online degree programs

Selasa, Maret 17, 2009

CATATAN DARI SEBUAH CATATAN;

Respon Penghargaan Teruntuk Penggelisah ”Realis” Embun Pagi

Oleh. A.azis

Salam bahagia kawan! Maafkan sebelumnya, jikalau tanpa kusadari setelah agak lama tulisan ku untuk komunitas embun pagi ini kuserahkan pada kharis, akhirnya baru kubuka juga alamat blognya sendiri, itupun setelah seorang satu rumah kontrakan memperlihatkan catatanku yang dulu mendapatkan perhatian kawan-kawan dengan serius. Sehingga secara moral dari lubuk hati yang paling dalam kuhaturkan banyak terima kasihku pada perespon semuanya. Walaupun diri ini harus mengakui bahwa untuk membuka blog ini masih saja bisa dihitung dengan jari tanganku ini. Dan menulis juga bukanlah kebiasaan yang ku lakukan selama ini. Sehingga sudah sepantanya kuharus ucapkan banyak terimakasihku juga atas tanggapan-tanggapan yang telah diberikan.

Pemaknaan Negara…!?

Dari tanggapan-tanggapan itulah saya ingin mengutarakan bahwa ada banyak hal yang harus saya banggakan dengan wacana dan konsepsi kawan-kawan semuanya.. Apalagi tentang Negara yang oleh satu kawan kemarin dianggapnya sebagai sebuah kepalsuan;

Ketika saudara Aziz menganggap Negara sebagai suatu yang riil, saya menganggap Negara sebagai sebuah kepalsuan. Ketika Comte bermimpi mengenai masyarakat ilmiah yang positivis, saya memimpikan sebaliknya dst.”

Bukan kah seorang Hobbes, dengan usahanya yang mengagungkan dan membenarkan absolutism, justru menyatakan kematiannya. Absolutisme, yang hanya dibenarkan oleh klaim-klaimnya untuk mencegah anarki, memunculkan banyak persoalan berkenaan dengan hakikat otoritas politik. Dan dengan mendefinisikan Negara dan menghindarkannya dari dukungan legitimasi Tuhan atau ajaran-ajaran moral lebih tinggi, teori Hobbes ini terbuka untuk diserang dari berbagai sisi.

Memang benar kalau lah kita tengok dalam teorinya locke (maaf harus saya ungkap juga karna kemarin disinggung-singgung juga) yang mengembangkan unsur-unsur yang menegaskan pada masyarakat, komunitas orang-orang yang terbentuk dari hukum-hukum alam, merupakan dasar dan pembenaran terhadap Negara. Dan bukankah masih kita ingat bahwa Locke lebih tertarik untuk memerangi tirani dan melindungi individu serta hak-haknya dalam menghadapi penindasan Negara. Gagasannya:

“Membantu menyingkapkan salah satu ajaran liberalism Eropa yang paling sentral; yaitu, bahwa Negara ada untuk melindungi hak dan kemerdekaan warga Negara yang pada akhirnya merupakan hakim-hakim terbaik kepentingan-kepentingan mereka sendiri; dan dengan demikian Negara harus dibatasi wilayahnya dan didesak dalam praktiknya agar menjamin kemerdekaan maksimum setiap penduduk.”

Pandangan Yang Lain…

Saudara kita Hegel, menggambarkan kesimpulan yang perlu dari postulat-postulat Hobbesian tentang negara tanpa pembatasan moral. Hegel melihat negara sebagai prinsip moral tertinggi, ‘Locus’ dari pandangan dan kehendak “universal” , hasil dari bentangan jiwa sebagai sejarah: penjelmaan Tuhan. Walaupun kita tahu pada titik lain, Karl Marx meninggalkan Hegel dengan “membalikan nya”-seperti yang ia akui- namun tetap mempertahankan esensi teori Hegel. Karna Marx menerima dua tesis Hegel; ide bahwa dunia membentuk satu kesatuan organic dan realitas memiliki logikanya sendiri serta tidak bisa diubah menurut kehendak manusia.

Disisi lain, ada juga yang menyatakan mengenai bagaimana dan mengapa Negara berfungsi. Yang sudah berlaku sebagaimana pada umumnya, paling tidak ada satu asumsi sentral bahwa manusia tidak bebas untuk menjadi sempurna. Teori Negara sejak Ibnu Khaldun setuju menyingkirkan konsep-konsep ideal bahwa manusia adalah makhluk yang secara ilmiah cenderung kearah kebajikan. Pandangan inilah yang mengantarkan para filosuf sejak Plato mencari masyarakat sempurna yang diatur secara sempurna oleh individu ataupun kelompok yang saleh. Paradigma ini digugat secara radikal oleh asumsi khaldun tentang kelompok kepentingan etnis yang terpenjara dalam logika kekuasaan tanpa bisa di ganggu gugat. Siapapun yang berusaha mengemban urusan masyarakat jangan semata-mata dibimbing oleh nilai-nilai ideal, baik yang berasal dari langit maupun yang berasal dari dunia fana. Tapi terutama harus berdasarkan realitas politik kekuasaan, yang telah membuat para pembaharu pecinta kebajikan bergerak pinggiran. Kebajikan adalah apa yang dimungkinkan oleh logika kekuasaan.

Perlunya Peneguhan Diri…

Manusia mesti berani berani meneguhkan dirinya sebagai bentuk perwujudan kekuatan untuk menentukan identitas, human yang sedang melekat padanya. Sebuah keputusan “inilah aku”dan disanalah terhampar dunia.”Cogito Ergo Sum”, aku berpikir maka aku ada. Menjadi kata-kata yang menarik, dan jargon yang meluluh lantakan tradisionalitas dan segala yang irrasional. Dengan dipandu ke”egoan”nya ini, pertarungan proses ini memakan waktu yang lama, dan sejarah mencatatnya sebagai “modernity” .

Jika kita analisa, pemikir-pemikir rumit yang dengan kerumitan pemikirannya bermunculan. Sampai dengan Auguste Comte, pemikir yang berkebangsaan Perancis. “Positivisme” gelagah pemikiran yang mesti ditempuh oleh manusia. Positivisme merupakan filsafat yang membatasi pengetahuan perihal yang benar bagi manusia pada hal-hal yang diperoleh dengan metode ilmu pengetahuan (seperti halnya idealitas para kaum kampus,yang biasa disebut civitas akademika; semoga orang-orang UNNES juga begitu). Hal yang bernada positive ( A Positif Act) merupakan sesuatu yang mutlak untuk diteguk, sebagai bahan pegangan untuk menilai kebenaran. Dan manusia dituntut meninggalkan alam khayal, ghoib, mistik kayak ustadz Guntur cilik yang selalu tayang di TVRI Jateng ataupun dunia yang mengada-ada. Dan Positivisme pun berdiri tegak, berkembang pesat seiring dengan industrialism.

Kalau kita tengok juga, bahwa ilmu–ilmu alam menjadikan ilmu social panas, dan berusaha keras untuk mengadopsi apa yang yang ditempuh ilmu alam seperti matematia, biologi, dan ilmu alam lainnya. Berderet ada Darwin, Mills hingga Spencer. Bagi Spencer realitas social tak ubahnya system yang ada pada mahluk, mereka mengalami evolusi yang berjalan secara alamiah, saling mendukung dan memegang peran fungsi sebagaimana tubuh manusia dari individu kemudian mengelompok menjadi keluarga, desa, kota, provinsi hingga dunia yang entah mana ujungnya.

Hubungan Ilmu Pengetahuan…

Sebagai penutup catatan dari sebuah catatan ini, mari kita tengok bagaimana hubungan ilmu pengetahuan dengan kepentingan itu berjalan, sederhana nya adalah demikian; Seseorang lahir ke dunia ibarat kertas putih. Tetapi begitu bersentuhan dengan hal terdekat dengannya, maka dari situlah titik kejernihan perlahan dilucuti ataupun terlucuti dengan realitas yang mengepung. Kehadirannya tak begitu saja dalam ruang-ruang kosong, tetapi realitas social yang dihadapi seseorang secara berlahan, membentuk dan kemudian menjadi sesuatu yang tersimpan dalam tubuh, maupun tingkah laku. Contoh nyatanya seperti seperti seseorang Mahasiswa UNNES yang berlatar belakang gerakan kanan akan sangat lah berbeda dengan seorang Mahasiswa UNNES, yang berlatar belakang gerakan kiri dalam membaca sebuah realitas. Karena latar belakang dan ruang historitas dalam diri masing-masing individu berbeda.

Karl Menheim menunjukan bagaimana kepentingan-kepentingan individu, maupun kepentingan semangat zaman (zeitgeist) masuk dalam ilmu pengetahuan. Kepentingan industrialisasi bagi dunia kapitalisme seringkali dianggap sebagai sesuatu yang berjalan terpisah dengan dunia keilmuan tetapi sejatinya alih-alih obyektivitas yang dideklarasikan oleh positivisme justru malah sebaliknya. Udah dulu yah, Intaha (cukup sekian) semoga bermanfaat bagi semua…salam..

11 komentar:

Anonim mengatakan...

...hehehe...

...silakan coment, I no comment aja ah he...

Anonim mengatakan...

Oalah...yo..yo...
Baru saja lerem menikmati ketenangan sejenak tanpa debat dan "pisuh2an" mengenai hal2 semacam ini. lha kok sekarang sudah dimulai lagi...
Ya sudah..mari silakan.. Seperti biasanya saja : Mas Gik, monggo dipanasi lagi... Luluk, jangan ragu-ragu untuk mengipasi... Fahmi, alah...gak usah isin2, bras-bres saja dengan sinisisme-mu yang maha nyiyir...
Silakan, teman2...

Saya siapkan seember air, siapa tahu terbakar beneran,
yOg

Anonim mengatakan...

Bro..mungkin jika kita mengulas maslaha negara, saya kok agak males. karena menurut gramcy negara sebagai penghisap.
ah menurutku tidak ada tipe negara yang ideal..dari yang berfaham sosialis sampai leberalis.. semuanya ada dampak negatif dan positifnya. ketika jhon dalam kontekd negar demokrasi memandang kebebasan individu yang di utamakan. jadi rasa sosialnya kurang.
ah pokoknya ga ada tipe yang ideal. aku nurut saja. dan saya yakin masyarakat tidak akan pernah mempersoalkan apa bentuk negaranya yang terpenting adalah kesejahteraannya

Anonim mengatakan...

Tak jelasnya isi permasalahan dalam paper ini menunjukan karakter penulis yang masih belum yakin pada pikirannya sendiri.
Beberapa teori keliru, tolong di cek? terutama konsepsi cogito ergo sum, fatwa ini termasyur oleh Rene Descartes, yang bermain di ranah refleksi dan produksi "ada". Ia adalah kapten rasionalisme yang mendahulukan daya induksi dan mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan bersama-sama dengan daya Newtonian Fisika Modern.
Hobbes tidak pernah mengutuk absolutisme, ia hanya manggambarkan semua itu berasal dari esensi manusia yang terdiri dari watak jahat antar sesamanya, homo-homoni-lupus. Jujur di dalam penguraian Locke, aku sepaham, Locke sebagai juru bicara liberalisme lebih mementingkan hak alamiah manusia, mengutamakan kepentingan individu ketimbang negara.
Lebih parah adalah Karl Marx, ia sudah tidak lagi menggangap Hegel, baik perlakuannya pada subjek, realitas, kebenaran, struktur pikiran, esensi, eksistensi, epistemologi, metafisika, aksiologi, ontologi, dst. Hanya satu Peninggalan Hegel yang membekas di Marx, itupun bukan teori melainkan metodologi, yakni: dialektika.
Baca dialektika Hegel yang pernah saya tulis di akhir tahun 2008.
Tulisan ini lebih ingin menceritakan semua gagasan tokoh secara dangkal tetapi tdak fokus pada permasalahan -mungkin kayak buku saya "demokrasi negeri barbar"- he he he.
Itulah kritik saya pada diri saya sendiri dan tulisan mas Azis. Jangan berhenti menulis kang, ndak jadi sasaran empuk begitu nulis dengan tingkat kesalahan tinggi seperti ini...

Anonim mengatakan...

Ya, artikel yang bermanfaat. Setidaknya membuat saya 'berfikir'...Thanks Mas Aziz. Artikel tanggapan dari saya lagi, akan tetap menanggapi komentar tentang epistemologi, bukan tentang pendapat saya mengenai "Negara"...

ditunggu ya, jangan bosan-bosan berkunjung di KEP, kami kesepian tanpa orang-orang seperti Kang Aziz...he

Anonim mengatakan...

...terkadang kedangkalan diperlukan, karena kita sudah terlalu dalam menyelam kang hehe.....

sekadar surfing (berselancar) di atas beberapa ombak konsepsi teoritis -yang bahkan kabur hehe- tak jadi masalah, agar kita tidak jenuh menyelam di kedalaman lautan teori dan informasi...

Anonim mengatakan...

saya kira, dalam bahasan kali ini, yang juga terkait dengan artikel sebelumnya, jika diibaratkan dengan makan siang,"negara" sekedar menjadi krupuk, bukan lauk atau sayur atau garam, apalagi nasi.

maksud saya, permasalahan yang dipersoalkan bukanlah negara, tetapi lebih kepada landasan pikir, atau biasa disebut ranah epistemologi, tentang realitas, misalnya.

menurut saya, realitas bukanlah sesuatu yang bisa kita tinggalkan, sehingga disebut "lari dari realita", sehingga berlawanan dengan imajinasi. tapi toh misalnya demikian, saya rasa kontradiksi justru terjadi di sini.
mari kita simak bersama :

"Manusia mesti berani berani meneguhkan dirinya sebagai bentuk perwujudan kekuatan untuk menentukan identitas, human yang sedang melekat padanya. Sebuah keputusan “inilah aku”dan disanalah terhampar dunia.”Cogito Ergo Sum”, aku berpikir maka aku ada. Menjadi kata-kata yang menarik, dan jargon yang meluluh lantakan tradisionalitas dan segala yang irrasional. Dengan dipandu ke”egoan”nya ini, pertarungan proses ini memakan waktu yang lama, dan sejarah mencatatnya sebagai “modernity” ."(abdul aziz, 2009)

lepas dari apakah memang benar descartes memang bergagasan semacam ini--karena bagi saya, di sini descartes sudah mati, baik mati sebagai makhluk maupun sebagai gagasan--sehingga yang berbicara cukan lagi descartes, melainkan penulis artikel,saya rasa terjadi inkonsistensi tingkat tinggi di sini. ketika dikatakan bahwa ustadz guntur dan yang diomongkannya adalah sesuatu yang mengada-ada, tradisionalitas yang irrasional, pertanyaan yang menarik adalah, "apa yang dimaksud dengan irrasionalitas? atau jangan-jangan kita hanya tidak paham tentang itu, dan dengan semena-mena mengatakan hal tersebut irrasional? titik permasalahan dalam hal ini bukanlah pada suatu fenomena, melainkan pada diri kita, pada capaian ke-tahu-an kita.

jika dikaitkan antara ranah gagasan dan ranah praktis (hanya memperjelas pembahasan, gagasan yang ditawarkan mas aziz, saya sebut sebagai ranah gagasan. dan keutuhan tulisan, sebagai salah satu usaha me-lahir-kan gagasan, saya sebut ranah praktis), justru di sini terjadi inkonsistensi tingkat tinggi. maksud saya, apa yang dikatakan mas aziz tentang irrasionalitas, sesungguhnya adalah hal-hal yang terkait erat dengan dirinya--juga saya--, tetapi mengapa yang terjadi bukan berupaya mencari alur rasio dari "irrasionalisme (hal-hal yang dianggap irrasional)" justru menuntaskannya dengan sebutan irrasionalitas?
dalam arti tertentu, belum ada ketegasan diri seperti yang dikatakan oleh diri terkait.

"Sebagai penutup catatan dari sebuah catatan ini, mari kita tengok bagaimana hubungan ilmu pengetahuan dengan kepentingan itu berjalan, sederhana nya adalah demikian; Seseorang lahir ke dunia ibarat kertas putih. Tetapi begitu bersentuhan dengan hal terdekat dengannya, maka dari situlah titik kejernihan perlahan dilucuti ataupun terlucuti dengan realitas yang mengepung. Kehadirannya tak begitu saja dalam ruang-ruang kosong, tetapi realitas social yang dihadapi seseorang secara berlahan, membentuk dan kemudian menjadi sesuatu yang tersimpan dalam tubuh, maupun tingkah laku. Contoh nyatanya seperti seperti seseorang Mahasiswa UNNES yang berlatar belakang gerakan kanan akan sangat lah berbeda dengan seorang Mahasiswa UNNES, yang berlatar belakang gerakan kiri dalam membaca sebuah realitas. Karena latar belakang dan ruang historitas dalam diri masing-masing individu berbeda. " (aziz, 2009)

saya bukan bermaksud mempersoalkan "tabularasa'-nya, melainkan hal ini:
mas aziz menganggap, sebuah kertas putih langsung merujuk pada keadaan yang menggambarkan kejernihan, yang akan semakin tercemari seiring dengan gerak sejarah hidupnya, trajektorinya.
beliau menganggap hal ini adalah suatu kewajaean, sunnatullah, tetapi di saat yang bersamaan juga mengutukinya dengan meletakkan kesalahan pada realitas yang mengepung. saya rasa, anjuran agar berpijak pada realitas perlu direvisi kembali, atau anjuran itu perlu diterapkan terlebih dahulu pada si penganjur. bukankah demikian yang dimaksud dengan "menegaskan diri" (yang agak rancu dengan "menegaskan posisi"?

dan lagipula, bagi saya, ada suatu saat ketika pembahasan kanan-kiri begitu hangat, begitu tegas garis pembedanya, dan sayangnya, "suatu saat" itu bukanlah sekarang.
lalu apa, mas?

atau jangan-jangan--yang saya takutkan--saya mengomentari tulisan yang "belum-sudah"


suwun..

aa mengatakan...

he..he..
Terimakasih3..
benar juga banyak kata orang..
enaknya tukang perangsang adalah melihat yang dirangsang mulai bermunculan..
hebat!!Sekali lagi matur nuwuuun.
Semoga menjadikan teliti dan tak bosan2...

aa mengatakan...

he he..
Sekali lagi saya sampaikan terimakasih atas tanggapannya;
ahiran mohon tuk lihat dulu judul artikelnya dalam2.
Dan Mohon maaf Utk masalah
”Cogito Ergo Sum”, Hobbes, Hegel dan Karl Marx..Silakan dibaca-pahami kembali tulisan saya dan literatur2 anda dengan olah roso..nuwun

Anonim mengatakan...

..setelah saya teliti-teliti, setelah sedikit membaca Hobbes dkk itu, kok rasanya saya gak paham apa yang mau dikatakan oleh kang azis...

swear...bener

bagi saya kok gak hanya bahasanya yang terlalu dipaksakan biar berasa filosofis, tapi juga tidak menjawab dari catatan teman-teman kemarin, jadi...so what..???

apa yang mau dikatakan..???

Anonim mengatakan...

Ya, tak ada yang bisa diperdebatkan..
Akuntabilitas ilmiah harus dicanangkan, walah opo kuwi,...Tetapi tradisi logosentrisme telah diruntuhkan oleh Derrida, cara terlalu mengunggulkan rasionalitas yang berlebihan, dan karenanya malah gak masuk akal.
Kita masih berharap kadar ilmiah dan standar logis tak dihiraukan oleh Mas Azis dalam menulis artikel ini. Ah, tak ada bahasa yang mengungkapkan realitas apalagi isi batin secara representatif.
Tetapi kita juga kadang terjebak pada petanda-penanda, melihat susunan kalimat yang terurai betapa nampak ketidak-pahaman Mas Azis terhadap konsepsi filosofis Cogito Ergo Sum, Hobbes, Hegel, dan Karl Marx.
Barangkali Mas Azis, memaksakan kehadiran mereka atas opininya. Tetapi tidak pernah membacanya. Baca pengantar filsafat, yang kalau di Prancis untuk bahan ajaran pendidikan dasar sampai menengah. Kemudian dengan pemahaman yang belum matang, mencoba menulisnya. So, its very pity, you're understanding...
Saranku, lebih banyak membaca buku-buku tersebut sebelum memakainya di konstruksi keputusan ilmiah mas. Barangkali "ejekan" ini nisa menjadi pemicu Mas Azis untuk lebih giat membaca karya-karya besar. Dan mungkin begitulah cara Guru Edi Subkhan dulu mengajariku dengan sindiran dan celaan. Bahkan tradisi ini hujat-menghujat subur juga di forum kopi darat embun pagi. Succes for you brother,..You can do it