online degree programs

Jumat, Maret 20, 2009

Post-Gerakan Mahasiswa (2)


Secara substansial, dalam tarik ulur mahasiswa dengan politik, terdapat hal penting yang juga menjadi polemik hingga mengakibatkan disorientasi gerakan mahasiswa tersebut, yaitu pemahaman atau pemaknaan terhadap tujuan politik gerakan mahasiswa, dalam hal ini terdapat dua pendapat yang saling bertentangan.

Pertama, gerakan mahasiswa adalah gerakan moral sebagaimana dikatakan oleh Arief Budiman. Gerakan moral ini adalah gerakan mahasiswa yang akan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai melenceng dari konstitusi, berakibat pada diskriminasi terhadap masyarakat, juga ketidakadilan, dan lainnya. Gerakan moral mahasiswa akan mengkritisi dan mencoba memberikan alternatif solusi yang dapat dilakukan, paling ekstrim adalah melengserkan rezim berkuasa dan kemudian berupaya memberikan gagasan-gagasan baru yang lebih bersifat korektif, menyerahkannya pada para intelektual dan politisi yang sekiranya dapat berbuat lebih baik ketimbang rezim yang telah dirobohkan mahasiswa. Setelah itu gerakan mahasiswa kembali ke kampus untuk belajar lagi dan tidak mengambil peran dalam perpolitikan praktis di level kekuasaan pemerintahan.

Tiadanya campur tangan dari gerakan mahasiswa dalam kekuasaan pemerintahan tersebut karena memang untuk memberikan jalan kepada para intelektual dan politisi yang memiliki komitmen tinggi terhadap pemerintahan yang bagus agar dapat mengambil posisi politik strategis di pemerintahan. Sedangkan mahasiswa mesti kembali ke kampus karena memang secara utuh, mahasiswa baik sebagai person atau kolektif belum memiliki kapasitas yang memadai untuk masuk dan mengambil peran politik strategis dalam kekuasaan pemerintahan, mahasiswa mesti harus belajar lagi, berurusan dengan kelulusan, kemampuan intelektual, manajerial, dan lainnya. Kondisi inilah yang akan menghambat kalau mengimpikan mahasiswa mengambil posisi kekuasaan pemerintahan yang membutuhkan konsentrasi penuh dalam analisis kebijakan politik dengan bekal modal intelektual, sosial, dan politik yang memadai.

Kedua, gerakan mahasiswa adalah gerakan politik kekuasaan sebagaimana sering diungkapkan oleh aktivis mahasiswa berideologi sosialis-marxis. Gerakan politik kekuasaan mahasiswa ini mencita-citakan agar gerakan mahasiswa tidak sekadar mengkritisi kebijakan pemerintah saja, lebih dari itu mesti bersama-sama dengan rakyat merebut kekuasaan dan kemudian membentuk pemerintahan yang adil oleh mereka, yang dalam doktrin ideologi sosialisme adalah pemerintahan oleh rakyat tertindas. Gagasan ini secara ideologis mendasarkan pada tesis-tesis Marx bahwa memang dalam kondisi ketidakadilan, diskriminasi, dan represi oleh pemerintah, kaum proletar –dan sedikit dibumbui pendapat Gramsci- dan kaum intelektual mahasiswa mesti berjuang merebut kekuasaan untuk mencipatakan pemerintahan yang adil, dipimpin oleh rakyat dan intelektual mahasiswa. Pada sisi ekstrim dari gagasan ini bahkan gerakan mahasiswa tersebut tidak mau berkoalisi dengan kaum nasionalis, alasannya adalah kaum nasionalis bukanlah kelas yang dapat diajak untuk menentang imperialisme. Kaum nasionalis dalam anggapan mereka akan menjadi makelar bagi modal asing yang digambarkan dalam bentuk pengkhianatan para kaum priyayi pada masa penjajahan dulu dan para pengusaha.

Dengan begitu kelas buruhlah satu-satunya kelas yang memiliki kepentingan mendasar dalam melawan kapitalisme, imperialisme. Di samping itu, gagasan ini mencuat kembali adalah karena trauma pada sejarah runtuh dan naiknya rezim berkuasa di Indonesia, di mana gerakan mahasiswa mengambil peran penting di dalamnya, dan setelah mengembalikannya ke tangan para elite politik, ternyata tidak terdapat perubahan yang berarti. Terdapat mosi tidak percaya terhadap elite politik yang ada, dan oleh karena itu merasa bahwa yang paling dapat melaksanakan amanat revolusi dan reformasi tiada lain adalah mahasiswa sendiri. Alasan-alasan itulah yang menjadikan mereka memiliki keyakinan bahwa yang mesti dilakukan oleh gerakan mahasiswa tiada lain kecuali menggalang kekuatan massa, sinergi antara intelektual dan kaum proletar untuk merebut kekuasaan dan membentuk pemerintahan demokratik revolusioner. Gagasan pemerintahan ini merupakan persatuan rakyat yang tertindas oleh tatanan kapitalis melalui organisasi-organisasi rakyat, organisasi-organisasi tersebutlah yang yang akan memengang kekuasaan eksekutif dan legislatif tanpa terpisahkan (Suharsih dan Ign. Mahendra K, 2007).

Dalam hal ini saya memiliki pendapat yang berbeda dengan orientasi gerakan mahasiswa untuk merebut kekuasaan politik, karena bagi saya adalah kesalahan fatal menyamakan ideologi mahasiswa dengan ideologi partai politik, karena keduanya berada pada lokus yang berbeda, yakni idealis dan pragmatis. Ideologi gerakan mahasiswa adalah ideologi kritis yang mewujud dalam gerakan mahasiswa dan jaraknya mesti sama dengan semua elemen partai politik praktis, dalam arti jangan menjadi tunggangan dari partai politik tertentu, karena jika sudah berselingkuh dengan partai politik maka ia tiada lain kecuali wajah lain dari partai, yakni wajah mahasiswa partai politik. Keyakinan ideologis dalam menciptakan pemerintahan yang baik, tatanan sosial yang relevan yang dicita-citakan mahasiswa tidak diupayakan melalui pencapaian kekuasaan politik kenegaraan sebagaimana dilakukan partai politik, tetapi melalui pergerakan sosial (social movement).

Sedangkan ideologi partai politik adalah untuk meraih kekuasaan an sich melalui mekanisme politik. Partai politik mempunyai –hampir- semuanya, mulai dari ideologi, struktur yang rapi, pendanaan, sampai basis massa riil. Oleh karena itu walaupun ada kesamaan cita-cita dan ide antara gerakan mahasiswa dan partai politik, namun jelas berbeda dalam tataran praksis dan ranah geraknya. Berdasarkan pada perbedaan ideologi mahasiswa dan partai politik di atas, maka suatu kelompok dapat dikatakan underbow partai politik tertentu jika ideologinya sudah bermuatan ideologi partai politik yang bervisi kekuasaan an sich baik secara eksplisit maupun tersamar, pun dalam konteks historis terdapat kaitan partai tersebut.

Ketika gerakan mahasiswa memahami bahwa ia mesti merebut kekuasaan dan memerintah bersama rakyat miskin, maka mereka akan dibenturkan dengan kenyataan bahwa mahasiswa dan rakyat miskin terutama kaum buruh –dalam tesisnya Marx- tidak atau belum memiliki modal intelektual yang memadai dalam mengatur negara yang begitu kompleks. Dengan nalar status quo dari para elite politik yang ada maka kekuatan mahasiswa dan kaum miskin akan mudah dipermainkan, modal paling banyak yang dimiliki oleh mereka adalah semangat untuk meruntuhkan pemerintahan otoriter, melenyapkan neoliberalisme, melawan diskriminasi, dan memperjuangkan keadilan yang mestinya diperoleh oleh rakyat miskin. Intinya adalah, kelemahan mahasiswa kalau mereka tetap bersikeras untuk mendirikan pemerintahan oleh mereka adalah modal intelektual, sosial, dan politik yang belum memadai. Jejak sejarah pun menunjukkan ketika mahasiswa masuk dalam kancah perpolitikan praktis mereka akhirnya menjadi tiada beda dengan para elite politik, semuanya menghamba pada kekuasaan, materi, kapitalisme. Dari kalangan rakyat miskin pun kelemahannya sama, mereka berpotensi untuk tergagap-gagap ketika memegang kekuasaan, berhadapan dengan materi, kapital, dan pada akhirnya akan sama saja dengan para elite politik, mabuk kekuasaan, mabuk materi. Selain itu intelektualitas kaum miskin pun mestinya juga diertanyakan –terkecuali intelektual yang miskin. Seandainya kaum miskin menjadi penguasa maka ia pun sebenarnya telah berubah statusnya tidak sebagai kaum miskin lagi, tapi kelas penguasa.

Di sisi lain, ketika gerakan mahasiswa sudah bertalian dengan politik praktis partai politik, maka kepentingan politik praktis tersebut akan masuk ke dalam kampus karena lokus mahasiswa adalah kampus. Pada akhirnya tidak hanya membawa kampus dalam pusaran pertarungan kepentingan politik praktis secara terselubung, namun juga menjadikan gerakan mahasiswa turut kepada kepentingan politik praktis partai politik. Terlebih ketika bertemu gagasan radikal-revolusioner bahwa gerakan politik mahasiswa adalah gerakan merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan rakyat miskin, maka gerakan mahasiswa berubah menjadi tiada bedanya dengan partai politik sebagaimana dikemukakan di depan. Padahal semestinya gerakan mahasiswa adalah entitas lain dalam kerangka perpolitikan, sebagai kekuatan alternatif yang tetap bersetia pada oposisi pemerintah, bersetia pada tata nilai universal keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan pro kaum tertindas. Dengan kata lain peran-peran tersebut adalah peran yang selalu saja lalai dilaksanakan oleh partai-partai politik yang ada.

Gerakan mahasiswa memang mestinya tidak berada dalam kancah perpolitikan praktis merebut kekuasaan dan kemudian berkuasa sebagaimana partai politik, tapi bukan pula sekadar gerakan moral yang hanya sekadar mengkritisi kebijakan yang tidak bijak dari pemerintah. Sekali waktu dalam momen-momen yang dapat mendorong revolusi maka ia mesti mendorong revolusi sosial, politik, dan ekonomi terjadi, kalaupun diperlukan maksimal adalah membentuk pemerintah transisi, dan kemudian menyerahkannya pada para intelektual organik yang memiliki komitmen pada perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau gerakan mahasiswa berpolitik praktis dan ia menjadi tiada beda dengan partai politik yang ingin berkuasa, lalu siapa lagi yang menjadi kekuatan alternatif. Memang kaum intelektual yang berada dalam posisi post-gerakan mahasiswa dalam komunitas-komunitas epistemik dapat dikatakan masih memiliki komitmen dalam memosisikan dirinya sebagai kekuatan lain itu, namun tentu kelemahannya adalah ia tiada memiliki basis massa yang kuat dan massif. Dengan demikian yang mesti dilakukan dalam momentum penyatuan gerakan adalah sinergi dan penyatuan kekuatan intelektual dan mahasiswa serta rakyat banyak di luar partai politik untuk selalu berada pada barisan gerakan sosial baru, yang tidak tergiur pada politik praktis perebutan kekuasaan.

Kondisi penyimpangan gerakan mahasiswa selanjutnya adalah pada dimensi intelektualisme. Kondisi budaya sekarang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa tidak lagi menempatkan intelektualisme sebagai substansi gerakan mereka, intelektualisme tiada lebih menarik ketimbang glamor materialisme politik praktis. Agenda dan aktivitas mahasiswa lebih banyak dihiasi dengan gelaran yang menumpulkan sensitivitas sosial, kalaupun dianggap mengasah sensitivitas sosial, maka yang diasah sebetulnya tidak lebih dari sensitivitas sosial artifisial. Aktivitas yang juga menumpulkan nalar kritis, hingga kepekaan terhadap relasi politik kekuasaan dan kapital bahkan pengetahuan terkikis oleh hegemoni budaya pop yang mengajak terhanyut dalam budaya permukaan-perayaan, tidak sempat lagi bergelut dengan budaya kedalaman-permenungan. Dalam dunia cyber yang menampilkan berjuta informasi dengan kecepatan cahaya, maka orang hanya sempat berselancar (surfing) di permukaan ombak-ombak informasi saja, tiada sempat lagi menyelam ke kedalaman makna informasi dan mencari hakikat kebenaran.

Ketika semuanya seakan telah disediakan, maka hilanglah keinginan untuk mencari kebenaran yang hakiki melalui jalan intelektual, glamor budaya instant tampaknya memang lebih menggoda ketimbang jalan sunyi intelektual. Dengan demikian terdapat dua sebab degradasi intelektual gerakan mahasiswa, pertama karena tarikan politik praktis yang lebih kuat ketimbang aktivitas intelektualisme, dan kedua imbas dari modernitas yang lebih mementingkan modal kapital-material ketimbang modal sosial-intelektual, lebih mementingkan keuntungan daripada kebenaran dan keadilan; modernitas yang mengkomodifikasi semuanya, termasuk ilmu pengetahuan hingga membuatnya seolah tiada lebih berharga ketimbang uang.

Padahal gerakan mahasiswa mesti berbasis pada intelektualisme, karena sebagaimana argumen teori kritis Mazhab Frankfurt dan Gramsci, bahwa teori mesti bertaut dengan praksis, intelektualisme mesti diejawantahkan dalam gerakan praksis, intelektualisme yang tidak mampu merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik sama saja seperti ilmu eksakta yang mengandaikan bebas nilai, sok objektif dan sok netral yang mengabaikan dimensi aksiologi. Di sisi lain praksis gerakan tanpa landasan intelektualisme juga tidak akan mampu membuat langkah-langkah strategis, taktis, dalam memperjuangkan idealismenya, sebaliknya bahkan potensial menjadi tiada lebih daripada mob atau gerombolan orang banyak yang tidak terkendali, bahkan cenderung bertindak anarkis. Di sisi lain, dilihat secara personal, mahasiswa pun entah ia menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan mahasiswa atau tidak, mestinya menempatkan intelektualisme sebagai pusat pusaran aktivitas selama kuliah. Hal ini karena mahasiswa memiliki segenap potensi yang tidak dimiliki oleh selain mereka, yakni potensi intelektual.

Mahasiswa yang sudah berhasil lolos dari seleksi masuk perkuliahan setidaknya menunjukkan bahwa kualitas intelektual mereka lebih daripada para lulusan SMA dan sederajat yang tidak lolos seleksi. Walaupun ada di antara mereka yang masuk kuliah dengan cara curang, atau masuk kampus swasta yang kemungkinan 99% sudah pasti diterima, namun setidaknya “kenekatan” dan “kegigihan” mereka menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki ambisi besar untuk “belajar”, dengan kata lain ambisi tersebut lah potensi mereka. Dengan keragaman potensi tersebut, ketika di kampus semuanya berpeluang untuk terjun dalam dunia intelektual dan menjadi intelektual, karena kampus relatif menyediakan fasilitas bagi mahasiswa untuk berkembang dan menjadi intelektual. Walaupun begitu memang tidak semuanya dapat menjadi intelektual karena kencederungan orientasi masing-masing mahasiswa. Intelektual ini tidak hanya diperlukan di kampus, melainkan juga di luar kampus, yakni masyarakat luas. Sebuah pertanyaan mengemuka, jika sudah ada para intelektual yang bergerak dalam ranah praksis emansipatoris dan lebih mampu serta memadai dilihat dari modal intelektual, sosial, dan bahkan finansial –misalnya ada dosen kritis, intelektual politik, aktivis pergerakan, dan lainnya- mengapa intelektualisme mahasiswa dan mahasiswa intelektual masih diperlukan?

Intelektualisme mahasiswa sangat diperlukan sebagai lapis berikut dari para intelektual yang sekarang tengah berupaya mewujudkan idealisme di ranah sosial-intelektual. Kiranya tidak ada yang lain, selain mahasiswa yang akan meneruskan kiprah dan perjuangan para intelektual sekarang ini, karena para intelektual yang berlatar belakang di luar tradisi kampus pun relatif sedikit, di samping itu agaknya terdapat dekadensi moral dan etika dari intelektualisme sekarang. Dekadensi intelektualisme tersebut terlihat dari adanya pelacuran intelektual, di mana intelektual diperjual belikan dengan menghamba pada materi. Ilmu pengetahuan menjadi komoditi untuk mengeruk keuntungan materi sebesar-besar. Kepentingan politik mengangkangi intelektualisme dan menjadikannya sekadar alat legitimasi saja. Untuk kepentingan tertentu sebuah data bisa dimanipulasi, sebuah teori bisa dibuat dan diyakinkan keabsahannya hingga seakan-akan dapat dipertanggung jawabkan secara intelektual. Jika intelektualisme mahasiswa mestinya menjadi ruh gerakan mahasiswa, maka intelektualisme mahasiswa dan mahasiswa intelektual secara umum sangat diperlukan oleh segenap sivitas akademika di kampus.

Hal itu karena intelektualisme mahasiswa dan mahasiswa intelektual adalah penggerak gerbong intelektualisme sebenarnya, yang membelajarkan sesama mahasiswa secara kritis-progresif untuk juga menjadi intelektual sejati, bukan memberikan tips-tips instant pada mahasiswa. Ia diperlukan untuk terus mendobrak kejumudan berpikir di kampus, memberikan perspektif baru dan pencerahan intelektual. Kondisi kampus sekarang masih dominan kultur konservatif dalam berpikir dan tradisi belajarnya, budaya pop yang kian merajalela, kian merasuknya kepentingan politik dan cengkeraman ideologi sektarian ke dalam kampus. Di sinilah mahasiswa intelektual dan intelektualisme mahasiswa diperlukan untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan mengedepankan intelektualisme menuju iklim kampus yang lebih intelektual, berbudaya, humanis, harmonis, dan dinamis, serta meminimalkan segala bentuk negatif ketidakadilan, diskriminasi, kepentingan politis dan fundamenalisme yang sektarian dan berpotensi anarkis.

Faktor lain yang perlu diingat sebagai penghambat kegagalan intelektualisme gerakan mahasiswa adalah singkatnya masa studi, dalam pengertian singkatnya waktu yang diberikan oleh kampus untuk mengasah nalar kritis mahasiswa. Banyak kebijakan yang secara tidak langsung menjadikan pola pikir mahasiswa sekadar berorientasi prestasi akademik, optimalisasi bakat dan minat; banyak juga kebijakan yang merepresi agar mahasiswa cepat lulus, jadwal yang ketat, disiplin yang ketat dengan sanksi berat, yang menjadikan mahasiswa tidak memiliki banyak waktu mengasah nalar kritisnya dalam membedah kondisi sosial-politik, mempertanyakan keadilan dan represi dari penguasa dan lainnya.

Nah, kondisi gerakan mahasiswa yang sudah tidak merupakan representasi dari cita-cita ideal gerakan mahasiswa sebenarnya tersebut merupakan kondisi post-gerakan mahasiswa, yakni kondisi yang terputus dari ideal gerakan mahasiswa, melampaui batas titik ekstrim dari kapasitas definitif gerakan mahasiswa seharusnya, hingga gerakan mahasiswa tiada berbeda dengan partai politik, tiada berbeda dengan para penganjur budaya pop dan neoliberalisme yang mengkomodifikasi ilmu pengetahuan dan intelektualisme. Atau setidaknya lebih tepat dikatakan post-gerakan mahasiswa tersebut sebagai bentuk baru kenyataan gerakan mahasiswa, yaitu bentuk campuran yang aneh antara gerakan mahasiswa dengan partai politik, budaya pop, dan kapitalisme-neoliberalisme.

Edi Subkhan, penulis...

Tidak ada komentar: