Catatan Gunawan Budi Susanto
"Celaka, riwayat mesum itu adalah juga potret generasi saya, generasi yang terlahir tahun 1960-an, tetapi berharap hidup kaya dan bahagia sampai kapan pun zaman menjelang. Itulah potret kegagalan, yang tak pantas dibanggakan.
Maka, potong generasi. Era baru butuh pemikiran baru, penggerak baru, pemimpin baru, untuk mengubah keadaan ke arah kehidupan yang lebih manusiawi, lebih beradab dan berkeadilan. Salam setengah merdeka!"
seperti anak-anak lain, ketika bocah, saya suka main gambar umbul, kelereng, sepak tekong, petak umpet, layang-layang, pengantin-pengatinan, pasaran, pedang-pedangan. Namun yang paling saya sukai adalah perang tulup atau ceplokan. Perang tulup, satu lawan satu atau antarkelompok dan antardesa, berperalatan bambu seperti sumpit dengan peluru kacang hijau dan biji-bijian lain atau lempung. Permainan yang murah, meriah, dan… sangar! Ceplokan serupa tulup, tetapi dengan gagang seperti pada pompa, dengan peluru pentil buah jambu air atau jenang kertas. Asyik!
Saya cukup titis membidik lawan. Saya bersorak begitu peluru mengenai lawan, yang serentak berseru kesakitan. Saya merasa jadi jagoan, pahlawan pembasmi kejahatan – sebagaimana acap saya baca dari komik-komik dan saya tonton dari satu-satunya stasiun televisi saat itu: TVRI, “penjalin persatuan dan kesatuan”. Saya tak peduli benar jika Batman, Gundala, Pangeran Mlaar dan kawan-kawan tak bersenjata tulup dan ceplokan.
Rada besar, saya suka bal-balan, sepak bola. Sebab, diam-diam bisa nggares lawan – menyepak, menendang, atau mengadu tulang kering (gares). Peluang yang terbuka: lawan terjatuh dan mengaduh kesakitan atau saya meringis seraya terpincang-pincang (karena tulang lawan lebih keras). Tentu, ketika malam tiba, bersama kawan sebaya saya acap menyambangi sawah atau ladang siapa pun di tepian desa. Pulang membawa jagung, kacang, atau singkong (hasil kerja, tanpa banyak bicara alias) colongan.
Kegemaran lain adalah tukaran, gelut, berantem. Makin besar saya kian kerap berantem. Itulah salah satu bahasa dari sedikit pilihan untuk mempertahankan diri dari pelecehan, penghinaan, intimidasi. Ya, paro kedua 1970-an, ketika berusia belasan tahun, saya makin tak gampang menerima segala pengerdilan. Mula-mula pengerdilan itu berupa ejekan fisik, lalu meningkat ketika saya abaikan. Ketika ejekan berubah lebih menyakitkan, tak ada pilihan lain kecuali berantem. Ya, orang-orang – biasanya lebih gede, lebih tua – acap mengejek atau memaki saya, “He, dasar anak PKI! Anak Gerwani! Mula mbejijat!”
Nah, kalau kalimatnya sudah secanggih itu, kalah atau menang bukan lagi peluang. Melainkan, konsekuensi logis dari kecerdikan dan kekuatan versus kelemahan dan ketakutan. Karena tak mau dibelenggu ketakutan, dikerangkeng kehinaan, saya berupaya segenap daya memenangi setiap perkelahian.
Terlampau kerap berkelahi membuat saya tak sabar mengikuti latihan bela diri silat, pencak, atau karate karena harus “langkah demi langkah”. Itu terlalu lama untuk sekadar bisa menempeleng, meninju, memukul, menendang, atau menyerimpung. Ajian sakti berapal lebih menarik. Berbekal ajian penuh rapal, saya bisa kesetanan berkelahi, tanpa rasa sakit, tanpa rasa takut. Saya seperti trance, ndadi, hilang kesadaran.
Namun karena ajian sakti menuntut kedisiplinan menaati pemali -- misalnya tak boleh makan kodok, tak boleh kencing sambil jongkok, atau tak boleh merokok – saya beralih modus: menenggak arak, ciu, tuak. Ya, mabuk memutus urat takut saya, mabuk mengubah saya (seolah-olah) jadi lebih sakti, lebih terampil berkelahi.
Hasilnya? Saya lebih sering babak belur, lebih kerap tersungkur. Saya hancur: sekolah berantakan, dikucilkan dalam pergaulan, jadi manusia asosial. Memang, ketika sendirian di kamar saya tetap belajar, tetap membaca apa saja: dari Anny Arrow, Nick Carter, Kho Ping Hoo, Gan KL, sampai SH Mintardja. Saya menulis pula catatan harian atau sajak-sajak cinta – yang saya kirim dan diudarakan dalam rubrik sastra di Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Gagak Rimang, Blora, dengan nama samaran.
Itulah sepenggal masa dalam kehidupan saya yang terformulasikan secara indah dalam unen-unen: urip kuwi amung mampir ngombe. Itulah masa ACT: arak, ciu, tuak. (Sampai sekarang saya masih menyimpan sebuah monumen kebodohan: sebotol wine oleh-oleh kawan yang menyangka saya masih doyan menenggak minuman keras, sembilan tahun lampau.)
|
Tahun 1982, saya diterima di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Sejak saat itulah saya tinggal di kota ini, sampai sekarang.
Awal tahun 1980-an adalah masa puncak kebekuan atau pembekuan kehidupan kampus. Katanya sih, kehidupan kampus perlu dinormalisasikan -- akibat kegencaran gerakan moral golongan putih (golput) Arief Budiman dkk (1971), Peristiwa 15 Januari 1974 Hariman Siregar dkk, dan kerusuhan anti-Cina (1980).
Kampus, yang saya bayangkan sebagai kawah candradimuka, ternyata tak lebih dari tempat pencetakan manusia melek huruf, tetapi tak melek persoalan. Melek gelar, tetapi tak melek kecerdasan. Melek pangkat, tetapi tak melek harkat dan martabat kemanusiaan.
Bukankah omong ini-itu dilarang, baca ini-itu tak gampang? Namun larangan itu justru jadi tantangan. Larangan disertai ancaman hukuman pidana justru jadi medan pertempuran baru bagi saya: menyalurkan naluri kekerasan; bukan lagi melawan kawan sebaya, melainkan pemerintah, penguasa militer. Jagoan bukan?
Ya, bukankah larangan membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, justru jadi promosi gratis agar kita mencari dan menggumuli karya eksponen “Universitas Waingapu, Pulau Buru” itu – meminjam istilah ki dalang Tristuti Rachmadi. Bukankah komunisme, marxisme-leninisme, maoisme, dengan segala varian makin menantang untuk diselami ketimbang indoktrinasi Pancasila, justru ketika dilarang-larang?
Kalau dulu, saat remaja saya berantem dengan okol, selanjutnya pada paro kedua 1980-an saya (merasa) perlu berkelahi dengan akal. Saya pun menciptakan musuh imajiner: dosen, penulis buku, rezim penguasa, konsep, pemikiran, aliran filsafat, semua-mua jadi sasaran naluri berkelahi.
Tak cukup? Turun ke desa-desa, dolan ke mana saja, bertemu banyak orang, banyak pemikiran, banyak kesaksian. Aksi, demonstrasi, pun jadi salah satu modus pilihan. Mula-mula bermain di seputar isu kampus: tolak kenaikan SPP sampai melawan kesewenang-wenangan PR III. Lalu, tolak penggusuran PKL depan kampus, tolak SDSB, tolak pembangunan Waduk Kedungombo, kritik pencemaran Kali Tapak, kasus tanah Blangguan, Rancamaya, sampai mengampanyekan golput.
Pada fase itu, kucing-kucingan dengan polisi, dengan tentara, adalah
Motif di balik penulisan itu: cari duit untuk biaya hidup dan (sekaligus berkesan gagah) memberikan pencerahan (pada pembaca). Lalu, suatu saat, saya kumpulkan tulisan (provokatif) itu menjadi buku, Kesaksian Kluprut (Semarang: Yayasan Sastra Merdeka, 1996). Itulah, konon, buku pertama karya individual mahasiswa Undip pada masa itu. Hebat bukan? Gagah bukan?
Cuma, sementara itu, kuliah saya berantakan dan hidup makin tak berpengharapan: masa depan jadi mimpi-mimpi yang menakutkan.
|
Tahun 1995 akhirnya saya lulus juga, setelah 13,5 tahun kuliah, setelah diusir-usir oleh Rektor Undip, saat itu Prof Dr Muladi SH. Lalu, bekerja, menjadi kuli bahasa, jurnalis, di sebuah media massa sembari sekali-kali jadi pengecer jasa bicara – seperti saat ini.
Sebelumnya, saya menghayati kehidupan dari perspektif urip kuwi amung mampir ngombe, lalu urip kuwi amung mampir dolan. Kini, penghayatan saya berubah: menghayati kehidupan dari ke hari, dari masa ke masa, dari perspektif pelaku nyata. Perubahan paling sederhana: pada masa bocah dan remaja tak perlu memikirkan ongkos hidup (karena masih di bawah tanggungan orang tua) beralih ke masa (harus mencari ongkos untuk) hidup mandiri.
Begitulah, saya bekerja, menikah, beranak-pinak. Perubahan bioritme terjadi. Juga orientasi serta visi. Prioritas pun berubah. Contoh kecil: sebelum menikah, begitu punya duit, borong buku, buku, dan buku. Setelah punya anak: punya duit, beli susu, susu, dan susu. Sadar tak sadar, sengaja tak sengaja, kini saya berpikir dan bersikap lebih realistis, lebih pragmatis.
Karena pekerjaan menuntut saya lebih banyak di jalanan, perspektif saya pun mendangkal. Saya acap memandang, menimbang, melakoni hidup berbekal perspektif jalanan: sepintas lalu, tanpa kedalaman, tanpa pengendapan. Maka, jika suatu saat mesti mengedepankan daya analisis, simpulan saya hampir pasti banal, dangkal. Bukankah saya terbiasa melihat dan berhadapan dengan serakan informasi, yang celakanya kian terfragmentasi, sekarang ini?
Saya memang tetap menulis dan terus menulis. Namun, sungguh, jujur harus saya katakan: motif di balik penulisan itu adalah harapan bakal mendapat insentif, memperoleh bayaran. Apalagi menulis adalah tuntutan pekerjaan saya bukan?
Menulis pun kehilangan nilai esensial sebagai kontribusi keterpelajaran, tetapi berubah sekadar menjadi perluasan (ekstensi) reputasi pribadi. Menulis, seperti juga berbicara di berbagai forum, tinggal jadi olahraga mulut dan gigi.
Namun toh saya tak kekurangan malu untuk menerbitkan tulisan saya jadi sebuah buku, Edan-edanan pada Zaman Edan (Semarang: CPNS, 2008). Buku itu toh bisa menjadi suvenir atau penanda bahwa saya bukan bagian dari massa yang bebal? Ciamik kan?
Cuma, kemudian, saya menyadari makin hari kian tak terbiasa berpikir secara sistematis, tak mampu menakar persoalan secara komprehensif. Bagi saya, masa lalu tinggal jadi arsip, artifak berdebu yang menguning, dimakan rayap. Masa kini adalah banjir informasi, yang harus segera dimutakhirkan dari jam ke jam, sehingga tak sempat membuat saya merenung-renung.
Refleksi diri menjadi kemewahan. Kalah oleh tenggat, kalah oleh irama kerja dari jam ke jam, dari hari ke hari. Maka, dalam perspektif ini, masa depan adalah medan ketakpastian yang menggelisahkan. Hidup jadi sekadar hidup, urip amung mampir urip, tanpa arti.
Kini, perubahan menemu makna paling banal: jika saat ini kau masih mengendarai motor butut inventaris dari kantor, usahakan agar esok hari bisa naik mobil lebih bagus milik pribadi. Sekalipun untuk memenuhi hasrat tampil perlente itu kau mesti mempergunakan fasilitas kredit dari bank. Tak apa-apa. Jangan malu. Bukankah kata seorang ahli finansial, kredit adalah kekayaan kita pada masa datang?
Ya, ya, ternyata saya telah mengalami metamorfosis. Bukan dari ulat, kepompong, lalu kupu-kupu. Melainkan metamorfosis yang terbalut kecemasan: kalau saya begini, jangan-jangan anak saya tak bisa makan…. Kalau saya begitu, jangan-jangan ibu-bapak mertua bakal malu….
Nah, dengan riwayat seperti itu, masih layakkah saya mendaku diri sebagai bagian dari kaum terpelajar, kaum intelektual? Bukankah kaum terpelajar, sebagaimana pernah dinyatakan Pramoedya Ananta Toer, mesti bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran? Padahal, saya cuma bisa bersikap adil bagi diri sendiri dan keluarga saya, dan acap tak peduli apakah keadilan juga berlaku bagi orang lain.
Celaka, riwayat mesum itu adalah juga potret generasi saya, generasi yang terlahir tahun 1960-an, tetapi berharap hidup kaya dan bahagia sampai kapan pun zaman menjelang. Itulah potret kegagalan, yang tak pantas dibanggakan.
Maka, potong generasi. Era baru butuh pemikiran baru, penggerak baru, pemimpin baru, untuk mengubah keadaan ke arah kehidupan yang lebih manusiawi, lebih beradab dan berkeadilan. Salam setengah merdeka!
2 komentar:
hei ndull...!!! sing tukang posting kok rak noto tulisane, dadine gedhe2 kie... secara artistik rak enak...
catatan ini adalah peringatan penting bagi mereka yang mengaku dirinya sebagai aktivis!
Posting Komentar