah fenomena. Senjata pamungkasnya: statistik. Alasannya, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya pengujian ilmu alam. Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris—yang biasanya melalui data statistik—tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”.
Dapat dipahami tentang penekanan penggunaan statistik dalam ilmu sosial disebabkan oleh kesilauan ahli ilmu sosial terhadap prosedur induktif yang digunakan dalam ilmu alam. Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum fisika; sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi kita sudah merasa “paling ilmiah”.
Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi kejadian di masa depan. Fenomena yang telah direduksi ke dalam angka statistik pastilah fenomena masa lalu. Dia merupakan sejarah masa lalu; sehingga sangat musykil untuk membangun teori dari data statistik.
Sekarang ini ilmu sosial seolah-olah telah menjadi cabang dari ilmu matematika ataupun statistik. Kita hampir tidak pernah diberikan telaah tentang problem epistemologi. Dalam hal prosedur penelitian, hampir semua kurikulum perguruan tinggi telah mengajarkan filsafat ilmu—bukannya epistemologi ilmu. Sebagai akibatnya, telah menjadi keyakinan umum bahwa tanpa prosedur metodologis, sebuah temuan yang ‘hanya’ berdasar reflektif tidak akan pernah dianggap sahih.
Dampak lebih jauh dari pandangan tersebut ialah matinya sensitifitas serta kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Mahasiswa dan calon sarjana ilmu sosial, atau secara umum bidang manusia, telah benar-benar menjadi positif. Mereka hampir-hampir tidak memiliki kemampuan analisis logis yang mumpuni terhadap problem sosial. Sarjana-sarjana kita telah menjadi robot-robot akademik yang mudah untuk ditakut-takuti oleh wajah seram metodologi ilmu.
Entah berapa banyak lagi buku-buku metodologi penelitian sosial yang sekarang terserak di toko-toko buku mengasumsikan hal yang sama. Asumsi filosofis yang sejak zaman Locke, Hume serta Berkley hingga memuncak menjadi filsafat Positivis Auguste Comte, menganggap akal manusia hanyalah ‘tabula rasa’, yang hanya tunduk pada rangsangan inderawi. Mereka tidak mempercayai bahwa manusia memiliki benak yang aktif. Anehnya, determinisme filosofis yang semakin berlarut-larut saat ini tidak pernah dipertanyakan ataupun diresahkan oleh kalangan akademis kita.
Dengan demikian apabila ditelusuri secara logis, determinisme filosofis akan mengarah ke empirisme, dan apabila ditambah dengan prasyarat perlunya verikasi dan falsifikasi dia akan menjelma menjadi keyakinan positivis. Dengan kata lain, positivisme merupakan bentuk ekstrim empirisme serta bagian besar dari pandangan determinis. Determinisme adalah kakek positivisme. Begitu juga empirisme; dia anak determinisme, serta bapak dari positivisme.
Artinya, ketiga pandangan tersebut adalah keluarga besar yang menyamakan manusia seperti batu. Bagi determinisme, manusia adalah hasil endapan serta bentukan dari budaya, sejarah ataupun pengaruh perubahan iklim, seperti bebatuan yang berasal dari sedimen yang tererosi oleh iklim di luarnya (dalam derajat tertentu pandangan ini memang dapat diterima). Sementara, para empiris tidak cukup yakin bahwa yang dihadapi adalah batu, maka mereka belum puas apabila belum “meng-indera-I” sang batu. Positivisme jauh ingin lebih meyakinkan, dengan membawa sang batu ke laboratorium untuk mendapatkan pengujian hingga benar-benar dibuktikan bahwa yang ditelitinya adalah batu yang lapuk karena tererosi oleh perubahan iklim.
Satu hal yang dilupakan bagi kaum determinist empirist positivistic adalah bahwa manusia sesungguhnya mampu belajar. Mereka bukan sekumpulan bebatuan, atom-atom, molekul-molekul, serta agregat-agregat angka yang dengan sederhana dapat dirumuskan menjadi teori melalui kalimat; jika Y, maka X. Tapi sebaliknya, manusia adalah makhluk yang bertindak, berpikir, menilai dan memilih. Kehendak bebasnya merupakan sarana untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan hidup yang telah menjadi kodrat kehidupan. Manusia akan dapat belajar baik dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan bagi kepuasan serta eksistensinya. Singkatnya manusia bukanlah materi fisikal yang tak bertindak, sekali lagi, dia adalah makhluk yang bertindak.
Jadi, jika mayoritas kalangan akademik sekarang masih berkutat melalui asumsi-asumsi positivistik yang keliru, maka tidak ada cara lain kecuali mengkaji ulang asumsi-asumsi tersebut. permasalahan tentang apakah suatu bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah terletak pada penggunaan model matematis dan analisis statistik yang canggih maupun yang tidak canggih. Tapi pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam epistemologisnya dalam melihat objek material ilmu tersebut—yang tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis ilmu alam.
Kembali pada Logika Tindakan
Untuk melawan positivisme salah satu jawaban alternatifnya ialah kembali kepada kajian logika, logika tindakan (praksiologi) atau membuka kembali keran perdebatan metafisis. Teori ilmu sosial tidak akan dapat dihasilkan melalui prosedur eksperimen. Alasannya: manusia bukanlah batu, atom, molekul, planet bahkan tikus ataupun anjing. Setiap eksperimen yang dilakukan oleh peneliti sosial tidak akan dapat menjamin munculnya tanggapan yang sama pada masing-masing manusia.
Sebaliknya, Manusia adalah makhluk yang bertindak. Artinya, manusia akan selalu bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya. Tindakan tersebut akan selalu berbentuk cara-cara yang terbatas serta berbeda-beda bagi setiap individu. Atas dasar itulah basis tindakan manusia dapat dipahami.
Oleh karena itu pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat penting. Sebuah penilaian manusia tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu yang cardinal. Penilaian manusia akan selalu berbentuk ordinal. Sebuah nilai tidak akan dapat direduksi ke dalam agregrat-agregat melalui bahasa matematis dan juga statistik. Tetapi sebaliknya, nilai adalah sebuah prioritas. Dia tidak dapat menjadi A sekaligus dalam waktu yang sama menjadi B. Manusia akan selalu dibatasi untuk memilih—melalui penilaiannya—prioritas antara A atau B, ataupun memprioritaskan B daripada A.
Akan tetapi, kaum positivis barangkali akan tetap menolak dengan mengatakan bahwa logika, dan juga logika tindakan, tidak dapat disebut sebagai pengetahuan tentang realitas. Alasan mereka adalah karena pernyataan-pernyataan logika maupun praksiologi tidak dapat dibuktikan secara empiris. Dengan demikian, menurut anggapan yang berpandangan positivis, logika dan praksiologi hanya bersifat analitis dan bukan sintetis.
Untuk melawan argumen ini kita boleh saja mempertanyakan kesasihan kesimpulan non empiris dari 2 + 2 = 4. Apakah untuk menyimpulkannya kita memerlukan pengujian empiris? Jawabnya jelas tidak. Tapi kemudian pertanyaannya adalah, justifikasi apakah yang menyebabkan kesimpulan tersebut sahih baik secara empiris maupun logis? Yang pasti melalui hukum-hukum epistemologis dengan menyelidiki cara kerja akal, tentang refleksi melalui hukum non-kotrakdiksi, kausalitas, hukum identitas, dsb. Dalam ranah ini maka sangat penting bagi setiap ahli ilmu sosial untuk mempelajari epistemologi ilmu.
Namun cara kerja epistemologi bidang kajian ilmu manusia berbeda dari matematika. Dia beroperasi berdasarkan hukum-hukum logika tindakan. Walaupun preposisi apriori matematis berbeda dengan preposisi apriori dalam logika tindakan, keduanya mengkarakteristikan hal yang sama, bahwa kedua proposisi apriorinya tidak mungkin lagi dianalisis menjadi lebih kecil lagi. Artinya, dia menjadi batas akal/rasio dalam bekerja. Proposisi apriori matematis seperti; +, -, /, x adalah kaidah-kaidah yang membatasi hukum-hukum berfikir tentang realitas (yang dalam hal ini bukan ranah tindakan), yang apabila diuji secara empiris akan membawa pada kesimpulan yang sahih—dengan syarat tidak terjadi kesalahan logis dalam pendeduksiannya. Dengan demikian, dia sahih baik secara apriori maupun riil.
Begitu juga dalam logika tindakan. Kaidah-kaidah tentang identitas dan kontradiksi ialah kaidah yang membatasi dalam memandang realitas. Kategori-kategori logika seperti “ada”, “semua” serta implikasi-implikasinya seperti “dan”, “tidak”, “atau”, “jika-maka” merupakan batas-batas yang tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Dia akan begitu dan tetap seperti itu, baik secara logis maupun riil.
Walaupun karakter apriori logika tindakan serta karakter apriori matematis memiliki karakteristik yang sama, akan sangat keliru bagi kaum positivistik, yang menekankan fungsi prediktif, dengan cara menggunakan perhitungkan matematis dalam menggambarkan realitas tindakan. Alasannya, kerena proses pendeduksian matematis tidak dapat ditarik dari aksioma tindakan. Dalam perspektfi ini, maka sebenarnya positivisme tidak memiliki basis epistemologi apapun.
Di sinilah pentingnya kajian praksiologi atau logika tindakan. Pencarian kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur; dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif. Identifikasi tersebut mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif. Jadi memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika kemarin saya bangun jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa saya besok akan bangun pada jam yang sama seperti kemarin; secanggih apapun metode statistik yang Anda gunakan, Anda tidak akan mampu memprediksikan jam berapa besok saya akan bangun. Karena sebab-sebab konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali.
Kemudian kaum positivis mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah science jika tidak memiliki fungsi prediktif? Yang jelas tanpa memiliki fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang. Sains tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun; dia hanya dapat menguak realitas—-setidaknya agar kita tidak selalu dibohongi oleh ahli propanda serta menjaga peradaban dalam menciptakan individu-individu yang bebas, bermoral, kritis, kreatif serta inovatif.
Hanya melalui strategi perubahan cara pandang—atau setidaknya kembali mengkaji—epistemologi-lah krisis kemanusiaan dapat diperbaiki. Tanpa ada usaha perubahan tersebut maka kita akan selalu dihadapkan pada problem-problem sosial yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam memahami fenomena realitas manusia. Entah sampai kapan kita meyakini anggapan bahwa alat tukar/uang ialah hasil ciptaan pemerintah, atau bahwa harga barang seharusnya dapat dikontrol oleh politisi, atau menganggab hasil belajar pesertadidik harus dievaluasi serentak melalui Ujian “Nasional”. Tanpa disadari, dengan klaim jubah ilmiah oleh kalangan akademis, kita telah menciptakan bencana kemanusiaan yang berasal dari kesalahan pemahaman atas ilmu-ilmu tentang manusia itu sendiri!
[1] Lihat dalam pendahuluan karya Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harriet Martineau (London George Bell & Son, 1986), hal. 31.
*Giyanto: sedang mendalami Praksiologi sekarang tinggal di Semarang.
5 komentar:
Mas Gik,
dan teman-teman,
Jika Raden Sahid muda lantas menjadi gatelen karena bergumul dengan buah aren yang disangka menjadi emas, itu adalah naluri alamiah kemanusiaan belaka, yang tentusaja tercampur pula dengan sedikit nafsu dan keserakahan. Naluri ini adalah yang membuat sama antara manusia dan munyuk-munyuk yang bergelantungan di Gembiraloka. Di atas naluri manusia, ada logika ilmpengetahuan, yang artinya sebelum memanjat aren itu, harusnya Raden Sahid bertanya dulu : siapakah yang saya rampok ini (jangan-jangan bukan orang sembarangan –dan memang betul), mengapa dia menunjuk aren (bukan batu bukan tanah), atau jangan-jangan mata Raden Sahid yang agak rabun sehingga melihat buah aren layaknya melihat emas. Pertanyaan ini adalah batasan utama antara manusia dan yang bukan manusia. Setan tak akan bertanya seperti itu, malaikat juga tak akan bertanya seperti itu, pun monyet juga tak akan bertanya seperti itu. Maka pertanyaan itulah, logika-logika itulah, pemikiran positivistik itulah, pencarian dalil-dalil ilmiah itulah yang membedakan antara manusia dengan jenis kehidupan lain.
Saya sepakat dengan kekhawatiran arah perkembangan ilmu social yang lambat laun menjadi semakin eksak, penuh dengan angka-angka kepastian. Ilmu sosial kehilangan elastisitas, kehilangan daya mulur-mungkret padahal itulah yang membedakan secara jelas sosial dan eksakta. Semua harus ada sebab akibat dan hitungan-hitungannya, semua harus akurat. Yang dipercaya adalah yang hanya mempunyai data akurat dan ilmiah. Selain itu, tidak. Bahkan jika air panas ditambah kopi bubuk lalu digulai, ilmuwan akan masih saja bertanya : akan jadi secangkir kopi atau tidak. Manusia semakin dituntut untuk pasti, makin harus bisa dihitung dan dipetakan. Dan itu seperti meniadakan unsur ilmu sosial. Yup, betul. Tapi hal itu justru tidak lantas membuat kita menolak mentah-mentah pemikiran positivistik, tapi mereposisi dan meletakkan pemikiran itu sebagai subyek atas sesuatu, atau sebagai obyek terhadap sesuatu.
Jika untuk tahu rasa manis maka lidah harus mengecap dulu, jika untuk tahu panas maka langan harus menyentuh dulu, maka apa yang salah dari usaha lidah mengecap dan tangan menyentuh? Ini tidak perlu dan tidak melulu fisika atau matematika. Ini adalah naluri, pembawaan. Ini adalah gawan bayi. Yang agak kebangetan adalah yang terasa manis selalu kita anggap gula...
Lalu apa yang salah dari Auguste Comte? Bukankah teori-teori tentang positivistik dan pembuktian adalah saran yang patu kita hargai? Bukankah dia juag memberi saran kita untuk tidak menggebyah uyah (meng-general-isasikan) semua dalam takaran positivistik? Dia menjelaskan bahwa harus dibedakan antara teologi, metafisika dan ilmiah. Ketuhanan tak bisa ditawar-tawar, diraba-raba dengan jiwa atau bahkan diilmiah-ilmiahkan. Take it or leave it. Metafisika membutuhkan jiwa untuk melihat. Lalu ilmiah adalah perdebatan pengetahuan yang membutuhkan ijtihad dan pembacaan, semua boleh berbicara pada ranah ini. Bukankah pembedaan ini cukup masuk akal? Saya khawatir kok kita saja yang mempunyai penafsiran berbeda mengenai ini. Saya khawatir kok selama ini kita campur begitu saja tiga ranah ini. Teologi diilmiahkan, metafisika diperteologikan, dan ilmiah dipaksa-paksa berbaur dengan teologi : sosial dipasti-pastikan, eksak semakin dipastikan lagi demi gengsi dan harga diri (bahwa jurusan IPA pasti lebih pinter daripada jurusan IPS, apalagi bahasa....).
Disisi lain, sepertinya perlu dibahas juga siapa Comte dan bagaimana latar belakangnya (sebelulm kita mencerca dan mamakinya habis-habisan). Contonya bagaimana dia begitu suka menghantarkan sesuatu dengan fisika dan matematika, ya karena dia adalah lulusan lulusan politeknik (sekalipun minatnya yang luar biasa pada filsafat), bukan lulusan –misalnya- Ikip. Bahkan untuk pacaran sekalipun, dia gunakan matematika sebagai jalarannya : dia menikahi seorang wanita yang –maaf, mantan PSK- dia dekati dengan cara memberi les matematika. Hal-hal biografik seperti ini yang tidak bisa kita abaikan begitu saja –bukan karena saya menggunakan pisau strukturalisme genetik, lantas saya mementingkannya.
Selain itu, menitikkan analisis pada kesimpulan seolah “Comte salah ! Titik!”, adalah bukan langkah yang tepat, dan ini bukan watak seorang pendekar ilmu pengetahuan seperti mas Giyanto yang saya kenal. Masih perlu analisis jauh mengenai dirinya dan pemikirannya, misalnya tentang bahasan positivisme agama, positivisme ilmupengetahuan, positivisme hukum dan positivisme logis. Saya mendapat referensi yang ditulis dalam bahasa Prancis “kelas tinggi” hingga lidah dan hasil kuliah bertahun-tahun saya tentang bahasa Prancis tak sanggup menggapainya. Bangku dan tembok angkuh-sombong kampus di Gunungpati juga tak akan punya waktu untuk belajar tentang ini. Tentu saja, Guru Ed akan dengan senang hati menjelaskan hal itu pada kita, nanti. Bukan begitu, Mas? Nanti upahnya boleh nginep besama saya di Slipi –tempat ngumpet saya-, lantas naik taksi lagi menuju TIM. Ha...ha...
Pripun, Mas Guru Ed?
Selalu berpikir positif, apalagi mengenai cinta,
Yog
....satu jawaban saya adalah "kapasitas definitif", saya kira mas fahmi sudah dapat menjelaskan maksud saya dg baik...
ini taktik saya biar mas fahmi tidak pacaran terus, tapi mau nulis lagi hehehe....
sory mas fah...
Mas Gie,
paling kamu sudah tahu semua yang ada di benaku tentang tulisanmu. Dialog comte dengan beberapa tradisi pemikiran barat, john stuart mills dst, descartes, hobbes.
Itu adalah sebuah jawaban di era Comte, di mana rasionalisme dan empirisme, bahkan hingga ke aliran idealisme Kant-Hegel tak mampu menjawab persoalan kehidupan manusia. Persoalan kehidupan manusia hanya bisa di jawab oleh ilmu pengetahuan (science). Dan Ilmu pengetahuan inilah yang menjadi dewa positivisme, tidak ada ilmu pengetahuan tanpa kepastian dan kerangka mekanistik. Semuanya di desain berdasarkan asumsi yang menempatkan realitas sebagai sesuatu yang eksis, bersifat faktual.
Filsafat hanya berkutat pada keputusan yang spekulatif, tahkayul, dan berada di ruang hampa, awang-awang. Tetapi positivisme melahirkan tradisi ilmiah, yang bisa dipertaggung-jawabkan rasionalitas dan kebenarannya. Itulah positivisme, kang gie....
Setiap tulisan memang harus ada sisi emosional. Jika tulisan tidak ada sisi emosionalnya, maka matilah tulisan itu, bahasa yang tak memiliki jiwa -istilah Hegel. Tetapi terlalu banyak emosional meminimalisir materi sama halnya arogan, jalanan, dan kayak orang demonstrasi amatiran itu.
Ya saya tunggu tulisan kalian semua. Trims atas berbagai masukannya. Yang jelas, pasti saya tampung---asal tidak saya dibuang aja.ha
ralat---ditampung sehabis itu dibuang. Eh salah, tidak dibuang maksud saya.
Posting Komentar